Budaya asing terhadap budaya in (3)

Manggarai, Nama yang Terpatri di Sanubari
Oleh Timoteus Marten

Apa jadinya sesuatu atau seseorang jika tak punya nama? Binatang saja
mempunyai nama. Nama melekat dalam entitas ‘sesuatu’ benda atau makhluk.
Nama kerap diidentikkan dengan identitas; penanda ciri. Nama diberikan dengan
tujuan tertentu sesuai ciri, sejarah, kenyataan dan harapan.
Saya tidak terlalu panjang lebar menjabarkan tentang arti di balik nama yang
umum. Saya berpikir bahwa banyak referensi terpercaya untuk menjadi pegangan
dalam mengulas tentang nama. Ini hanya semacam catatan pengantar sebelum
saya melaju lebih jauh.
Beberapa waktu lalu saya dan beberapa teman berdiskusi tentang sejarah dan arti
dibalik nama Manggarai. Manggarai berada di ujung barat pulau Flores, Nusa
Tenggara Timur. Ini bukan diskusi ilmiah seperti di universitas-universitas atau
akademi. Namun lebih pada semacam obrolan di warung kopi, yang entah arahnya
ke mana. Dalam konteks tentang Manggarai, obrolan kami semakin terarah
mengingat kami adalah perantau yang berbudaya. Karena itu, kami harus
mengenal dan mengetahui asal-usul dan segala macamnya tentang kami sebelum
belajar, mengetahui dan mengenal budaya orang lain.
Kami adalah orang Manggarai diaspora. Menyebar di belantara dunia dengan
aneka profesi dan pekerjaan. Ada yang menetap lama dan ada yang kembali

pulang.
Apakah Manggarai itu? Atau siapakah Manggarai itu? Atau mengapa Manggarai?
Deretan pertanyaan tersebut membuat saya menulis catatan kecil ini. Banyak
referensi ilmiah dan sumber lisan yang sahih bila mencari arti di balik nama
Manggarai. Saya hanya menulis sedikit pemahaman tentang tanah yang
membesarkan saya dalam budaya dan tradisi Katolik, persaudaraan dan
kekeluargaan yang kental. Mengutip kata Frangky Sahilatua dalam lagu Aku
Papua-nya; tanah yang membesarkan aku bersama angin dan daun.
Seorang guru besar dalam sejarah gereja, Pater Edyy Kristiyanto, OFM dalam
bukunya Khresna Mencari Raga Mengenang Kehadiran Fransiskan (di)
Indonesia , terbitan Lamalera, Yogyakarta, 2009, halaman 239, mengutip
penuturan peminat sejarah Manggarai, Vincente Kunrath menyebutkan dua kata
bahasa Bima, mangga (sauh) dan rai (melari).

Dalam sebuah pelayaran ke daerah itu, tak disebutkan tahun berapa, empat pelaut
asal Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat, yaitu, Mangge Maci, Nanga Lere,
Tulus Kuru dan Jenali Woha. Empat pria yang dipimpin Mangge Maci ini diutus
untuk menaklukkan wilayah ujung barat pulau Flores itu. Namun ketika perahu
merapat ke daratan, karena terburu-buru dan terpesona dengan keindahannnya,
mereka lupa menurunkan sauh. Perahu bergoyang-goyang dan berjalan sendiri.

Sontak kaget dan seorang di antara mereka berteriak: Mangga Rai…!!! Mangga
Rai…!!!
Banyak versi tentang sejarah nama Manggarai. Namun, setelah saya baca dari
berbagai tulisan, soal sauh, pelaut, jangkar, perahu dan berlabuh di daerah yang
subur, bergunung-gunung dan hijau punya kesamaan.
Orang Manggarai biasa menyebut tanahnya dengan Nucalale. Nuca bisa jadi nusa
(pulau). Lale adalah salah satu jenis pohon yang tumbuh di daerah Manggarai.
Belum ada sumber yang menyebutkan asal-muasal penyebutan Nucalale. Namun
dari nama ini bisa diafsirkan bahwa pemberian nama ini diduga karena banyaknya
pohon Lale (Artocarpus Elastic).
Manggarai, ujung barat pulau Flores ini merupakan daerah yang sangat luas dan
sangat subur. Daerah yang bergunung-gunung, memiliki areal hutan yang luas
memungkinkan untuk ditumbuhi aneka jenis tumbuhan dan pepohonan.
Manggarai juga disebut Bumi Congkasae. Kata Congkasae berasal dari kata
congka yang berarti menari dan sae adalah salah satu jenis tarian tradisional
Manggarai. Biasanya congkasae berbarengan dengan tarian caci dan upacara adat
lainnya seperti penti (berupa syukuran). Congkasae biasa dibawakan laki-laki atau
perempuan yang sudah berpengalaman dan memahami irama hentakan kaki dan
goyangan tangan
Tana Ledong Dise Empo Mbate Dise Ame adalah ucapan yang lazim untuk daerah

yang kini menjadi tiga kabupaten, yaitu, kabupaten Manggarai, Manggarai Barat
dan Manggarai Timur ini. Sebutan ini biasa didengar dalam ungkapan sehari-hari.
Seniman-seniman Manggarai biasanya menulis syair-syair lagu dengan sebutan
Tana Ledong Dise Empo Mbate Dise Ame untuk Manggarai tercinta ini.

Secara hurufiah tana (tanah), ledong (peninggalan) dise (mereka punya), empo
(leluhur/nenek moyang), mbate (warisan) dan ame (bapak). Ame adalah bahasa
Manggarai dialek di daerah sekitar Kuwus dan Pacar, Manggarai Barat.
Umumnya di Manggarai dikenal dengan sebutan ema untuk bapak.
Dalam percakapam sehari-hari orang Manggarai menyebut Neka Oke Kuni Agu
Kalo (jangan tinggalkan warisan dan tanah leluhur).

Bisa jadi kuni adalah tali pusat. Plasenta. Tanah Manggarai adalah tanah dimana
tali pusat dikuburkan. Persis di dekat rumah.
Ada dugaan bahwa kuni adalah sebutan puni (pohon pakis). Puni biasanya dipakai
sebagai tiang pancang rumah atau pondok. Kalo (pohon dadap) adalah sejenis
tumbuhan yang tumbuh di daerah tropis. Orang Manggarai biasanya menanam
pohon dadap di sekitar kampung dan lingko (kebun komunal). Selain itu, terutama
dan pertama-tama kalo ditanam di tengah compang (mesbah) untuk persembahan
kepada leluhur dan Mori Kraeng (Tuhan Allah). Kalo tumbuh di tengah compang

yang berupa susunan batu. Menjulang tinggi dan rimbun. Indahnya berteduh!
Compang erat kaitannya dengan kampung halaman, sebab compang ada di natas
(halaman di tengah-tengah kampung) dan berhadapan dengan rumah adat (mbaru
gendang/mbaru tembong).

Saya sangat yakin bahwa masih banyak sidang pembaca yang lebih memahami
tentang Manggarai. Karena itu, tulisan ini tidak lebih lengkap dan sahih terutama
karena keterbatasan referensi. Jikalau ada data tambahan pembaca yang
bersumber dari referensi yang dipercaya, akurat dan data yang kuat, maka tulisan
ini setidaknya lebih bernas.
Pada dasarnya, ini semacam rutit-ratit untuk sekadar bernostalgia dan mencari arti
di balik sebuah nama tanah kelahiranku, tana dading. Ini juga semacam flashback
dan catatan kritis bagi generasi muda Manggarai yang kian hari melupakan
identitasnya sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam bahasa menterengnya adalah istilah pengaruh globalisasi.
Bagaimanapun derasnya perkembangan globalisasi, heterogenitas relasi sosial,
akulturasi budaya, identitas ke-Manggarai-an kita tetap dijaga. Namun, saya tidak
meragukan proses yang cukup lama, dari lahir hingga dewasa, yang mendarah
daging, menjadikan kita beradap hingga tak bisa goyah.
Manggarai adalah nama yang terpatri dalam sanubari. Saya teringat pepatah

Latin: Nosce Te Ipsum (kenalilah dirimu). Dan ungkapan bahasa Manggarai: Neka
Oke Kuni Agu Kalo. Kurang lebih dalam versi lain: jangan lupa diri.

@KakiBukit, 18 Desember 2014

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil badan usaha milik daerah terhadap pendapatan asli daerah Kota Tangerang (2003-2009)

19 136 149

Pengaruh model learning cycle 5e terhadap hasil belajar siswa pada konsep sistem ekskresi

11 137 269

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138