RESUME TEORI TENTANG STRUKTUR DAN PENAMP

RESUME TEORI TENTANG STRUKTUR DAN
PENAMPILAN MEDIA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah Komunikasi Massa.

Disusun
Oleh :

Fajar Hananto Aji .W.

( D1315024 )

Deviana Arum

( D1315016 )

Michelia Safitri

( D1315042 )

Rizky Nikmatul Jannah


( D1315066 )

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI TERAPAN MINAT PERIKLANAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016

TEORI NORMATIF TENTANG STRUKTUR DAN
PENAMPILAN MEDIA

Hubungan Media Dengan Masyarakat

Hubungan antara media dengan masyarakat telah dibahas dengan berbagai pendekatan yang
berbeda.

1. Hubungan tersebut merupakan bagian dari sejarah perkembangan setiap media massa
dalam masyarakatnya sendiri.
2. Gambaran media sebagai institusi mediasi, yang menghubungkan para

anggota masyarakat biasa dengan peristiwa dunia yang sulit dijangkau dan penguasa,
merupakan ide yang mengandung konsep hubungan yang terjadi setidak - tidaknya karena
adanya arus informasi yang berkesinambungan.
3. Ragam utama teori fungsionalis yang dibahas sebelumnya memiliki anggapan khusus
menyangkut media, yakni sebagai suatu institusi yang diperlukan bagi kesinambungan
sistem sosial masyarakat industri ( informasi ) modern yang berskala besar.

Teori Otoriter

Istilah ini diberikan oleh Siebert dan masih merupakan istilah yang tepat, karena teori ini
mengidentifikasi, pertama, peraturan pers tentang kapan dan dimana pers mulai dalam
masyarakat, untuk hampir semua bagian monarki dimana pers tunduk pada kekuasaan negara dan
kepentingan kelas penguasa.

Bentuk pengungkapan dan pemerkuat teori otoriter tampak sangat ragam, termasuk melalui :
a. Peraturan perundang - undangan.
b. Pengendalian produksi secara langsung oleh pemerintah negara.
c. Kode etik yang dapat diberlakukan.
d. Pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya.
e. Pengendalian impor media mancanegara.

f. Hak pemerintah untuk mengangkat staf redaksi.

Unsur sentral dan berulangnya pernyataan bahwa pengungkapan bebas dan umum
merupakan cara terbaik untuk mencapai kebenaran dan membeberkan ( expose ) kesalahan,
seperti yang terungkap dalam kritik yang mengesankan dari milton tentang penyensoran dalam
Areopagatica dan dalam penegasan kembali oleh John Stuart Mill yang lebih liberal dua abad
kemudian :
Kejahatan yang aneh dari pemasungan hak mengungkapkan pendapat adalah bahwa hal itu lebih
merampas ras, keturunan, dan generasi mereka yang tidak sependapat yang bahkan lebih daripada mereka
yang menganutnya. Apabila pendapat itu benar, peluang mereka unutk saling mempertukarkan kesalahan
demi kebenaran dirampas ; apabila salah, mereka kehilangan sesuatu hampir sebesar masalah yang
diperoleh, yaitu presepsi yang lebih jelas dan kesan lebih berjiwa tentang kebenaran, karena
perbenturannya dengan kesalahan.

Demikian, pers bebas telah dipandang sebagai komponen yang penting dari
masyarakat bebas dan rasional. Disamping keragaman pembenarannya, teori pers
bebas tampaknya tidak memerlukan penjabaran lebih rinci yang lebih spesifik dari
pernyataan sederhana seperti yang terungkap dalam Amandemen pertama konstitusi
Amerika Serikat yang menegaskan bahwa gagasan tentang pers bebas dapat
diungkapkan dalam beberapa prinsip berikut :

 Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihak
ketiga.
 Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiap orang

atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.
 Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbeda dari
kecaman terhadap orang -orang secara pribadi atau pengkhianatan dan gangguan
keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelah terjadinya peristiwa
itu.
 Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan segala hal.
 Publikasi “kesalahan” dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran,
dalam hal - hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.
 Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upaya
pengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.
 Seyogyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor atau ekspor atau
pengiriman atau penerimaan “pesan” di seluruh pelosok negeri.
 Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangat tinggi
di dalam organisasi mereka.

Teori Tanggung Jawab Sosial


Teori tanggung jawab sosial berasal dari inisiatif orang Amerika - komisi
kebebasan pers atau the commision on freedom of the press (Hutchins, 1947).
Pendorongnya yang utama tumbuhnya kesadaran bahwa dalam hal-hal tertentu yang
penting, pasar bebas telah gagal untuk memenuhi janji akan kebebasan pers dan
untuk menyampaikan maslahat yang diharapkan bagi masyarakat. Perkembanannya
teknologi dan perdagangan pers dikatakan telah menyebabkan kurangnya
kesempatan akses bagi orang - orang dan berbagai kelompok serta rendahnya standar
prestasi dalam upaya memenuhi kebutuhan informasi, sosial, dan moral dari
masyarakat. Upaya ini menampakkan wujudnya dalam beberapa bentuk : kode etik
jurnalistik ; pengaturan periklanan ; peraturan antimonopoli ; pembentukan dewan
pers ; tinjauan berkala oleh komisi pengajian ; pengajian parlementer ; sistem subsidi
pers ( Smith, 1997 ).

Teori Media Soviet
Teori tersebut dilengkapi dengan sarana kelembagaan yang selanjutnya
membentuk kerangka utama bagi keperluan praktek, pelatihan ( training ), dan
penelitian media.

Teori Media Pembangunan

Upaya ini perlu dilakukan karena keempat teori yang telah dibahas sebelumnya
tidak dapat diterapkan dan perhatian utama sekarang difokuskan pada hal - hal yang
berkaitan dengan komunikasi dalam dunia ketiga. Satu - satunya sumber gagasan
yang paling mutakhir dapat ditemukan dalam laporan komisi international unesco
tentang studi masalah komunikasi ( McBridge dan kawan - kawan 1980 ).

Teori Media Demokratik - Partisipan

Stimulus utama teori ini adalah reaksi terhadap komersialisasi dan pemonopolian
media yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme dan birokratisasi
lembaga siaran publik, yang diadakan sesuai dengan norma tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, siaran publik menimbulkan harapan besar terhadapa sistem media
yang dapat membantu dalam proses perbaikan sosial dan perubahan demokratik yang
panjang yang dimulai dengan revolusi ekonomi dan politik abad kesembilan belas.

Titik sentral teori demokratik - partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan,
dan aspirasi “penerima” dalam masyarakat politik, semuanya berfungsi sebagai
konsep yang bermanfaat untuk mengingatkan kita akan keterbatasan teori normatif
dalam menggambarkan kenyataan ( walaupun teori itu memang membentuk
kenyataan dan persepsi tentang kenyataan itu ), terutama bagi mereka yang

melakukan kontrol dan bekerja di media.

Kriteria Penelitian Penampilan Media

Karena adanya masalah dan tantangan yang disebut terdahulu, maka jumlah
pendapat tentang media yang lahir dari masyarakat pun semakin bertambah pada
dasawarsa bidang komunikasi internasional. Pembahasan ini dimaksudkan untuk
menjelaskan makna prinsip itu dengan menunjukkan peranan tuntunannya dalam
praktek dan cara untuk mengetahui apakah prinsip tersebut diterapkan atau tidak.

Kebebasan dan Independensi

Prinsip ini memiliki lingkup penerapan yang lebih luas dibanding dengan prinsip
lainnya, dan bisa saja dibicarakan orang dengan menggunakan istilah lain
( keanekaragaman, misalnya, sangat berkaitan erat dengan prinsip tersebut ). Dalam
kaitannya dengan masyarakat, prinsip itu harus diartikan sebagai tidak adanya
peraturan atau kontrol yang membatasi atau mengarahkan media. Dalam pengertian
ini, kebanyakan sistem pers komersial memiliki kebebasan.. Secara teoritis sistem
siaran publik tidaklah bebas, tetapi biasanya terdapat aturan “pelindung” yang
menjamin adanya independensi kebijakan dan profesionalisme tertentu.


Hasil prinsip ketertiban sering kali dikaitkan dengan upaya yang menunjang
perilaku “proposial” ( sesuai dengan norma - norma masyarakat ). Salah satu masalah
yang terdapat dalam konsep tersebut ialah sikap prososial seseorang dapat diartikan
oleh orang lain sebagai bentuk konformitas. Jika faktor khalayak juga
diperhitungkan, maka nilai- nilai solidaritas pun dapat dilihat dengan adanya
hubungan erat dan kerja sama aktif dengan adanya hubungan erat dan kerja sama
aktif antara media dengan publiknya.

Keanekaragaman dan Akses

Keanekaragaman acapkali dipandang baik sebagai hasil positif kebebasan media
maupun sebagai sasaran kegiatan media. Manfaat yang berkenaan dengan
keanekaragaman itu sendiri bervariasi. Keanekaragaman itu merupakan kondisi yang
diperlukan khalayak untuk dapat menentukan pilihan. Pada jenjang masyarakat,
kadar keanekaragaman media cenderung diukur pertama - tama melalui
penghitungan jumlah media independen. Sistem media dapat pula diukur melalui
cara berikut ; menghitung semua jenis media yang ada ( pers, televisi, radio, dan
sebagainya ) ; menghitung sektor media ( misalnya surat kabar harian ).


Sehubungan pertimbangan menyangkut khalayak sangatlah tepat, terutama
dalam kaitannya dengan dua masalah penting. Pertama berkenaan dengan persoalan
homogenitas atau heterogenitas publik media dalam kaitannya dengan dimensi yang
telah dipilih sebelumnya. Kedua menyangkut distribusi seluruh publik pada berbagai
media yang tersedia. Keadaan seperti itu sering terjadi dan perlu mendapat perhatian
sebelum kita menentukan penelitian terhadap realitas keanekaragaman yang
sebenarnya.

Objektivitas dan Kualitas Informasi

Satuan prinsip penilaian, objektivitas memang hanya mempunyai cakupan yang
lebih kecil dibanding dengan prinsip lain yang telah disinggung. Prinsip objektivitas
memiliki fungsi yang tidak boleh dianggap remeh, terutama dalam kaitannya dengan
kualitas informasi. Prinsip objektivitas berasal dari berbagai sumber, sebab prinsp
tersebut mengandung sekian banyak pengertian. Dengan demikian, objektivitas
diperlukan untuk mempertahankan kredibilitas.

Kualitas Budaya

Sudah sewajarnya kita menyebutnya kualitas budaya dan tidak menyingung

beberapa masalah yang lebih tepat dibahas dalam pokok bahasan “ketertiban”
( misalnya pornografi dan seksisme ). Dalam pengujian empiris terhadap kualitas
budaya keluaran media, orang seringkali kembali berhadapan dengan beberapa
indikasi yang secara relatif sederhana ( tetapi dapt dipercaya ), misalnya tingkat
produksi sendiri, ada atau tidaknya unsur budaya tradisional yang mapan dan diakui,
serta kadar fantasi dan realitas dalam isi.