HUKUM INTERNASIONAL (3) id. docx

HUKUM INTERNASIONAL
KEDAULATAN DAN JENIS-JENIS DARI KEDAULATAN
SECARA UMUM

Disusun Oleh:
Kelompok I
1.
2.
3.
4.

Farin Alma Septiana
Ria Agustianti
Rezma Darmaningrum
Nafisah

NIM.16.02.51.0007
NIM.16.02.51.0024
NIM.16.02.51.0055
NIM.16.02.51.0060


FAKULTAS HUKUM
UNIVVERSITAS STIKUBANK (UNISBANK) SEMARANG
20016/2017

KATA PENGANTAR

2

DAFTAR ISI

3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

1


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kedaulatan Atas Wilayah Daratan
Pengertian daratan termasuk berupa daratan termasuk sungai, perairan daratan dan danau.
Penentuan batas wilayah antar negara dilakukan dengan penentuan perbatasan, dapat ditentukan
melalui garis imajiner atau melalui penentuan perbatasan secara alamiah, yang berupa gunung,
sungai atau hutan.
Apabila perbatasan itu berupa sungai dan sungai tersebut daoat dilayari maka batas wilayah
antar negara tersebut pada sepanjang garis tengah sungai yang paling dalam yang dapat dilayari
(Thalweg). Namun jika tidak dapat dilayari, maka penentuan batas wilayahnya dapat
menggunakan cara (a) garis tengah sungai (median line) atau (b) garis tengah sepanjang cabang
utama.
Apabila perbatasan itu berupa hutan, biasanya disediakan zona perbatasan, sebagai zona bebas
pabean ‘customs free zone’, bagi penduduk lokal di sekitarnya dispensasi untuk saling
berhubungan. Dan di zona bebas tersebut biasanya dibentuk Komisi “Bipartite Permanen”.
2.2 Kedaulatan Atas Wilayah Perairan
Wilayah laut adalah bagian negara yang berupa perairan. Negara yang memiliki atau berbatasan
dengan laut disebut negara pantai atau ada sebutan negara kepulauan. Terhadap bagian wilayah
laut tertentu negara memiliki kedaulatan, dan terhadap bagian wilayah laut tertentu negara
mempunyai hak berdaulat. Ketentuan hukum internasional yang berlaku bagi wilayah laut antara

lain hukuk internasional kebiasaan, Konvensi Jenewa 1958, Konvensi Hukum Laut 1982 (United
Nations on The Law of the Sea 1982).
Bagian laut yang berada dalam kedaulatan negara adalah
1). Laut pedalaman (internal waters),
2). Laut teritorial (territorial sea), dan
3). Bagi negara kepulauan yang memiliki kedaulatan atas peraian kepulauan (archipelagic
rights).
Sedangkan bagian wilayah laut yang negara hanya memiliki hak berdaulat berupa : 1). Zona
tambahan (contiguous zone), 2). Zona ekonomi ekslusif (exclusive economic zone) dan 3).

2

Landas kontinen (continental shelf).
Deskripsi singkat mengenai laut.
Wilayah laut dapat dibedakan atas laut pedalaman, laut teritorial, jalur tambahan, zona ekonomi
eksklusif, landas kontinen, laut bebas, peraian kepulauan bagi negara kepulauan.
Peraian pedalaman
Adalah wilayah perairan yang berada disisi dalam garis pangkal, termasuk pelabuhan,
pangkalan laut, teluk. Negara mempunyai kedaulatan penuh. Negara dapat menolak masuknya
kapal, kecuali kapal tersebut dalam bahaya, berdasarkan pejanjian, dan karena perubahan

penarikan garis pangkal yang tadinya merupakan laut bebas berubah menjadi perairan
pedalaman.
Garis pangkal atau baselinnes adalah garis yang ditetapkan sebagai dasar pengukuran batas
terluar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Garis
pangkal juga mempresentasikan batas peraian pedalaman yang berada di sisi dalam garis pangkal
ke arah daratan (landward).
Ada 3 macam garis pangkal, yaitu :
1. Normal baselines, atau garis pangkal biasa, yang ditetapkan berdasarkan air pasang surut.
2. Straight baselines, atau garis pangkal lurus, yang ditetapkan dengan cara
menghubungkan antara titik-titik pada ujung pulau dengan suatu garis lurus.
Archipelagic baselines, atau garis pangkal kepulauan ditarik untuk menghubungkan titik terluar
dari pulau-pulau terluar dan karang kering terluar kepulauan, termasuk pulau-pulau utama,
Laut Teritorial
Laut teritorial adalah wilayah perairan yang berada di sisi luar garis pangkal yang lebarnya
tidak lebih dari mil laut diukur dari garis pantai. Negara pantai berhak menetapkan batas luar laut
teritorial, yaitu suatu garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat dengan garis
pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. Negara pantai mempunyai kedaulatan atas laut
teritorial. Kedaulatan negara pantai meliputi ruang udara di atasnya, kolom air dan tanah di
bawahnya dasar laut. Kedaulatan negara pantai dibatasi oleh adanya right of innocent
pasage (hak lintas damai) bagi kapal asing, yaitu suatu hak berlayar secara terus menerus melalui

3

laut teritorial dengan tujuan hanya lewat tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah pada
suatu pangkalan laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman; atau meneruskan ke
atau dari perairan pedalaman atau suatu persinggahan pada pangkalan laut. Suatu lintas dianggap
damai apabila dilakukan dengan tidak merugikan bagi perdamaian, ketertiban atau keamanan
negara pantai.
Adapun kewajiban dari negara pantai sehubungan dengan hak lintas damai tersebut antara
lain tidak boleh melarang adanya lintas damai, memberitahukan adanya bahay, tidak boleh
melakukan penundaan kecuali tempat tertentu demi alasan keamanan dan harus diumumkan.
Zona Tambahan (Contiguous Zone)
Adalah wilayah laut yang berbatasan dengan laut teritorial, yang lebarnya tidak boleh lebih
dari 24 mil diukur dari garis pangkal. Negara pantai mempunyai hak berdaulat atas wilayah zona
tambahan. Hak negara pantai melakukan pengawasan untuk kepentingannya, mencegah
pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, imigrasi, atau saniter di dalam wilayah
atau laut teritorial, menghukum pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan negara
pantai.
Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
Adalah wilayah laut yang berada di sisi luar dan bersambungan dengan laut teritorial yang
lebarnya tidak boleh lebih dari 200 mil diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut diukur. Di

wilayah zona ekonomi eksklusif ini negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Negara
pantai tidak berhak atas wilayah zona ekonomi eksklusif. Adapun hak negara pantai antara lain :
1. Hak eksklusif untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi atas sumber kekayaan alam
yang ada di zona ekonomi eksklusif, serta kegiatan lain seperti produksi energi dari air,
udara dan angin;
2. Menjalankan yurisdiksi berkaitan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan,
penelitian ilmiah, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
3. Menetapkan terlebih dahulu kapasitas tangkapan sumber kekayaan hayati;
4. Melakukan hot pursuit.
Wilayah zona ekonomi eksklusif pada dasarnya merupakan bagian dari wilayah laut bebas,
sehingga negara lain juga mempunyai hak-hak tertentu di wilayah zona ekonomi eksklusif suatu
negara, sepanjang mendapat ijin dan tunduk pada pengaturan yang ditentukan oleh negara pantai
tersebut. Hak negara lain seperti :
4

1. Berhak turut serta melakukan eksploitasi atau eksplorasi atas sumber kekayaan alam
hayati;
2. Menikmati kebebasan sebagaimana di laut bebas;
3. Negara yang secara geografis tidak berpantai dan atau tidak beruntung, mempunyai hak
yang diutamakan atas kelebihan kemampuan negara pantai tersebut.

Landas Kontinen (Continental Shelf)
Adalah wilayah luas di lepas pantai yang merupakan kepanjangan alamiah daratan. Menurut
Konvensi Jenewa 1958, landas kontinen adalah dasar dan lapisan tanah bagian bawah laut yang
berbatasan dengan pantai di luar laut teritorial sampai kedalaman 200 meter atau sampai
kedalaman yang masih dapat diekploitasi atau dieksplorasi.
Sedangkan dalam KHL-82 dimasud dengan landas kontinen adalah dasar laut dan tanah
bawahnya dari permukaan laut yang berada di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah
hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga jarak 200 mil dari garis pangkal darimana lebar
laut teritorial diukur, atau bila kelanjutan alamiah hingga pinggiran luar tepi kontinen tersebut
lebih dari 200 mil negara dapat menetapkan sampai batas maksimal 350 mil.
Atas landas kontinen negara pantai tidak berhak atas wilayah landas kontinen, namun
mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat negara pantai tidak terpengaruh oleh keadaan wilayah
di atasnya. Negara pantai mempunyai hak eksklusif atas sumber kekayaan alam non hayati di
landas kontinen tanpa dipengaruhi hak negara lain. Kewajiban negara pantai bila lebar landas
kontinennya hingga 350 mil adalah membayar kontribusi pada badan otorita internasional
sebesar 1 % dari nilai 350 mil mulai tahun ke-6 setelah berproduksi dan naik 1% tiap tahun
hingga tahun ke 13.
Wilayah Laut Lepas
Adalah wilayah laut yang tidak dikuasai oleh hukum suatu negara. Setiap negara punyai hak
dan kewajiban yang sama. Kebebasan di laut lepas dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang

ditentukan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan ketentuan lain hukum internasional, serta
memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan negara lain dalam melaksanakan kebebasan
di laut lepas. Kebebasan di laut lepas meliputi kegiatan-kegiatan :
1. Kebebasan berlayar,
2. Kebebasan penerbangan,

5

3. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan tunduk pada Bab VI
(Landas Kontinen),
4. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan
berdasarkan hukum internasional, tunduk pada Bab VI,
5. Kebebasan menangkap ikan, dengan tunduk pada bagian 2 (Konservasi dan pengelolaan
sumber kekayaan hayati di laut lepas),
6. Kebebasan melakukan riset ilmiah, dengan tunduk pada Bab VI dan XIII (Riset Ilmiah
Kelautan).
Wilayah Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
Adalah wilayah perairan yang ditutupi oleh garis pangkal kepulauan. Garis pangkal
kepulauan digunakan pula sebagai dasar penetapan zona teritorial, zona tambahan, zona ekonomi
eksklusif, dan landas kontinen bagi negara kepulauan.

Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan
mencakup pulau-pulau lain. Sedangkan yang dimaksud dengan Kepulauan adalah suatu gagasan
pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang
hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud
alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik, atau yang secara
historis dianggap demikian.
Untuk dapat memenuhi syarat penggunaan garis pangkal kepulauan sesuai dengan KHL 1982
ada empat persyaratan utama yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 KHL
1982, yaitu :
1. Seluruh daratan utama dari negara yang bersangkutan harus menjadi bagian dari sistem
garis pangkal;
2. Perbandingan antara luas perairan dan daratan di dalam sistem garis pangkal harus
berkisar antara 1 : 1 dan 9 : 1.
3. Panjang satusegmen garis pangkal kepulauan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali
hingga 3 persen dari keseluruhan jumlah garis pangkal yang melingkupi suatu negara
kepulauan boleh melebihi 100 mil laut hingga panjang maksimum 125 mil laut;
4. Arah garis pangkal kepulauan yang ditentukan tidak boleh menjauh dari konfigurasi
umum kepulauan.

6


Kedaulatan negara kepulauan meliputi wilayah perairan kepulauan, ruang udara di atasnya,
dasar laut di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sedikit pembatasan
atas kedaulatan negara kepulauan yaitu adanya hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal asing.
Lintas alur laut kepulauan adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut (1982) secara normal dan sematamata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak
terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau
zona ekonomi eksklusif lainnya.
Sehingga sebagai salah satu kewajiban yang tercantum dalam KHL 1982 yang harus
dilaksanakan oleh negara kepulauan adalah mementukan alur laut kepulauan, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 53 KHL-1982, yaitu :
1. Bahwa negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya
yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing;
2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut
dan rute penerbangan demikian;
3. Lintas air laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini;
4. Alur laut dan rute penerbangan yang demikian harus melintasi perairan kepulauan dan
laut teritorial serta meliputi rute lintas normal yang digunakan untuk penerbangan melalui
atau rangkaian garis sumbu;

5. Alur laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan dengan suatu rangkaian garis
sumbu;
6. Dalam hal negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak
lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk
pelayaran/penerbangan internasional.

7

2.3 Keadulatan Atas Wilayah Ruang Udara
Pengertian Ruang Udara dan Ruang Angkasa
Pembedaan ruang udara dan ruang angkasa disamping menyangkut aspek geografis juga
menyangkut kegiatan manusia di atas permukaan bumi. Menyangkut aspek geografis, maka yang
disebut dengan Ruang Udara (air space) adalah ruang di atas permukaan bumi atau atmosfir
yang masih didapati unsur-unsur gas yang disebut udara. Sedangkan yang dimaksud dengan
Ruang Angkasa (Outer Space) adalah ruang di atas permukaan bumi/atmosfer yang hampa udara
dan benda-benda langit.
Pengertian Hukum Udara dan Hukum Angkasa
Beberapa sarjana memberi pengertian tentang hukum udara sebagai berikut, Menurut Nys,
hukum udara adalah hukum yang mengatur ruang udara dalam pemanfaatannya untuk
penerbangan. Diederiks-Verschoor, hukum udara adalah hukum yang terdiri dari seluruh normanorma khusus mengenai penerbangan, pesawat udara dan ruang udara dalam peranannya sebagai
unsur yang perlu bagi penerbangan. Sedangkan menurut Goedhuis yang dimaksud dengan
hukum udara adalah rangkaian peraturan-peraturan yang berusaha menertibkan segala kejadian
di ruang udara serta mengatur pemanfaatan ruang udara sebagai kepentingan penerbangan.
8

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum udara
merupakan sekumpulan norma atau peraturan yang berlaku dan mengatur kegiatan di ruang
udara dalam kaitannya dengan kegiatan penerbangan dan keberadaan pesawat udara.
Sedangkan pengertian hukum angkasa (Space Law) menurut M. Lach adalah hukum yang
ditujukan untuk mengatur hubungan antar negara-negara, untuk menentukan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang timbul dari segala aktivitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di
ruang angkasa. Priyatna Abdurrasyid secara singkat memberi pengertian hukum ruang angkasa
adalah hukum yang mengatur segala kegiatan manusia yang bersangk paut dengan angkasa.
Prinsip Hukum yang Berlaku
(1) Di Ruang Udara antara lain :


Prinsip utama : Pengakuan kedaulatan negara di ruang udara secara penuh dan eksklusif



Pengakuan nasionalitas pesawat udara



Penerbangan berjadwal atau tidak berjadwal harus ada ijin



Kebebasan terbang di laut lepas



Kerjasama antar negara dalam bidang penerbangan

(2) Di Ruang Angkasa antara lain :


Prinsip utama : tidak berlaku kedaulatan negara



Larangan pemilikan atas ruang angkasa/benda-benda langit. Yang berlau atas benda-

benda ruang angkasa adalah hukum internasional


Setiap negara punya hak yang sama dalam menggunakan ruang angkasa. Setiap negara

peluncur mempunyai kewajiban untuk memberitahukan benda-benda ruang angkasanya


Kebebasan melakukan penyelidikan atau penggunaan ruang angkasa



Hak berdaulat negara dilindungi



Berlaku prinsip tanggung jawab mutlak.

9

Sumber Hukum Udara dan Hukum Angkasa
Hukum ruang udara dan hukum ruang angkasa merupakan bagian dari Hukum Internasional,
sehingga sumber hukum yang berlaku bagi hukum internasional sebagaimana terdapat dalam
Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional juga berlaku bagi hukum ruang udara dan hukum
ruang angkasa. Dewasa ini sumber hukum utama hukum udara dan hukum angkasa adalah
perjanjian. Beberapa perjanjian internasional yang berlaku di ruang udara antara lain :
1.

Konvensi Paris 1919

2.

Konvensi Warsawa 1929

3.

Konvensi Chicago 1944

4.

Konvensi Roma 1952

5.

Protokol The Hague 1955

6.

Konvensi Guadalajara 1961

7.

Konvensi tentang Tindak Pidana Udara (Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague

1970, Konvensi Montreal 1971)
8.

Konvensi Interm Montreal 1966

9.

Protokol Guatemala 1971

10.

UNCLOS 1982

11.

Bilateral Air Transport Agreement (BATA)

12.

General Agreement on Trade in Services (GATS)

Sedangkan beberapa ketentuan internasional yang menjadi sumber hukum dan berlaku di ruang
angkasa antara lain :
1.

Res. MU No. 1348 (XIII) 1958

2.

Res. MU No. 1962 (XVIII) 1963

3.

Space Treaty 1967\

4.

Rescue Agreement 1968
10

5.

Liability Convention 1975

6.

Registration Convention 1975

7.

Moon Agreement 1980

Perkembangan Kedaulatan Negara di Ruang Udara
Secara Teoritis
Pada dasarnya, ruang udara tidak hanya semata-mata dapat dimanfaatkan bagi kegiatan
penerbangan. Ruang udara dapat juga dimanfaatkan sebagai jalur-jalur frekuensi radio, yang
sifatnya juga melintas batas antar negara. Sehingga diperlukan adanya kerjasama antar negara
dalam pemanfaatan ruang udara sebagai jalur frekuensi radio. Namun, pada awal perkembangan
hukum udara banyak para sarjana dan negara-negara mempersoalkan pemanfaatan ruang udara
bagi kegiatan penerbangan. Persoalan yang muncul pada waktu itu adalah, bagaimana status
ruang udara di atas wilayah udara suatu negara? Atau dalam kaitannya dengan kegiatan
penerbangan, penerbangan melalui ruang udara di atas wilayah suatu negara bebas atau tidak?.
Teori Pertama tentang ruang udara adalah “Cujus est solum, ejust est usque ad coelum”
artinya, barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya
yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di
dalam tanah. Di pihak lain muncul teori bahwa udara merupakan “res communis”. Munculnya
teori yang demikian kemudian menimbulkan berbagai tanggapan dari para ahli, institusi terkait,
dan negara-negara. Tanggapan-tanggapan itu antara lain :
(a) Joseph Kroell, sesuai dengan surat uang ditujukan ke Prancis : “Jerman haru diperlakukan
sama dengan orang-orang yang menyeberang garis perbatasan negara lain di darat”.
(b) Konferensi Den Haag 1899 : “Larangan pendaratan peluru dan bahan peledak dari balon
atau menggunakan cara lain yang sifatnya sama”.
(c) Institut de Droit International 1902. Ada dua pandangan yang masuk tentang penggunaan
ruang udara.
Pertama : bahwa udara adalah bebas semua pihak, baik bagi penerbangan atau bagi keperluan
hubungan telegraf
Kedua : Negara berdaulat atas udara yang berada di atasnya

11

Lembaga : Menerima kedua pandangan itu, yaitu ada kebebasan di udara, akan tetapi ada hak
negara untuk membela diri demi mempertahankan keamanan negaranya
Konferensi : diterima pendapat tentang kedaulatan negara di ruang udara, dengan ketentuan harus
pula diakui adanya hak lintas damai.
(d) Commite on Aviation of the Internasional Law Association, 1913 : ada dua kelompok
besar pandangan tentang status kepemilikan ruang udara :
Teori udara bebas (the air freedom theory)
1. Kebebasan ruang udara tanpa batas
2. Kebebasan ruang udara dengan adanya hak khusus dari negara kolong
3. Kebebasan ruang udara, dengan penentuan zona teritorial di daerah mana hak tertentu
negara kolong dapat dilaksanakan
Teori kedaulatan negara di ruang udara
1. Negara kolong berdaulat penuh dengan ketinggian tertentu
2. Negara kolong berdaulat penuh, dengan pembatasan hak lintas damai (freedom of
innocent passage) bagi pesawat udara asing
3. Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas
(e) Jerman : negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara yang dapat digunakan di atas
daratan dan laut teritorialnya. Jerman tidak mengakui adanya “right of innocent passage” di
ruang udara. Jerman hanya mengakui bahwa bagi negara anggota konvensi dibenarkan
menaikkan, menurunkan dan terbang melalui wilayah ruang udara negara anggota yang lain.
(f) Perancis : ...air navigation is free... Bahwa Perancis mengakui bahwa melintas wilayah suatu
negara memang diperbolehkan, namun Negara kolong boleh melakukan pembatasan atas lintas
tersebut, seperti :
1.
2.
3.
4.
5.

Larangan dalam ketinggian tertentu
Larangan penerbangan di atas wilayah benteng pertahanan/militer
Larangan terbang yang sifatnya bertentangan dengan peraturan bea cukai
Negara kolong berhak melarang penerbangan melalui ruang udara di atas wilayahnya
Negara dapat menjalankan jurisdiksi atas peristiwa yang terjadi di dalam penerbangan
yang melewati wilayah negara kolong.

(g) Inggris : Bahwa pemilik tanah mempunyai hak perdata di ruang udara di atasnya dan untuk
keseluruhannya negara mempunyai hak kedaulatan penuh terhadap ruang udara di atasnya.
Inggris tidak mengakui adanya hak lintas damai bagi pesawat udara asing, seperti halnya hak
lintas damai bagi kapal laut di laut teritorial.
12

Secara Yuridis
Pasal 1 Konvensi Paris 1919 :
Pihak penutup perjanjian mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan
ekslusif (complete and exclusive) terhadap ruang udara di atas wilayahnya.
Konsekuensi pasal 1 tersebut, negara peserta konvensi dapat melakukan pembatasan
penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan peserta konvensi, sebagaimana diatur dalam
pasal 5 Konvensi Paris 1919. Jadi berlakunya kedaulatan lengkap dan ekslusif hanya bagi negara
bukan peserta konvensi.
Pasal 5 Konvensi Paris 1919 :
Tiada satu negara peserta kecuali dengan izin khusus dan sementara sifatnya untuk mengijinkan
penerbangan diatas wilayahnya oleh pesawat udara yang tidak memiliki kebangsaan dari suatu
negara peserta.
Dipihak lain, negara peserta konvensi mempunyai hak melakukan lintas penerbangan secara
damai (right of innocent passage) dalam wilayah ruang udara negara peserta konvensi lain, tanpa
terlebih dahulu mendapat ijin dari negara yang dilalui (Pasal 2). Sehingga, berlakunya pasal 1
tersebut dibatasi oleh ketentuan pasal 2, yaitu adanya hak lintas damai bagi pesawat udara negara
peserta konvensi.
Pasal 2 Konvensi Paris 1919 :
Masing-masing negara peserta melaksanakan dalam waktu damai menerima kebebasan lintas
damai di atas wilayahnya bagi pesawat udara milik negara peserta lain dengan syarat
sebagaimana diatur dalam konvensi. Peraturan yang dibuat oleh negara peserta untuk
memberikan ijin masuk dalam wilayah ruang udaranya kepada pesawat udara negara peserta
lain harus dilaksanakan tanpa membeda-bedakan kebangsaan.
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 :
The contracting States recoqnize that every State has complete and exclusive sovereignty over
the airspace above its territory.
Berbeda dengan pasal 1 Konvensi Paris, berlakunya Konvensi Chicago 1944 adalah tanpa
pembatasan atau mutlak. Artinya, dalam Konvensi Chicago 1944 tidak dikenal/diatur masalah

13

hak lintas damai di ruang udara. Bahkan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 didukung oleh pasal 3
ayat 3, pasal 5 dan 6.
Pasal 3 ayat 3 :
Tidak ada pesawat udara negara dari negara penandatanganan dapat melintas di wilayah
ruang udara lain atau di atas daratan tanpa ijin berupa persetujuan khusus atau dalam bentuk
lain, sesuai dengan istilah yang dimaksud.
Pasal 5 : bagi penerbangan tidak terjadual (non-scheduled) juga diperlukan ijin (bagi pesawat
udara komersial/carteran)
Pasal 6 : ijin diperlukan bagi penerbangan terjadual (scheduled = bagi pesawat udara komersial)
Konsekuensi dari kedaulatan ruang udara
1.

Melarang lintas pesawat udara asing melalui wilayah ruang udara nasional, kecuali ada

ijin dan merupakan suatu pelanggaran bila memasuki wilayah ruang udara suatu negara tanpa
ijin lebih dahulu, akibatnya dapat diusir.
2.

Menetapkan jalur-jalur udara yang dapat dilewati oleh pesawat udara asing

3.

Menetapkan kawasan udara terlarang

4.

Menjalankan yurisdiksi tertitorial.

Adanya tindak memata-matai di wilayah ruang udara suatu negara, yaitu dengan melakukan
pengamatan (observation) atau penyelidikan (surveillance) atau pengintaian (reconnaissance)
merupakan tindakan ilegal.

14

Perkembangan
Pengaturan

di Ruang

Udara
Pembentukan hukum ruang angkasa didasarkan terutama kepada hukum internasional dan
kerjasama internasional. Oleh karena itu hukum internasional sangat berperan dalam
pembentukan hukum ruang angkasa. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa
mencakup bidang yang sangat luas dan mempunyai nilai penting bagi setiap negara, oleh karena
itu negara-negara berusaha untuk mengatur kegiatan tersebut dalam suatu pranata hukum.
Badan internasional yang pertama didirikan dengan tujuan menciptakan kerjasama di bidang
eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa adalah International Astronautical Federation (IAF).
Badan ini didirikan pada awal tahun 1950. Badan internasional yang berbentuk federasi ini
bertujuan untuk mengarahkan perkembangan astronautika menuju ke arah perdamaian dunia,
mengembangkan penelitian di bidang astronautika dan segala bidang-bidang yang berhubungan
dengan itu, serta meningkatkan kerjasama internasional dalam bidang tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri telah memberi perhatian penuh terhadap eksplorasi dan
eksploitasi ruang angkasa ini, yakni dengan dibentuknya “United Nations Committee on the
Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS)”, yang sidang pertamanya diadakan di Wina,
Austria 1968.

15

Dalam usaha mengantisipasi kemungkinan pertentangan antar negara-negara berteknologi
maju di ruang angkasa, maka PBB pada tahun 1958 melalui sidang umumnya, telah menerbitkan
sebuah Resolusi, yakni Resolusi MU No. 1348 (XIII) tertanggal 13 Desember 1958
tentang Questions of the Peaceful uses of Outer Space. Disusul kemudian dengan Resolusi MU
No. 1962 (XVIII) tentang Declaration of Legal Principles Governing the Activites of States in
the Exploration and use oc Outer Space. Kedua Resolusi tersebut kemudian menjadi landasan
bagi sebuah perjanjian internasional di bidang ke ruang angkasaan, yaitu Treaty on Principles
Concerning the Activities of States in the Exploration and use of Outer Space, including the
Moon and other Celestical Bodies atau sering dikenal dengan Space Treaty 1967. Perjanjian
internasional ini dikatakan sebagai ”Magna Carta” atau Piagam Utama tentang pengaturan ruang
angkasa, termasuk benda-benda dan ruang angkasa, kewenangan negara dalam pemanfaatan
ruang angkasa, hak dan kewajiban Negara dalam pemanfaatan ruang angkasa.
Kemudian disusul dengan perjanjian-perjanjian internasional lain yang kemudian menjadi
sumber hukum ruang angkasa, yaitu :
1.

Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and Return of Objects

Launch Into Outer Space (Rescue Agreement) 1968. Perjanjian ini pada dasarnya mengatur
kerjasama Negara atau organisasi internasional sebagai peluncur dan negara pihak untuk dapat
segera menyelamatkan awak pesawat angkasa yang telah mendarat di laut bebas atau di tempat
lain yang tidak berada di bawah yurisdiksi negara manapun
2.

Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects (Liability

Convention)1972. Konvensi ini mengatur tentang tanggung jawab internasional untuk kerugiankerugian yang disebabkan oleh “space objects” dan prosedur pengajuan serta penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan formulasi sistem tanggung jawab dan prosedur
kompensasi.
3.

Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space (Registration

Convention) 1976. Berdasarkan koonvensi ini, bagi setiap negara yang melakukan peluncuran
atas benda langitnya berupa satelit berkewajiban untuk mendaratkan sekertaris PBB dengan
melaporkan secara rinci spesifikasinya, posisi orbitnya, kewajiban sekertaris PBB untuk
membuat daftar dari space objects yang diluncurkan ke ruang angkasa.

16

4.

Agreement Governing the Activities of States on the Moon and other celestical Bodies

(Moon Agreement) 1984. Pada dasarnya agreement ini mengatur tentang aktivitas negara di
bulan dan benda-benda angkasa lainnya.
Dengan adanya beberapa perjanjian di bidang keruang angkasaan tersebut, UNCOPUOS
berusaha mencari jalan yang paling sesuai agar eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa
dilakukan dengan cara-cara dan usaha yang paling menguntungkan bukan saja bagi negara
“Space Powers” akan tetapi juga memberi manfaat kepada negara-negara berkembang secara
maksimal.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18