Hukum Islam di Saudi Arabia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara historis Saudi Arabia dikenal sebagai salah satu negara muslim
terbesar dan dikenal pula sebagai tempat awal mula Islam masuk. Ia juga
merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama
karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat
ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa
dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Karena itu perkembangan hukum
Islam di Saudi Arabia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam
itu sendiri. Membicarakan hukum Islam samalah artinya dengan
membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Sebagaimana
yang

dikatakan

mempelajari

Joseph

Islam


tanpa

Schacht

bahwa

mempelajari

tidak

hukum

mungkin

Islam. 1

Ini

menunjukan bahwa hukum sebagai institusi agama memiliki

kedudukan yang sangat signifkan.
Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab
yakni pada tahun 1750 M, ketika Muhammad bin Sa’ud bersama dengan
Muhammad bin Abdul Wahhab2 bekerja sama untuk memurnikan agama Islam
yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al Sa’ud atau Abdul Aziz Ibnu
Su’ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz yang dulu dikuasai oleh Syarif
Husain dengan Najd. Pada tahun 1902 Abdul Aziz menguasai Riyadh dari
1
Prof.A.Qodri Azizy, Hukum Nasional, Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum,
(Jakarta: Teraju, 2004). h. 33
2
Muhammad ibn Abd al-Wahhab lahir di Uyaynah, Nejd pada tahun 1703 M (1115 H). wafat
tahun 1792 M (1206 H), ayahnya Abd Wahhab, seorang hakim di Uyaynah. Sedangkan kakeknya,
Sulaiman bin Ali, seorang mufti dan penganut mazhab Hambali. Muhammad ibn Abd al-Wahhab
adalah tokoh gerakan Wahabi yang berusaha memurnikan ajaran Islam dengan semboyan kembali
kepada Islam yang asli seperti yang dianut dan dipraktekkan di zaman Nabi, Sahabat serta Tabi’in
sampai abad ketiga hijri. Lihat Prof. Dr.H. Ris’an Rusli, M.A, Pembaharu Pemikiran Modern dalam
Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).h, 2

1


penguasa Al-Rashid, kemudian Al-Ahsa kemudian wilayah nejed antara tahun
1913-1926. Pada tanggal 8 Januari 1926, Abdul Aziz menjadi penguasa wilayah
Najd. Dengan menandatangani perjanjian di Jeddah pada tanggal 20 Mei 1927
Arab Saudi menyatakan kemerdekaannya. Pada tahun 1936 wilayah itu
diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi. Dengan demikian terbentuknya
kerajaan Saudi Arabia, tidak terlepas dari kelahiran gerakan Wahabi sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, (One could not have existed without the
other) Sesuatu tidak dapat terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.
Saudi Arabia merupakan Negara yang menggunakan
sistem pemerintahan berbentuk kerajaan. kepala negaranya adalah
seorang raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi.3 Bahkan UndangUndang Asas yang digunakan sejak tahun 1992 menyatakan bahwa Arab Saudi
merupakan satu kerajaan yang diperintah oleh anak-anak dan cucu cicit Raja
Abdul Aziz al Saud, dan Alqur’an merupakan perlembagaan negara itu, yang
diperintah mengikuti undang-undang Islam (Syari’ah). Pengangkatan Raja tidak
didasarkan pada pemilihan rakyat, karena itu pembentukan partai dan pemilihan
umum dilarang. Sementara itu, Hukum yang digunakan adalah hukum
syariat Islam dengan berdasarkan pada pengamalan ajaran
Islam yang juga didasari oleh pemahaman para sahabat, tabi’in
dan tabi’it tabi’in terhadap Al-Quran dan Hadits.

Selain menggunakan sistem hukum syariat, hukum yang
dilaksanakan pemerintah Saudi juga menerapkan peraturanperaturan serta membangun lembaga-lembaga

menangani

kasus-kasus yang tidak dicakup oleh syariat. Ini dirancang
supaya

sesuai

dengan

prinsip-prinsip

syariat

dan

melengkapinya, bukan malah menggantinya. Hasilnya adalah
3


Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (ajaran, sejarah dan pemikiran), (Jakarta; UI Press
1993), h. 221

2

sebuah

system

hukum

ganda,

yang

keseluruhannya

berdasarkan syariat dan bersifat otonomi yang tidak terlepas
dari syariat. Kemudian Negara Saudi Arabia juga dikenal sebagai

Negara yang menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar
konstitusinya

dengan

Madzhab

Hambali

sebagai

madzhab

Negara. Hal-hal di atas berimplikasi pada penerapan hukum
publik maupun hukum privat di Negara tersebut khususnya
hukum keluarga.
Permasalahan dalam hukum keluarga biasanya tidak lepas
dari

masalah Pembatasan umur perkawinan, Kedudukan wali


nikah, Pencatatan nikah dll. Dari permasalahan hukum keluarga
di atas, masing-masing negara mempunyai pandangan yang
berbeda dalam menetapkan hukumnya. Kondisi adat istiadat
serta dominasi mazhab dan ideologi tertentu seringkali menjadi
latar belakang untuk menentukan suatu peraturan hukum.
Berkenaan dengan permasalahan di atas, makalah ini akan
membahas mengenai hukum keluarga di Saudi Arabia berikut
sistem hukum yang diterapkan di sana.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam makalah ini
penulis akan membahas seputar hukum keluarga di Saudi Arabia dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah terbentuknya Kerajaan Saudi Arabia?
2. Bagaimana Propile Hukum Saudi Arabia?
3. Apa saja materi hukum keluarga di Saudi Arabia?

3

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN SAUDI ARABIA
Saudi Arabia4 sebelumnya dikenal menjadi dua bagian, yakni daerah Hijaz
yang meliputi Pesisir Barat semenanjung Arab yang di dalamnya terdapat kotakota diantaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah serta daerah gurun sampai
pesisir timur semenanjung Arabia yang umumnya dihuni oleh suku-suku lokal
Arab (Badui) dan kabilah-kabilah Arab lainnya.
Pada dasarnya, berdirinya kerajaan Arab Saudi tidak terlepas dari peran
dua tokoh utama yaitu Muhammad ibn al-Alwahhab dan Muhammad ibn Su’ud.
Kedua tokoh inilah yang menjadi pondasi berdirinya kerajaan Arab saudi. Seperti
kerajaan-kerajaan lain sebelumnya, kerajaan Arab Saudi pun mengalami pasangsurut antara masa-masa kejayaan dan kehancuran.

4

Terletak dibagian barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari semenanjung
jazirah arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya memiliki hubungan dengan
kebudayaan-kebuayaan kuno yang telah terbentuk ditimur tengah. Berbatasan disebelah utara dan
timur laut dengan yordania, Kuwait dan Irak. Disebelah selatan berbatasan dengan Republik yaman.
Disebalah timur teluk Arab, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan kesultanan oman disebelah
barat laut merah. Lihat (http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InsectionID=5703. Diakses pada tanggal
15 April 2016.


4

Sejarah modern Saudi Arabia dimulai dari kebangkitan gerakan
Muwahhidun pada pertengahan abad ke-18. Gerakan Muwahhidun5 adalah
sebuah gerakan yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam
seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Gerakan ini didirikan oleh
Muhammad Ibn Abd al-Wahhab dari Najd yang wafat pada tahun 1792. Pada
mulanya Muhammad ibn Abd al-Wahhab memulai dakwahnya di Uyaynah
dengan cara lemah lembut. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia mendapat
tantangan dari masyarakat dan akhirnya dia pindah ke Dira’iah. Tantangan ini
muncul karena ternyata kemudian ia keras dalam melaksanakan dakwahnya yang
telah mengusik keyakinan yang selama ini telah melekat dalam kehidupan umat
Islam.
Keadaan di Dira’iah pada waktu itu tidak menentu. Masyarakat hidup
bersuku-suku dan antara satu suku dengan suku lainnya hidup saling
bermusuhan. Pembunuhan, perampasan, dan perampokan antar suku merupakan
hal biasa, dalam kondisi yang seperti ini, kehadiran Muhammad ibn al-Wahhab
disambut oleh Muhammad ibn Sa’ud, penguasa Dira’iah pada saat itu. Keduanya
berhasil menjalin satu ikatan perjanjian dan sepakat akan mempertahankan

agama yang benar, memerangi bid’ah, serta menyiarkan dakwahnya ke suluruh
Jazirah Arab, dengan lisan terhadap yang menerima dan dengan pedang terhadap
yang menolak.6 Ibn Saud berjanji akan melindungi Muhammad ibn Abd alWahhab dari serangan musuh, sementara Muhammad ibn Abd al-Wahhab akan
membantu Ibn Saud dalam mengembangkan kekuasaannya. Persekutuan antara
visi spiritual dengan ambisi kekuasaan tersebut menghasilkan gerakan religi –

5

Pada prinsipnya Muwahhidun bukanlah gerakan bangsa Arab, Inspirasinya berasal dari aliran
Hambali yang melahirkan tokoh Ibn Taymiah. Walaupun sudah berkurang jumlahnya aliran ini masih
ada di Hijaz, Iraq dan Palestina. Lihat H.A.R Gibb, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 1990).h. 44
6
H.A. Mukti Ali, Aliran-aliran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan, 1995), h.
54

5

politis yang gemilang dengan merebut dan menguasai Arab tengah dan Teluk
persia pada akhir abad ke-18.7

Pada tahun 1802 mereka menyerang Karbela dan menghancurkan kuburan
Husein yang merupakan kiblat golongan syi’ah. Tahun 1803 mereka menduduki
Mekkah dan pada tahun berikutnya mereka memasuki Madinah. Pada tahun 1805
mereka melanjutkan penyerangannya ke Syiria dan Irak, dan meluaskan
wilayahnya mulai dari Palmyra sampai ke Oman.8
Keberhasilan mereka ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Turki
Usmani di Istanbul. Sehingga pada tahun 1813 atas instruksi Sultan Mahmud II
memerintahkan Muhammad Ali, Gubernur Mesir saat itu, untuk mematahkan
gerakan Wahabi. Dengan mengirim satu ekspedisi dibawah pimpinan panglima
Tusun, Putra Muhammad Ali, namun ekspedisi ini dapat dipatahkan oleh
Wahabi. Beberapa tahun kemudian diberangakatkan ekspedisi kedua, dan
Muhammad Ali sendiri turut di dalamnya. Dengan dibantu putranya, Ibrahim
Pasya, ia berhasil memukul mundur kaum Wahabi. Makkah dan Madinah mereka
rebut kembali.9 Peristiwa ini menandai runtuhnya kekuatan keluarga Sa’ud
periode pertama.
Dinasti Sa’ud yang kedua dimulai sejak Turki ibn ‘Abdillah berkuasa di
Riyadh pada tahun 1824.10 Akan tetapi kekuasaan mereka hanya meliputi Jazirah
Arab. Tahun 1834 M Turlki terbunuh dan digantikan oleh Faisal. Setelah Faisal
meninggal, suasana di Jazirah Arab menjadi kacau, para kepala suku Arab
mengambil alih kepemimpinan di daerah-daerah, dan keluarga Faisal terpaksa
mengungsi ke Kuwait. Dengan demikian, kekuasaan Dinasti Ibn Sa’ud berakhir
untuk yang kedua kalinya di Jazirah Arab.11

7

John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.140
Prof. Dr.H. Ris’an Rusli, M.A, Pembaharu Pemikiran Modern dalam Islam (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014).h. 10
9
Ibid,
10
Ibid,
11
Ibid,
8

6

Periode ketiga merupakan periode kebangkitan kembali kerajaan Ibn Sa’ud
dengan bangunnya Abd Aziz ibn Abd Rahman al-Faisal al-Sa’ud dari
pengungsiannya (1880-1993 M). dan pada tahun 1901 berhasil mengembalikan
kejayaan kerajaan para pendahulunya dengan mengusai Riyad yang merupakan
ibu kota bersejarah kerajaan. Pada tahun 1921 ia menjatuhkan dinasti Rasyid, dan
tahun 1924 ia berhasil menguasai Mekkah, sedangkan Madinah dan Jeddah
ditaklukkannya pada akhir tahun 1925. Dengan demikian, seluruh Hijaz kembali
ke tangan Dinasti Sa’ud, dan sesudah itu mereka mengubah bentuk negaranya
menjadi Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah), dan
rajanya yang pertama adalah Abd Aziz.12 Sampai saat ini Saudi Arabia tetap
berbentuk kerajaan, dan paham Wahabi juga tetap kuat di sana.
2.2 PROPIL HUKUM SAUDI ARABIA
Setelah Raja Abd Aziz menyatukan seluruh wilayah yang luas ke dalam
sebuah negara modern yang kuat yang dikenal dengan nama Kerajaan Saudi
Arabia. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351
H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru bagi sejarah kerajaan Saudi Arabia.
Bentuk pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia yaitu kerajaan berkostitusi dengan
kepala Negara Raja dan kepala pemerintahan perdana menteri. Negara Arab
Saudi beribu kota Riyadh. Raja memegang fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Raja juga mempunyai hak istimewa untuk membentuk dan
membubarkan dewan menteri. Calon anggota dewan menteri harus bersumpah
setia kepada raja sebelum diangkat. Kendati dewan menteri sebenarnya
bertanggung jawab atas masalah pemerintahan, Badan ini juga menjadi badan
legislatif. Dengan demikian Saudi Arabia menggunakan sistim pemirintahan
Monarki. Kabinet bersama raja merupakan kekuasaan eksekutif dan regulatif
dalam negara.

12

Ibid,

7

Tahir Mahmood mengkategorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang
menerapkan hukum Islam secara tradisional, dimana hukum Islam tidak beranjak
menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Oleh karena tidak adanya
peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, bukan
berarti Saudi Arabia anti kepada Undang-Undang yang bersifat tertulis. Dengan
demikian, memperjelas persoalan ini berikut penulis mengurai sedikit tentang
sejarah hukum Saudi Arabia.
2.2.1

Sejarah Hukum
Sebagaimana yang telah di uaraikan pada pembahasan

sebelumnya, bahwa hukum yang berlaku di Saudi Arabia
adalah hukum yang berdasarkan Syariat Islam dalam segala
sendi kehidupan. Dengan mazhab Hambali sebagai mazhab
resmi. Pada dasarnya sejarah hukum Islam itu lahir tidak
terlepas dari agama Islam itu sendiri, yaitu sejak masa
kenabian Muhammad Saw. Dan wujud hukum Islam itu
bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi serta praktek atau
sunnah Nabi sendiri.
Berkenaan dengan pemberlakuan hukum keluarga di
dunia Islam, menurut Tahir Mahmood 13 bahwa Negaranegara Islam yang berpenduduk muslim dapat dibedakan
dalam tiga kelompok besar, salah satunya adalah Negara
Saudi Arabia. Negara tersebut termasuk dalam Negaranegara

yang

mengikuti

atau

memberlakukan

hukum

keluarga Islam secara tradisional, dimana hukum keluarga
Islam klasik tradisional diberlakukan menurut mazhab yang
bervariasi sebagai warisan yang bersifat turun-temurun,
Tahir Mahmood. Familiy Law Reform in The Muslim World. (Bombay: The
Indian Law Institute New Delhi. 1972). Hal. 162-163.
13

8

tidak pernah berubah dan tidak pernah pula terkodifkasi
hingga masa sekarang ini. Di Saudi Arabia

konstitusinya

memerintahkan supaya semua legislasi harus merujuk pada
Al-Qur’an dan Sunnah, dalam penerapan hukum termasuk
hukum

keluarga

di

dalamnya.

System

hukum

legal

tradisionalnya merujuk pada aliran mazhab Hanbali.
2.2.2

Status Konstitusional
Saudi Arabia tidak memiliki konstitusi formal. Kebanyakan dasar-

dasar konstitusional kerajaan terhimpun dalam Nizham Majlis al-Wuzara’
(Undang-undang Dewan Menteri). Undang-undang Dewan menteri ini telah
direvisi beberapa kali untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Raja Faisal dari tahun 1959 sampai 1960 berusaha serius untuk menciptakan
sebuah konstitusi baru Saudi Arabia, tetapi belum berhasil. Dalam masa
pemerintahannya (1964-1975), Faisal banyak melakukan perubahan, antara
lain mendirikan Kementerian Kehakiman (wizarah al-‘Adl) pada tahun 1970
sebagai induk kekuasaan yudikatif.
Dalam masa pemerintahan Raja Khalid ibn Abd al-Aziz (19751982) pengganti Faisal juga ada upaya untuk membuat sebuah konstitusi
baru. Melalui berbagai musyawarah, Raja Fahd ibn Abd al-Aziz (19822005) melanjutkan upaya pembaharuan konstitusi. Pada tanggal 27
sya’ban 1412 H, fahd menerbitkan Al-Marsum al-Malaki (titah Raja) No.
A/90 tentang basic Law of Government yang terdiri dari sembilan Bab
dan 83 pasal. Kedelapan bab tersebut adalah mengenai (1) Prinsip-prinsip
umum (2) sistem Pemerintahan, (3) Nilai-nilai masyarakat Saudi, (4)
Prinsip-prinsip ekonomi, (5) Hak dan Kewajiban, (6) Kekuasaan Negara,
(7) Urusan Keuangan, (8) Lembaga Audit, dan (9) Penutup.
Basic Low of Government tak ubahnya sebuah konstitusi. Pada
pasal 1 Bab I menyatakatan:

9

“Kerajaan Saudi Arabia adalah sebuah Negara Islam berdaulat.
Agamanya Islam. Konstitusinya adalah kitab Allah, al-Qur’an alKarim dan sunnah Nabi Muuhammad SAW, bahasa Arab adalah
bahasa kerajaan. Kota Riyad menjadi ibu kota negara”.14

Dengan demikian hirarki perundang-undang Arab Saudi jika
didasarkan pada teori murni Hans Kelsen, maka hukum yang
tertinggi adalah Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedangkan
Hukum Dasar dan Undang-undang adalah peringkat kedua dan
ketiga. Dekrit Raja merupakan peringkat kempat. Ketiga jenis
pertauran perundang-undangan tersebut harus sesuai

dengan

prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Alqur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Perumusan hukum dasar, undang-undang dan dekrit Raja
karena didasarkan pada Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka
semua aturan tersebut dikenal dengan hukum syari’ah. Berdasarkan
peringkat hierarki terebut, maka sumber penggalian hukum Arab
Saudi adalah 1) Wahyu (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah), dan 2)
ijtihad.
2.2.3

Sistem peradilan
Sebelum berdirinya kerajaan Saudi Arabia, di wilayah
ini terdapat tiga jenis peradilan. Pertama di wilayah Hijaz
yang mempunyai sistem yang lebih baik dibanding dengan
wilayah-wilayah lain.15 Kedua di wilayah Najed (sekitar
Riyad)

mengikuti

sistem

tradisional

turun

temurun

berdasarkan tradisi yang berlaku. Sistem ini tidak pernah
mengalami

pembaharuan.

Penyelesaian

sengketa

14
15

Muhammad az-Zuhaili, at-Tanzhim al-Qadha’I fi al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr,
2002), h. 218

10

dilakukan oleh Hakim dan Amir (raja atau keturunan yang
menjadi penguasa) untuk kepentingan pihak-pihak yang
bersengketa.

Ketiga,

di

luar

dua

wilayah

di

atas,

penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan kebiasaan
di kabilah-kabilah tertentu yang lebih bersifat arbritase
(tahkim).16
Setelah kerajaan Saudi Arabia berdiri, ketiga sistem di
atas dihapus berdasarkan titah Raja (al-Marsum al-Malaki)
tanggal 4 Shafar 1346H/1927 M. maka semua peradilan
dirombak menjadi satu sistem.
Pada masa awal berdirinya kerajaan Saudi Arabia,
mula-mula peradilan berhubungan lansung dengan raja.17
Rajalah yang mensupervisi peradilan dan putusan-putusan
penting

diserahkan

kepadanya.

Tetapi

kemudian

ia

mendelegasikan kewenangan ini secara bertahap kepada
hakim-hakim khusus serta membentuk badan-badan yang
dibutuhkan dibawah supervisi Raja. Pengaturan peradilan
menjadi semakin rapih, khususnya ketika raja Faisal
mendirikan Kementerian Kehakiman pada tahun 1962 dan
mengangkat Menteri Kehakiman pada tahun 1970.
Di Saudi Arabia, terdapat sebuah badan yang berwenang membuat
segala peraturan demi ketertiban masyarakat. Beberapa peraturan tertentu
dibuat dengan Dekrit Raja yang bertindak tidak saja sebagai pelaksana
Eksekutif tetapi sekaligus juga pembuat Undang-undang. Seperti yang
terlihat pada pasal 24 titah raja menyatakan bahwa Peradilan di Saudi
Arabia terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu Peradilan
16

Ibid,
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 190
17

11

Segera (al-mahakim al-musta’jilah), Peradilan Syar’iyah
(al-mahakim

asy-syar’iyyah)

dan

Badan

Pengawas

Peradilan (Hay’ah al-Muraqabah al-Qadha’iyyah).18 Sesuai
dengan peraturan baru ini, maka dibentuk tiga peradilan
di Jeddah, Makkah dan Madinah. Sedangkan kota-kota
yang lain mempunyai sistem tersendiri yang juga diatur
dengan peraturan tersendiri.
Peradilan
mempunyai

segera

kewenangan

(al-mamhakim
dalam

bidang

al-mus’jilah)
perdata

dan

pidana. Kewenangan pidana menyangkut kejahatan yang
menimbulkan luka, qishash, pelanggaran ta’zir tertentu
dan hudud. Kewenangan perdata menyangkut masalah
keuangan yang tidak lebih dari 300 riyal dan putusannya
tidak bisa dibanding kecuali putusan yang menyalahi
nushush (teks agama) dan ijma (konsensus ahli hukum
Islam).
Sedangkan pengadilan syar’iah menangani selain
wewenang peradilan segera dalam berbagai bidang sesuai
kompetensinya. Putusan diberikan berdasarkan ijma’.
Sementara perkara pidana berat seperti hukum potong
tangan dan hukuman mati mengharuskan sidang pleno
peradilan.
Sedangkan Badan Pengawas Peradilan (Hay’ah alMuraqabah

al-Qadha’iyyah)

berpusat

di

Makkah

dinamakan juga sebagai Peradilan syari’at Agung (alMahkamah asy-Syar’iyyah al-Qubra) dan terdiri dari tiga
hakim. Ini merupakan peradilan banding untuk peradilan
18

Ibid,

12

yang ada di bawahnya dan sekaligus mengendalikan
administrasi

dan

pengawasan

peradilan.

Selain

itu,

Peradilan Syari’at Agung juga menerbitkan fatwa-fatwa
yang dimintakan kepadanya, mengawasi pendidikan dan
kurikulum pendidikan serta supervisi terhadap lembagalembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.19
2.3 MATERI HUKUM KELUARGA SAUDI ARABIA
Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang Qodhi
mengepalai badan Pengadilan. Kekuasaan seorang Qadhi hanya
terbatas pada persoalan hukum dan peraturan yang dikeluarkan
oleh Syariah. Kalau kasusnya menyangkut pada peraturan yang
diundangkan dengan dekrit Raja, maka yang berhak mengadili
bukan

Qadhi,

melainkan

Gubernur

atau

kepala

daerah

setempat.20
Di

Negara-negara

yang

hukum

perkawinannya

masih

Uncodified Law, sebagaimana telah disinggung di muka, maka
hukum perkawinannya didasarkan pada kitab-kitab fqh mazhab
yang

dianutnya.

perkawinannya
pelaksanaan

Dalam

sesuai

hal

ini

dengan

pernikahan

serta

Saudi

mazhab
hal-hal

Arabia

hukum

Hambali,

lain

yang

yaitu
terkait

dengannya seperti halnya talak dan Rujuk pada umumnya
ditangani oleh para Ulama atau institusi keagamaan setempat
yang

dianggap

berwenang

dalam

menangani

masalah

keagamaan umat Islam.
2.3.1

Perwalian Pernikahan

19

Ibid,
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h. 162
20

13

Mengenai

perwalian

dalam

pernikahan,

kalau

merujuk kepada Mazhab Hambali, maka Wali dalam
mazhab Hambali hukumnya wajib, bahkan pernikahan
dianggap

tidak

sah

tanpa

adanya

wali.

Seorang

perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik
atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang
perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan
yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak.
Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur
pernikahan

yang

akadnya

dilakukan

oleh

pengantin

perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan.21
2.3.2 Usia Pernikahan
Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk
mengatasi masalah ini. Karena di Negara ini tidak di
tetapkannya Undang-Undang mengenai batasan minimal
usia pernikahan, yang diterapkan hanyaah hukum fkih
yang

sebenarnya

yaitu

seseorang

dapat

menikah

kapanpun asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam
madzhab yang dianutnya, dimana mayoritas mereka
bermazhab Imam Hambali.
2.3.3 Poligami
Begitu pula dengan masalah poigami, Saudi Arabia
tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah
ini. Tidak ada batasan atapun tata cara yang khusus
mengenai prosedur yang harusnya dilakukan bagi para
suami yang ingin berpoligami. Poligami diperbolehkan

21

Ibn Qudamah. Al-Kafi Fiqh Ahmad Ibn Hambal Kitab Nikah. (Maktabah Syamilah Vol 2) Juz

3. Hal 9.

14

untuk pria tetapi terbatas pada empat istri pada satu
waktu.
2.3.4

Perceraian
Pria memiliki hak unilateral untuk menceraikan istri

mereka tanpa perlu dasar hukum. Perceraian adalah
efektif dengan segera. Istri bercerai dapat mengklaim
dukungan keuangan untuk jangka waktu empat bulan dan
sepuluh hari sesudahnya. Seorang wanita hanya dapat
memperoleh
suaminya

perceraian

atau

secara

dengan
hukum

persetujuan

dari

suaminya

telah

jika

merugikan dirinya. Dalam praktek, sangat sulit bagi
seorang wanita Saudi untuk mendapatkan perceraian
pengadilan.
2.3.5

Hak asuh anak dan perwalian
Pihak ayah adalah pihak yang memegang hak utama

dalam kasus perceraian. Meskipun begitu, hakim dapat
mempertimbangkan

kebugaran

orang

tua

dalam

pemberian perwalian, apabila seorang ayah yang ditunjuk
untuk menjadi orang tua yang mendapatkan perwalian
anak sedang dalam kondisi yang tidak sehat, maka kakek
dan nenek dari pihak ayah adalah yang diserahi tanggung
jawab atas anak tersebut.
2.3.6

Perjanjian Perkawinan
Dalam Islam, seorang wanita diperbolehkan untuk

mengajukan

syarat

atau

perjanjian

pernikahannnya

selama tidak melanggar ajaran Islam. Dia kemudian
berhak atas suatu "perceraian bersyarat" jika salah satu
dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.

15

Hasil dari perceraian tersebut dianggap fnal dan seorang
suami tidak boleh

kembali kepada istrinya selama tiga

bulan masa 'iddah. Selama waktu ini pasangan dapat
merevisi keputusan mereka dan dapat menghidupkan
kembali

perkawinan

menyelesaikan

mereka

perbedaan

jika

atau

mereka

perselisihan

telah

diantara

mereka.
Semua Ulama sepakat bahwa semua perjanjian dalam
perkawinan

adalah

sah,

dan

pelanggaran

terhadap

perjanjian tersebut berarti membatalkan kesepakatan.
Syekh Abdullah al-Manii, anggota Dewan Ulama Senior
Saudi,

mengatakan

bahwa

seorang

wanita

sah

menceraikan suaminya setelah sang suami melanggar
syarat dalam perjanjian perkawinan mereka yang salah
satu poinnya adalah bahwa suaminya itu tidak akan
menikah

dengan

wanita

lain

selama

mereka

masih

bersama.
2.3.7 Kewarisan
Secara umum, hukum kewarisan Islam pada dasarnya
tetap berlaku dihampir atau bahkan diseluruh dunia Islam.
Baik dunia Islam yang mengatur hukum kewarisannya
dalam

bentuk

undang-undang,

maupun

yang

belum

mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undangundang. Negara Islam atau negara berpenduduk Muslim
yang telah mengundangkan hukum kewarisan, ada yang
menggabungkan hukum kewarisannya dengan undangundang perkawinan dan ada pula yang memisahkannya
dalam bentuk peraturan perundang-undangan tersendiri.

16

Saudi Arabia termasuk ke dalam Negara yang tidak
menjadikan

hukum

kewarisannya

ke

dalam

undang-

undang akan tetapi mereka mengatasi masalah waris
mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.22
Mengenai

warisan

bagi

agama

non

Muslim,

dikalangan Saudi Arabia tidak memperbolehkan penganut
agama lain untuk saling mewarisi. Dengan demikian
seorang yahudi tidak bisa mewarisi orang nasrani, dan
begitu pula sebaliknya.
3.1 Analisis Penerapan Hukum Keluarga Saudi Arabia atas kasus Nikah di bawah
umur
Penggunaan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai hukum yang dipakai untuk
mengatur hukum keluarga oleh Saudi Arabia menyebabkan para hakim, ulama
dan mufti harus lebih banyak mengeluarkan ijtihadnya dikarenakan umumnya
sumber hukum yang mereka miliki. Tidak jarang para ulama tersebut mengalami
perbedaan pendapat mengenai masalah yang sama.
Baik Al-Qur’an maupun as-Sunnah secara konkrit tidak menentukan batas
usia bagi pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Batasan hanya diberikan
berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat
an-Nisa’ ayat 6:

22

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Grapindo
Persada, 2005),h. 195

17

Terjemahnya;
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin,
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”.23
Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah dalam ayat di
atas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan siap menjadi
suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa berjalan sempurna, jika
dia belum mampu mengurus harta kekayaan.
Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqoha dan ahli undangundang sepakat menetapkan, seseorang diminta pertanggungjawaban atas
perbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya setelah cukup
umur (baligh). Baligh berarti sampai atau jelas. Yakni anak-anak yang sudah
sampai pada usia tertentu yang menjadi jelas baginya segala urusan/persoalan
yang dihadapi. Pikirannya telah mampu mempertimbangkan/memperjelas mana
yang baik dan mana yang buruk.24 Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup
seseorang. Tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani
bagi laki-laki dan apabila telah mengeluarkan darah haid bagi orang perempuan.
Ukasyah Athibi dalam bukunya Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya,
menyatakan bahwa seseorang dianggap sudah pantas untuk menikah apabila dia
telah mampu memenuhi syarat-syarat berikut: 1) Kematangan Jasmani 2),
kematangan finansial/keuangan 3), Kematangan Perasaan 4).25
Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam
tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek fisik. Hal ini dapat dilihat dari
pembebanan hukum bagi seseorang (mukallaf). Dalam Ilmu Fiqh, tanda-tanda
baligh atau dewasa ada tiga, yaitu:

23

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegero, 2006), hlm. 62.
M. Abdul Mujieb, et.al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 37.
25
Ukasyah Athibi, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, Jakarta: Gema Insani, 1998, hlm.
351-352.
24

18

1. Menurut ulama’ Hanafiyah genap usia lima belas tahun bagi laki-laki
dan perempuan.
2.

Mimpi keluar sperma (mani) bagi laki-laki.

3.

Haid (menstruasi) bagi perempuan bila sudah berusia sembilan

tahun.26
Dengan demikian, usia pernikahan bagi seorang wanita menjadi penting
artinya bagi kemaslahatan wanita itu sendiri. Diskursus tentang pernikahan
dini sebenarnya bukan hal baru untuk diperbincangkan. Bagi orangorang yang hidup pada awal abad 20 atau sebelumnya, pernikahan
dini adalah sesuatu yang biasa dilakukan, bukan sesuatu yang dinilai
tabu dan tidak penting untuk dimunculkan ke permukaan.
Seiring berkembangnya zaman, image yang berkembang di
masyarakat justru sebaliknya. Arus globlalisasi yang melesat sangat
cepat banyak merubah paradigma berpikir masyarakat secara luas.
Pernikahan di usia yang sangat belia dianggap sebagai sesuatu yang
tabu, karena dipandang sebagai banyak membawa efek negatif
khususnya bagi pihak perempuan. Sekalipun demikian fenomena
pernikahan dini masih banyak dijumpai.

Demikian juga halnya di Saudi Arabia, bahwa isu pernikahan di bawah umur
menjadi perhatian khusus Mohamed al-Isa, Menteri Kehakiman Saudi Arabia,
hingga mengatakan keharusan pemerintah untuk membuat regulasi tentang
perkawinan di bawah umur setelah melihat fenomena seorang pria berusia 47 tahun
menikahi seorang anak perempuan berusia 8 tahun.

Kasus ini sempat ramai di pengadilan Saudi, bahkan sampai ke tingkat
pengadilan banding. Namun hakim yang menangani perkara, hakim Syaikh
Habib al-Habib, lagi-lagi menolak membatalkan pernikahan tersebut, meski
mempelai perempuan masih di bawah umur. Dengan alasan, begitu seorang anak
perempuan sudah mengalami pubertas (menstruasi) dia bisa memutuskan sendiri
26

Salim Bin Smeer Al Hadhrami, Safinatun Najah, terj. Abdul Kadir Aljufri, , (Surabaya: Mutiara
Ilmu Desember 1994), hlm. 3-4.

19

apakah akan melanjutkan pernikahan atau akan mengurus proses perceraian.
Lebih dari itu, Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh, Mufti Saudi Arabia, mengatakan
bahwa menikahkan anak perempuan yang masih berusia 15 tahun atau kurang
tidak melanggar syariah Islam, bahkan menurutnya syariah Islam memberikan
keadilan bagi kaum perempuan.27
Terjadinya pernikahan dini tidak terlepas dari tradisi dan pandangan
masyarakat terhadap pernikahan dan keluarga. Paling tidak terdapat dua alasan
utama terjadinya pernikahan dini, pertama, pernikahan dini sebagai strategi untuk
bertahan secara ekonomi. Kemiskinan adalah salah satu factor utama yang menjadi
tiang pondasi munculnya pernikahan dini. Pernikahan dini meningkat ketika tingkat
kemiskinan juga meningkat. Penyebab kedua adalah untuk melindungi anak
gadisnya. Pernikahan adalah salah satu cara untuk memastikan anak perempuan
mereka terlindungi sebagai sitri, melahirkan anak yang sah dimata hukum dan akan
lebih aman jika memiliki suami yang dapat menjaga mereka secara teratur.
Seorang

Praktisi

hukum

di

Saudi,

Abdul

Rahman

Al-Lahem

mengungkapkan, kasus-kasus pernikahan di bawah umur anak-anak perempuan
Saudi dengan lelaki yang jauh lebih tua, biasanya terjadi karena pertimbangan
masalah finansial.28
Kalau implikasi di atas yang terjadi, maka perlu dilihat kemungkinan lain yang
berkaitan erat dengan tren di atas. Bahwa keberadaan regulasi tentang usia
perkawinan menjadi sebuah hal yang menarik. Karena masalah pernikahan anak
merupakan masalah yang sangat serius dan bahkan menjadi sorotan Komunitas
internasional.

Hal dan sisi yang menarik adalah bahwa bagaimana pengaruhnya terhadap
pendidikan, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap kesehatan
reproduksi, anak yang dilahirkan dan kesehatan psikologi anak. Dalam konteks seperti
ini, posisi dan nasib wanita sebagai korban pernikahan dini dapat lebih memprihatinkan
27

http://www.perisai.net/agama/saudi_bakal_larang_pernikahan_dibawah_umur/
kirim#axzz2BALJ5L7I, Diakses pada tanggal 09 April 2016
28
Ibid

20

dan tragis lagi. Oleh sebab itu, aplikasi hukum keluarga pada masyarakat Saudi

Arabia, banyak menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena
dianggap melanggar nilai-nilai sosial oleh sebagian masyarakat dunia.
Terakhir, realitas atas kasus pernikahan dibawah umur yang terjadi di
Saudi Arabia dapat dijadikan pembanding dalam kajian hukum Keluarga Islam,
bahwa

ketiadaan

regulasi

atas

undang-undang

pernikahan

melahirkan

diskriminasi bagi kaum perempuan secara sosial. Hanya saja seperti yang terlihat
dalam makalah ini, regulasi tentang usia perkawinan di Saudi Arabia berjalan
lamban mengingat perubahan tersebut menyentuh persoalan-persoalan kultural,
yang menurut sejumlah ilmuan sosial, sulit untuk berubah.

21

BAB III
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Terbentuknya kerajaan Saudi Arabia, tidak terlepas dari peran dua
tokoh utama yaitu Muhammad ibn Abd Wahhab dan Muhammad ibn
Sa’ud, dari persekutuan antara visi spiritual dengan ambisi kekuasaan
telah melahirkan gerakan religi politis yang menghasilkan kesuksesan
gemilang dalam bentuk kekuasaan atas hijaz secara keseluruhan dan
dengan demikian merubah bentuk negara menjadi kerajaan Arab Saudi
(al-Mamlakah al-Arabiayah al-Sa’udiyah) pada akhir tahun 1925.
Dengan raja pertama adalah Abd Aziz.
2. Saudi Arabia adalah salah satu negara di timur tengah dalam bentuk
kerajaan. Dan termasuk dalam negara-negara yang mengikuti dan
memberlakukan hukum keluarga Islam secara tradisional, dimana
hukum keluarga Islam klasik tradisional diberlakukan menurut Mazhab
yang bervariasi sebagai warisan yang bersifat turun temurun, tidak
pernah berubah dan tidak pernah terkodifikasi hingga sekarang. Dalam
hal ini Saudi Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan mazhab
Hambali.
3. Beberapa masalah yang berkaitan dengan hukum keluarga yang ada di
Saudi Arabia adalah: perwalian pernikahan, usia pernikahan, poligami,
perceraian, hak asuh anak dan perwalian serta perjanjian perkawinan.

22

4. Isu pernikahan di bawah umur yang terjadi di Saudi Arabia, banyak
menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena dianggap
melanggar nilai-nilai sosial oleh sebagian masyarakat dunia. Oleh
karena itu, regulasi tentang usia perkawinan menjadi sangat penting
demi kemaslahatan perempuan itu sendiri menyangkut pengaruhnya
terhadap pendidikan, kekerasan terhadap rumah tangga, dampak
terhadap kesehatan reproduksi dan kesehatan psikologi anak.
Terakhir, realitas atas kasus pernikahan dibawah umur yang terjadi di
Saudi Arabia dapat dijadikan pembanding dalam kajian hukum
Keluarga Islam, bahwa ketiadaan regulasi atas undang-undang
pernikahan melahirkan diskriminasi bagi kaum perempuan secara
sosial. Hanya saja regulasi tentang usia perkawinan di Saudi Arabia
berjalan lamban mengingat perubahan tersebut menyentuh persoalanpersoalan kultural, yang menurut sejumlah ilmuan sosial, sulit untuk
berubah.

23

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.A. Mukti Aliran-aliran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan,
1995
Azizy, A.Qodri Hukum Nasional, Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum,
Jakarta: Teraju, 2004
Athibi, Ukasyah, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, Jakarta: Gema Insani, 1998,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegero, 2006
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jakarta, Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997
Al-Hadhrami, Salim Bin Smeer Safinatun Najah, terj. Abdul Kadir Aljufri, Surabaya:
Mutiara Ilmu Desember 1994
Gibb, H.A.R Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990
John L. Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Mahmood,.Tahir Familiy Law Reform in The Muslim World. Bombay:
The Indian Law Institute New Delhi. 1972
Mujieb, M. Abdul, et.al., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Qudamah,.Ibn Al-Kafi Fiqh Ahmad Ibn Hambal Kitab Nikah. (Maktabah Syamilah
Vol 2) Juz 3.
Rusli,,Dr.H. Ris’an Pembaharu Pemikiran Modern dalam Islam Jakarta: Rajawali
Pers, 2014
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (ajaran, sejarah dan pemikiran), Jakarta;
UI Press 1993
Suma, Muhammad Amin Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005
Suma, Muhammad Amin Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT.
Grapindo Persada, 2005
az-Zuhaili, Muhammad at-Tanzhim al-Qadha’I fi al-Fiqh al-Islami Damaskus: Dar
al-Fikr, 2002
(http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InsectionID=5703.
http://www.perisai.net/agama/saudi_bakal_larang_pernikahan_dibawah_umur/
kirim#axzz2BALJ5L7I,

24