Legalisasi Perampasan Tanah Ulayat Anal

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

Mei, 2011

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan :
“Legalisasi Perampasan Tanah Ulayat”
Tim Penyusun

: Harry Kurniawan Chaniago
Naldi Gantika
Nurul Firmansyah

1. Latar Belakang Penyusunan RUU
Lima tahun yang lalu, Indonesia sempat dihebohkan dengan penetapan Perpres No. 36
Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dengan semua pro dan kontra, Perpres tersebut
kemudian mengikat semua pihak yang terkait dalam Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
Pembangunan untuk kepentingan umum. Masalah-masalah yang kemudian timbul hanya
menjadi refleksi bagi pemerintah untuk kemudian kembali mempertegas regulasi tersebut.
Kemudian melalui Amanat Presiden Nomor R-98/Pres/12/2010 (15 Desember), Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono resmi melayangkan usulan kepada DPR untuk membentuk RUU
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang disinyalir menjadi awal inisiatif dari pembahasan
dan perancangan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini. Untuk menindak lanjuti
Amanat Presiden tersebut kemudian DPR RI telah membentuk Pansus yang menggodok RUU
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini. Banyak suara telah dikeluarkan terkait RUU
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini, ada yang setuju dan ada pula yang menolak
keberadaannya dengan alasan masing-masing.
2. Kajian Awal Tentang Hukum dan Sosial yang Berhubungan Dengan RUU
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan

2.1. Kajian Hukum
Di dalam Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini ada
beberapa substansi yang perlu dicermati, antara lain :
 Apa urgensi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan di atur dalam UU ? Karena
mengingat harmonisasi regulasi mengenai agraria yang masih tumpang tindih, dan juga
mengingat kepastian hak atas tanah dan tanah ulayat yang telah diatur dalam UUPA serta
dampak sektoralisme UU SDA/agraria;
1
Perkumpulan Qbar, Padang


Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

Mei, 2011

 Di dalam Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum tidak dijelaskan definisi dari
kepentingan umum dan kriteria mengenai Kepentingan Umum sehingga sangat
berpotensi untuk ditafsirkan dan diberlakukan secara sewenang-wenang bila
pemerintah hendak melakukan pembangunan di atas tanah-tanah rakyat serta
batasan Kepentingan Umum di dalam RUU ini yang masih bias dengan
Kepentingan Privat (swasta) semestinya ruang lingkup RUU ini hanya Kepentingan
Umum karena mengingat politik hukum agraria di Indonesia yang menginginkan adanya
akses yang sebesar-besarnya bagi rakyat dalam memanfaatkan tanah untuk kemakmuran
rakyat bukan swasta;
 RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini hanya mengenal objek tanah privat
atau tanah yang telah bersertifikat BPN, tidak menjelaskan keberadaan tanah komunal
sehingga sangat berpotensi menambah karut-marut konflik agraria di Indonesia, bukannya
menjadi solusi diskursus agraria di Indonesia malahan akan menambah masalah baru;
 Pasal 24 dan 25 tidak mengatur mekanisme keberatan pemilik tanah jika tidak setuju
dalam proyek pembangunan secara demokratis, karena proses keberatan tersebut

kemudian diselesaikan oleh tim kajian dari pemerintah atau pemerintah daerah yang
penetapannya oleh Presiden atau Kepala Daerah dan tidak melibatkan unsur pemilik
tanah serta tidak adanya mekanisme alternatif kesepakatan Pengadaan Tanah melalui
mekanisme lokal (kolektif) dan tidak jelasnya insentif sosial, budaya dan ekonomi bagi
masyarakat adat;
 RUU ini lebih mengakomodasi kepentingan swasta dari pada kepentingan rakyat, hal ini
dapat dilihat dari Pasal 4, 12, dan Pasal 57 yang secara eksplisit mempermudah swasta
dan tidak adanya mekanisme sanksi yang tegas apabila pihak swasta melakukan tindakan
yang dilarang dalam Pasal 57 ayat (1) hanya berupa sanksi administratif pembatalan izin
atau hak atas tanah sehingga RUU ini terindikasi sebagai legalisasi perampasan tanah
rakyat oleh negara dan swasta;
 Mekanisme restitusi dalam RUU ini hanya ganti kerugian menunjukan bahwa RUU
ini tidak bertanggung jawab terhadap kelanjutan dan kelayakan hidup para
korban, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 45 dan dalam Pasal ini mendorong sertifikasi
Tanah Komunal (tanah ulayat) karena objek tanah yang diakui dalam ganti kerugian
adalah objek tanah yang memiliki bukti penguasaan/kepemilikan, bagaimana dengan
objek pengadaan tanah di wilayah hukum adat? Sehingga natinya masyarakat adat
berbondong-bondong mensertifikatkan tanah mereka.

2

Perkumpulan Qbar, Padang

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

Mei, 2011

2.2. Kajian Sosial
Dari analisa hukum di atas, maka ada beberapa kajian sosial yang kemudian timbul dalam
RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini, antara lain :
 Bahwa RUU ini berpotensi menambah orang miskin, menambah jumlah petani tak
bertanah dan menambah jumlah petani gurem di Indonesia serta semakin menyingkirkan
keberadaan masyarakat adat. RUU ini kontra-produktif dengan upaya pemerintah untuk
mengurangi angka kemiskinan. Saat ini, sekitar 85% rumah tangga petani di Indonesia
adalah petani tak bertanah dan petani gurem. Hal ini berbanding terbalik dengan
penguasaan tanah oleh pengusaha perkebunan yang mencapai 7 Juta Hektar, dan
pengusaha HPH/HTI yang mencapai 34 Juta Hektar ( Data dari Serikat Petani Indonesia
tanggal 13 April 2011 ). Artinya dengan RUU ini, maka tanah yang dikuasai oleh
pengusaha jauh lebih banyak lagi dari pada rakyat kecil. Sementara itu tidak ada satupun
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan untuk memberikan tanah kepada rakyat

tak bertanah sehingga terjadi ketimpangan sosial;
 RUU ini tidak menjadi solusi dalam “karut marut” diskursus agraria di Indonesia,
malahan semakin menambah “benang kusut” dalam hukum agraria di Indonesia. Potensi
besar yang nantinya akan terjadi apabila RUU ini tetap disahkan, akan semakin
menambah jumlah konflik agraria dan menjadi masalah baru nantinya. Apalagi
mengingat keberadaan tanah komunal yang sampai sekarang masih menjadi konflik
berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat, tidak terbayangkan apabila nantinya RUU
ini disahkan, dan di Sumatera Barat sendiri sebenarnya sudah ada inisiatif lokal dalam
bentuk Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah
Ulayat dan Pemanfaatannya yang telah mengakui eksistensi masyarakat adat dan
mengatur bagaimana pemanfaatan Tanah Ulayat mereka, walaupun Perda ini masih
debatable namun dengan adanya RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan maka akan
mereduksi regulasi yang telah menjadi inisiatif lokal terutama di Sumatera Barat;
 Reformasi agraria yang selama ini diharapkan menjadi solusi diskursus hukum agraria di
Indonesia sampai sekarang belum menemukan titik terang, kehadiran RUU Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan ini seakan-akan dibuat-buat untuk mempermudah pemegang
modal untuk berinvestasi di tanah-tanah rakyat dengan dalih Pembangunan atau
Kepentingan Umum, padahal ini hanya menjadi Kepentingan segelintir orang saja;
 Tidak adanya kepastian hak ulayat dalam RUU ini karena dalam RUU ini tidak ada
berbicara mengenai status hak ulayat yang nantinya akan berimbas pada regulasi

mengenai tanah ulayat yang telah ada di daerah, misalnya dalam Peraturan Daerah
Provinsi Sumatera Barat No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.

3
Perkumpulan Qbar, Padang

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

3.

Mei, 2011

RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dalam Konteks Sumatera Barat

3.1. Konteks Politik Hukum
Politik hukum Indonesia saat ini sudah mengenal adanya otonomi daerah yang mengenal
azas desentralisasi yang telah menyebutkan bahwa pemerintah pusat telah menyerahkan
kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengurus sendiri rumah tangga daerahnya.
Artinya secara politik hukum sudah ada pendelegasian pembagian tugas dan wewenang

antara pusat dan daerah, sehingga pemerintah daerah tidak boleh diintervensi oleh
pemerintahan pusat walaupun melalui sebuah kebijakan atau Regulasi yang dibuat oleh
pemerintah pusat sehingga keberadaan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini
seolah-olah pemerintah pusat ingin mengambil kembali kewenangannya terhadap daerah dan
sangat besar kemungkinannya bahwa RUU ini menciderai semangat otonomi daerah.
Desentralisasi tidak hanya berarti pembagian kekuasaan (power shraring) tapi juga
bagaimana menciptakan masyarakat yang mandiri dan menjadi aktor dalam mengurus urusan
rumah tangga daerah (Agrawal and Ribot: 1999). Aktor disini seperti pejabat terpilih, NGOs,
kepala daerah, orang berpengaruh, atau Badan Hukum seperti komunitas, perusahaan dan
pengguna lainnya. Menurut Ribot (2002) desentralisasi dibagi menjadi dua yaitu
desentralisasi politik (political decentralization) dan desentralisasi demokrasi (democratic
decentralization) yang berarti kekuasaan dan hak pengelolaan diserahkan kepada yang berhak
yaitu yang mewakili dan bertanggung jawab terhadap masyarakat lokal serta adanya
penekanan terhadap meningkatnya partisipasi bersama dalam proses pengambilan sebuah
kebijakan di daerah. Artinya pemahaman mengenai azas desentralisasi tidak hanya pada
penekanan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah namun lebih kepada bagaimana
terciptanya desentralisasi politik dan desentralisasi demokrasi.
3.2. Konteks Normatif
Ada sebuah azas hukum yang menyatakan bahwa aturan hukum yang lebih khusus
mengenyampingkan aturan hukum yang lebih umum, (lex generale derogat legi speciale).

Keberadaan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini secara hukum nantinya akan
mengenyampingkan Undang-undang yang mengatur hal yang lebih umum, misalnya saja
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Konsekuensi hukum nya adalah RUU ini akan
meniadakan aturan yang telah diatur dalam UU lainnya, ketakutan yang kemudian muncul
adalah akan adanya legalisasi terhadap kepentingan sekelompok orang (Elite dan Investor)
yang kemudian mereduksi kepentingan yang lebih besar (Masyarakat). Padahal sebelum
RUU ini digulirkan, sudah ada Perpres Nomor 36/2005 jo Perpres Nomor 65/2006 tentang
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pertanyaannya
adalah apa urgensi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini diatur dalam UU ?
Dalam konteks lokal misalnya di Sumatera Barat, sudah ada regulasi lokal yang menjadi
inisiatif masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam konteks pemanfaatan lokal yang responsif
dalam Pemanfaatan Tanah Ulayat bagi anggota masyarakat, Kepentingan Umum dan
Kepentingan Investasi (Lihat Pasal 9 dan 10 Perda Povinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun
4
Perkumpulan Qbar, Padang

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

Mei, 2011


2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya), dan dengan adanya RUU Pengadaan
Tanah Untuk Pembangunan akan besar kemungkinan inisiatif lokal itu akan tereduksi dengan
sendirinya, karena RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan mengeneralisasi status tanah,
termasuk Tanah Ulayat. Ada azas hukum yang mengatakan, bahwa aturan hukum yang lebih
tinggi mengenyampingkan aturan hukum yang lebih rendah (lex superior derogat legi
inferiori) artinya keberadaan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini akan
mengenyampingkan keberadaan aturan-aturan yang lebih rendah, termasuk Peraturan di
tingkat daerah, sehingga Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya yang telah ada di Sumatera
Barat dengan sendirinya akan tereduksi.
3.3.

Konteks Sosiologis

Melihat konteks sosiologis di Sumatera Barat sendiri, sebenarnya permasalahan
mengenai Pengadaan Tanah baik untuk pembangunan atau kepentingan investasi melahirkan
berbagai konflik yang terjadi di Sumatera Barat. Konflik tersebut melibatkan masyarakat adat
(nagari) dengan dan atau pemerintah dan pengusaha (pemilik modal). Tercatat, ada 59 kasus
konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah daerah dan swasta dalam pelaksanaan
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Swasta (Data berasal dari catatan Qbar),

dari 59 kasus tersebut, meliputi 44 Nagari, 11 kaum dan 4 suku di Sumatera Barat. Konflik
Pengadaan Tanah ini meliputi 19 kasus pengadaan tanah untuk kepentingan umum (fasilitas
umum) dan 40 kasus pengadaan tanah untuk kepentingan investasi (swasta) dan untuk
kepentingan investasi, 27 kasus pengadaan tanah untuk perkebunan dan 13 kasus pengadaan
tanah untuk pertambangan. Total jumlah perusahaan yang terlibat konflik pengadaan tanah
untuk kepentingan swasta di Sumatera Barat sekitar 25 perusahaan yang tersebar di 9
Kabupaten/Kota. Pemerintahan Daerah di Sumatera Barat yang terlibat konflik pengadaan
Tanah, dari total 19 Kota dan Kabupaten di Sumatera Barat, ada 9 Kota/Kabupaten yang
terlibat konflik pengadaan tanah dengan masyarakat adat, atau sekitar 50% Kabupaten/Kota
di Sumatera Barat terlibat konflik pengadaan tanah dengan masyarakat adat. Kemudian, total
luas wilayah yang berkonflik dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta
adalah 125.957 Ha.
4.

RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dalam Prinsip FPIC

Salah satu mekanisme yang berkembang dalam upaya penguatan hak Masyarakat Adat
atas sumber daya alamnya adalah mekanisme Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (Free Prior
Informed Consent/FPIC). Keberadaan mekanisme dalam kaitannya dengan tanggungjawab
Negara dalam pemenuhan HAM, yang meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to

protect), pemenuhan (to fullfill) hak Masyarakat Adat atas sumber daya alamnya, terhadap
setiap tindakan yang dilakukan pihak luar, Sehingga mekanisme konsolidasi Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan dalam RUU ini harus disesuaikan dengan prinsip FPIC yaitu :

5
Perkumpulan Qbar, Padang

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

Mei, 2011

 Free  keadaan bebas tanpa paksaan, artinya persetujuan diberikan seseorang atau
kelompok orang yang tidak berada di bawah tekanan. Sedangkan dalam RUU ini,
mekanisme penentuan keberatan atas rencana pengadaan tanah untuk pembangunan
dilakukan melalui proses pemerintah atau pemerintah daerah bukan “si korban” lihat
Pasal 24 dan 25 RUU PTuP;
 Prior  keharusan adanya izin dari masyarakat sebelum proyek atau kegiatan tertentu
diizinkan pemerintah. Di dalam RUU PTuP ini masyarakat bukan sebagai pemberi izin
namun sebagai pihak yang harus patuh pada aturan pemerintah, lihat Pasal 5 RUU PTuP
yang menyebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya
tanah untuk pembangunan, tanpa adanya keharusan izin dari masyarakat;
 Informed  informasi yang terbuka, seluas-luasnya dan berimbang mengenai proyek
yang akan dijalankan terutama dampak baik dan buruknya bagi masyarakat. RUU PTuP
ini tidak ada membunyikan tentang adanya jaminan informasi yang terbuka, seluasluasnya dan berimbang tentang proyek yang akan dijalankan kepada masyarakat;
 Consent  persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri. Masyarakat bukanlah sebagai
pemberi persetujuan melainkan pemerintah lah yang menentukan persetujuannya,
sehingga klausula ini sangat berpotensi terhadap penyalahgunaan yang akan dilakukan
oleh pemerintah terutama dalam kepentingan pemerintah dan swasta, yang nantinya akan
berujung pada konflik antara pemilik tanah dengan pemerintah atau swasta.
5. Kesimpulan
Dari analisis awal tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa:
1. Bahwa RUU pengadaan tanah untuk kepentingan untuk pembangunan tersebut “bias”
pemaknaan antara kepentingan umum dengan kepentingan pengadaan tanah untuk
investasi sehingga mendistorsi makna tanah sebagai fungsi sosial dan mengancam hakhak atas tanah dan hak ulayat yang diperuntukkan untuk kepentingan investasi.
2. Bahwa RUU pengadaan tanah untuk pembangunan ini memperkuat kembali sektoralisme
pengaturan sumber daya alam (agraria) dan memperkuat sentralisasi pengurusan tanah ke
pemerintah pusat sehingga kontraproduktif dengan desentralisasi pengurusan tanah.
3. Bahwa RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan ini mengancam hak ulayat yang
merupakan bentuk keberagaman pola “penguasaan tanah” oleh masyarakat hukum adat
yang hidup dan berkembang berdasarkan hukum adat di seluruh wilayah Indonesia atau
dengan kata lain, RUU ini meruduksi fakta pluralism hukum dalam penguasaan tanah
(agraria).

6
Perkumpulan Qbar, Padang

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

Mei, 2011

4. RUU Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan ini tidak menerapkan prinsipprinsip FPIC sebagai standar untuk melihat kualitas negosiasi yang berkeadilan dalam hal
pengadaan tanah antara masyarakat adat dengan pihak ketiga.
5. Dalam konteks sumatera barat, RUU ini mengancam inisiatif-inisiatif penguatan hukum
adat dan hak ulayat dalam kebijakan daerah (Perda Provinsi Sumatera Barat
TentangTanah Ulayat dan Pemanfaatannya) dalam pemanfaatan tanah ulayat, terutama
untuk kepentingan umum dan investasi.
6. Akhirnya, RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan ini secara normatif, sosiologis dan
politis mencoba melegalisasi perampasan tanah ulayat untuk kepentingan investasi dan
kepentingan umum.
6. Rekomendasi
Dari kesimpulan diatas, kita merekomendasikan :
1. Menolak dilanjutkannya penyusunan RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan ini di
DPR RI karena tidak memecahkan masalah-masalah agraria yang ada dan bahkan
melahirkan masalah baru .
2. Konsolidasi gerakana masyarakat sipil dan kelompok masyarakat adat terutama di
sumatera barat untuk melakukan advokasi penolakan RUU Pengadaan tanah untuk
pembangunan ini.
3. Mendorong inisiatif-inisiatif kebijakan daerah yang mencoba mengakui hak ulayat dan
melindungi hukum adat (mekanisme adat) dalam pemanfaatan tanah ulayat.

7
Perkumpulan Qbar, Padang

Analisa Awal Tentang RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan : “Legalisasi Perampasan
Tanah Ulayat”

Mei, 2011

Referensi
Arizona, Yance (2008) Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam; Kajian kritis terhadap
struktur formal perda dan konstruksi hak masyarakat terkait pengelolaan hutan,
HuMa, Jakarta.
Firmansyah, Nurul dan Yance Arizona (2008) Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan :
Kajian atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No.6/2008 Tentang Tanah
Ulayat dan Pemanfaatannya, HuMa dan Qbar, Jakarta.
Kurniawarman dan Rachmadi (2005) Hak Ulayat Atas Tanah Di Sumatera Barat : Jejak dan
agenda untuk era desentralisasi, Yayasan Kemala, WRI, Qbar, Jakarta.
Simarmata, Rikardo (2006) Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia,
Regional Initiative On Indigenous Peoples Rigths and Development, UNDP, Bangkok
Wittayapak, Chusak and Peter Vandergeest, eds (2010) The Politics Of Decentralization
Natural Resource Management in Asia, Mekong Press, Chiang May.

8
Perkumpulan Qbar, Padang

Dokumen yang terkait

Anal isi s K or e sp on d e n si S e d e r h an a d an B e r gan d a P ad a B e n c an a Ala m K li m at ologi s d i P u lau Jaw a

0 27 14

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Analisis Perbedaan Pendapatan dan Efisiensi Biaya Usahatani Kacang Tanah Lahan Kering Sistem Tadah Hujan di Desa Peleyan Kecamatan Kapongan Kabupaten Situbondo

0 5 78

Pengaruh nilai budaya uncetainty avoidance terhadap prilaku inovatif pada wirausahawan suku Minangkabau di Pasar Tanah Abang Jakarta

1 33 112

Persepsi kepala sekolah Dasar Tentang Efektivitas Manajemen Berbasis Sekolah di Kecamatan Tanah Sareal Bogor

1 35 66

Tinjauan Atas Prosedur Penyusunan Laporan Keuangan Dengan Menggunakan Aplikasi Sakpa Pada Instansi Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan Bandung

0 11 1

Sistem Informasi Tahanan Di Rumah Tahanan Negara Tanah Grogot

1 12 70

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Sistem Informasi Pengelolaan Data Base Air Tanah Balai Hidrologi Puslitbang Sumber Daya Air

2 33 55