Jurnal Perkembangan Tentang Anak Korban

Makalah UTS Kapita Selekta Psikologi

Perkembangan Anak dari Orang Tua yang Bercerai:
Subjective Well-Being
Anindya Nur Sasabila
Nim : 1601279251

Abstrak
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang subjective well-being anak yang menjadi korban
perceraian. Menurtu Vandenbos (2007), subjective well-being adalah hasil evaluasi mengenai kualitas hidup dengan
mengakumulasikan dinamika emosi yang ada di dirinya. Individu dengan tingkat subjective well‐being yang tinggi akan merasa
lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan perfomansi kerja yang lebih baik. Selain
itu dalam keadaan yang penuh tekanan, individu dengan tingkat subjective well‐being yang tinggi dapat melakukan adaptasi dan
coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga merasakan kehidupan yang lebih baik (Diener, Biswas‐Diener, &
Tamir, 2004). Namun,ditemukan dalam beberapa penelitian bahwa pada umumnya perceraian akan membawa resiko yang besar
pada anak, baik dari sisi psikologis, kesehatan maupun akademis (Rice & Dolgin, 2002). Dapat disimpulkan bahwa, anak yang
menjadi korban perceraian memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak menunjukkan performa kerja yang baik sehingga
penulis dapat menyimpulkan bahwa anak dari orang tua yang bercerai memiliki subject well-being yang rendah.
Kata kunci : subjective well-being, perceraian, perkembangan anak

1


Makalah UTS Kapita Selekta Psikologi

1. PENDAHULUAN
Pada tahun 2012, kasus perceraian di Indonesia
terhitung mencapai angka 372.577. Kemudian pada
tahun berikutnya yaitu tahun 2013 kasus perceraian
meningkat menjadi 14,6 persen atau sebanyak
324.527 peristiwa [ CITATION Rep14 \l 1033 ].
Peningkatan ini juga terus dirasakan seiring
berjalannya waktu, hal ini tentu saja tidak hanya
membawa dampak buruk ke kedua pasangan namun
ke para anak-anak dari orang tua yang bercerai.
Sebuah
hasil
penelitian
jangka
panjang
Hetherington & Stanley Hagan (dalam Papalia,
Olds & Feldman,2004) menunjukkan bahwa hanya

30% dari perceraian yang dipenuhi percekcokan
yang berdampak baik bagi anak dan 70%
perceraian, termasuk yang hanya memiliki sedikit
konflik akan berdampak lebih baik bagi anak bila
perkawinan dipertahankan, setidaknya sampai
mereka tumbuh besar.

Stevenson & Black, 1995) mengungkapkan bahwa
setelah 6 tahun pasca perceraian orang tuanya anak
akan tumbuh menjadi seseorang yang merasa
kesepian, tidak bahagia, mengalami kecemasan, dan
perasaan tidak aman.
Pada hasil wawancara penelitian yang
dilakukan oleh Dewi & Utami (2008) menunjukkan
bahwa anak merasakan berbagai afek negatif dan
tidak merasakan kepuasan dalam hidupnya akibat
perceraian yang terjadi pada orang tuanya.
Kemudian hasil wawancara tersebut di dukung
dengan adanya beberapa penelitian yang dilakukan
oleh Amato dan Keith (dalam Stevenson & Black,

1995) yang mengungkapkan bahwa individu yang
mempunyai pengalaman perceraian orang tua di
masa kecilnya, memiliki kualitas hidup yang lebih
rendah di masa dewasanya dibanding‐kan dengan
individu yang tidak memiliki pengalaman
perceraian orang tua.

Dari berbagai macam sumber penelitian diatas
Penelitian tersebut menggambarkan bahwa
dapat dikatakan bahwa pengaruh negatif sangat
semakin banyak kasus perceraian yang terjadi,
pekat di rasakan oleh sebagian besar anak-anak
semakin banyak pula anak-anak yang menjadi
korban
perceraian,
dan
fenomena
diatas
korban atas perceraian dan akan berdampak baik
menggambarkan juga bahwa rendahnya rasa

apabila perkawinan tetap dipertahankan. Karena
kebahagiaan yang dimiliki oleh anak-anak korban
yang kita ketahui bahwa dampak dari perceraian
perceraian.
orang tua bisa menghasilkan impact yang sangat
2.
2. KAJIAN PUSTAKA
besar ke perkembangan anak-anak. Contoh negative
dari dampak perceraian orang tua seperti depresi,
Menurtu Vandenbos (2007), subjective wellsulit untuk focus terhadap satu hal tertentu,
being adalah hasil evaluasi mengenai kualitas hidup
kurangnya rasa percaya diri, kurang peraya diri,
dengan mengakumulasikan dinamika emosi yang
dan merasa kesepian.
ada di dirinya. Subjective well-being menunjukkan
kepuasan hidup dan evaluasi terhadap domainHal ini didukung oleh berbagai penelitian yang
domain kehidupan yang penting seperti pekerjaan,
menyebut‐kan bahwa pada umumnya perceraian
kesehatan, dan hubungan. Juga termasuk emosi
akan membawa resiko yang besar pada anak, baik

mereka, seperti keceriaan dan keterlibatan, dan
dari sisi psikologis, kesehatan maupun akademis
pengalaman emosi yang negatif, seperti kemarahan,
(Rice & Dolgin, 2002). McDermot (dalam
kesedihan, dan ketakutan yang sedikit. Dengan kata
Stevenson & Black,1995) mengungkapkan bahwa
lain, kebahagiaan adalah nama yang diberikan
banyak anak yang secara klinis dinyatakan
untuk pikiran dan perasaan yang positif terhadap
mengalami depresi seiring dengan perceraian orang
hidup seseorang (Diener, 2008).
tua mereka. Selain itu Hetherington (dalam
2

Makalah UTS Kapita Selekta Psikologi
Individu dengan tingkat subjective well‐being
yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat
menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta
menunjukkan perfomansi kerja yang lebih baik.
Selain itu dalam keadaan yang penuh tekanan,

individu dengan tingkat subjective well‐being yang
tinggi dapat melakukan adaptasi dan coping yang
lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga
merasakan kehidupan yang lebih baik (Diener,
Biswas‐Diener, & Tamir, 2004).

luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya.
Keempat optimis, orang yang optimis mengenai
masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan
kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya
dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol yang
baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian
dan harapan yang positif tentnag masa depan.
Kelima adalah hubungan positif, hubungan yang
positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial
dan keintiman emosional. Faktor terakhir, makna
dan tujuan hidup, memiliki makna dan tujuan dalam
hidup merupakan factor penting dari subjective
well-being, karena individu akan merasakan
kepuasan maupun kebahagiaan dalam hidupnya.


Subjective well-being terbagi atas dua
komponen , yaitu komponen afektif dan komponen
kognitif (Diener,2008). Komponen Afektif,
komponen afektif subjective well-being adalah
PEMBAHASAN
gambaran pengalaman emosi dari kesenangan, 3.
kegembiraan, dan emosi. Komponen afektif ini
Seperti yang telah dijabarkan dibagian
terbagi atas : Afek Positif. Kombinasi dari hal yang
sebelumnya bahwa individu dengan tingkat
sifatnya dalam hal yang menyenangkan dan afek
subjective well‐being yang tinggi akan merasa lebih
Negatif. Respon negatif yang sebagai reaksi
percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial
terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan dan
dengan lebih baik, serta menunjukkan perfomansi
peristiwa yang dialami. Kemudian komponen kedua
kerja yang lebih baik. Selain itu dalam keadaan
adalah komponen Kognitif, yaitu kepuasan hidup

yang penuh tekanan, individu dengan tingkat
merupakan komponen kognitif dalam Subjective
subjective well‐being yang tinggi dapat melakukan
well-being yang mengacu pada penilaian global
adaptasi dan coping yang lebih efektif terhadap
tentang kualitas hidup dan dapat menilai kondisi
keadaan tersebut sehingga merasakan kehidupan
hidupnya. Mempertimbangkan kondisi dan
yang lebih baik (Diener, Biswas‐Diener, & Tamir,
mengevaluasi kehidupan dari tidak puas hingga
2004). Apabila di analisa dari hasil data penelitian
menjadi atau merasakan puas akan hidup.
yang telah dijabarkan di bagian satu, anak dari
Menurut Compton (2013), subjective well-being
orang tua yang bercerai tidak menunjukkan bahwa
mempengaruhi tinggi rendahnya nilai kebahagiaan
mereka memiliki subjective well-being yang tinggi.
dan kepuasan dalam kehidupan individu,
Di karenakan dalam berbagai penelitian ditemukan
diantaranya: Harga Diri (self-esteem), self-esteem

bahwa anak dari korban perceraian memiliki tingkat
yang positif merupakan variabel yang terpenting
kepercayaan diri yang rendah, sering merasa
dalam Subjective well-being karena evaluasi
depresi, memiliki permasalahan dalam bidang
terhadap diri akan mempengaruhi bagaimana
akademis, merasa kesepian, dan lain-lain.
seseorang menilai kepuasan dalam hidup dan
Dalam kedua komponen yang dimiliki oleh
kebahagiaan yang mereka rasakan. Faktor kedua
subjective well-being menunjukkan bahwa anak
meliput arti kontrol kesadaran, kontrol pribadi
dari orang tua yang bercerai memiliki komponen
merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat
afektif negative, hal ini ditunjukkan pada hasil
memaksimalkan hasil yang bagus dan atau
penelitian yang dilakukan oleh Amato dan Keith
meminimalkan hasil yang jelek. Ketiga, ekstrovert,
(dalam Stevenson & Black, 1995) yang
individu dengan kepribadian ekstrovert (sifat

mengungkapkan bahwa individu yang mempunyai
terbuka) akan tertarik pada hal- hal yang terjadi di
3

Makalah UTS Kapita Selekta Psikologi
pengalaman perceraian orang tua di masa kecilnya,
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah di masa
dewasanya dibanding‐kan dengan individu yang
tidak memiliki pengalaman perceraian orang tua.
Respon negatif yang sebagai reaksi terhadap
kehidupan, kesehatan, keadaan dan peristiwa yang
dialami ditunjukkan oleh anak dari orang tua yang
bercerai.
Selanjutnya pada komponen kognitif subjective
well-being yang berkaitan dengan kepuasan hidup
yang mengacu pada penilaian global tentang
kualitas hidup dan dapat menilai kondisi hidupnya.
Hal ini diilustrasikan dengan mempertimbangkan
kondisi dan mengevaluasi kehidupan dari tidak puas
hingga menjadi atau merasakan puas akan hidup.

Namun, pada anak yang menjadi korban perceraian
komponen ini digambarkan dengan ketidak puasan
hidup yang dimiliki. Dapat dibuktikan dengan
adanya depresi, depresi dapat menunjukkan bahwa
hidupnya tidak memiliki tingkat kepuasan yang
baik. Dan seperti yang ditemukan pada hasil
wawancara penelitian yang dilakukan oleh Dewi &
Utami (2008) yang menunjukkan bahwa anak
merasakan berbagai afek negatif dan tidak
merasakan kepuasan dalam hidupnya akibat
perceraian yang terjadi pada orang tuanya. Dapat
disimpulkan bahwa komponen kognitif yang
dimiliki oleh anak korban perceraian rendah.
4.

PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa perceraian bisa
memberikan banyak dampak negative di dalam
masa perkembangan anak. Hal ini bisa dibuktikan
dengan banyaknya hasil penelitian yang
mengatakan bahwa anak dari orang tua yang
bercerai lebih banyak memiliki permasalahan
seperti depresi, tidak memiliki fokus yang baik,
merasa putus asa, merasa sendirian dan masih
banyak lagi. Semua permasalahan tersebut
menggambarkan bahwa anak dari orang tua yang
bercerai memiliki subjective well-being yang
rendah. Anak dari orang tua yang bercerai

menggambarkan komponen afektif negative dan
menggambarkan komponen kognitif yang rendah.
Sebenarnya dampak negative dari perceraian ini
bisa diminimalisir dengan cara mempertahankan
pernikahan. Keluarga yang harmonis adalah salah
satu jawaban dari permasalahan negative tumbuh
kembang anak. Namun, apabila perceraian sudah
terlanjur terjadi maka langkah yang harus diambil
adalah membiarkan anak tumbuh di dalam
lingkungan orang tua. Menitipkan anak di sanak
saudara bukanlah hal yang tepat untuk solusi
perceraian.
Selanjutnya, disarankan juga para orang tua
untuk menjaga komunikasi yang harus sering
terjalin antara orang tua dan anak. Bagaimanapun
anak adalah bagian dari keluarga, suara yang di
berikan dalam diskusi keluarga membuat para orang
tua mengetahui apa yang dibutuhkan dan diinginkan
oleh anak-anaknya. Hal ini yang terkadang tidak
dilakukan dengan orang tua. Keterbukaan dan
komunikasi bisa meningkatkan kepercayaan diri si
anak, sehingga apabila proses perceraian
berlangsung ada timbulnya kesiapan menerima
perceraian tersebut.
Untuk saran yang bisa disampaikan adalah
melihat kembali faktor apa saja yang
mempengaruhi subject well-being itu sendiri.
Pertama meningkatkan kembali self-esteem si anak,
dengan hal-hal yang bersifat memotivasi anak
dengan mengatahui keperluan dan kebutuhan dari si
anak. Orang tua harus dengan intens melakukan
komunikasi secara langsung dengan anak-anaknya
dan lebih banyak berdiskusi tentang kehidupan
sehari-hari si anak hal ini juga bisa meningkatkan
kontrol pribadi si anak. Selanjutnya, orang tua
diharapkan bisa membimbing dan mengarahkan
masa depan si anak agar tumbuhlah sifat optimis
yang ada. Ajari anak-anak dengan memperkenalkan
tujuan hidup agar si anak lebih termotivasi untuk
meraih cita-citanya agar tetap pada jalan yang
benar. Dengan menjaga komunikasi, motivasi, dan
pengarahan, maka anak dari korban perceraian bisa
4

Makalah UTS Kapita Selekta Psikologi
meminimalisir dampak negative dari hasil
perceraian dan bisa memiliki subjective well-being
yang tinggi.

Daftar Pustaka
Compton, W. (2013 ). Positive Psychology: The Science of Happiness and Flourishing . California : Wadsworth Cengage
Learning.
Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2008). S u b j e c t i v e Well‐Being Anak Dari Orang Tua Yang Bercerai. Jurnal Psikologi , 194212.
Diener, Diener, B., & Tamir . (2004 ). The Psychology of Subjective Well-Being . Academic Research Library , 18.
Diener, E. (2008). Happiness; Unlocking the Mysteries of Psychological Whealth. Malden: Blackwell Publishing.
Papalia , D. E., Olds , S. W., & Feldman , R. D. (2004 ). Human Development . New York: McGRaw-hill.
Republika.com. (2014 , November 14). Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun, ini Datanya. Jakarta , Indonesia .
Rice , F. P., & Dolgin , K. G. (2002 ). The Adolescent: Development, Relationship and The Culture . USA : Allyn & Bacon
Company .
Stevenson , M. R., & Black , K. N. (1995). How Divorce Affect Offspring: A Research Approach . USA : Brown & Benchmark,
Inc.
Vandenbos, G. (2007). American Psychology Association dictionary of Psychology . USA : APA .

5