Dinamika Pengajaran Bahasa Sehari hari u

Dinamika Pengajaran Bahasa Gaul Pada Siswa Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing
(BIPA)

Vidi Sukmayadi
Universitas Pendidikan Indonesia
vidi_owen@yahoo.com

SARIPATI
Pertanyaan mengenai perlunya bahasa sehari-hari atau bahasa gaul diajarkan
pada siswa BIPA acapkali menuai silang pendapat. Sebagian pihak merasa tidak
perlu adanya pengajaran bahasa gaul dikarenakan akan memicu kemerosotan
bahasa dan dianggap tidak sesuai dengan lingkungan berbahasa yang
akademis. Di sisi lain, beberapa pihak juga menyetujui adanya pengajaran
bahasa gaul karena dalam pergaulan di lapangan orang-orang tidak berbicara
seperti buku teks pelajaran. Pengajaran bahasa gaul tidak bisa dilepaskan dari
kenyataan bahwa bahasa gaul adalah bagian dari laras bahasa yang
mempunyai peranan penting di dalam pengunaan bahasa sebagai alat
komunikasi. Tulisan ini akan memaparkan bahwa pengajaran bahasa gaul
secara sistematis dapat membantu mempersiapkan siswa BIPA untuk lebih
percaya diri ketika berinteraksi dengan penutur jati bahasa Indonesia.


Kata kunci: BIPA, Bahasa Gaul, Ragam Bahasa
1. Pendahuluan
Seorang siswa BIPA bertanya kepada saya, “Pak, kenapa di kelas kami diajarkan kata “lelah” tapi
di tempat kos semua bilang “capek”?. Pertanyaan yang serupa mungkin terjadi juga pada pegiat BIPA
yang lain manakala kosakata yang diajarkan ternyata banyak tidak dipakai di lapangan. Bahasa gaul
adalah ragam bahasa yang sulit dilepaskan dari kehidupan berkomunikasi sehari-hari. Namun, acapkali
ragam bahasa terlupakan dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing. Sehingga bukanlah
hal yang aneh jika siswa BIPA sering melakukan kesalahan (yang tidak disengaja) dalam pemakaian
ragam bahasa yang terlihat dari hasil tulisan atau cara mereka berbicara.
Beberapa pemelajar BIPA baik di dalam maupun di luar negeri umumnya belajar bahasa
Indonesia dengan ragam sangat formal. Materi yang ada acapkali lebih ditekankan pada tata bahasa
formal serta bahan ajar yang “ketinggalan zaman”. Situasi tersebut mengakibatkan siswa BIPA
mengalami gegar budaya ketika harus berbicara langsung dengan penutur jati. Mereka seringkali sangat
kebingungan ketika dihadapkan dengan berbagai partikel dan ungkapan dalam bahasa gaul seperti
“dong”, “sih” “sumpeh”, “ngapain?” atau ungkapan yang lebih sulit seperti “keleesss” atau “woles”.
Kebingungan ini mengakibatkan siswa BIPA sulit untuk memilah dan memakai ragam bahasa yang
sesuai. Didasari oleh fenomena tersebut, penulis terdorong untuk mendeskripsikan peranan pengajaran
bahasa gaul sebagai pelengkap keterampilan berbahasa siswa BIPA supaya pada akhir program belajar,
seorang siswa BIPA tak hanya mampu berbahasa secara formal tetapi juga mampu menghadapi
percakapan sehari-hari di lapangan.


2. Perkembangan Bahasa Gaul dalam Pengajaran BIPA
2.1. Pengertian Bahasa Gaul
Bahasa gaul adalah bahasa yang telah digunakan dan telah disepakati oleh kelompok tertentu.
Bahasa gaul umumnya digunakan oleh kaum muda dan dalam situasi yang kurang formal. Harimurti
(2008) juga menjelaskan bahwa Bahasa gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim
digunakan di Jakarta pada tahun 1980-an. Ragam ini semula diperkenalkan oleh generasi muda yang
mengambilnya dari kelompok waria dan masyarakat terpinggir lain. Dengan kata lain, bahasa gaul
artinya “dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah
tertentu untuk pergaulan. Dengan kata lain bahasa Gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonformal,
yang digunakan oleh komunitas tertentu atau di daerah tertentu untuk bergaul atau bersosialisasi
dengan masyarakat setempat.
Perkembangan bahasa gaul di Indonesia berkembang dengan sangat pesat seiring dengan laju
urbanisasi, perangkat komunikasi massa yang kian maju , serta pergeseran kebiasaan berbahasa yang
mengakibatkan bahasa Gaul menjadi bahasa utama dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari di
Indonesia. Berkaitan dengan pengertian tersebut, Partridge (dalam Zarbaliyeva, 2012) berpendapat
bahwa bahasa gaul adalah fenomena yang sejak dahulu dan akan selalu berkembang selama manusia
hidup di muka bumi. Ia menambahkan bahwa kreativitas berbahasa serta ekspresi spontan merupakan
suatu ciri manusia yang dibawa sejak lahir. Lalu beragamnya pengaruh bahasa asing dan daerah yang
masuk ke dalam bahasa Indonesia menambah potensi perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri.

Dalam perkembangannya, bahasa gaul yang merebak di tengah-tengah masyarakat kini kian
berkembang dan hampir sulit untuk mendengar seorang penutur jati bahasa Indonesia berbicara
dengan ragam formal kecuali dalam situasi resmi. Fakta yang juga berkembang di Indonesia adalah
bahwa kosakata dan struktur tata bahasa dalam bahasa gaul acapkali sangat berbeda jauh dengan
bahasa formalnya. Sebagai contoh, untuk bertanya mengenai kesungguhan seseorang, secara formla
kita bisa bertanya dengan ucapan “sungguh?” atau “ Apa Anda Serius”, tetapi dalam bahasa gaul bentuk
ungkapannya dapat menjadi “beneran?”, “seriusan?”, atau “Sumpeh Loh?”. Perbedaan ungkapan yang
sangat jauh seperti ini menjadi masalah yang cukup serius bagi pemelajar BIPA pemula yang belajar di
kelas dan kemudian mencoba berinteraksi di lapangan.
2.2. Silang Pendapat Mengenai Pengajaran Bahasa Gaul
Di dalam perkembangan dunia pengajaran BIPA atau bahasa asing lainnya selalu ada silang
pendapat mengenai perlu tidaknya bahasa Gaul diajarkan kepada siswa didik. Sebagian guru bahasa
asing yang teguh terhadap tata aturan (puritan) memilih untuk tidak mengajarkan bahasa gaul karena
mereka berpendapat bahwa bahasa tersebut tidaklah sesuai dengan kaidah akademis. Mereka khawatir
bahwa bahasa gaul dapat merusak keterampilan berbahasa dari siswa didik. Lalu, dalam beberapa
kasus, bahasa Asing seringkali dipelajari di negara bukan penutur jati seperti belajar bahasa Inggris di
Indonesia atau belajar bahasa Indonesia di Australia. Untuk keadaan seperti ini, seringkali pengajar
bahasa asing bukanlah penutur jati atau mungkin penutur jati yang sudah lama tidak kembali ke tanah
air.
Umumnya, pengajar seperti itu memiliki kosakata bahasa gaul yang terbatas atau lama tidak

diperbarui sehingga yang dapat mereka ajarkan hanyalah bahasa resmi. Akibat dari situasi tersebut
adalah banyaknya siswa pemelajar bahasa asing yang mengalami kesulitan ketika datang ke negara
penutur jati atau kesulitan memahami tayangan televisi berbahasa asing. Berikut adalah sebuah
kebingungan terhadap bahasa gaul di suatu negara; seorang pelajar Indonesia belajar di Australia
diundang oleh rekannya untuk makan malam bersama teman-teman satu angkatannya. Teman dari
Australia berkata pada pelajar Indonesia ini “ I’ll see you tonight mate and bring your own plate”. Sang
pelajar dari Indonesia ini kebingungan karena secara leksikan arti kalimat tersebut adalah “ sampai

jumpa nanti malam kawan, bawalah piringmu sendiri” . Di dalam kebingungannya itu akhirnya sang
pelajar membawa piring sendiri ke acara makan malam yang diadakan oleh kawannya itu. Namun
ternyata kawan-kawannya semua tertawa, karena ternyata maksud dari kalimat “bring your own plate”
artinya tamu diharapkan membawa makanan kecil atau minuman untuk kemudian dinikmati bersama
dengan kawan-kawan dalam acara tersebut.
Contoh di atas menunjukkan bahwa pemahaman bahasa sehari-hari cukup penting dalam
kaitannya dengan bersosialisasi dengan penduduk setempat. Resiko kesalahpahaman dapat dikurangi
dengan memahami budaya sekaligus bahasa yang dipergunakan di tempat tersebut. Pandangan itulah
yang kemudian melatari sebagian lain pengajar bahasa Asing untuk mengajarkan bahasa Gaul kepada
anak didiknya.
2.3. Tanggapan Siswa BIPA Terhadap Pengajaran Bahasa Gaul
Perdebatan mengenai penting atau tidaknya bahasa Gaul sebenarnya dapat dicari jalan

keluarnya. Salah satu jalannya adalah melibatkan siswa BIPA itu sendiri dalam merancang bahan ajar
BIPA. Bagi beberapa lembaga BIPA yang berorientasi pada kebutuhan konsumennya, pendapat siswa
dapat dijadikan acuan tambahan dari kurikulum yang telah ada.
Berkaitan dengan hal tersebut, Penulis telah melakukan wawancara terhadap siswa BIPA di
Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia. Responden dari wawancara ini adalah semua siswa BIPA
tingkat menengah tahun ajaran 2013-2014. Wawancara semi-terstruktur dilakukan terhadap 11 siswa
BIPA dari 6 negara yang berbeda; Australia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam.
Adapun wawancara ini bersifat idiografis sehingga hasilnya hanya berlaku di lingkungan sendiri dan tidak
bertujuan untuk mencari generalisasi. Walaupun begitu, apa yang terjadi dengan wawancara tersebut
dapat memberikan gambaran mengenai pengajaran bahasa gaul dalam program BIPA di salah satu
lembaga pengajaran BIPA.
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis terdapat beberapa poin yang dapat diambil.
Pertama, 98% dari responden menyatakan bahwa pengajaran bahasa gaul penting bagi peningkatan
keterampilan berbahasa mereka. Salah satu alasan yang paling sering muncul adalah bahwa bahasa gaul
di Indonesia merupakan alat komunikasi "utama" dalam pergaulan sehari-hari. sepuluh dari sebelas
siswa menyatakan bahwa mereka memang tidak perlu lancar berbahasa gaul, tetapi mereka sangat
perlu memahami bahasa gaul sehingga memudahkan mereka ketika berinteraksi dengan penutur jati di
luar kelas.
Selain memahami bahasa gaul, mereka juga perlu tahu tentang cara dan situasi penggunaan
bahasa gaul tersebut. Seorang responden asal Thailand memberikan pernyataan sebagai berikut; "tidak

enak kalau bicara dengan guru memakai bahasa gaul, jadi perlu tahu (bahasa gaul) supaya tidak salah
bicara". Untuk itu dalam pengajaran bahasa gaul perlu ditekankan bahwa fokus pengajaran bukan pada
kosakata gaul tetapi pada cara penggunaan, situasi, serta kepada siapa ragam bahasa tersebut boleh
digunakan. Kosakata bahasa gaul dapat dipelajari langsung di lapangan dari teman-teman penutur jadi
para siswa BIPA. Namun seorang guru BIPA perlu memberikan penjelasan mengenai tata aturan
berbahasa atau kapan bahasa gaul tersebut bisa digunakan. Penjelasan tersebut dapat mengurangi
resiko siswa BIPA dari kesalahan penggunaan ragam bahasa ketika turun ke lapangan.
Selain cara pemakaian, semua responden juga memiliki pendapat yang serupa berkaitan
dengan pertanyaan kapan sebaiknya bahasa gaul diperkenalkan oleh gurunya?. Secara ringkas, mereka
menyatakan bahwa sebaiknya bahasa gaul diperkenalkan setelah siswa BIPA cukup memiliki dasar
dalam bahasa Indonesia formal. Jika merujuk ke dalam skala keterampilan dari Common European
Framework of Reference for Language (CEFR), delapan orang responden berpendapat bahwa sebaiknya
bahasa gaul mulai diperkenalkan pada tingkatan B2, sedangkan yang lain berpendapat bahwa bahasa
gaul dapat diperkenalkan ketika siswa BIPA telah mencapai tingkat keterampilan C1. Kedua tingkatan

tersebut memiliki pengertian bahwa seorang siswa BIPA telah mahir berbicara dan mampu berinteraksi
dengan tingkat spontanitas yang baik (Liliana, 2013).
Dari hasil diskusi tersebut, penulis dapat mengambil suatu benang merah bahwa bahasa Gaul
penting untuk diajarkan bukan agar siswa BIPA menjadi mahir, tetapi agar mereka paham. Pemahaman
terhadap bahasa gaul dan penggunaannya dapat membantu siswa BIPA dalam berbicara dengan

penutur jati dalam konteks informal atau sehari-hari. Adapun sebaiknya bahasa gaul diperkenalkan
ketika seorang siswa BIPA telah mencapai tingkat keterampilan memadai atau memiliki dasar
pengetahuan bahasa Indonesia formal yang baik. Dengan begitu siswa BIPA akan mampu memahami
dan juga mampu menggunakan ragam bahasa gaul sesuai dengan situasi dan kondisi.

3. Metode Pengajaran Bahasa Gaul Kepada Siswa BIPA
3.1. Mengenalkan Penggunaan Bahasa Formal dan Informal
Sebelum mengajar bahasa gaul Indonesia, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
memaparkan perbedaan penggunaan bahasa di Indonesia. Mitchell & Myles (2004) memaparkan bahwa
bahasa gaul adalah bahasa dengan komponen budaya. Untuk itu siswa BIPA perlu memahami bahwa di
Indonesia terdapat tiga bahasa yang dapat muncul dalam diskursus sehari-hari. Ketiga bahasa tersebut
adalah bahasa daerah, bahasa informal, dan bahasa Indonesia formal, ketiganya acapkali bercampur
bahkan mendominasi percakapan seorang penutur jati.
Siswa-siswa BIPA diberikan penjelasan mengenai variasi ragam bahasa di Indonesia. Pengajar
juga perlu memaparkan fungsi masing-masing ragam bahasa agar siswa tidak kebingungan. Bahasa
formal tetap menjadi landasan karena bahasa gaul merupakan hasil kreativitas penggunaan bahasa
formal itu sendiri (Homuth & Pippo, 2011).
3.2. Memperkenalkan Struktur Bahasa Gaul Indonesia
Struktur dan tatabahasa dari bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari bahasa formalnya
(bahasa Indonesia), dalam banyak kasus kosakata yang dimilikinya hanya merupakan singkatan dari

bahasa formalnya. Perbedaan utama antara bahasa formal dengan bahasa gaul utamanya adalah dalam
perbedaharaan kata.
Bahasa gaul dapat mulai diperkenalkan dari perubahan struktur, partikel lalu kosakata. Materi
yang diberikan ditekankan pada bahasa gaul yang benar-benar sering dipakai penutur jati tak hanya dari
kalangan muda tetapi juga kalangan umum. Sedangkan materi mengenai kosakata bahasa gaul terkini
merupakan materi yang akan diberikan dalam tingkatan yang lebih lanjut atau sesuai keinginan
pemelajar. Tingkatan lanjut tersebut dikenal juga dengan nama BIPA untuk tujuan khusus.
3.2.1. Penghilangan Huruf
Pemaparan awal yang dapat diberikan kepada siswa BIPA adalah mengenai karakter
bahasa gaul Indonesia. Pertama, penghilangan huruf dalam bahasa gaul Dalam percakapan seharihari beberapa kata berubah bunyi menjadi sengau (nasal) atau bahkan dihilangkan satu huruf seperti
pada kata yang mengandung huruf ‘h’, ‘s’ atau ‘m’. Penjelasan secara singkat dapat di lihat pada
tabel di bawah ini:
Huruf yang dihilangkan
"H" di awal kata

Contoh Kata
Habis, hancur, hati

Setelah Dihilangkan
Abis, ancur, ati


"H" di tengah dan akhir kata
Bohong, Jahit, Jodoh
"M" di awal kata (jarang muncul) Memang
"S" di awal kata
Sudah, Sama, Sampai
Tabel 1. Penghilangan huruf di dalam bahasa gaul.

Bo'ong, Jait, Jodo
Emang
Udah, Ama, Ampei

3.2.2. Abreviasi Bunyi Rangkap atau Diftong
Pemaparan berikutnya, seorang pengajar BIPA dapat menjabarkan mengenai pemendekan dari
bunyi rangkap di dalam bahasa Indonesia. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari diftong seringkali
dipendekan. Beberapa Diftong yang dapat dipendekan adalah sebagai berikut:
Abreviasi Diftong
"ai" menjadi "é"
"au" menjadi "o"
Tabel 2. Abreviasi Bunyi Rangkap


Contoh
Cabai, Cerai, Pakai
Galau, Kalau, Tembakau

Setelah Dipendekan
Cabé, Ceré, Paké
Galo, Kalo, Tembako

Dari beberapa contoh di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tulisan bahasa Indonesia dalam
bentuk formal akan mengalami perubahan pelafalan ketika diucapkan dalam ragam bahasa gaul.
3.2.3. Perubahan Huruf Hidup
Selain perubahan pada bunyi rangkap, beberapa huruf hidup juga akan mengalami perubahan
jika dilafalkan dalam bahasa gaul. Beberapa perubahan tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi singkat di
bawah ini:
Perubahan Huruf Hidup
"U" menjadi "O"
"I" menjadi "é"
"A" menjadi "é" (biasanya terjadi
pada suku kata kedua)

Tabel 3. Perubahan Huruf Hidup

Contoh
Belum, Telur, Saus
Kemarin, Naik, Baik
Datang, Dekat, Benar

Setelah Diubah
Belom, Telor, Saos
Kemarén, Naék, Baék
Daténg, Dekét, Benér

Perlu ditambahkan bahwa walau terjadi perubahan pada sebagian besar kata-kata yang
beranggotakan huruf hidup A,I, dan U, tetap ada beberapa pengecualian terhadap sejumlah kata dan
beberapa istilah serapan asing yang tidak berubah. Untuk mengetahui sejauh mana siswa BIPA
memahami perubahan struktur kata di dalam bahasa gaul, pengajar BIPA dapat memberikan latihan
pemahaman. Bentuk latihan pemahaman dapat dilakukan dengan bentuk latihan berupa paragraf
rumpang,pilihan berganda,atau kartu belajar (flash card)
3.2.4. Memperkenalkan Partikel Bahasa Gaul
Partikel adalah kelas kata yang hanya memiliki arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal.
Makna suatu partikel ditentukan oleh kaitan artikel tersebut dengan kata lain dalam suatu frasa atau
kalimat. Seperti halnya bahasa formal, bahasa gaul pun memiliki sejumlah partikel yang sanagt sering
digunakan oleh penutur jati dalam situasi sehari-hari.
Sih, nih, tuh, dong, merupakan sebagian dari partikel-partikel bahasa gaul yang membuat bahasa
terasa lebih "hidup" dan membumi. Partikel-partikel ini walaupun pendek-pendek namun memiliki arti
yang jauh melebihi jumlah huruf yang menyusunnya. Kebanyakan partikel mampu memberikan
informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia formal (baku).

Partikel bahasa gaul dapat mencerminkan tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana
hati dan ekspresi pembicara, serta situasi pada kalimat tersebut diucapkan.
Partikel-partikel bahasa gaul tersebut dapat diperkenalkan kepada siswa BIPA dengan cara
menjelaskan posisi, fungsi serta contoh di dalam kalimat. Terdapat banyak partikel bahasa gaul
Indonesia, tetapi di bawah ini adalah beberapa contoh pembahasan partikel tersebut yang
diperkenalkan di kelas BIPA;

Tabel 5. Contoh Pengelompokkan Artikel dalam Bahasa Gaul
Partikel-partikel lain seperti Sip, ya, sih, dan lain-lain juga diperkenalkan dengan mekanisme
yang sama. Berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa BIPA yang mengikuti kelas ini, mereka merasa
terbantu dan kian sadar bahwa ternyata bahasa gaul pun memiliki struktur. Salah seorang responden
asal Jepang berpendapat sebagai berikut: " Kalau dijelaskan seperti ini lebih mudah mengerti karena ada
aturan, kalau langsung ngobrol dengan orang Indonesia di jalan biasanya hanya bisa tebak saja."
Responden lain asal Australia juga menyatakan bahwa setidaknya dengan adanya pengelompokkan
fungsi dan penempatan partikel Ia bisa memiliki referensi jika ia ingin mempraktekan bahasa gaulnya.

Dengan kata lain, Sebagai perkenalan awal, materi perubahan kata, imbuhan serta pembahasan partikel
bisa dijadikan langkah awal untuk dipelajari oleh siswa BIPA.
3.2.5.

Metode Lain dalam Pengenalan Bahasa Gaul

Siswa BIPA dapat mempelajari bahasa gaul secara terpandu seperti dijelaskan di atas atau
langsung turun ke lapangan. Walaupun begitu, sebelum turun ke lapangan, seorang pengajar BIPA
sebaiknya menyediakan sumber atau bahan informasi mengenai bahasa Gaul. Selain itu pengajar BIPA
juga diharapkan mampu menyokong siswanya untuk aktif berbicara dengan penutur jati di lapangan
agar mereka dapat belajar secara mandiri .
Instruksi yang jelas di dalam kelas seperti pengenalan kosakata bahasa gaul dan cara
pemakaiannya dapat membantu siswa untuk menambah pembendaharaan kata mereka. Siswa BIPA
juga dapat dianjurkan untuk menulis jurnal atau catatan harian tentang bahasa gaul baru yang
ditemukan. Jurnal tersebut dapat disusun sesuai alfabet atau sesuai situasi pemakaiannya.
Tentu saja bahasa gaul Indonesia sangat mudah ditemukan dalam film, sinetron atau musik.
Berbagai media tersebut dapat digunakan siswa BIPA untuk menambah pembendaharaan kata atau
mencoba melatih pemahaman mereka terhadap bahasa sehari-hari. Pengajar BIPA dapat menggunakan
media film dan musik sebagai studi kasus otentik untuk memperkenalkan kosakata bahasa gaul tertentu
atau guna memberikan penjelasan tentang bagaimana seseorang mengendalikan ragam bahasanya
sesuai dengan situasi yang ada.
Dengan perkembangan teknologi yang ada, seorang siswa BIPA juga dapat didukung untuk
berinteraksi menggunakan media sosial internet. Siswa BIPA dapat diminta untuk mengamati "kicauan"
teman-teman penutur jati mereka. Tak hanya itu, para siswa BIPA juga didorong agar berpartisipasi
dengan menulis setidaknya sekali setiap minggu (tergantung intensitas penggunaan media sosial
masing-masing) menggunakan kosakata bahasa gaul dalam sebagian "kicauan" mereka.
Peranan metode pencelupan (immersion method) memang sangat bermanfaat dalam
perkembangan keterampilan setiap pemelajar bahasa asing. Kamus bahasa gaul memang ada, tetapi
acapkali cepat tertinggal zaman karena perkembangan bahasa gaul sangatlah cepat dan dinamis di
setiap tahunnya (Burke, 1991). Untuk itu, siswa BIPA perlu untuk sering turun dan mengalami sendiri
interaksi bahasa dan budaya.
Namun sebaiknya pengajar BIPA juga mampu memilah kapan materi bahasa gaul disampaikan.
Fokus utama pengajar BIPA dalam mengenalkan bahasa gaul adalah memandu siswa BIPA agar mampu
memilah dan menggunakan ragam bahasa formal dan informal. karena pada hakikatnya Bahasa gaul
diajarkan sebagai pengayaan dari bahasa formal supaya mereka mampu berinteraksi lebih cair, lancar,
sesuai pada tempatnya serta tidak berbicara seperti "buku teks berjalan"
4. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, bahasa gaul penting untuk diketahui oleh pemelajar BIPA dikarenakan
intensitas penggunaannya yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Bahasa gaul
berkembang pesat di semua lini mulai dari kehidupan sehari-hari, tempat kerja, sekolah, sampai di
media sosial. Walaupun begitu, mengajarkan bahasa gaul bukanlah fokus utama seorang pengajar.
Sehingga materi bahasa gaul jangan sampai tumpang tindih dengan pengajaran bahasa formal. Bahasa
formal adalah inti dari pengajaran setiap bahasa asing dan bahasa gaul adalah pengayaan dari bahasa
formal.
Pengajaran bahasa gaul sebaiknya meliputi pengenalan fungsi serta strategi dalam memakai
ragam bahasa gaul. tak hanya itu, Pengajar BIPA diharapkan dapat memberikan dorongan agar siswa
didiknya berani bereksperimen sekaligus berlatih dengan aktif turun langsung ke lapangan. Kegiatan

tersebut secara keseluruhan dapat membantu siswa untuk mengembangkan kecakapan berbahasa
Indonesia mereka serta membantu siswa BIPA untuk merasa lebih menyatu secara budaya dengan
komunitas penutur jati di lingkungan tempat tinggal mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Burke, D. (1991). Street Talk: How to Speak and Understand American Slang. Optima Books.
Cakir, Ismail (2006). Developing Cultural Awareness in Foreign Language Teaching. Turkish Online
Journal of Distance Education volume 7.
Council of Europe. 2012.Common European Framework of Reference for Languages: Learning,Teaching,
Assesment. diunduh dari http://www.coe.int/t/dg4/linguistic/cadre1_en.asp
Harimurti, Kridalaksana.(2008) Kamus Linguistik (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.)
Homuth. J., & Piipo. A., (2011). Slang in the ESL Classroom. MITESOL Proceeding.
Liliana. M. (2013). Standarisasi Materi Ajar BIPA: Sebuah Alternatif. Jakarta. Rapat Koordinasi Program
BIPA Nasional
Maesaroh. R. (2011). Kompilasi Bahan Ajar BIPA Tingkat Dasar. Bandung: Balai Bahasa Universitas
Pendidikan Indonesia
Mitchell, R., & Myles, F. (2004). Second Language LearningTheories (2nd ed.). London: Arnold
Nurasiawati. S. (2011). Kompilasi Bahan Ajar BIPA Tingkat Menengah. Bandung: Balai Bahasa Universitas
Pendidikan Indonesia
Zarbaliyeva (2012). The Importance of Teaching Slang in The Class of Indonesian as a Second Language.
A paper. Azerbaizan University of Languages.