Budaya Malu Orang Jepang ditinjau dari A

Nama : Tiara Audina
NPM : 1506684483
Ujian Akhir Semester Antropologi Indonesia

Kemiskinan dan Kota
Dalam tulisan karya Koentjaraningrat pada tahun 1993 yang berjudul Masyarakat
Terasing di Indonesia, ia menjelaskan tentang “masyarakat asing” dan beberapa kelompok
penduduk di Indonesia yang termasuk dalam golongan tersebut. Penggolongan tersebut juga
lebih berdasar pada pandangan-pandangan stereotip daripada berdasarkan definisi yang jelas atau
secara ilmiah. Terdapat sejumlah kriteria-kriteria untuk suatu masyarakat bisa dikatakan sebagai
“masyarakat asing”. Kriteria-kriteria tersebut yakni:
1. Masyarakat yang warganya masih hidup mengembara atau setengah mengembara, karena
mata pencaharian hidup mereka yang pokok adalah meramu sagu, berburu, atau berkebun
secara amat sederhana, karena lokasi wilayah tempat tinggal mereka terpencil, karena
dianggap masih berkebudayaan “primitif”, dan karena pun mereka pernah didatangi oleh
orang luar, mereka belum dibina secara mantap, baik oleh pemerintah colonial Belanda,
oleh pemerintah Republik Indonesia, atau oleh organisasi-organisasi penyiar agama.
2. Penduduk masyarakat yang masih hidup mengembara atau setengah mengembara, dan
juga yang warganya sudah menetap, tetapi dianggap mempunyai kebudayaan yang masih
“primitif”, dan walaupun sebagian dari mereka telah terpengaruh oleh unsur-unsur
kebudayaan dari luar yang lebih maju, sebagian besar masih mempunyai kebudayaan

yang dinilai “primitif”. (dalam Koentjaraningrat: 1993).
Selanjutnya, dari kriteria-kriteria tersebut, Koentjaraningrat menjelaskan beberapa
kelompok penduduk Indonesia yang digolongkan sebagai “masyarakat terasing” menurutnya.
Diantara krieria-kriteria untuk menggolongkan masyarakat terasing tersebut, terlihat jelas bahwa
batas-batas kemiskinan sangat ajeg dan mutlak. Batas yang ajeg ini dikarenakan dasar dari
pembahasan Koentjaraningrat yang praktikal dengan sasaran untuk pemerintah–mengingat

pemerintah juga membutuhkan sesuatu penggolongan kemiskinan yang jelas karena berguna dan
aplikatif sebagai landasan pengambilan kebijakan dan keputusan.
Lalu, tulisan kedua berjudul Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan, oleh
Achmad Fedyani tahun 2005. Dalam tulisan ini, ia menjelaskan bagaimana fenomena
kemiskinan dipandang sebagai sebuah proses.
“Penulis berasumsi bahwa: pertama, kompleks keterjalinan hubungan-hubungan
sosial yang khas ini membangun suatu integrasi sosial orangorang miskin dan tidak
miskin sedemikian, sehingga batas-batas golongan miskin yang diasumsikan dalam
pendekatan kebudayaan dan struktural di atas menjadi baur. Kedua, sebagai konsekuensi
dari hubungan-hubungan sosial yang khas tersebut, maka akumulasi totalitas hubungan
sosial dan tindakan sosial yang terwujud berimplikasi mundurnya kondisi kehidupan
perkotaan, karena hubunganhubungan sosial yang tidak formal semakin penting, dan
bahkan kadang-kadang lebih penting daripada aturan-aturan formal dalam menentukan

arah tindakan” (Fedyani: 2005)
Pada tulisan kedua, penulis lebih menekankan pada hubungan sosial yang terjalin antar
masyarakat, sehingga kemiskinan merupakan hal yang relatif dan tidak ajeg. Selain itu, implikasi
dari hubungan-hubungan sosial yang terjalin antara yang miskin dengan yang tidak miskin
membuat batas-batas golongan miskin yang diasumsikan dengan pendekatan struktural dan
kebudayaan menjadi bias.
a. Komparasi kedua tulisan
Pada tulisan Koentjaraningrat, ia terlihat lebih praktikal, artinya ilmu antropologi dibawa
pada ranah developmentalist, jadi bagaimana itu bisa berguna bagi negara. Sementara tulisan
kedua lebih melihat hubungan-hubungan khusus yang terjadi dalam masyarakat. Lalu, dari
hubungan-hubungan khusus itu dapat terlihat dinamika-dinamika kemiskinan dalam suatu
kelompok masyarakat itu sendiri.
Jika pak Koen memiliki pendekatan positifist dan struktural-fungsional, pada tulisan pak
Ahfed lebih menekankan pada pendekatan prosesual, yakni bagaimana proses-proses dan
hubungan-hubungan antar masyarakat yang berimplikasi pada penggolongan kemiskinan yang
tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang terkotak-kotak dengan jelas, dan menjadi relatif.
Jika dilihat dari unit analisisnya, tulisan pak Koen menggunakan unit analisis suku
bangsa, sedangkan unit analisis pada tulisan pak Ahfed ialah golongan masyarakat. Namun,

rupanya ada satu hal yang luput dari Tulisan pak Koen. Ketika pak Koen menjelaskan secara

kuat tentang suku bangsa dan state dan mengandaikan batas kemiskinan yang tegas dan jelas,
pendekatan praktikal yang ia utarakan menjadi gagap dalam konteks kota dan masyarakat yang
kompleks dan plural. Pak Koen selalu melihat masyarakat dan kebudayaan dengan 7 unsur
kebudayaan, dan hal tersebut menurut saya agak kurang relevan dengan konteks kota mengingat
kota dihuni dengan berbagai macam kelompok dan golongan yang plural. Dengan demikian,
tulisan pak Koen melihat masyarakat dalam setting relatif stabil dan homogen.
Sementara itu, pak Ahfed melihat kebudayaan dalam konteks yang plural–yakni dalam
konteks interaksi dan hubungan-hubungan yang terjalin bahkan menyangkut orang dari beragam
latar belakang suku bangsa. Oleh karena itu, dia berangkat dari golongan sosial, mengingat batas
itu tidak ethnical dan ajeg. Bahwa batas sosial itu dinamis dan batas sosial itu baru dapat diliat
dari interaksi didalamnya.
Dari kedua tulisan tersebut, dapat dilihat adanya perbedaan unit analisis dari suku bangsa
menjadi golongan sosial. Hal ini sepertinya terkait dengan kondisi negara pada saat tulisan pak
Koen dibuat, yakni tahun 1993–dimana kondisi negara sedang berada dalam posisi yang
powerfull sehingga konflik bukanlah sesuatu yang terlihat pada masa itu. Pak Ahfed juga secara
eksplisit mengkritik pendekatan strukural-fungsional sehingga ia menjelaskan kemiskinan adalah
suatu hal prosesual. Jadi, terdapat pergeseran implikasi teoritiknya antara kedua tulisan diatas,
yakni mengenai batas etnik dilihat dari konteks interaksi-relasi bukan dari etnologi dan
kesukubangsaan.


Sumber bacaan:
Achmad Fedyani. Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan: Kajian Kasus di Jakarta. Antropologi Indonesia
Vol.29, No.3. 2005.
Koentjaraningrat. Masyarakat Terasing di Indonesia. PT Gramedia, Jakarta:1993.