Fenomena yang terjadi di tempat pengisia

Fenomena Masyarakat di Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Umum (SPBU)
JUARDI RANGKUTI
(141109086)
Pendahuluan
Stasiun Pengisian Bahan Bakar adalah tempat di mana kendaraan bermotor bisa
memperoleh bahan bakar. Di Indonesia, Stasiun Pengisian Bahan Bakar dikenal dengan
nama SPBU (singkatan dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Namun, masyarakat
juga memiliki sebutan lagi bagi SPBU. Misalnya di kebanyakan daerah, SPBU disebut Pom
Bensin yang adalah singkatan dari Pompa Bensin. Di beberapa daerah di Maluku, SPBU
disebut Stasiun bensin.
Banyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar yang juga menyediakan layanan tambahan.
Misalnya, musholla, pompa angin, toilet dan lain sebaginya. Stasiun Pengisian Bahan Bakar
modern, bisanya dilengkapi pula dengan minimarket dan ATM. Tak heran apabila Stasiun
Bahan Bakar juga menjadi meeting point atau tempat istirahat. Bahkan, ada beberapa Stasiun
Pengisian Bahan Bakar, terutama di jalan tol atau jalan antar kota,juga terdapat restoran fast
food dalam berbagai merek.
Mungkin untuk menghadapi kemungkinan datangnya pesaing, Pertamina akhir-akhir
ini telah meremajakan stasiun-stasiunnya, misalnya dengan perubahan pada penampilan dan
penambahan fasilitas. Selain itu, mereka kini lebih banyak membuka stasiun-stasiun milik
mereka sendiri (bukan dengan sistem waralaba). Stasiun-stasiun tersebut umumnya lebih

besar daripada stasiun-stasiun waralaba.

Fenomena Masyarakat di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
(SPBU) berdasarkan pengamatan
Pengamatan yang dilakukan penulis di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
(SPBU) tepatnya di Lamnyoeng, banyak di temukan fenomena masyarakat yang semraut dan
banyak diantaranya yang menerobos antrian (khususnya pengendara roda dua/motor).
Harusnya pihak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) ini, menyediakan jalur
khusus untuk antrian dan memberikan pelayanan kepada pelanggan tidak dengan asal-asalan
(mohon tidak tersinggung). Pelanggan mendapatkan layanan (hak-hak konsumen) bukan
hanya sekedar mendapat sapaan,misalnya “Selamat pagi, mau isi berapa?”, “Di mulai dari
NOL ya!”. Seperti yang dialami penulis di sebuah SPBU di Banda Aceh tepatnya di
Lamnyoeng,sabtu 30-April-2016 pukul 20.15 p.m petugas (Mar*** inisial petugas) tidak
banyak bicara hanya memperhatikan kendaraan butut yang saat itu di kendarai (Vespa) sambil
menyodorkan selang nozzle ke arah tangki. Kesal rasanya mendapatkan pelayanan seperti itu,
penulis pun menunjukkan jumlah uang ke arah petugas (pertanda jumlah isiian). Apakah
seperti itu seharusnya yang terjadi di sebuah SPBU Pertamina? Tentu saja tidak. Ternyata
selogan yang selama ini kita saksikan di Stasiun TV tidak sepenuhnya dilakukan oleh petugas
di SPBU.


Dalam pandangan penulis, keberadaan SPBU seharusnya di terapkan Nilai-nilai moral
yang berbasis syari’at karena konteksnya Islam (Aceh). Di SPBU tergambar dominasi
kekuasaan para penguasa. Ada hak-hak istimewa yang hanya dimiliki segelintir pihak dan
tidak berlaku bagi masyarakat umum. Meski tidak tertulis, secara faktual siapapun sering
menyaksikan bagaimana dengan santai dan tanpa rasa malu sejumlah oknum dari instansi
tertentu dapat langsung mengisi BBM di SPBU tanpa harus antri. Tak peduli dan kehilangan
empati terhadap masyarakat termasuk pelangsir yang harus antri panjang di bawah tikaman
terik matahari. Orang-orang yang demikianlah yang harus di beri siraman rohani. Kemudian
petugas SPBU tidak menunjukkan cara berpakaian Islami,hal ini dapat dilihat pada petugas
perempuan yang bekerja di tempat tersebut. Seharusnya di Aceh yang memuat hukum
Syari’at Islam sudah semestinya tertera dalam Standart Operasional Perusahaan (SOP)
mengikuti norma Syari’at Islam yang berlaku.
Di Banda Aceh khususnya, sejauh yang penulis amati hak-hak konsumen di SPBU
sebagaimana yang di terapkan oleh Pertamina tidak di jalankan oleh petugasnya seperti
menyapa,tersenyum,dan menunjukkan Nominal angka pengisian. Sebagaimana di atas
penulis menyebutkan hanya sebagai selogan semata. Lain pula dengan tempat pengisian
Bahan Bakar di tempat ini (Pertamini), dengan selogan bernuansa Islami; “Insya Allah Pasti
PAS” yang penulis jumpai di Lampaseh. Berkapasitas ±80 Liter muatan,setiap penyulingan
hanya mampu menampung 5Liter untuk di salurkan langsung ke tangki pelanggan. Kemudian
yang jadi masalahnya disini,jika pelanggan ada yang mengisi bahan bakar Rp.5000 lalu

pemilik Pertamini hanya menakar dengan prakiraan saja. Menurut penulis ini tidak sesuai
dengan selogan yang terpampang di Pertamini tersebut.
Berdalih ke sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina yang
di amati penulis,terjadi lagi fenomena yang menjengkelkan. Seorang pelanggan yang sudah
biasa menyapa petugas, malah keasyikan bicara tanpa menghiraukan antrian panjang di
bawah teriknya matahari. Sebenarnya kejadian yang spontan memicu emosi pelanggan lain
ini,tidak harusnya dilakukan di tempat pengisian bahan bakar yang jumlah antriannya
panjang seperti itu. Terkecuali seperti gambar berikut ini,saat pengambilan gambar tidak ada
pelanggan lain yang mengantri.

Gambar:
[Petugas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sedang melayani pelanggan]

Ada lagi berbagai macam fenomena yang terjadi,contohnya membludaknya para
pelangsir minyak jerigen. Sekelompok pelangsir minyak ini menjadi sorotan mata bagi
pelanggan lainnya. Biasanya per-jerigen,petugas SPBU memungut biaya Rp2000 kepada
orang tersebut. Fenomena ini seolah sudah menjadi tradisi, tak jarang di jumpai di POM
bensin milik masyarakat (Eceran) harga jual kembali BBM tersebut naik Rp700 s/d Rp1000
dari harga Asli di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tersebut untuk mencari
keuntungan. Belum lagi ketika terjadinya kelangkaan BBM, sekelompok pelangsir minyak ini

meraup banyak keuntungan. Sekelompok orang ini bahkan sengaja menimbun BBM untuk di
simpan,dan apabila terjadi kelangkaan Bahan Bakar suatu waktu penimbunan itu akan
kembali di manfaatkan. Ironisnya, banyak dari pelaku penimbunan BBM tersebut adalah
umat Islam. Padahal, jika ditinjau dari hukum Islam maka aksi menimbun BBM tersebut
tergolong jenis perdagangan yang diharamkan. Beberapa dalil yang menjadi dasar
diharamkannya menimbun barang antara lain:
1.
2.
3.

1.
2.
3.

Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Muslim dari Muammar, bahwa Rasulullah SAW
bersabda “Barangsiapa yang menimbun barang, maka ia telah berbuat kesalahan”.
Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Hakim dari Ibnu Umar, Rasululullah SAW bersabda “Orangorang yang mendatangkan barang (untuk langsung dijual dengan harga terjangkau) diberi
rezeki dan penimbun barang akan dilaknat”.
Dalam kitab Jami’, Razin juga menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sejelek-jelek
hamba adalah penimbun barang. Jika ia mendengar harga murah ia tidak senang dan jika

barang menjadi mahal ia sangat gembira”.
Dalam kitab Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq menuliskan kriteria menimbun barang yang
diharamkan adalah:
Menimbun barang lebih dari kebutuhan nafkah diri dan keluarga untuk 1 tahun.
Menimbun barang untuk menanti kenaikan harga sehingga pada saat menjual mendapat harga
yang lebih tinggi.
Menimbun barang pada saat masyarakat sangat membutuhkan barang tersebut.
Dari ketiga kriteria tersebut, maka fenomena menimbun BBM saat ini termasuk dalam
kategori 1 dan 2 sehingga termasuk jenis perdagangan yang haram. Dengan demikian, maka
penghasilan yang diperoleh dari menjual BBM timbunan adalah penghasilan yang haram.
Memang belum ada data kuantitatif berapa banyak orang yang terlibat dalam
perdagangan haram ini. Tapi secara kasat mata kita bisa melihat bahwa jumlahnya tidaklah
kecil. Ketika di gerbang masuk SPBU terpajang pemberitahuan “Premium/Solar Habis”,
dalam jarak beberapa meter saja -bahkan kadang tepat di gerbang SPBU- akan ditemukan
penjual eceran BBM dengan harga yang umumnya lebih mahal. Itu baru yang kelas teri,
belum termasuk pialang-pialang bergengsi bahkan berdasi.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah perilaku menimbun barang ini disebabkan
ketidaktahuan ummat akan syariat, atau malah karena tidak peduli dengan syariat tersebut?
Hipotesis kedua tentunya lebih berbahaya dan menunjukkan keroposnya keimanan ummat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah

bersabda “Bakal datang kepada manusia suatu masa dimana orang tiada peduli akan apa yang
diambilnya, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram”. Merujuk pada hadits tersebut,
memang akan ada masanya ketika orang tidak lagi peduli halal-haram. Namun, sebagai orang
beriman kita harus berusaha agar masa itu tidaklah terjadi di tengah kehidupan kita. Apalagi,
fenomena tersebut menganggu hajat hidup orang banyak.
Melalui tulisan ini, penulis hanya bermaksud menyuarakan opini sendiri. Tanpa ada
maksud untuk merendahkan, mendiskreditkan, atau berbuat kerugiaan kepada orang lain.