Laporan Pendahuluan Benign Prostatic Hyp
LAPORAN PENDAHULUAN SISTEM PERKEMIHAN DENGAN KASUS
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
DI RUANGAN POLI INTERNA
RSUD KOTA MAKASSAR
Oleh :
FLORIANUS SITU
4114107
CI LAHAN
CI INSTITUSI
...............................................................
........................................................
PROGRAM STUDY PROFESI NERS ANGKATAN XI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2015
A. Pendahuluan
Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia. Seiring masa
penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi, baik dari struktur
anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh yang terganggu akibat
proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada sistem genitourinari lansia pria,
masalah yang sering terjadi akibat penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) (DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign Prostate
Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan insidennya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH
terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada
pria berusia 70 tahun ke atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan
meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20
juta pria (Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH merupakan
penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi dengan
kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun penanganan dini
sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen (2007) menjelaskan bahwa
pandangan stereotip yang mengatakan pria itu kuat, akan mengarahkan pria untuk
cenderung lebih mengabaikan gejala yang timbul di awal penyakit. Pria akan
menguatkan diri dan menghindari penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri.
Sementara, ketika wanita sakit, wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan
berusaha mencari perawatan kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih
banyak kasus yang sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani
dengan prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu prosedur
pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering dilakukan. Rassweiler
(2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan representasi gold standard manajemen
operatif pada BPH. TURP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur
bedah untuk BPH lainnya. Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak
dibutuhkan insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih
aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi masalah
pembesaran kelenjar prostat.
B. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di
bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia
profunda dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis
dan dipisahkan jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior
memisahkan jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya
dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan
ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis
terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus
posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih
berdiameter 1 mm terdiri dan serabut fibromuskular yang merupakan tempat
perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5
lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi
uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan
glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral
(menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%).
Perbedaan zona-zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering
sebagai tempat asal keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal benigna
prostat hiperplasia.
Gambar: Pembesaran Prostat
Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk prostat.
Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan prostat dan
bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter preprostatik. Pada tingkat
veromontanium, urethra membentuk sudut anterior 35 0 dan urethra pars prostatika
distal bersinggung dengan zona perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar
pada individu muda, tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara
progresif. Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna
prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui
potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior
prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar
urethra proksial pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan
spinkter interna dan otot detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks
otot polos ini bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai
spinkter eksterna.
b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari
seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.
c. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan
dibelakang verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona
perifer berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan
urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada
zona ini asiner banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra
lainnya.
2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai
tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai
ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia
mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut
mulai berdegenerasi bersamaan dengan penurunan pembentukan testosteron oleh
testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar
prostat akan berkontraksi bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat
keluar bercampur dengan segmen yang lainnya.
C. Pengertian
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran
kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang menghambat
aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis,
BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada
bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan
adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan
terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra.
D. Klasifikasi
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005)
secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
E.
Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya
proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar
bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS (lower
urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan
F.
Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi
yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika
dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke
dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
G. Tanda dan gejala
Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyanganyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),
retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0
: Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1
: Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2
: Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3
: Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4
: Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal
: Tidak ada sisa
Grade I
: sisa 0-50 cc
Grade II
: sisa 50-150 cc
Grade III
: sisa > 150 cc
Grade IV
: pasien sama sekali tidak bisa kencing.
H. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi
buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,
residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
I.
Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka
dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor α
Obat anti androgen
Penghambat enzim α -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen
puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan
masuknya udara
b. Post operasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Irigasi/Spoling dengan Nacl
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
Hari ke 4 post operasi diklem
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan
baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin
Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih
dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11.
12.
13.
14.
J.
Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi
dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan
kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
Pengkajian keperawatan
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi
sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan
volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat
dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin,
aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya
obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena
protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
5.
6.
7.
8.
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar
yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul
tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu
dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti
adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi
balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.
Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun
postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,
urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan
pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas
dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
K. Penyimpangan KDM
L.
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
Nyeri akut
Cemas
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
Defisit perawatan diri
M. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
N
o
1
Diagnosa keperawatan
Nyeri akut
Definisi : Sensori dan
pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan
yang timbul dari
kerusakan jaringan aktual
atau potensial, muncul
tiba-tiba atau lambat
dengan intensitas ringan
sampai berat dengan
akhir yang bisa
diantisipasi atau diduga
dan berlangsung kurang
dari 6 bulan.
Faktor yang
berhubungan : Agen
injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis)
Batasan karakteristik :
Laporan secara verbal
Tujuan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama ….x 24
jam, klien dapat:
1. Mengontol nyeri
Definisi : tindakan seseorang
untuk mengontrol nyeri
Indikator:
Mengenal faktor-faktor
penyebab
Mengenal onset/waktu kejadian
nyeri
tindakan pertolongan nonanalgetik
Menggunakan analgetik
melaporkan gejala-gejala
kepada tim kesehatan
(dokter, perawat)
nyeri terkontrol
Keterangan:
1 = tidak pernah dilakukan
2 = jarang dilakukan
Intervensi Keperawatan
1. Manajemen Nyeri
Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
kenyamanan yang dapat diterima pasien
Intervensi:
1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
karakteristik, waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi
secara efektif
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
4. Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat
mengekspresikan nyeri
5. Kaji latar belakang budaya klien
6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
pekerjaan, tanggungjawab peran
7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
nyeri kronis
8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol
nyeri yang telah digunakan
9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
atau non verbal adanya
nyeri
Fakta dari observasi
Posisi untuk
menghindari nyeri
Gerakan melindungi
Tingkah laku berhatihati
Muka topeng
Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek,
sulit atau gerakan
kacau, menyeringai)
Terfokus pada diri
sendiri
Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulangulang)
3 = kadang-kadang dilakukan
4 = sering dilakukan
5 = selalu dilakukan
2. Menunjukkan
tingkat
nyeri
Definisi : tingkat keparahan
dari nyeri yang dilaporkan atau
ditunjukan
Indikator:
Melaporkan nyeri
Frekuensi nyeri
Lamanya episode nyeri
Ekspresi nyeri: wajah
Posisi melindungi tubuh
Kegelisahan
Perubahan Respirasirate
Perubahan Heart Rate
Perubahan tekanan Darah
Perubahan ukuran Pupil
Perspirasi
Kehilangan nafsu makan
Keterangan:
1 : berat
2 : agak berat
3 : sedang
4 : sedikit
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
temperatur ruangan, penyinaran, dll)
12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi, (ex: relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panasdingin, massase)
14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
15. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
klien
16. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
17. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
secara tepat
18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
keluhan
19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk
pendekatan preventif
20. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau
menghilangkan nyeri
Intervensi:
1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan
sebelum pengobatan
2. Berikan obat dengan prinsip 12 benar
3. Cek riwayat alergi obat
Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari lemah ke
kaku)
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh
kesah)
Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
2
Cemas
5 : tidak ada
4. Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
5. Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
6. Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID)
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri.
7. Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
8. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
9. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginka.
10. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik
Intervensi :
1. Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
2. Batasi pengunjung
3. Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
4. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
6. Sediakan lingkungan yang tenang
7. Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
8. Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama......x24
Menurunkan cemas
Definisi : meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam bahaya
Definisi : Perasaan
gelisah yang tak jelas dari
ketidaknyamanan atau
ketakutan yang disertai
respon autonom (sumner
tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu);
perasaan keprihatinan
disebabkan dari antisipasi
terhadap bahaya. Sinyal
ini merupakan peringatan
adanya ancaman yang
akan datang dan
memungkinkan individu
untuk mengambil langkah
untuk menyetujui
terhadap tindakan.
Faktor yang
berhubungan : terpapar
racun, konflik yang tidak
disadari tentang nilai-nilai
utama/tujuan hidup,
berhubungan dengan
keturunan/herediter,
kebutuhan tidak
terpenuhi, transmisi
iterpersonal, krisis
situasional/maturasional,
jam pasien menunjukan dapat :
1. Mengontrol cemas:
Definisi : Tindakan seseorang
untuk mengurangi perasaan
tertekan/terbebani dan
ketegangan dari sumber yang
tidak dapat diidentifikasi
Indikator :
Monitor intensitas cemas
Meghilangkan penyebab
cemas
Menurunkan stimulus
lingkungan ketika cemas
Mencari informasi untuk
menurunkan cemas
Gunakan strategi koping
efektif
Melaporkan kepada perawat
penurunan lama cemas
Menggunakan teknik
relaksasi untuk menurunkan
cemas
Mempertrahankan hubungan
sosial
Mempertahankan konsentrasi
Melaporkan kepada perawat
tidur cukup
atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang tidak diketahui
Intervernsi:
1. Tenangkan pasien
2. Jelaskan seluruh prosedurt tindakan kepada pasien dan
perasaan yamng mungkin muncul pada saat melakukan
tindakan
3. Berusaha memahami keadaan pasien
4. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan
5. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kenyamanan
6. Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi perasaannya
7. Kaji tingkat kecemasan
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Ciptakan hubungan saling percaya
10. Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa menimbulkan
kecemasan
11. Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang membuat
cemas
12. Ajarkan pasien teknik relaksasi
13. Berikan obat obat yang mengurangi cemas
ancaman kematian,
ancaman terhadap konsep
diri, stress, substans
abuse, perubahan dalam:
status peran, status
kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, lingkungan,
status ekonomi.
Batasan karakteristik:
Perilaku :
Produktivitas
berkurang
Scanning dan
kewaspadaan
Kontak mata yang
buruk
Gelisah
Pandangan sekilas
Pergerakan yang
tidak berhubungan,
(misal : berjalan
dengan menyeret
kaki, pergelangan
tangan/lengan
Menunjukkan
perhatian seharusnya
dalam kejadian hidup
Insomnia
Melaporkan kepada perawat
bahwa cemas tidak
mempengatruhi keadaan fisik
Tidak adanya tingkahlaku
yang menunjukan cemas
Keterangan
1 :Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
2. Koping yang baik
Definisi : Tindakan untuk
mengelola stressor yang
menggunakan sumber individu
Indikator :
Mengenal koping efektif
Mengenal koping tak efektif
Memverbalkan kemampuan
kontrol
Melaporkan menurunnya
stress
Memverbalkan penerimaan
terhadap situasi
Resah
Affektive:
Penyesalan
Irritable
Kesedihan yang
mendalam
Ketakutan
Gelisah, gugup
Mudah tersinggung
Rasa nyeri hebat dan
menetap
Ketidakberdayaan
meningkat
Membingungkan
Ketidaktentuan
Peningkatan
kewaspadaan
Fokus pada diri
Perasaan tidak
adekuat
Ketakutan
Distress
Kekhawatiran,
prihatin
Cemas
Fisiologis :
Suara gemetar
Gemetar, tangan
Mencari informasi yang
berkaitan dengan penyakit
dan pengobatannya
Modifikasi gaya hidup sesuai
kebutuhan
Beradaptasi dengan
perubahan perkembangan
Menggunakan support sosial
yang memungkinkan
Mengerjakan sesuatu yang
menurunkan stress
Mengenal strategi koping
multipel
Menggunakan strategi
koping efektif
Menghindari situasi penuh
stress
Memverbalkan kebutuhan
akan bantuan
Mencari pertolongan
professional yang sesuai
Melaporkan menurunnya
keluhan fisik
Melaporkan menurunnya
perasaan negatif
Melaporkan kenyamanan
psikologis yang meningkat
tremor
Goyah
Respirasi meningkat
(simpatis)
Keinginan kencing
(parasimpatis)
Nadi meningkat
(simpatis)
Berkeringat banyak
Wajah tegang
Anorexia (simpatis)
Jantung berdetak
kuat (simpatis)
Diare (parasimpatis)
Keragu-raguan dalam
berkemih
(parasimpatis)
Kelelahan (Simpatis)
Mulut kering
(simpatis)
Kelemahan (simpatis)
Wajah kemerahan
(simpatis)
3
Ketidakseimbangan
Keterangan:
1 :Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
Setelah dilakukan asuhan
1. Manajemen Nutrisi
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Definisi : Intake nutrisi
tidak cukup untuk
keperluan metabolisme
tubuh
Batasan karakteristik :
Berat badan 20 %
di bawah ideal
Dilaporkan adanya
intake makanan yang
kurang dari RDA
(Recomended Daily
Allowance)
Membran mukosa dan
konjungtiva pucat
Kelemahan otot yang
digunakan untuk
menelan/mengunyah
Luka, peradangan pada
rongga mulut
Mudah merasa
kenyang, sesaat
setelah mengunyah
makanan
Dilaporkan atau fakta
keperawatan selama …. X 24
jam klien dapat menunjukkan
1. status nutrisi yang baik
Definisi : Nutrisi cukup untuk
memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh
Indikator :
Masukan nutrisi
Masukan makanan
dan cairan
Tingkat energi cukup
Berat badan stabil
Nilai laboratorium
Keterangan:
1 : Sangat bermasalah
2 : Cukup bermasalah
3 : Masalah sedang
4 : Sedikit bermasalah
5 : Tidak ada masalah
Definisi : membantu dengan atau menyediakan masukan diet
seimbang dari makanan dan cairan
Intervensi :
1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
2. Catat makanan kesukaan klien
3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
4. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
5. Dorong asupan zat besi
6. Tawarkan makanan ringan
7. Berikan gula tambahan k/p
8. Tawarkan bumbu sebagai pengganti garam
9. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang
mudah dikonsumsi
10. Berikan pilihan makanan
11. Sesuaikan diet dengan gaya hidup klien
12. Ajarkan klien cara membuat catatan makanan
13. Monitor asupan nutrisi dan kalori
14. Timbang berat badan secara teratur
15. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya
16. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
17. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya
2. Monitor nutrisi
Definisi : mengumpulkan dan menganalisa data dari pasien untuk
mencegahatau meminimalkan malnutrisi.
Intervensi :
1. BB klien dalam interval spesifik
adanya kekurangan
makanan
Dilaporkan adanya
perubahan sensasi rasa
Perasaan
ketidakmampuan untuk
mengunyah makanan
Miskonsepsi
Kehilangan BB dengan
makanan cukup
Keengganan untuk
makan
Kram pada abdomen
Tonus otot jelek
Nyeri abdominal
dengan atau tanpa
patologi
Kurang berminat
terhadap makanan
Pembuluh darah kapiler
mulai rapuh
Diare dan atau
steatorrhea
Kehilangan rambut
yang cukup banyak
(rontok)
Suara usus hiperaktif
Kurangnya informasi,
2. Monitor adanya penurunan BB
3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
4. Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang
mengharuskan makan.
5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
6. Monitor lingkungan selama makan.
7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam
makan.
8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9. Monitor turgor kulit
10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah,
peningkatan perdarahan, dll.
12. Monitor mual dan muntah
13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15. Monitor makanan kesukaan.
16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan
konjungtiva.
19. Monitor kalori dan intake nutrisi.
20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah
dan cavitas oral.
21. Catat jika lidah berwarna merah keunguan.
misinformasi
Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
Post Operasi
1
Nyeri akut
Definisi : Sensori dan
pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan
yang timbul dari
kerusakan jaringan aktual
atau potensial, muncul
tiba-tiba atau lambat
dengan intensitas ringan
sampai berat dengan
akhir yang bisa
diantisipasi atau diduga
dan berlangsung kurang
dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
Laporan secara verbal
atau non verbal adanya
nyeri
Fakta dari observasi
1.
Setelah
dilakukan
asuhan
keperawatan selama ….x 24 jam,
klien dapat:
1. Mengontol nyeri
Definisi : tindakan seseorang untuk
mengontrol nyeri.
Indikator:
Mengenal faktor-faktor penyebab
Mengenal onset/waktu kejadian
nyeri
Tindakan
pertolongan
nonanalgetik
Menggunakan analgetik
Melaporkan gejala-gejala kepada
tim kesehatan (dokter, perawat)
Nyeri terkontrol
Keterangan:
1
= tidak pernah dilakukan
2
= jarang dilakukan
1. Manajemen Nyeri
Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
kenyamanan yang dapat diterima pasien
Intervensi:
1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
efektif
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
mengekspresikan nyeri
5. Kaji latar belakang budaya klien
6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
pekerjaan, tanggungjawab peran
7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
nyeri kronis
Posisi untuk
menghindari nyeri
Gerakan melindungi
Tingkah laku berhatihati
Muka topeng
Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek,
sulit atau gerakan
kacau, menyeringai)
Terfokus pada diri
sendiri
Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulangulang)
Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
3
4
5
= kadang-kadang dilakukan
= sering dilakukan
= selalu dilakukan
8.
2. Menunjukkan tingkat nyeri
Definisi : tingkat keparahan dari
nyeri
yang
dilaporkan
atau
ditunjukan
Indikator:
Melaporkan nyeri
Frekuensi nyeri
Lamanya episode nyeri
Ekspresi nyeri: wajah
Posisi melindungi tubuh
Kegelisahan
Perubahan Respirasirate
Perubahan Heart Rate
Perubahan tekanan Darah
Perubahan ukuran Pupil
Perspirasi
Kehilangan nafsu makan
11.
Keterangan:
1 : berat
2 : agak berat
3 : sedang
4 : sedikit
9.
10.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
yang telah digunakan
Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
temperatur ruangan, penyinaran, dll)
Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panasdingin, massase)
Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang
telah digunakan
Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
temperatur ruangan, penyinaran, dll)
Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panasdingin, massase)
Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
klien
Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari lemah ke
kaku)
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
5 : tidak ada
secara tepat
24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
keluhan
25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk
pendekatan preventif
26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri.
Intervensi:
Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
Cek riwayat alergi obat
Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginkan
Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan
terapeutik
Intervensi :
Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
Batasi pengunjung
Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
Sediakan lingkungan yang tenang
Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
2
Resiko infeksi
Definisi : Peningkatan
resiko masuknya
organisme patogen
Faktor-faktor resiko :
Prosedur Invasif
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama … x 24 jam,
klien menunjukan
1. Pengetahuan klien tentang
kontrol infeksi meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengurangi ancaman kesehatan
secara aktual dan potensial
Indikator:
Menerangkan cara-cara
1. Kontrol Infeksi
Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen
infeksi
Intervensi :
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh
klien
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
Ketidakcukupan
pengetahuan untuk
menghindari paparan
patogen
Trauma
Kerusakan jaringan
dan peningkatan
paparan lingkungan
Ruptur membran
amnion
Agen farmasi
(imunosupresan)
Malnutrisi
Peningkatan paparan
lingkungan patogen
Imonusupresi
Ketidakadekuatan
imum buatan
Tidak adekuat
pertahanan sekunder
(penurunan Hb,
Leukopenia,
penekanan respon
inflamasi)
Tidak adekuat
pertahanan tubuh
primer (kulit tidak
utuh, trauma
penyebaran
Menerangkan factor-faktor yang
berkontribusi dengan penyebaran
Menjelaskan tanda-tanda dan
gejala
Menjelaskan aktivitas yang dapat
meningkatkan resistensi terhadap
infeksi
Keterangan:
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
2. Pengetahuan tentang
deteksi resiko meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengidentifikasi ancaman kesehatan
Indikator :
Mengenali tanda dan gejala
yang mengindikasikan resiko
Mengidentifikasi resiko
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan
setelah meninggalkan
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
DI RUANGAN POLI INTERNA
RSUD KOTA MAKASSAR
Oleh :
FLORIANUS SITU
4114107
CI LAHAN
CI INSTITUSI
...............................................................
........................................................
PROGRAM STUDY PROFESI NERS ANGKATAN XI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2015
A. Pendahuluan
Proses penuaan mempengaruhi berbagai sistem tubuh pada lansia. Seiring masa
penuaan, berbagai fungsi sistem tubuh mengalami degenerasi, baik dari struktur
anatomis, maupun fungsi fisiologis. Salah satu sistem tubuh yang terganggu akibat
proses penuaan adalah sistem genitourinari. Pada sistem genitourinari lansia pria,
masalah yang sering terjadi akibat penuaan, yakni pembesaran kelenjar prostat Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) (DeLaune & Ladner, 2002).
Pembesaran kelenjar prostat, atau disebut dengan BPH (Benign Prostate
Hyperplasia) merupakan salah satu masalah genitouriari yang prevalensi dan insidennya
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Parsons (2010) menjelaskan bahwa BPH
terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika Serikat, dan 80 persen pada
pria berusia 70 tahun ke atas. Diperkirakan, pada tahun 2030 insiden BPH akan
meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas, atau mencapai 20
juta pria (Parsons, 2010).
Di Indonesia sendiri, data Badan POM (2011) menyebutkan bahwa BPH merupakan
penyakit kelenjar prostat tersering kedua, di klinik urologi di Indonesia.
Insiden dan prevalensi BPH cukup tinggi, namun hal ini tidak diiringi dengan
kesadaran masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan maupun penanganan dini
sebelum terjadi gangguan eliminasi urin. Nies dan McEwen (2007) menjelaskan bahwa
pandangan stereotip yang mengatakan pria itu kuat, akan mengarahkan pria untuk
cenderung lebih mengabaikan gejala yang timbul di awal penyakit. Pria akan
menguatkan diri dan menghindari penyebutan “sakit” bagi diri pria itu sendiri.
Sementara, ketika wanita sakit, wanita akan cenderung membatasi kegiatan dan
berusaha mencari perawatan kesehatan. Oleh karena itu, kasus BPH yang terjadi lebih
banyak kasus yang sudah mengalami gangguan eliminasi urin, dan hanya bisa ditangani
dengan prosedur pembedahan.
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) merupakan salah satu prosedur
pembedahan untuk mengatasi masalah BPH yang paling sering dilakukan. Rassweiler
(2005) menjelaskan bahwa TURP merupakan representasi gold standard manajemen
operatif pada BPH. TURP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan prosedur
bedah untuk BPH lainnya. Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak
dibutuhkan insisi dan dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih
aman bagi pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003).
Oleh karena itulah, prosedur TURP lebih umum digunakan mengatasi masalah
pembesaran kelenjar prostat.
B. Anatomi fisiologi
1. Anatomi
Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di
bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia
profunda dari diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis
dan dipisahkan jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior
memisahkan jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya
dipisahkan dari rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.
Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan
ukuran rata-rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis
terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus
posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih
berdiameter 1 mm terdiri dan serabut fibromuskular yang merupakan tempat
perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa ahli membagi prostat menjadi 5
lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus lateral yang mengelilingi
uretra.
Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan
glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral
(menempati 25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%).
Perbedaan zona-zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering
sebagai tempat asal keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal benigna
prostat hiperplasia.
Gambar: Pembesaran Prostat
Uretra dan verumontanium dapat dipakai sebagai patokan untuk prostat.
Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian depan prostat dan
bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter preprostatik. Pada tingkat
veromontanium, urethra membentuk sudut anterior 35 0 dan urethra pars prostatika
distal bersinggung dengan zona perifal. Volume zona sentral adalah yang terbesar
pada individu muda, tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara
progresif. Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna
prostat hiperplasia.
Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui
potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :
a. Stroma fibromuskular anterior
Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior
prostat. Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar
urethra proksial pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan
spinkter interna dan otot detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks
otot polos ini bergabung dengan striata yang mempunyai peranan sebagai
spinkter eksterna.
b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari
seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.
c. Zona Sentral
Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan
dibelakang verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona
perifer berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.
d. Zona transisional
Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan
urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada
zona ini asiner banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra
lainnya.
2. Fisiologi
Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai
tumbuh pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai
ukuran makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia
mendekati 50 tahun. Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut
mulai berdegenerasi bersamaan dengan penurunan pembentukan testosteron oleh
testis.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulasi serta fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar
prostat akan berkontraksi bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat
keluar bercampur dengan segmen yang lainnya.
C. Pengertian
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai pembesaran
kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih, yang menghambat
aliran urin, serta menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis,
BPH dikarakteristikkan dengan meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada
bagian periuretra prostat. Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan
adanya proliferasi atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan
terjadinya akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra.
D. Klasifikasi
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005)
secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
E.
Etiologi
Penyebab pasti BPH belum diketahui. Namun, IAUI (2003) menjelakan bahwa
terdapat banyak faktor yang berperan dalam hiperplasia prostat, seperti usia, adanya
peradangan, diet, serta pengaruh hormonal. Faktor tersebut selanjutnya mempengaruhi
prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang kemudian memicu proliferasi sel
prostat. Selain itu, pembesaran prostat juga dapat disebabkan karena berkurangnya
proses apoptosis. Roehrborn (2011) menjelaskan bahwa suatu organ dapat membesar
bukan hanya karena meningkatnya proliferasi sel, tetapi juga karena berkurangnya
kematian sel.
BPH jarang mengancam jiwa. Namun, keluhan yang disebabkan BPH dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. BPH dapat menyebabkan timbulnya gejala LUTS (lower
urinary tract symptoms) pada lansia pria. LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptom) yang meliputi: frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis berkemih, dan tahap selanjutnya terjadi
retensi urin (IAUI, 2003).
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan
F.
Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan
periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan
kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi
yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika
dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke
dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
G. Tanda dan gejala
Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua
tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi
melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama
(hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan
waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari
BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyanganyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),
retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0
: Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1
: Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2
: Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3
: Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4
: Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal
: Tidak ada sisa
Grade I
: sisa 0-50 cc
Grade II
: sisa 50-150 cc
Grade III
: sisa > 150 cc
Grade IV
: pasien sama sekali tidak bisa kencing.
H. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen
density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15,
sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan
pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT,
BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan
sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi
buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan
ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria,
residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal,
mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi
ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum,
sementara dan sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat
adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
I.
Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka
dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan
memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi
kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok
dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor α
Obat anti androgen
Penghambat enzim α -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih,
hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2. Keperawatan
a. Pre operasi
Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT,
BT, AL)
Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam. Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen
puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan
masuknya udara
b. Post operasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Irigasi/Spoling dengan Nacl
Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
Hari ke 4 post operasi diklem
Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah
(urin dalam kateter bening)
Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi
selama 2 hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan
baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post
operasi
Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi
dengan betadin
Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan
untuk berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih
dan perdarahan dari uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat
melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme.
Kompres hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
11.
12.
13.
14.
J.
Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan
tapi tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan
abdomen, perdarahan
Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol
berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai
kontrol berkemih.
Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan
kemudian jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah
pembedahan.
Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan
sejumlah bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena
tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi
dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan
kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
Pengkajian keperawatan
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi
sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan
volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya
karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat
dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin,
aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya
obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena
protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena
perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
5.
6.
7.
8.
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar
yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul
tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu
dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti
adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi
balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada
saluran perkemihannya.
Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun
postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,
urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan
pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas
dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
K. Penyimpangan KDM
L.
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :
1. Pre operasi
Nyeri akut
Cemas
Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Kerusakan eleminasi urin
2. Post operasi
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan
Defisit perawatan diri
M. Intervensi Keperawatan
Pre Operasi
N
o
1
Diagnosa keperawatan
Nyeri akut
Definisi : Sensori dan
pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan
yang timbul dari
kerusakan jaringan aktual
atau potensial, muncul
tiba-tiba atau lambat
dengan intensitas ringan
sampai berat dengan
akhir yang bisa
diantisipasi atau diduga
dan berlangsung kurang
dari 6 bulan.
Faktor yang
berhubungan : Agen
injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis)
Batasan karakteristik :
Laporan secara verbal
Tujuan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama ….x 24
jam, klien dapat:
1. Mengontol nyeri
Definisi : tindakan seseorang
untuk mengontrol nyeri
Indikator:
Mengenal faktor-faktor
penyebab
Mengenal onset/waktu kejadian
nyeri
tindakan pertolongan nonanalgetik
Menggunakan analgetik
melaporkan gejala-gejala
kepada tim kesehatan
(dokter, perawat)
nyeri terkontrol
Keterangan:
1 = tidak pernah dilakukan
2 = jarang dilakukan
Intervensi Keperawatan
1. Manajemen Nyeri
Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
kenyamanan yang dapat diterima pasien
Intervensi:
1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
karakteristik, waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi
secara efektif
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
4. Gunakan komunikasi terapeutik agar klien dapat
mengekspresikan nyeri
5. Kaji latar belakang budaya klien
6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
pekerjaan, tanggungjawab peran
7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
nyeri kronis
8. Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol
nyeri yang telah digunakan
9. Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
10. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
atau non verbal adanya
nyeri
Fakta dari observasi
Posisi untuk
menghindari nyeri
Gerakan melindungi
Tingkah laku berhatihati
Muka topeng
Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek,
sulit atau gerakan
kacau, menyeringai)
Terfokus pada diri
sendiri
Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulangulang)
3 = kadang-kadang dilakukan
4 = sering dilakukan
5 = selalu dilakukan
2. Menunjukkan
tingkat
nyeri
Definisi : tingkat keparahan
dari nyeri yang dilaporkan atau
ditunjukan
Indikator:
Melaporkan nyeri
Frekuensi nyeri
Lamanya episode nyeri
Ekspresi nyeri: wajah
Posisi melindungi tubuh
Kegelisahan
Perubahan Respirasirate
Perubahan Heart Rate
Perubahan tekanan Darah
Perubahan ukuran Pupil
Perspirasi
Kehilangan nafsu makan
Keterangan:
1 : berat
2 : agak berat
3 : sedang
4 : sedikit
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
11. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
temperatur ruangan, penyinaran, dll)
12. Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
13. Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi, (ex: relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panasdingin, massase)
14. Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
15. Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
klien
16. Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
17. Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
secara tepat
18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
keluhan
19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk
pendekatan preventif
20. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau
menghilangkan nyeri
Intervensi:
1. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan
sebelum pengobatan
2. Berikan obat dengan prinsip 12 benar
3. Cek riwayat alergi obat
Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari lemah ke
kaku)
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel,
nafas panjang/berkeluh
kesah)
Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
2
Cemas
5 : tidak ada
4. Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
5. Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
6. Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID)
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri.
7. Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah pemberian
analgetik
8. Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
9. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginka.
10. Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan terapeutik
Intervensi :
1. Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
2. Batasi pengunjung
3. Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
4. Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
6. Sediakan lingkungan yang tenang
7. Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
8. Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama......x24
Menurunkan cemas
Definisi : meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam bahaya
Definisi : Perasaan
gelisah yang tak jelas dari
ketidaknyamanan atau
ketakutan yang disertai
respon autonom (sumner
tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu);
perasaan keprihatinan
disebabkan dari antisipasi
terhadap bahaya. Sinyal
ini merupakan peringatan
adanya ancaman yang
akan datang dan
memungkinkan individu
untuk mengambil langkah
untuk menyetujui
terhadap tindakan.
Faktor yang
berhubungan : terpapar
racun, konflik yang tidak
disadari tentang nilai-nilai
utama/tujuan hidup,
berhubungan dengan
keturunan/herediter,
kebutuhan tidak
terpenuhi, transmisi
iterpersonal, krisis
situasional/maturasional,
jam pasien menunjukan dapat :
1. Mengontrol cemas:
Definisi : Tindakan seseorang
untuk mengurangi perasaan
tertekan/terbebani dan
ketegangan dari sumber yang
tidak dapat diidentifikasi
Indikator :
Monitor intensitas cemas
Meghilangkan penyebab
cemas
Menurunkan stimulus
lingkungan ketika cemas
Mencari informasi untuk
menurunkan cemas
Gunakan strategi koping
efektif
Melaporkan kepada perawat
penurunan lama cemas
Menggunakan teknik
relaksasi untuk menurunkan
cemas
Mempertrahankan hubungan
sosial
Mempertahankan konsentrasi
Melaporkan kepada perawat
tidur cukup
atau ketidaknyamanan terhadap sumber yang tidak diketahui
Intervernsi:
1. Tenangkan pasien
2. Jelaskan seluruh prosedurt tindakan kepada pasien dan
perasaan yamng mungkin muncul pada saat melakukan
tindakan
3. Berusaha memahami keadaan pasien
4. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis dan tindakan
5. Mendampingi pasien untuk mengurangi kecemasan dan
meningkatkan kenyamanan
6. Dorong pasien untuk menyampaikan tentang isi perasaannya
7. Kaji tingkat kecemasan
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Ciptakan hubungan saling percaya
10. Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa menimbulkan
kecemasan
11. Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal yang membuat
cemas
12. Ajarkan pasien teknik relaksasi
13. Berikan obat obat yang mengurangi cemas
ancaman kematian,
ancaman terhadap konsep
diri, stress, substans
abuse, perubahan dalam:
status peran, status
kesehatan, pola interaksi,
fungsi peran, lingkungan,
status ekonomi.
Batasan karakteristik:
Perilaku :
Produktivitas
berkurang
Scanning dan
kewaspadaan
Kontak mata yang
buruk
Gelisah
Pandangan sekilas
Pergerakan yang
tidak berhubungan,
(misal : berjalan
dengan menyeret
kaki, pergelangan
tangan/lengan
Menunjukkan
perhatian seharusnya
dalam kejadian hidup
Insomnia
Melaporkan kepada perawat
bahwa cemas tidak
mempengatruhi keadaan fisik
Tidak adanya tingkahlaku
yang menunjukan cemas
Keterangan
1 :Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
2. Koping yang baik
Definisi : Tindakan untuk
mengelola stressor yang
menggunakan sumber individu
Indikator :
Mengenal koping efektif
Mengenal koping tak efektif
Memverbalkan kemampuan
kontrol
Melaporkan menurunnya
stress
Memverbalkan penerimaan
terhadap situasi
Resah
Affektive:
Penyesalan
Irritable
Kesedihan yang
mendalam
Ketakutan
Gelisah, gugup
Mudah tersinggung
Rasa nyeri hebat dan
menetap
Ketidakberdayaan
meningkat
Membingungkan
Ketidaktentuan
Peningkatan
kewaspadaan
Fokus pada diri
Perasaan tidak
adekuat
Ketakutan
Distress
Kekhawatiran,
prihatin
Cemas
Fisiologis :
Suara gemetar
Gemetar, tangan
Mencari informasi yang
berkaitan dengan penyakit
dan pengobatannya
Modifikasi gaya hidup sesuai
kebutuhan
Beradaptasi dengan
perubahan perkembangan
Menggunakan support sosial
yang memungkinkan
Mengerjakan sesuatu yang
menurunkan stress
Mengenal strategi koping
multipel
Menggunakan strategi
koping efektif
Menghindari situasi penuh
stress
Memverbalkan kebutuhan
akan bantuan
Mencari pertolongan
professional yang sesuai
Melaporkan menurunnya
keluhan fisik
Melaporkan menurunnya
perasaan negatif
Melaporkan kenyamanan
psikologis yang meningkat
tremor
Goyah
Respirasi meningkat
(simpatis)
Keinginan kencing
(parasimpatis)
Nadi meningkat
(simpatis)
Berkeringat banyak
Wajah tegang
Anorexia (simpatis)
Jantung berdetak
kuat (simpatis)
Diare (parasimpatis)
Keragu-raguan dalam
berkemih
(parasimpatis)
Kelelahan (Simpatis)
Mulut kering
(simpatis)
Kelemahan (simpatis)
Wajah kemerahan
(simpatis)
3
Ketidakseimbangan
Keterangan:
1 :Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang
menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
Setelah dilakukan asuhan
1. Manajemen Nutrisi
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Definisi : Intake nutrisi
tidak cukup untuk
keperluan metabolisme
tubuh
Batasan karakteristik :
Berat badan 20 %
di bawah ideal
Dilaporkan adanya
intake makanan yang
kurang dari RDA
(Recomended Daily
Allowance)
Membran mukosa dan
konjungtiva pucat
Kelemahan otot yang
digunakan untuk
menelan/mengunyah
Luka, peradangan pada
rongga mulut
Mudah merasa
kenyang, sesaat
setelah mengunyah
makanan
Dilaporkan atau fakta
keperawatan selama …. X 24
jam klien dapat menunjukkan
1. status nutrisi yang baik
Definisi : Nutrisi cukup untuk
memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh
Indikator :
Masukan nutrisi
Masukan makanan
dan cairan
Tingkat energi cukup
Berat badan stabil
Nilai laboratorium
Keterangan:
1 : Sangat bermasalah
2 : Cukup bermasalah
3 : Masalah sedang
4 : Sedikit bermasalah
5 : Tidak ada masalah
Definisi : membantu dengan atau menyediakan masukan diet
seimbang dari makanan dan cairan
Intervensi :
1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
2. Catat makanan kesukaan klien
3. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
4. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
5. Dorong asupan zat besi
6. Tawarkan makanan ringan
7. Berikan gula tambahan k/p
8. Tawarkan bumbu sebagai pengganti garam
9. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang
mudah dikonsumsi
10. Berikan pilihan makanan
11. Sesuaikan diet dengan gaya hidup klien
12. Ajarkan klien cara membuat catatan makanan
13. Monitor asupan nutrisi dan kalori
14. Timbang berat badan secara teratur
15. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya
16. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
17. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya
2. Monitor nutrisi
Definisi : mengumpulkan dan menganalisa data dari pasien untuk
mencegahatau meminimalkan malnutrisi.
Intervensi :
1. BB klien dalam interval spesifik
adanya kekurangan
makanan
Dilaporkan adanya
perubahan sensasi rasa
Perasaan
ketidakmampuan untuk
mengunyah makanan
Miskonsepsi
Kehilangan BB dengan
makanan cukup
Keengganan untuk
makan
Kram pada abdomen
Tonus otot jelek
Nyeri abdominal
dengan atau tanpa
patologi
Kurang berminat
terhadap makanan
Pembuluh darah kapiler
mulai rapuh
Diare dan atau
steatorrhea
Kehilangan rambut
yang cukup banyak
(rontok)
Suara usus hiperaktif
Kurangnya informasi,
2. Monitor adanya penurunan BB
3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
4. Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang
mengharuskan makan.
5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
6. Monitor lingkungan selama makan.
7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam
makan.
8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9. Monitor turgor kulit
10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah,
peningkatan perdarahan, dll.
12. Monitor mual dan muntah
13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15. Monitor makanan kesukaan.
16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan
konjungtiva.
19. Monitor kalori dan intake nutrisi.
20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah
dan cavitas oral.
21. Catat jika lidah berwarna merah keunguan.
misinformasi
Faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi
berhubungan dengan
faktor biologis, psikologis
atau ekonomi.
Post Operasi
1
Nyeri akut
Definisi : Sensori dan
pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan
yang timbul dari
kerusakan jaringan aktual
atau potensial, muncul
tiba-tiba atau lambat
dengan intensitas ringan
sampai berat dengan
akhir yang bisa
diantisipasi atau diduga
dan berlangsung kurang
dari 6 bulan.
Batasan karakteristik :
Laporan secara verbal
atau non verbal adanya
nyeri
Fakta dari observasi
1.
Setelah
dilakukan
asuhan
keperawatan selama ….x 24 jam,
klien dapat:
1. Mengontol nyeri
Definisi : tindakan seseorang untuk
mengontrol nyeri.
Indikator:
Mengenal faktor-faktor penyebab
Mengenal onset/waktu kejadian
nyeri
Tindakan
pertolongan
nonanalgetik
Menggunakan analgetik
Melaporkan gejala-gejala kepada
tim kesehatan (dokter, perawat)
Nyeri terkontrol
Keterangan:
1
= tidak pernah dilakukan
2
= jarang dilakukan
1. Manajemen Nyeri
Definisi : perubahan atau pengurangan nyeri ke tingkat
kenyamanan yang dapat diterima pasien
Intervensi:
1. Kaji secara menyeluruh tentang nyeri, meliputi: lokasi,
karakteristik,waktu kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
efektif
3. Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
4. Gunakan komunkasi terapeutik agar klien dapat
mengekspresikan nyeri
5. Kaji latar belakang budaya klien
6. Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas
hidup: pola tidur, nafsu makan, aktifitas mood, hubungan,
pekerjaan, tanggungjawab peran
7. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan
nyeri kronis
Posisi untuk
menghindari nyeri
Gerakan melindungi
Tingkah laku berhatihati
Muka topeng
Gangguan tidur (mata
sayu, tampak capek,
sulit atau gerakan
kacau, menyeringai)
Terfokus pada diri
sendiri
Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
Tingkah laku distraksi,
contoh : jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulangulang)
Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
3
4
5
= kadang-kadang dilakukan
= sering dilakukan
= selalu dilakukan
8.
2. Menunjukkan tingkat nyeri
Definisi : tingkat keparahan dari
nyeri
yang
dilaporkan
atau
ditunjukan
Indikator:
Melaporkan nyeri
Frekuensi nyeri
Lamanya episode nyeri
Ekspresi nyeri: wajah
Posisi melindungi tubuh
Kegelisahan
Perubahan Respirasirate
Perubahan Heart Rate
Perubahan tekanan Darah
Perubahan ukuran Pupil
Perspirasi
Kehilangan nafsu makan
11.
Keterangan:
1 : berat
2 : agak berat
3 : sedang
4 : sedikit
9.
10.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
yang telah digunakan
Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
temperatur ruangan, penyinaran, dll)
Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panasdingin, massase)
Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang
telah digunakan
Berikan dukungan terhadap klien dan keluarga
Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa
lama terjadi, dan tindakan pencegahan
Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon klien terhadap ketidaknyamanan (contoh :
temperatur ruangan, penyinaran, dll)
Anjurkan klien untuk memonitor sendiri nyeri
Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (ex: relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panasdingin, massase)
Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon
klien
Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
Anjurkan klien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
nafas, nadi dan dilatasi
pupil)
Perubahan autonomic
dalam tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari lemah ke
kaku)
Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
5 : tidak ada
secara tepat
24. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi
keluhan
25. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota
keluarga saat tindakan nonfarmakologi dilakukan, untuk
pendekatan preventif
26. monitor kenyamanan klien terhadap manajemen nyeri
2. Pemberian Analgetik
Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk
mengurangi atau menghilangkan nyeri.
Intervensi:
Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan
keparahan sebelum pengobatan
Berikan obat dengan prinsip 5 benar
Cek riwayat alergi obat
Libatkan klien dalam pemilhan analgetik yang akan
digunakan
Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu
analgetik jika telah diresepkan
Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik,
NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek-efek yang
tidak diinginkan
Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
Definisi : memanipulasi lingkungan untuk kepentingan
terapeutik
Intervensi :
Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
Batasi pengunjung
Tentukan hal-hal yang menyebabkan ketidaknyamanan
seperti pakaian lembab
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
Sediakan lingkungan yang tenang
Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
Atur posisi pasien yang membuat nyaman.
2
Resiko infeksi
Definisi : Peningkatan
resiko masuknya
organisme patogen
Faktor-faktor resiko :
Prosedur Invasif
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama … x 24 jam,
klien menunjukan
1. Pengetahuan klien tentang
kontrol infeksi meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengurangi ancaman kesehatan
secara aktual dan potensial
Indikator:
Menerangkan cara-cara
1. Kontrol Infeksi
Definisi : Meminimalkan mendapatkan infeksi dan trasmisi agen
infeksi
Intervensi :
1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh
klien
2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
Ketidakcukupan
pengetahuan untuk
menghindari paparan
patogen
Trauma
Kerusakan jaringan
dan peningkatan
paparan lingkungan
Ruptur membran
amnion
Agen farmasi
(imunosupresan)
Malnutrisi
Peningkatan paparan
lingkungan patogen
Imonusupresi
Ketidakadekuatan
imum buatan
Tidak adekuat
pertahanan sekunder
(penurunan Hb,
Leukopenia,
penekanan respon
inflamasi)
Tidak adekuat
pertahanan tubuh
primer (kulit tidak
utuh, trauma
penyebaran
Menerangkan factor-faktor yang
berkontribusi dengan penyebaran
Menjelaskan tanda-tanda dan
gejala
Menjelaskan aktivitas yang dapat
meningkatkan resistensi terhadap
infeksi
Keterangan:
1 : Tidak pernah menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang-kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
2. Pengetahuan tentang
deteksi resiko meningkat
Definisi : Tindakan untuk
mengidentifikasi ancaman kesehatan
Indikator :
Mengenali tanda dan gejala
yang mengindikasikan resiko
Mengidentifikasi resiko
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan
setelah meninggalkan