PELAKSANAAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA (1)

PELAKSANAAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA – MALAYSIA
PADA MASA ORDE BARU

Disusun oleh :
1. Arief Isdiman Shaleh

(151110053)

2. Ardig Qoniah

(151110049)

3. Nike Yayuk Karmadi

(151110060)

4. Ira Puspita

(151110069)

5. Rr. Vina Mutiara sari


(151110073)

6. M. Aminuddin Fatah

(151110072)

7. Aditya Ramadhani

(151110080)

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
2012
0

BAB I
PENDAHULUAN
A. Abstrak

Indonesia dan Malaysia adalah Negara yang memiliki kedekatan geografis dimana letak
kedua Negara yang saling berdekatan, selain itu juga kedua Negara memiliki hubungan historis
dimana dari abad pertengahan hingga akhir millennium pertama, sebagian besar semenanjung
Malaya (Wilayah Malaysia Barat) berada dibawah pengaruh Kerajaan (Imperium)Sriwijaya. 1Dan
masih banyak kesamaan lainnya yang dimiliki kedua Negara.Jika secara rasional Negara yang
memiliki kesamaan-kesamaan tersebut semestinya bisa berhubungan dengan baik, tapi pada
kenyataannya untuk kasus Indonesia-Malaysia malah justru sebaliknya.
Konflik Indonesia-Malaysia dimulai dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan
Negara Federasi Malaysia masa Orde Lama(era Soekarno) yang kemudian berbuntut pada Politik
Konfrontasi yang berkelanjutan.2 Menghangatnya konflik pada Orde Lama dan munculnya
politik baru Soekarno “Ganyang Malaysia” dari puncak konfrontasi kedua Negara.
Setelah beralihnya masa Orde Lama ke Orde Baru Indonesia mengalami krisis ekonomi
dan membutuhkan dana besar untuk perbaikan yang kemudian mendorong Soeharto untuk
mengubah kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia yang tadinya berkonfrontasi di masa
Soekarno, menjadi membuka dan memperbaiki hubungan dengan Malaysia. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan prinsip politik Indonesia di masa Soekarno yang High
Profile.3Bertolak dari kenyataan inilah kami sangat tertarik untuk menganngkat judul mengenai
“PELAKSANAAN HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA – MALAYSIA PADA MASA
ORDE BARU”.


B. Latar Belakang Masalah
1

Khoridatul Anissa. Malaysia Macan Asia: Ekonomi,Politik,Sosial-Budaya,& Dinamika Hubungannya dengan

Indonesia.Yogyakarta: GARASI, 2009, hal. 17.
2

Syafaruddin Usman & Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran: Dari “Ganyang Malaysia” sampai Konflik Ambalat.

Yogyakarta: Media Pressindo,2009.
3

Sulastomo. Hari-hari yang panjang transisi orde lama ke orde baru: Sebuah memoir.Jakarta: KOMPAS,2008,hal.

194.

1

Indonesia dibawah kepemimpinan Soekarno berpendapat saat masa Perang Dingin, dunia

terbagi antara kekuatan baru yang sedang bangkit, yaitu Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Negara-negara sosialis dan kekuatan progresif di Negara-negara kapitalis berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan lama yang telah mapan. Dengan didasari cara berpikir yang demikian,
Indonesia menentang pembentukan Negara Federasi Malaysia yang diusulkan oleh pemimpin
Malaya Tengku Abdul rahman Putra pada 27 Mei 1961 yang menghendaki agar Semenanjung
Malaya, Singapura, dan jajahan Inggris di Kalimantan Utara, termasuk Brunei digabungkan
dalam satu kerangka politik tunggal (pembentukan Negara Federasi). Karena Indonesia
memandang bakal Negara federasi tersebut sebagai suatu Negara yang tidak mewakili aspirasi
rakyat setempat, tetapi lebih merupakan bentukan asing untuk mempertahankan kepentingan
politik, militer, dan ekonominya di Asia Tenggara mengingat bahwa Malaysia bersekutu dengan
Inggris, dimana itu dapat mengancam stabilitas di kawasan karena pembentukan Negara federasi
tersebut bukan saja kehendak inggris, tetapi juga karena tanpa konsultasi dengan Negara
tetangganya. Yang mana kemudian hal ini menjadi masalah politk konfrontasi IndonesiaMalaysia dan puncaknya menyebabkan

keluarnya Indonesia dari PBB tahun 1965 setelah

Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pertikaian mengenai
pembentukan Negara Federasi pada 1963 inilah titik awal memburuknya hubungan IndonesiaMalaysia yang puncaknya terjadi dalam bentuk pemberontakan G30SPKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal dengan Supersemar yang dikeluarkan
oleh Presiden Soekarno, telah memberikan wewenang kepada Soeharto untuk menjalankan

kekuasaan eksekutif dan menjadi tonggak lahirnya Orde Baru. Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 4/3/1966, tanggal 18 Maret 1966, Letnan Jendral Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/
PBR/Mandataris MPRS, menunjuk Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri dan Hubungan
Ekonomi Luar Negeri ad interim. Dalam upacara memperkenalkan diri didepan Departemen
Luar Negeri, Adam Malik menjelaskan tugas Departemen Luar Negeri dalam Orde Baru yaitu,
'Deplu harus mengembalikan kewibawaan pemerintah Indonesia di mata Internasional setelah
mengalami kerusakan-kerusakan sebagai akibat kebijaksanaan Poltik Luar Negeri di masa
lalu'.4Berdasarkan pidato Adam Malik tersebut, Departemen Luar Negeri memiliki tugas untuk
mengoreksi kebijakan Politik Luar Negeri pada masa Demokrasi Terpimpin. Kebijakan luar
negeri masa Demokrasi Terpimpin telah mengakibatkan Indonesia semakin terisolasi dari dunia
Internasional. Oleh sebab itu, pada masa Menteri Luar Negeri Adam Malik diambil beberapa
4

Pidato Menlu Adam Malik pada upacara memperkenalkan diri tanggal 23 Maret 1966, dikutip dari Panitya

Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri,1971 :299.

2

kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan pada masa Soekarno, seperti menghentikan

konfrontasi dengan Malaysia, putusnya poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang,
memulihkan kembali hubungan dengan negara-negara yang renggang akibat kebijakan politik
Orde Lama. Selama Pemerintahan Soeharto, militer dan Departemen Luar Negeri tidak selalu
mempunyai kesepakatan mengenai masalah Politik Luar Negeri. Salah satunya adalah masalah
penyelesaian konfrontasi Indonesia-Malaysia, pada saat perundingan upaya normalisasi, yang
akan dibahas dalam upaya normalisasi Indonesia-Malaysia.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah di tulis, makalah ini secara khusus akan membahas
permasalahan tentang “Bagaimanakah hubungan Indonesia dengan Malaysia di masa Orde
Baru?”
D. Kerangka Pemikiran
Dinamika hubungan bilateral yang dialami oleh Indonesia dan Malaysia merupak suatu
hal yang menarik untuk dikaji. Dinamika hubungan tersebut seringkali dipengaruhi oleh rejim
yang berkuasa pada masing – masing negara. Seperti misalnya yang terjadi pada saat Soekarno
berkuasa di Indonesia, beliau lebih memilih untuk berkonfrontasi dengan Malaysia untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Namun, hal tersebut akan jauh berbeda bila kita
bandingkan dengan pemerintahan Soeharto yang lebih memilih jalur diplomasi untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul diantara kedua negara ini. Hal itu juga disebabkan
karena adanya perbedaan karakteristik politik luar negeri dan prioritas pembangunan nasional. Di

satu sisi politik luar negeri Soekarno memiliki karakter ‘high profile’ yang lebih mengutamakan
untuk memperoleh posisi yang kuat dalam kancah politik internasional, sedangkan di lain pihak
politik luar negeri Soeharto lebih bersifat ‘low profile’ yang bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji tentang masalah ini. Salah satu
pendekatan yang dapat melengkapi kajian ini, khususnya dalam studi hubungan internasional
adalah pendekatan konstruktivis. Melalui pendekatan ini konflik di kedua negara dipahami dalam
tataran perbedaan pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain yang menjadi sumber bagi
naik turunnya hubungan kedua negara. Lebih konkritnya kedua negara telah mengalami
3

konstruksi identitas yang berbeda satu dengan yang lainnya yang berlangsung terus menerus
hingga sekarang. Pemahaman tentang shared atau collective identity antara kedua negara sudah
semakin senjang bersamaan dengan berjalannya waktu, dan dalam hal ini pemahaman Malaysia
berbeda dengan priode sebelum ini, dimana konsep serumpun misalnya dipahami sebagai salah
satu bagian ‘collective identity‘ kedua negara.
Ada empat variable ‘ideational‘ penting yang berkaitan dengan sumber identitas kolektif
ini, yakni interdependence, common fate, homogeneity, dan self-restraint. Keempat faktor ini
tidak berdiri sendiri dalam membentuk identitas, melainkan secara bersama-sama. Kekuatan dari
identitas kolektif demikian bergantung pada intensitas dari gabungan faktor-faktor ini. Berkaitan

dengan identitas kolektif ini, perlu dibicarakan juga pengetahuan bersama (common knowledge)
dan pengetahuan kolektif yang menjadi sumber inspirasi bagi identitas Malaysia. Salah satu
common knowledge yang berkembang adalah cita-cita tentang ‘Malaysia Boleh‘, ‘New Asia‘ dan
konsep-konsep lain yang menjadi wacana untuk mendorong kesiapan Malaysia untuk bersaing di
dunia global. Malaysia seperti banyak negara lain di era globalisasi tidak bisa terlepas dari
struktur peranan untuk mempersiapkan diri bersaing sebagai agen globalisasi. Pemahaman
tentang aspek identitas terakhir ini yang perlu dikaji untuk melihat bagaimana Malaysia
meletakkan hubungannya dengan Indonesia.

E. Asumsi Dasar
Berdasarkan dinamika yang terus terjadi dalam hubungan Indonesia dan Malaysia,
terlihat bahwa pada masa orde baru rejim yang berkuasa cenderung lebih suka menyelesaikan
konflik dengan cara – cara diplomatik daripada menggunakan konfrontasi. Hal tersebut dapat
diasumsikan sebagai tanda bahwa hubungan bilateral diantara kedua negara tersebut pada masa
orde baru cenderung mengalami penurunan dalam hal konfrontasi. Sebaliknya dorongan
terhadap kerjasama, khususnya dalam bidang ekonomi akan terus berkembang. Sehingga hal
tersebut akan memicu perbaikan hubungan diantara kedua negara setelah bertahun – tahun
mengadakan konfrontasi. Oleh karena itu, dalam makalah yang berjudul pelaksanaan hubungan
bilateral Indonesia-Malaysia di era Orde Baru ini yang sempat memanas dengan adanya berbagai
isu global kontemporer telah membaik.

F. Jangkauan Penelitian
4

Dalam makalah ini kami memilih untuk mengkaji mengenai pelaksanaan hubungan
Indonesia dan Malaysia pada masa orde baru. Sehingga dalam kajiannya makalah ini dimulai
pada tahun 1966 ketika diberikannya mandat Supersemar kepada Soeharto hingga pada tahun
1998 ketika Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden.

BAB II
PEMBAHASAN
Penyelesaian Konfrontasi dan Perbaikan Hubungan Diplomatik Dengan Malaysia
5

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno upaya perundingan untuk menyelesaikan
masalah Indonesia – Malaysia selalu mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik yang berasal dari Malaysia maupun Indonesia. Pertama, politik luar negeri
Indonesia yang cenderung militant dan konfrontatif dalam menanggapi masalah dengan negara
lain. Kedua, Malaysia yang tidak menaati isi perjanjian Manila. Ketiga, perbedaan tafsiran
terhadap gencatan senjata antara Indonesia dengan Malaysia. Keempat, dukungan PKI terhadap
pelaksanaan konfrontasi.

Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto dengan dikeluarkannya Supersemar,
membuka kembali jalan untuk mengadakan normalisasi yang sudah dirintis oleh pimpinan
Angkatan Darat. Pada masa Soeharto kepentingan nasional di bidang ekonomi lebih
diprioritaskan melalui program pembangunan. Berbeda dengan Soekarno yang berjuang
mendapat posisi politik yang signifikan di lingkungan internasional. Soeharto memberikan
penekanan pada kondisi ekonomi dan stabiltas politik domestik. Oleh sebab itu, suatu upaya
untuk mencapi kepentingan nasional diperlukan adanya perubahan dalam strategi diplomasi
dalam interaksi dengan negara lain.
Pada awal Qrde Baru, terciptanya suatu lingkungan regional yang kondusif merupakan
salah satu prioritas Indonesia. Indonesia membutuhkan adanya lingkungan yang relative stabil di
sekelilingnya yang dapat membantu Indonesia berkonsentrasi penuh pada pembangunan
ekonomi. Kondisi tersebut dapat dicapai melalui memperbaiki citra Indonesia di lingkungan Asia
Tenggara yang cenderung dipandang sebagai negara yang berhluan kiri yang radikal. 5Untuk
menciptakan suatu lingkungan regional yang kondusif, diperlukan pula adanya kejasama
regional antara negara – negara di kawasan Asia Tenggara. Kerjasama tersebut terwujud dalam
bentuk ASEAN.Untuk memperat kerjasama regional dalam bentuk ASEAN, maka pertikaian –
pertikaian di Asia Tenggara khususnya pertikaian antara Indonesia dan Malaysia harus
dihentikan.
Proses normalisasi pada mulanya merupakan upaya rintisan rujuk melalui operasi khusus
(dari AD, khususnya operasi khusus dan KOTI). Setelah lahirnya Supersemar, proses normalisasi

diangkat ke permukaan percaturan politik sehingga menjadi lebih terbuka. Pada saat itu
Departemen Luar Negeri dan Adam Malik mulai dilibatkan.6Proses normalisasi Indonesia –
5

S. Soenarko, “Evaluasi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia” dalam Perkembangan
Studi Hubungan Internasioal dan Tantangan Masa Depan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1996). hlm. 101.
6
H. Sulistyo, “Biograf Politik Adam Maliik dari Kiri ke Kanan” dalam Prisma edisi khusus 20
tahun (Jakarta: LP3ES, 1991). hlm. 93-94.

6

Malaysia pada masa Soeharto masih melibatkan pihak asing, seperti Jepang. Jepang yang dari
awal konfrontasi berperan sebagai penengah dalam masalah Malaysia.7
Pihak Malaysia melihat bahwa peralihan kekuasaan ke tangan Soeharto membuka jalan
bagi penyelesaian konfrontasi. Pada bulan Maret 1966, Soeharto mengungumkan bahwa
Indonesia telah “membuka pintu” bagi penyelesaian dengan cara – cara damai dengan
keikutsertaan Malaysia dan Indonesia dalam konferensi Menteri – menteri Asia Tenggara
mengenai pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh Jepang pada tanggal 6 -7 April
1966.8Keikutsertaan Indonesia merupakan tanda kesediaan untuk melakukan penyelesaian
konfrontasi. Namun pada tanggal 16 April, Duta Besar Indonesia untuk Jepang Rukmito
Hendraningrat, mengumumkan bahwa meskipun Indonesia telah “membuka pintu” namun pada
prisnsipnya konfrontasi terhadap Malaysia tidak berubah. Hal itulah yang menjadi penghambat
usaha penyelesaian karena Malaysia merasa curiga pada pihak Indonesia.
Proses normalisasi Indonesia – Malaysia masih melibatkan Jepang, hal ini terbukti ketika
Adam Malik meminta bantuan kepada Shirahata, seorang Konsul Jepang di Surabaya. Beliau
diminta untuk membujuk Malaysia agar bersedia bertemu dengan pihak Indonesia yang diwakili
oleh Adam Malik.Sebab pada awalnya delegasi Indonesia yang terdiri dari Ali Murtopo dan L.B.
Moerdani sempat ditolak oleh Tengku Abdul Rahman, walaupun pada akhirnya dapat
diselesaikan dengan bantuan M. Natsir melalui memo yang dikirimkan pada Tengku abdul
rahman.Pada tanggal 29 April 1966, Tengku Abdul Rahman dan Adam Malik mengadakan
pembicaraan secara rahasia di Bangkok.Hal tersebut diungkapkan Tun Abdul Razak bahwa
Indonesia benar – benar ingin berdamai dengan Malaysia. 9 Pembicaraan rahasia tersebut
diadakan ketika Adam Malik akan mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Filipina
Narsisco Ramos, yang diadakan pada tanggal 30 April 1966. Pertemuan ini diadakan dalam
rangka membuka hubungan persahabatan dan kerjasama antara negara- negara di Asia Tenggara.
Upaya penyelesaian sengketa dilakukan atas bantuan Menteri Luar Negeri Thailand,
Thanat Khoman. Adam Malik dan Narsisco Ramos meminta bantuan Thanat Khoman untuk
mengadakan pertemuan di Bangkok antara pihak – pihak yang bersengketa. Thanat Khoman
kemudian pergi ke Kuala Lumpur pada tanggal 3 Mei 1966 untuk beunding dengan Tengku
7

M. Nishihara, “Peran Penengah Jepang dalam Konfrontasi 1963-1966” dalam Ichimura, S.
dan Koentjaraningrat. (1976). Indonesia, Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai (Jakarta:
Gramedia, 1976).hlm.90.
8
Ibid. hlm. 91.
9
M. Nishihara, “Peran Penengah Jepang dalam Konfrontasi 1963-1966” dalam Ichimura, S.
dan Koentjaraningrat. (1976). Indonesia, Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai (Jakarta:
Gramedia, 1976).hlm.93.

7

Abdul Rahman dan Tun Abdul Razak.10 Kepergian Thanat Khoman ke Malaysia, berhasil
meyakinkan pihak Malaysia untuk berunding kembali dengan Indonesia yang akan
diselenggarakan di Bangkok.
Pada tanggal 20 Mei 1966, kogam mengirimkan delegasi ke Kuala Lumpur yang bersifat
misi muhibah. Hal tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam
melakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia. Pengiriman delegasi ini bukan atas perintah
Menteri Luar Negeri, melainkan atas perintah Soeharto selaku kepala staf Kogam dan
pengemban Supersemar.11Hal ini menunjukkan bahwa upaya penyelesaian konfrontasi bukan
hanya dilakukan oleh Departemen Luara Negeri, melainkan juga pihak militer.Sebab delegasi ini
terdiri dari 20 orang militer yang bertugas untuk bertemu dengan Tun Abdul Razak dan Tengku
Abdul Rahman dalam rangka persiapan perundingan Bangkok.
Perundingan Bangkok, merupakan perundingan formal tingkat pertama para pejabat
Indonesia dan Malaysia untuk membicarakan prinsip – prinsip normalisasi. Perundingan
diadakan pada tanggal 29 Mei sampi 1 Juni 1966, yang dilakukan antara Menteri Luar Negeri
Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak.Isi perjanjian tersebut adalah:
1. Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka
ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
2. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
3. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Kedua Menteri Luar Negeri setuju bahwa hubungan langsung dan berkelanjutan antara kedua
pemerintahan akan terpelihara.12
Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk tidak membicarakan terlebih
dahulu status Sabah dan Serawaksebagai prasyarat normalisasi hubungan Indonesia dengan
Malaysia.Sebelum terjadi kesepakatan, antara pihak Indonesia dan Malaysia timbul perbedaan
mengenai penentuan status Sabah dan Serawak, apakah ditentukan melalui pemilihan umu atau
referendum.Selain itu, masalah pengakuan Federasi Malaysia apakah secara otomatis atau
tidak.13
10

Berita Yudha, “Malik dan Ramos Utus Thanat Khoman ke Kuala Lumpur Untuk Berbitjara
dengan Razak”.4 Mei 1966.
11
H. Mukmin, “TNI dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus dalam Penyelesaian Konfrontasi
Indonesia-Malaysia” (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991). hlm. 132.
12
P. Boyce, “Malaysia and Singapore in International Diplomacy (Documents and
Commentaries). (Sidney: Sidney University, 1968). hlm. 107.
13
H. Mukmin, “TNI dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus dalam Penyelesaian Konfrontasi
Indonesia-Malaysia” (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991). hlm. 135-136.

8

Adam Malik memiliki keinginan untuk segera mengakhiri masalah dengan Malaysia
secepat mungkin.Adam Malik beranggapan bahwa masalah – masalah yang sifatnya mendasar
tidak

perlu

dibicarakan

terlebih

dahulu

di

Bangkok,

karena

dapat

mengganggu

perundingan.Tindakan Adam Malik untuk tidak membicarakan masalah Sabah dan Serawak
mendapat tentangan dari delegasi militer.Militer berpendapat bahwa masalah Sabah dan Serawak
hendaknya dibicarakan dalam perundingan untuk mendapatkan kejelasan dari pihak
Malaysia.Pihak militer menginginkan supaya pengakuan terhadap Malaysia dilakukan sesudah
pemilihan umum bukan sebelumnya.
Selain kekecewaan dari pihak militer, tindakan Adam Malik juga menimbulkan
kemarahan dari Soekarno yang menganggap Adam Malik sebagai priadi yang mudah menyerah
terhadap musuh.Sebab Soekarno pada dasarnya masih memegang prinsip bahwa penyelesaian
konfrontasi harus didasarkan perjanjian Manila.Tugas Adam Malik untuk menyelesaikan
masalah denagn Malaysia akhirnya dialihkan kepada Soeharto, dan diserahkan kembali kepada
Adam Malik sebagai Menteri Luar negeri Indonesia menjelang penandatanganan persetujuan
Jakarta.Soekarno menambahkan (annex) dalam perjanjian Bangkok yang menghendaki agar
Sabah dan Serawak mengadakan pemilihan umum untuk mengetahui keinginan penduduk
setempat sebelum mengakui Malaysia.14
Konferensi Bangkok walaupun masih mengandung beberapa masalah, namun telah
dijadikan landasan bagi adanya persetujuan normalisasi hubungan.Sebagai ketuan delegasi
Malaysia

Tun

Abdul

Razak

menyatakan

bahwa

telah

‘meletakkan

landasan

perdamaian’.15Walaupun di Indonesia hasil konferensi Bangkok menjadi masalah, setelah Adam
Malik bertindak menyetujui pengakuan Malaysia sebelum diadakan pemilihan umum.
Untuk menjaga supaya tidak terjadi ‘perang tafsir’, setelah tugas penyelesaian kasus
Malaysia diberikan kepada Soeharto, maka diadakan kontak – kontak dengan Kuala Lumpur.Hal
tersebut sesuai dengan keputusan sidang Kogam pada tanggal 8 Juni 1966, untuk terus
mengadakan kontak dengan Kuala Lumpur.16Adanya pergantian tugas dari Adam malik kepad
Soeharto dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan dari pihak Malaysia bahwa Indonesia
masih ragu untuk mengakhiri konfrontasi. Selain itu, dikhawatirkan pula dapat menyulitkan

14

Ibid. hlm. 137 dan L. Suryadinata, “Weinstein” dalam Politik Luar Negeri Indonesia di
bawah Soeharto (Jakarta: LP3ES, 1998). hlm. 57.
15
J.A.C. Mackie, “KONFRONTASI, The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 (London: Oxford
University Press, 1974). hlm. 77.
16
Berita Yudha, “Kogam Tugaskan Pak Harto untuk Terus Mengadakan Kontak dengan Kuala
Lumpur”. 11 Juli 1996.

9

kembali proses normalisasi. Sehingga kontak dengan Malaysia harus tetap terjaga, supaya tidak
terjadi kesalahpahaman.
Hubungan Indonesia – Malaysia pada bulan Juli 1966 sudah menunjukkan adanya
kemajuan untuk mengadakan rujuk. Seperti yang dikemukakan Ali Murtopo bahwa “ normalisasi
hubungan dengan Malaysia dan singapura hanya tinggal masalh teknis saja”.17 Proses
normalisasi Indonesia – Malaysia tinggal menunggu waktu saja. Sebab Indonesia maupun
Malaysia sudah menunjukkan jalan menuju normalisasi. Proses normalisasi dipercepat setelah
berhasil terbentuk Kabinet Ampera pada tanggal 25 juli 1966. Soeharto selaku Presidium
menyatakan bahwa “konfrontasi akan berakhir dalam waktu 2 minggu lagi”. 18Setelah Kabinet
Ampera terbentuk, penyelesaian konfrontasi menjadi agenda utama bagi Indonesia.
Masalah Malaysia diupayakan sudah dapat diselesaikan sebelum tanggal 17 Agustus
1966, hal ini seperti yang dikemukakan pada siding Kabinet Ampera.19Sementara perjanjian
perdamaian dengan Malaysia diupayakan dapat ditandatangani pada akhir Agustus.Seperti yang
direncanakan, normalisasi Indonesia dan Malaysia dapat terwujud pada tanggal 11 Agustus 1966
di Jakarta antara Adam Malik dan Tun Abdul Razak yang disebut sebagai Jakarta Accord.
Persetujuan normalisasi mengandung adanya saling pengertian antara Indonesia dan
Malaysia. Pemerintah Malaysia mengabulkan syarat Indonesia yang mengadakan pemilihan
umum untuk menegaskan kembali keinginan rakyat Sabah dan Serawak. Pemerintah Indonesia,
bersedia mengakui dan menerima Malaysia serta mengadakan kerjasama. Sementara hubungan
diplomatik Indonesia tidak segera pulih. Namun kantor – kantor diplomatik tidak resmi di kedua
negara telah dibuka. Hubungan diplomatik Indonesia – Malaysia sepenuhnya dapat dipulihkan
pada bulan Agustus 1967, setelah pemilihan umum di Sabah dan Serawak. Dengan begitu,
berakhirlah ketegangan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia selama 3 tahun.

Kerjasama Bilateral Indonesia – Malaysia Masa Orde Baru
Perubahan yang terjadi dalam politik luar negeri (polugri) pada era Orde Baru tidak dapat
dilepaskan dari pemikiran yang disampaikan Soeharto yang menyangkut dua hal utama, yaitu
menyangkut stabilitas politik keamanan dan pembangunan ekonomi.Pembangunan ekonomi
17

Ibid.
Ibid. “Tidak Usah Hebohkan Hutang Kita Kepada Luar Negeri”. 28 Juli 1966.
19
Ibid. “ Sebelum 17 Agustus Masalah Malaysia Sudah Beres.” 5 Agustus 1966.
18

10

tidak dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri
maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah yang mendasari Soeharto mengambil beberapa
langkah kebijakan polugri, termasuk membangun hubungan yang baik dengan pihak-pihak Barat
dan “good neighbourhood policy” melalui pembentukan ASEAN. Soeharto menyadari bahwa
mengangkat Indonesia dari krisis ekonomi harus menjadi prioritas pemerintahannya.Namun hal
tersebut harus diimbangi dengan membangun sistem politik internal yang stabil serta lingkungan
eksternal yang damai.Perubahan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia ditunjukkan dengan
upaya yang nyata. Diantaranya adalah penyelesaian konfrontasi dan mulai menjalin kerjasama
dengan Malaysia seperti dengan mengadakan Peningkatan kerjasama pertahanan IndonesiaMalaysia dalam bentuk latihan militer bersama seperti KEKAR MALINDO (Malaysia
Indonesia), MALINDO JAYA, ELANG MALINDO, AMAN MALINDO, dan DARSASA.
Perundingan Bilateral antara Indonesia dan Malaysia
Diplomasi memiliki peran yang sangat beragam dan banyak untuk bermain di dalam
hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai telah
dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Dalam menjalankan hubungan antara
masyarakat yang teror ganisasi yaitu diplomasi dengan penerapan metode negosiasi, persuasi,
tukar pikiran dan sebagainya dapat mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan yang sering
tersembunyi di latar belakang. Di dalam dunia yang terdiri dari berbagai negara berdaulat ini dua
faktor yaitu diplomasi dan hukum internasional merupakan paling penting dalam pemeliharaan
perdamaian. Di samping hukum internasional telah memberikan tatanan bagi dunia yang
bagaimanapun anarkis namun bagi pemelihar an perdamaian diplomasi telah selalu memainkan
peran yang vital. Pentingnya diplomasi sebagai pemelihara keseimbangan dan kedamaian tatanan
internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini.
Diplomasi yang digambarkan sebagai “The Politics of International Relations” dalam
sejarahnya terus berkembang sebagai suatu metode yang berhubungan dengan dunia yang keras
dimana berlaku sistem hubungan antar bangsa negara yang kompetitif sifatnya. Negara-negara
saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya, memajukan kepentingan-kepentingan nasional
mereka dan bahkan menguasai negara lain. Persaingan antar negara tersebut terus berlanjut
karena mereka mengejar tujuan masing- masing dan sering satu negara mengejar lebih dari satu
tujuan. Negara dalam mengejar tujuan yang erat berkaitan dengan kepentingan nasionalnya
11

masing-masing, tidak jarang terjadi perbedaan-perbedaan kepentingan bahkan kadang-kadang
terjadi bentrokan-bentrokan kepentingan. Oleh sebab itu, diplomasi berperan untuk
mendamaikan beragamnya kepentingan, paling tidak membuatnya berkesesuaian.Secara umum
diakui bahwa fungsi utama diplomasi adalah melakukan negosiasi, sedangkan ruang lingkup
diplomasi adalah menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan
negara melalui negosiasi yang berhasil.
Efektivitas diplomasi dan atau politik luar negeri tidak terlepas dari pergolakan di dalam
negeri, sebab politik luar negeri pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan politik
domestik.Untuk mencapai hasil yang optimal dalam diplomasi, perlu ada gerakan kuat di dalam
negeri sebagai sebuah sendi dari gerakan diplomasi tersebut. Diplomasi Indonesia secara
prinsipal menganut politik luar negeri bebas dan aktif. Prinsip itu diakui dan dipegang secara
kukuh dan konsisten. Isu yang dihadapi berubah dari waktu ke waktu, sehingga pendekatan
terhadap isu-isu tersebut sering berubah. Dengan demikian prinsip bebas aktif hakekatnya tetap
memberikan peluang pada pemerintah untuk secara kreatif menyikapi berbagai masalah yang
timbul. Isu yang utama pada awal kemerdekaan adalah upaya bangsa Indonesia untuk
mendapatkan pengakuan dari dunia atas kemerdekaan negara dan pada akhirnya pada zaman
Soekarno berhasil mendapat pengukuhan.
Dalam konteks pada masa kini, di era reformasi, tujuan utama tetap sama dan senantiasa
konsisten untuk kepentingan nasional Indonesia hanya saja arah kebijakan luar negeri terfokus
pada kerangka mewujudkan nasionalisme pembangunan, yaitu mewujudkan kesejahteraan
bangsa yang berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Fokus ini bahkan menjadi
sedemikian berarti terutama mengingat sejak tahun 1998 Indonesia mengalami keterpurukan
yang luar biasa dalam berbagai dimensi, serta menjadi penyebab bangsa Indonesia terpuruk pula
dalam konstelasi politik internasional.
Diplomasi Indonesia dan Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, Presiden
Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad menugaskan Menteri Luar Negeri kedua
negara untuk membicarakan prosedur paling tepat dalam membawa masalah tersebut ke
Mahkamah Internasional. Keputusan itu terjadi dalam pertemuan antara Presiden Soeharto
dengan Perdana Menteri Mahathir Mohamad di Kuala Lumpur, Malaysia.Pembicaraan antara
kedua pemimpin negara terjadi dalam suasana sangat bersahabat, ramah, dan terbuka.
Pada pemikiran tradisional yang dikemukakan oleh Martin Wright, diplomasi yang
dijalankan oleh Indonesia dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan
12

Malaysia berprinsip kepada pemikiran rasionalis dimana, rasionalis adalah mereka para teoritis
yang yakin bahwa manusia selalu menggunakan akal pikiran, dapat mengenali hal yang benar
untuk dilakukan, dan dapat belajar dari kesalahannya dan dari yang lainnya. Kaum rasionalis
yakin bahwa masyarakat kiranya dapat diatur untuk hidup bersama sekalipun ketika mereka tidak
memiliki pemerintahan bersama, seperti dalam kondisi hubungan internasional yang
anarkis.Rasionalisme pada sisi yang ekstrim adalah dunia sempurna saling menghargai,
perjanjian, dan aturan hukum diantara negara-negara.Dalam hal ini rasionalisme menunjukkan
“jalan tengah” dari politik internasional, memisahkan kaum realis pesimis di satu sisi dari kaum
revolusionis optimis di sisi lain.
Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan masalah lama yang terus
dibicarakan kedua pihak.Perundingan sengketa tersebut dimulai kembali tahun 1991 melalui
pembicaraan di tingkat pejabat tinggi dalam Komite Bersama Indonesia - Malaysia.Namun
pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan di antara kedua pihak.Untuk itu tahun 1994,
kedua pemimpin sepakat mengangkat Wakil Pribadi (Special Representatives) guna
menyelesaikan persoalan tersebut.Dalam hal ini, Presiden Soeharto menunjuk Mensesneg
Moerdiono, sedangkan Perdana Menteri Mahathir Mohamad menunjuk Wakil Perdana Menteri
Anwar Ibrahim yang kemudian mengadakan empat kali pertemuan di Kuala Lumpur dan Jakarta.
Melalui pertemuan terakhir pada tanggal 21 Juni 1996 di Kuala Lumpur, kedua pihak
menandatangani laporan bersama yang diajukan kepada Presiden Soeharto dan Perdana Menteri
Mahathir Mohamad. Pada pertemuan terakhir tersebut, akhirnya kedua negara menyetujui
pertimbangan kedua Wakil Pribadi mereka untuk membawa masalah tersebut ke Mahkamah
Internasional.Keputusan Malaysia untuk membawa sengketa Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah
Internasional dan tidak membawanya melalui penyelesaian di ASEAN, lebih disebabkan oleh
posisi Malaysia yang juga mempunyai masalah serupa dengan anggota ASEAN lainnya.Oleh
karena itu Malaysia memilih jalur Mahkamah Internasional serta Malaysia tidak ingin
mewariskan masalah tersebut kepada generasi mendatang.Namun pada akhirnya Indonesia
menolak dan lebih memilih penyelesaian secara politis
Perundingan yang dilakukan antara Indonesia dan Malaysia tetap mengutamakan
persahabatan kedua negara dalam menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
mengingat Indonesia dan Malaysia adalah sesama anggota ASEAN sesuai dengan norma dan
prinsip yang melandasi kehidupan ASEAN. Pertama, menentang penggunaan kekerasan dan
mengutamakan solusi damai. Kedua, otonomi regional. Ketiga, prinsip tidak mencampuri urusan
13

negara lain. Keempat, menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerjasama
pertahanan bilateral. Permufakatan ASEAN (ASEAN Concord) dan Perjanjian Persahabatan dan
Kerjasama ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation) yang menentukan untuk diperbaikinya
mekanisme atau wahana ASEAN untuk meningkatkan kerjasama politik dan dengan
ditetapkannya enam prinsip dasar untuk kerjasama antara negara-negara di wilayah Asia
Tenggara dimana prinsip untuk menghindari ancaman atau penggunaan kekerasaan itu
merupakan pula dasar fundamental politik luar negeri RI yang bebas dan aktif dalam
menghadapi masalah konflik internasional.

Hambatan – Hambatan Dalam Hubungan Indonesia dan malaysia
Dalam melakukan normalisasi hubungan dengan Malaysia, Indonesia mengalami beberapa
hambatan, antara lain :
a. Walaupun kepemimipinan Soekarno telah digantikan oleh Soeharto, masih ada kalangan
yang menilai bahwa Kebijakan Konfrontasi dengan Malaysia harus tetap dijalankan.
Terlihat saat Duta Besar Indonesia untuk Jepang Rukmito Hendraningrat, mengumumkan
bahwa meskipun Indonesia telah “membuka pintu”, tapi pada prinsipnya konfrontasi
terhadap Malaysia tidak berubah. Hal inilah yang menjadi penghambat usaha
penyelesaian, karena Malaysia merasa curiga dengan pihak Indonesia. Pemerintah yang
pro-Soekarno masih tidak menerima perdamaian dengan Malaysia karena sikap Malaysia
yang abstain dalam pemungutan suara di PBB mengenai masalah Irian Barat (Papua), dan
simpati terhadap PRRI-Permesta.
b. Para pengamat berpendapat bahwa kekeruhan hubungan dua negara bermula ketika Tun
Mahathir Mohamad menggantikan Tun Hussein On menjadi Perdana Menteri pada tahun
1981. Pergantian kepemimpinan di Malaysia telah membawa banyak perubahan internal
di Malaysia, yang kemudian berdampak dalam pelaksanaan politik luar negeri
Malaysia.Politik luar negeri Malaysia terhadap Indonesia yang dimasa Tun Abdul Razak
dan Tun Hussein On berlandaskan “Vision Serumpun” dengan memposisikan diri
sebagai “Self Induced Subordination” yang bagaikan hubungan antara “adik dan
abang” diketepikan.Hal itu terjadi karena berbagai kemajuan dalam bidang ekonomi
yang dicapai Malaysia di masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad pada tahun 1980an dan 1990-an.
14

c. Kemajuan dalam bidang ekonomi Malaysia pada tahun 1980-an dan 1990-an, telah
memberi kepercayaan diri yang besar kepada Malaysia untuk memainkan peran yang
besar dan aktif dalam diplomasi internasional. Kampanye tentang perlunya “smart
partnership” atau kerjasama yang cerdas, fairness dan equal serta “Malaysia boleh”
dikumandangkan, yang berarti merubah “status quo” kebijakan politik yang dijalankan
pada masa PM Tun Abdul Razak dan Tun Hussein On.Perubahan politik Malaysia
terhadap Indonesia, tidak banyak dipahami oleh rakyat Indonesia. Kalaupun paham, sulit
menerimanya, sehingga sangat sensitif dan emosional ketika muncul kasus penyiksaan
TKI misalnya, klaim budaya dan lain sebagainya.
d. Ketika terjadi krisis moneter pertengahan 1997, Malaysia dapat melokalisir dan
meminimalisir dampak negatif krisis tersebut terhadap ekonominya, sehingga segera
bangkit dan ekonominya tumbuh kembali dengan baik.

Keadaan ini semakin

menghantarkan Malaysia maju dan meninggalkan Indonesia.

Berbanding dengan

Indonesia, meskipun dari segi saiznya, Malaysia hanya 1/3 daripada Indonesia, tetapi
Malaysia mempunyai perkapita KDNK sebanyak tujuh kali ganda.Sementara Indonesia,
yang dibantu oleh IMF untuk menyembuhkan ekonominya, justeru mengalami krisis
berkepanjangan, tidak saja terjadi krisis politik yang memaksa Presiden Soeharto mundur
sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, tetapi berlanjut dengan krisis ekonomi dan krisis
multi dimensi, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang ini.20

Ditambah pula dengan konflik persengketaan yang terjadi selama orde baru, juga menjadi
faktor yang membuat hubungan Indonesia-Malaysia sering mengalami pasang surut,
a. Sengketa Flor De La Mar
Sengketa lain yang mengancam hubungan Indonesia-malaysia adalah klaim kepemilikan
harta karung dalam bangkai kapal Portugis, Flor de la Mar. kapal ini karam pada tahun
20

Dr. Musni Umar adalah Anggota Eminent Persons Group (EPG) IndonesiaMalaysia.Menyelesaikan PhD di Universiti Kebangsaan Malaysia.Sekarang adalah Sosiolog
dan Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.Paper ini dipresentasikan dalam conference “The Future MalaysiaIndonesia Relations and ASEAN, ” pada 25-26 Juli 2011 di Kuala Lumpur.

15

1512 di lepas pantai Sumatera. Menurut catatan arsip kuno, kapal itu mengangkut emas
dan permata.Semua barang hasil penjarahan pasukan Portugis yang menghancurkan
pelabuhan Malaka tahun 1511.Persoalan muncul tahun 1989.Tahun itu Indonesia
menyetujui permohonan Malaysia menyerahkan barang-barang yang terdapat dalam
kapal.Karena berlarut-larut penyelesaiannya, Malaysia mengancam membawa masalah
ini ke Mahkamah Internasional.21
b. Hukuman Gantung Pelaut Indonesia
Hubungan kembali menghangat dengan peristiwa digantungnya pelaut Bugis, Basri
Masse di Kepayan, kota Kinabalu, 19 Januari 1990. Basri ditangkap karena tersangkut
kasus dadah atau narkotika. Sayangnya, pihak Indonesia baru mengetahui kasus tersebut
lima tahun kemudian, saat Basri mengirim surat pada konsulat Indonesia pada bulan Juni
1988. Saat itu ia tengah menjalani proses kasasi di Mahkamah Agung Malaysia.
c. Batas Laut Selat Malaka
Belum jelasnya batas laut Indonesia-malaysia di Selat Malaka sering kali membawa
petaka nelayan dari kedua negara.Tidak jarang terjadi penangkapan nelayan dengan
alasan melanggar batas laut kedua negara.Selama ini Indonesia dan Malaysia baru
memiliki perjanjian penentuan tapal batas laut dan tapal batas kontinen. Sementara itu,
tapal batas ZEE ( zona ekonomi eksklusif) belum pernah dibicarakan. Pihak Malaysia
berpendirian menyamakan batas ZEE dengan batas laut kontinen.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan antara Indonesia dan Malaysia selalu diwarnai dengan sebuah dinamika.Hal
tersebut juga berlaku pada masa orde baru.Pembangunan ekonomi yang merupakan fokus utama
21

“Percik Kemelut Indonesia-Malaysia”, Kompas tanggal 17 April 2009, hlm. 35.

16

dalam pemerintahan Soeharto menciptakan suatu motivasi terhadap penyelesaian konfrontasi
dengan Malaysia yang sudah terjadi sejak pemerintahan Soekarno.Tuntutan terhadap stabilitas
regional juga mendorong kedua negara tersebut untuk berdamai dengan ukungan dari negara
ketiga seperti Thailand dan Jepang.
Berkaitan dengan kerjasama yang dilakukan pada masa orde baru, pemerintah Indonesia
dan Malaysia lebih sering mengadakan pertemuan bilateral untuk membahas masalah
perbatasan.Hal tersebut dikarenakan ketidakjelasan batas – batas negara yang telah ditentukan
oleh Inggris dan Belanda pada masa penjajahan.Kerjasama tersebut menghasilkan penyelesaian
secara politis terhadap isu – isu yang berkembang dalam hubungan bilateral kedua negara.Selain
peningkatan kerjasama bilateral, kedua negara juga aktif dalam membangun kerjasama dalam
kancah regional.Hal tersebut terbukti dari pembentukan ASEAN (Association of Southeast Asia
Nations) pada tanggal 8 Agustus 1967 melaui deklarasi Bangkok.Selain bentuk – bentuk
kerjasama tersebut Indonesia dan Malaysia juga aktif dalam melakukan kerjasama di bidang
militer, seperti dengan melakukan latihan militer gabungan.Namun, hal tersebut tidak berarti
bahwa hubungan Indonesia – Malaysia berlangsung lancar – lancar saja pada masa orde
baru.Masih terdapat banyak hambatan dalam hubungan diantara Indonesia dan Malaysia.
Kebanyakan hambatan tersebut berasal dari masalah wilayah dan perbandingan pertumbuhan
ekonomi pada dua negara yang bersifat kontradiktif.
B. Saran
Berdasarkan dari kesimpulan tersebut, hubungan Indonesia – Malaysia selau memiliki
permasalahan dari masa ke masa.Berkaitan dengan pelaksanaan hubungan pada masa orde baru,
seringkali penyelesian masalah dilakukan secara politis tanpa menghasilkan ketentuan –
ketentuan yang jelas diantara kedua negara. Hal tersebut dapat menimbulkan ancaman terhadap
hubungan kedua negara di masa depan. Untuk itu, diperlukan komitmen dan aturan yang jelas
dari kedua belah pihak untuk mencegah hal tersebut, sehingga konfrontasi diantara kedua negara
tidak terulang kembali.

17

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Dzulfikriddin, M. 2010. Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa
Mohammad Natsir Dalam Dua Orde Indonesia. Bandung: PT Mizan Publika.

18

Hakiem, Lukman. 2008. 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai Dengan Sejarah. Jakarta:
Penerbit Republika.
Malik, A. 1979.Mengabdi pada Republik Jilid III. Jakarta: Yayasan Idayu.
Mukmin, H.

1991. TNI dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus dalam Penyelesaian

Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
PanitiaPenulisan Sejarah Departemen Luar Negeri.1971. Pidato Menlu Adam Malik pada
Upacara Memperkenalkan Diri Tanggal 23 Maret 1966. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan
Karyawan Deplu.
S., Ichimura dan Koentjaraningrat.1976. Peran Penengah Jepang dalam Konfrontasi 1963-1966
oleh M. Nishihara dalam Indonesia, Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai. Jakarta:
Gramedia.
Soenarko, S. Evaluasi. 1996. Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia dalam Perkembangan
Studi Hubungan Internasioal dan Tantangan Masa Depan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Sulistiyo, H. 1991. "Biografi Politik Adam Malik dari Kiri ke Kanan" dalam Prisma edisi khusus
20 tahun. Jakarta: LP3ES.
Suryadinata, L. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Suharto.Jakarta : LP3ES.
Susilo, Taufik Adi. 2009. Indonesia vs Malaysia Membandingkan Peta Kekuatan Indonesia &
Malaysia. Yogyakarta : Garasi.
Wendt, A. 1999.Social Theory of International Politics.Cambridge University Press.
Wuryandari, Ganewati. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik
Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Surat Kabar :
Berita Yudha. 1966. Malik dan Ramos Utus Thanat Khoman ke Kuala Lumpur Untuk Berbitjara
dengan Razak. 4 Mei 1966.
___________. 1966. Kogam Tugaskan Pak Harto untuk Terus Mengadakan Kontak dengan
Kuala Lumpur. 11 Juli 1966.
___________. 1966. Tidak Usah Hebohkan Hutang Kita Kepada Luar Negeri. 28 Juli 1966.
___________. 1966. Sebelum 17 Agustus Masalah Malaysia Sudah Beres. 5 Agustus 1966.
Kompas. 2009. Percik Kemelut Indonesia-Malaysia. 17 April 2009
19

Internet :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_1966-1998. Diakses pada tanggal 27 November
2011.
Pramodhawardani,

Jaleswari.

“Bara

Dalam

Hubungan

Indonesia-

Malaysia”dalamhttp://metrotvnews.com/read/analisdetail/2010/09/15/75/bara-dalamhubungan. Diakses pada tanggal 28 November 2012.
Umar,

Musni.

“The

Future

Malaysia-Indonesia

Relations

and

ASEAN”

dalamhttp://musniumar.wordpress.com/2011/07/15/dr-musni-umar-masa-depanhubungan-malaysia-indonesia-dan-asean/. Diakses pada tanggal 29 Desember 2012.

20