MANUSIA DAN PERADABAN barat dan (5)

TUGAS PAPER INDIVIDU ISBD
KOTA PAYAKUMBUH

NAMA

: MUKHAMAD INDRA

NIM

: 1508305014

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah

Menurut sejarah asal nama Kota Payakumbuh terdiri dari dua kata yaitu Payo dan
Kumbuah. Payo dalam bahasa Indonesia berarti rawa-rawa dan kumbuh adalah sejenis
tanaman yang dahulunya banyak tumbuh subur di daerah rawa di Kenagarian Koto Nan
Gadang pusat kota sekarang. Asal nama tersebut dikenal dengan sebutan Payakumbuh yang
kemudian menjadi salah satu kota berkembang di Provinsi Sumatera Barat.
Sebagai bagian dari wilayah adat Minangkabau yang terdiri dari 3 luhak yang disebut
luhak nan tigo yaitu Nan Tuo Luhak Tanah Datar, Nan Tangah Luhak Agam dan Nan Bungsu
Luhak Limo Puluah Koto, ketiga luhak ini kemudian masing-masingnya berkembang
menjadi kabupaten dan kota. Payakumbuh yang merupakan bagian dari Luhak Limo Puluah
Koto yang terdiri dari 10 nagari dan 73 jorong.
Payakumbuh sejak zaman sebelum kemerdekaan telah menjadi pusat pelayanan
pemerintahan dan kegiatan sosial Luhak Limo Puluah. Pada zaman pemerintahan Belanda,
Payakumbuh adalah tempat kedudukan pemerintahan asisten residen yang menguasai
wilayah Limo Puluah Koto yang disebut Afdeeling Limo Puluah Koto berkedudukan di
Payakumbuh. Pada masa pemerintahan Jepang, Payakumbuh juga menjadi pusat kedudukan
pemerintah Limo Puluah Koto.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1956 Payakumbuh ditetapkan sebagai
kota kecil dan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1970 tanggal 17
Desember 1970, Kota Payakumbuh ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II dengan wilayah
pemerintahan sendiri. Tanggal dikeluarkannya Permendagri tersebut di atas kemudian

ditetapkan sebagai HARI JADI KOTA PAYAKUMBUH.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1982, Kota Payakumbuh secara
administratif terbagi atas 3 wilayah kecamatan dengan 73 kelurahan, yaitu Payakumbuh Barat
dengan 31 kelurahan, Payakumbuh Timur dengan 14 kelurahan dan Payakumbuh Utara
dengan 28 kelurahan. Ketiga kecamatan tersebut diresmikan oleh Gubernur Provinsi

Sumatera Barat atas nama Menteri Dalam Negeri pada waktu itu diwakili oleh Sekretaris
Daerah Drs. Soekarni pada tanggal 23 November 1988.
Pada tahun 2008 diadakan pemekaran wilayah kecamatan, berdasarkan Peraturan
Daerah Kota Payakumbuh Nomor 12 dan 13 tahun 2008. Sehingga Kota Payakumbuh
memiliki 5 kecamatan dengan 76 kelurahan.
2.2 Geografis
2.2.1 Posisi Geografis
Secara Geografis Kota Payakumbuh terletak pada posisi 00 o – 10° sampai dengan
0o – 17’ LS dan 100° – 35’ sampai dengan 100° – 48’ BT. Tercatat memiliki luas wilayah

+

80,43 Km2 atau setara dengan 0,19 persen dari luas provinsi Sumatera Barat dan berbatasan
langsung dengan lima kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Keadaan topografi Kota Payakumbuh bervariasi antara daratan dan berbukit dengan
ketinggian 514 meter diatas permukaan laut. Suhu udara rata-rata 26 o Celcius dengan
kelembaban udara berkisar antara 45 persen sampai 50 persen.
Bila dilihat dari segi penggunaan tanah 34,45 persen tanah di Kota Payakumbuh
merupakan tanah sawah, dan sisanya 63,3 persen berupa tanah kering. Tanah kering ini
sebagian besar dimanfaatkan untuk bangunan sebesar 32,59 persen dan untuk usaha pertanian
sebesar 32,42 persen, serta sisanya berupa tanah untuk hutan negara, semak belukar, dan lainlain.
Letak kota Payakumbuh sangat strategis bila dilihat dari segi lalu lintas angkutan
darat Sumbar-Riau. Kota Payakumbuh meruakan pintu gerbang masuk dari arah Pekan Baru
menuju kota-kota penting di Provinsi Sumatera Barat. Berbagai jenis angkutan penumpang
dan barang sangat ramai melewati kota ini pada waktu siang maupun pada malam hari.
Jarak kota Payakumbuh ke kota Pekan Baru 188 km dan dapat ditempuh selama + 4,5
jam perjalanan dengan angkutan pribadi, sedangkan jarak ke Kota Padang sejauh 124 km,
dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi selama + 2,5 jam perjalanan.

2.2.1 Batas Daerah
Sebelah Utara : Dengan Kecamatan Harau dan Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten
Lima puluh Kota.
Sebelah Selatan : Dengan Kecamatan Luhak dan Kecamatan Situjuh Limo Nagari
Kabupaten Lima Puluh Kota.

Sebelah Barat : Dengan Kecamatan Payakumbuh dan Kecamatan Akabiluru
Kabupaten Lima Puluh Kota.
Sebelah Timur : Dengan Kecamatan Luhak dan Kecamatan Harau Kabupaten Lima
Puluh Kota.
2.3 Kebudayaan
2.3.1 Sistem Agama
Masyarakat yang tinggal di Kota Payakumbuh sebagian besar beragama Islam, yang
disusul dengan agama Kristen, dan Katolik. Sebagian besar masyarakatnya berasal dari suku
Minangkabau, namun ada pula yang berasal dari suku Jawa, Batak, dan etnis Tionghoa.
2.3.2 Kesenian
Payakumbuh memiliki upacara adat yang khas, yaitu upacara yang kegiatannya
terdapat tarian-tarian daerah yang dipertontonkan. Salah satu tariannya adalah gerakan silat
yang dimainkan oleh beberapa anak kecil yang disebut randai. Randai biasanya di tampilkan
pada waktu acara adat atau pergelaran seni. Kelompok randai yang terkenal terdapat di
daerah Muara Paiti Kapur IX, yang jaraknya 102 km dari kota Payakumbuh.
Selain randai, wisata budaya yang tidak kalah terkenal adalah pacu kuda atau dalam
bahasa Payakumbuh disebut pacu kudo. Pacu kudo merupakan salah satu acara pendukung
pariwisata di Payakumbuh. Acara ini dilakukan setahun sekali dan biasanya dilaksankan pada
Bulan Februari selama dua hari di lapangan yang telah disediakan. Berbeda dengan pacu
kudo yang dilaksanakan di lapangan terbuka, pacu itik dilaksanakan di jalan raya dengan

menerbangkan itik di udara. Jarak terbang untuk perlombaan ini telah ditentukan yaitu 800m,
1600m, dan 2000m. Itik yang diperlombakan dalam pacuan biasanya berusia antara 4-6
bulan. Itik yang paling cepat terbang di jalur yang sudah ditentukan adalah pemenangnya.

Lapangan dan jalan raya adalah jalur untuk pacu kuda dan pacu itik, akan tetapi
untuk pacu jawi atau pacu sapi dilaksanakan di area persawahan setelah waktu panen. Acara
ini juga merupakan budaya dari Kota Payakumbuh dan diselenggarakan untuk memeriahkan
suasana panen. Pada perlombaan ini, dua ekor sapi diikat pada sebuah bajak lalu seorang joki
akan menarik-narik ekor sapi, setiap pelombaan biasanya diikuti oleh 5 sampai 10 pasang
sapi. Pemenangnya tentu saja pasangan sapi yang paling cepat sampai garis depan.
2.3.3 Makanan Khas
Kota Payakumbuh dikenal sebagai kota yang memproduksi Batiah, oleh sebab itu
kota ini disebut dengan Kota Batiah. Selain batiah, ada juga galamai yaitu sejenis makanan
seperti dodol yang berwarna pekat dan legit. Galamai terbuat dari tepung beras ketan dan
gula aren. Pada zaman dahulu biasanya galamai dibuat untuk acara pernikahan dan acaraacara adat lainnya, akan tetapi sekarang galamai sudah banyak diperjualkan di toko-toko
maupun di pasar. Kipang juga salah satu makanan khas Kota Payakumbuh, kipang
merupakan makanan ringan yang terbuat dari beras pulut, jagung, dan ada juga yang terbuat
dari kacang. Selain ketiga makanan tersebut, masih banyak makanan khas Payakumbuh
lainnya yang dapat memuaskan perut kita.
2.3.4 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Minangkabau dengan kekhasan budayanya telah banyak menarik
perhatian peneliti dari dalam dan luar Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bibliografi
mengenai Minangkabau yang disusun oleh Joustra (1924, 1936), Kennedy (1945), Naim
(1973), dan sumber kepustakaan lain. Publikasi itu ada yang mengenai antropologi fisik,
struktur masyarakatnya yang matrilineal, kedudukan istimewa dari Islam dan ajaran yang
bersifat patriarkat dalam suatu masyarakat yang matrilineal.
Kota Payakumbuh yang termasuk kedalam wilayah alam Minangkabau tentu saja
menganut sistem kekerabatan matrilineal. Orang Minangkabau menarik garis keturunan
menurut garis ibu (matrilineal). Seseorang yang lahir dalam suatu keluarga akan masuk dalam
kelompok kerabat ibunya, bukan kelompok kerabat ayahnya. Bagi seorang anak, kaum
kerabat dari pihak ayahnya disebut bako. Seorang ayah berada di luar kelompok kerabat istri
dan anak-anaknya. Menurut adat seorang perempuan tidak meninggalkan rumah keluarganya
setelah menikah. Pada masa lalu suami mengunjungi istrinya pada malam hari saja dan ia

diharapkan menggarap sawah milik istrinya. Pola menetap sesudah nikah seperti di atas
dalam ilmu antropologi lazim disebut duolokal.
Dalam sistem keturunan matrilineal ini, seorang ayah dipandang dan diperlakukan
sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama untuk memberi keturunan. Dia
disebut sumando atau urang sumando. Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan
ibunya tempat dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki dalam garis keturunan itu.

Secara tradisi, tanggung-jawabnya setidak-tidaknya berada di situ. Dia adalah wali dari garis
keturunannya dan pelindung atas harta benda garis keturunan itu sekalipun dia harus
menahan dirinya dari menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menuntut
bagian apa-apa untuk dirinya. Dia tidak pula diberi tempat di rumah orang tuanya (garis ibu)
oleh karena semua bilik (kamar di rumah gadang) hanya diperuntukkan bagi anggota yang
perempuan, yakni untuk menerima suami-suami mereka di malam hari.
Dalam masyarakat Minangkabau, hubungan antara anak dengan saudara-saudara
ibunya dibedakan antara hubungan dengan saudara laki-laki ibu dan dengan saudara
perempuan ibu. Hubungan dengan saudara laki-laki ibu disebut hubungan kekerabatan
mamak dengan kemenakan. Sedangkan hubungan dengan saudara ibu yang perempuan
dianggap sama dengan hubungan antara anak dengan ibunya. Saudara laki-laki ibu disebut
mamak yang dipanggil dengan sebutan mak uwo (mamak yang paling tua), mak angah
(mamak yang pertengahan), dan mak etek (mamak yang paling kecil). Saudara perempuan ibu
dipanggil uwo (jika lebih tua dari ibu), angah (jika berada di pertengahan dalam urutan
bersaudara, bisa lebih tua ataupun lebih muda dari ibu), dan etek (jika lebih muda dari ibu).
Konsekuensi penerapan sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau menyebabkan
warisan berupa harta pusaka tinggi hanya diwarisi oleh anak perempuan dari ibunya,
sedangkan gelar pusaka diwariskan dari mamak kepada kemenakan laki-laki.
Tidak ada data dan dokumentasi yang cukup tersedia mengenai latar belakang orang
Minangkabau memilih dan bertahan dengan budaya sistem kekerabatan matrilineal.

Koentjaraningrat, mengatakan bahwa sistem ini sekarang jarang sekali digunakan di dunia
ini. Dari hasil penelitian, dokumentasi tentang 19 lingkungan masyarakat hukum adat yang
digolongkan oleh Van Vollenhoven atau pakar hukum adat lainnya seperti Ter Harr dan lainlain, termasuk juga dari bahan sejarah Minangkabau maupun tambo adat Minangkabau

sendiri, tidak terdapat keterangan mengapa sistem ini diterapkan oleh masyarakat
Minangkabau.
Meskipun demikian, keterangan dari Soewardi Idris, yang lebih bersifat folklor atau
cerita rakyat, sedikit banyaknya mungkin dapat dijadikan sebagai pegangan. Menurut
Suwardi Idris, ada tiga kemungkinan mengapa orang Minangkabau mengambil alur
matrilineal. Pertama, dibawa dari kampung asal di India Selatan (Hindia Belakang), atau
mungkin juga dari Vietnam bagian timur. Kedua, direkayasa pada masa pemerintahan raja
Adityawarman, bahwa raja mereka adalah orang Minangkabau karena ibunya adalah putri
Melayu. Dengan rekayasa yang demikian, orang Minangkabau tidak merasa diperintah oleh
raja keturunan Majapahit, tetapi diperintah oleh raja dari kalangan mereka sendiri. Ketiga,
karena Bundo Kanduang demikian dihormati, tetapi ia dianggap tidak pernah bersuami,
sehingga tidak mungkin ditarik garis keturunan bapak (patrilineal), maka satu-satunya
kemungkinan ialah menarik garis keturunan ibu.
Penelusuran nenek moyang serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem
matrilineal (atau unilineal) agak mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur
hubungan kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut Prof. Dr. T.O.

Ihromi, S.H., M.A. dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya, hubungan-hubungan yang
terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini adalah:
1. Yang termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung, saudara seibu,
anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara seibu dengan ibu, ibu dari
ibu beserta saudara-saudaranya dan anak dari saudaranya yang perempuan, anak-anak dari
saudara perempuannya, dan anak dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang
perempuan.
2. Ia sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak
dari saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah kandungnya
sendiri.
Dalam suatu keluarga, tanggung jawab lebih banyak berada di tangan ninik-mamak
(saudara laki-laki ibu atau saudara laki-laki dari ibunya ibu). Ninik-mamak wajib mengurusi
kemenakannya dan mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan harta pusaka dan
warisan. Hal yang sama juga menjadi peranan seorang suami di dalam keluarganya sendiri,

yaitu mengawasi saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya. Namun pada masa
sekarang, peranan ninik-mamak semakin kecil karena ia cenderung untuk mengurusi istri dan
anak-anaknya sendiri dan seorang suami pun lebih banyak berperan dalam rumahtangganya.
Perubahan ini terutama terlihat pada keluarga Minangkabau di perantauan.
Apabila laki-laki memiliki istri lebih dari satu (poligini) ia harus adil membagi waktu

di antara istri-istrinya. Kalau terjadi perceraian, anak-anak hasil perkawinan tetap tinggal
bersama ibunya.
Suatu hal yang perlu dijernihkan ialah bahwa masyarakat Minangkabau bukan
masyarakat matriarkat, artinya bukan masyarakat yang dikuasai oleh kaum wanita. Dalam
kenyataannya Kerapatan Nagari, lembaga yang menjalankan peranan utama dalam pertukaran
pikiran untuk membuat keputusan yang mengikat seluruh masyarakat nagari dilakukan oleh
kaum pria. Sebaliknya, orang Minangkabau pada dasarnya memang merupakan masyarakat
yang matrilineal, yang menarik garis keturunan dari pihak ibu. Selain daripada itu, mereka
juga mengamalkan adat matrilokal, artinya sesudah menikah menetap di lingkungan kerabat
istri atau yang berpusat di rumah gadang pihak istri. Namun sekarang pasangan-pasangan
yang baru menikah banyak yang memilih tempat lain di luar lingkungan kerabatnya
(neolokal). Mereka menetap di rumah sendiri, atau rumah sewa, sehingga terwujud suatu
keluarga batih yang menyebabkan anak-anak mereka dapat melakukan hubungan erat dengan
ibu dan ayahnya.

2.4 Masalah Sosial
Sumatera Barat merupakan provinsi dengan banyak kota dan kabupaten yang
memiliki keanekaragam suku dan budaya. Keanekaragaman suku dan budaya yang ada
dimasyarakat memberikan dampak seperti masalah. Masalah yang lebih sering terjadi di
kehidupan sehari-hari adalah masalah sosial. Banyak sekali masalah sosial yang terjadi di

Sumatera Barat, tidak terkecuali Payakumbuh. Karena itu, yang akan dibahas disini adalah
masalah sosial yang ada di Payakumbuh.

2.4.1 Kemiskinan
Kita menyadari bahwa masalah kemiskinan adalah masalah sosial yang tidak mudah
untuk diatasi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Kota Payakumbuh untuk mengatasi
tingkat kemiskinan di masyarakat. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan membantu
usaha-usaha kecil dan menengah untuk meningkatkankan usaha mereka sehingga akan
tercipta lapangan pekerjaan untuk masyarakat.
2.4.2 Penyakit Masyarakat
Penyakit masyarakat Kota Payakumbuh tidak separah kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Hanya segelintir masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan dan
ketertiban di Kota Payakumbuh. Masyarakat tersebut biasannya berasal dari kalangan anak
muda yang masih mencari jati dirinya atau biasa dikenal dengan anak punk. Kelakuan anak
punk di pasar Payakumbuh mulai meresahkan masyarakat, mereka sering mengganggu
ketertiban umum di pusat pertokoan. Pada malam hari pedagang kuliner di pusat kota juga
sering mengeluhkan ulah mereka. Anak punk itu bukan sekadar menjual suara dengan profesi
mengamen, tapi juga memaksa orang untuk memberi mereka imbalan, bahkan kalau tidak
diberi mereka akan mengancam.
Selain anak punk, penyakit masyarakat lainnya yang masih belum bisa ditertibkan
adalah balap liar. Balapan liar biasanya berlangsung di jalan utama dalam Kota Payakumbuh,
hal ini tak pelak membuat masyarakat kota resah, disamping mengganggu balapan liar juga
menimbulkan suara gaduh, dan balap liar ini juga mengancam keselamatan warga. Meskipun
sering dibubarkan oleh satpol PP Kota Payakumbuh, akan tetapi balapan liar yang dilakukan
oleh para pemuda dan orang dewasa itu masih sering terjadi di ruas Jalan Soekarno-Hatta
yang menjadi jalan utama di Kota Payakumbuh.
2.4.3 Kebersihan
Kota Payakumbuh yang terkenal sebagai Kota Adipura saat ini dikhawatirkan akan
berganti namanya, karena banyak ditemui di pusat pasar Payakumbuh toko-toko yang kosong
di lantai dua pusat pertokoan Pasar Payakumbuh yang tak terurus. Air dan sampah berserakan
di lantai. Bau busuk dan pesing menyerang hidung, karena toko-toko yang pintunya sudah
rusak itu juga digunakan sebagian orang untuk buang air besar dan kecil. Atapnya pun sudah
banyak yang bocor. Kesan yang muncul, toko-toko kosong yang jumlahnya puluhan itu

benar-benar tak terurus. Menurut salah satu pedagang di area pertokoan tersebut banyak
warga yang buang air kecil sembarangan dan bahkan kerap dijadikan tempat kumpulnya
anak-anak punk.
2.4.4 Ketertiban
Tidak terurusnya terminal angkutan kota (Angkot) dan angkutan desa (Angdes) ayang
lokasinya berdampingan dengan Pasar Payakumbuh menjadi masalah lainnya di kota ini.
Sejumlah jalan raya berubah menjadi terminal panjang, meliputi Jalan Pemuda di dekat
Masjid Ansharullah Muhammadiyah, jalan Sudirman di Simpang Benteng dan beberapa jalan
raya lainnya membuat ketertiban dan keterturan kota menjadi buruk.
Banyaknya supir angkot yang lebih memilih menunggu penumpang di luar terminal
merupakan salah satu faktor banyaknya terminal liar. Menurut mereka menunggu penumpang
di dalam terminal memerlukan waktu berjam-jam, sedangkan di luar terminal menunggu
penumpang paling lama hanya membutuhkan waktu lima belas menit dan langsung
berangkat.
Bukan hanya pertokoan dan terminal yang terlihat tidak terurus, banyaknya anak
jalanan, pengemis serta orang gila yang berseliweran di tengah-tengah kota ikut merusak
keindahan Kota Payakumbuh. Sangat mudah menemukan anak jalanan, pengemis serta orang
gila di Kota Payakumbuh, karena mereka dibiarkan begitu saja.

2.5 Kelebihan dan Kekurangan Kota Payakumbuh
2.5.1 Kelebihan
Setiap kota di Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Kelebihan dari Kota Payakumbuh tentu saja dari segi pariwisata dan makanan khasnya.
Selain itu¸ keramahan warganya juga menjadi komponen yang mendukung kelebihan kota
ini. Masyarakat Kota Payakumbuh selalu menyambut baik warga yang datang untuk
berkunjung baik itu warga dari kota lain di Indonesia, maupun warga asing. Para wisatawan
dapat ikut serta dalam acara-acara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Kota
Payakumbuh seperti Pacu Kudo,Pentas Seni Minang, Pamainan Anak Nagari, Pacu Itiak, dan

acara-acara lainnya. Masyarakat Kota Payakumbuh memang sangat terkenal dengan
keramahannya, para pengunjung bisa ikut serta untuk bertani, memerah sapi, membuat kue,
dan kegiatan lainnya yang biasa dilakukan masyarakat Kota Payakumbuh.
2.5.2 Kekurangan
Kota Payakumbuh juga tidak berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia yang
memiliki pemasalahan sosial. Masalah-masalah sosial yang timbul di kalangan masyarakat
kebanyakan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat dan tidak tersedianya
lapangan pekerjaan. Masalah-masalah itu diantaranya kemiskinan, ketertiban masyarakat,dan
penyakit masyarakat.
Masih adanya masyarakat yang kurang memahami tentang ketertiban dan
keselamatan adalah salah satu penyakit masyarakat Kota Payakumbuh. Aksi balap liar dan
kebiasaan supir angkot yang menunggu penumpang di luar terminal membuat ketertiban kota
menjadi terganggu. Selain itu adanya pengemis, orang gila, dan anak jalanan juga menambah
daftar kekurangan dari Kota Payakumbuh dalam hal ketertiban kota.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

11 143 2