fenomena korupsi di Partai Demokrat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi merupakan suatu gejala penyakit sosial yang menggerogoti
sendi-sendi bangsa dan merusak tatanan hidup bernegara, apabila membahas
tentang korupsi khususnya fenomena di negeri kita tercinta Indonesia seperti
seakan tidak ada habisnya Indonesia bahkan bisa dikatakan menjadi negara yang
korup. Korupsi di indonesia sudah tergolong extra ordinariry crime (kejahatan
yang luar biasa) karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi
ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantahkan pilar-pilar sosio budaya,
moral, politik dan tatanan hukum dan keamanan nasional. Entah sudah berapa
banyak uang negara yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat dirampas oleh
orang-orang yang hanya memikirkan bagaimana memperkaya diri sendiri.
Dewasa ini banyak fenomena pejabat publik yang tersandung masalah
Korupsi, seakan fenomena tersebut menjadi hal yang biasa di kalangan pejabat
petinggi negara melakukan korupsi, korupsi merupakan gejala kejahatan sosial.
Dalam dunia kesehatan korupsi ibarat penyakit. Sebagai sebuah penyakit, tidak
beralasan kiranya jika ada sementara pihak yang mengatakan bahawa praktik
korupsi memberi manfaat bagi pihak-pihak didalamnya. Sudjana (2008: 37)
sampai pada kesimpulan bahwa korupsi merupakan penyakit sosial yang harus
dikikis betapapun banyak orang yang terjangkit olehnya. Berkaitan dengan hal ini,

ada kisah bagus dari China mengenai bahaya korupsi. Ceritera tersebut Tikus di
Kuil (Tang 2005: 222). Bangsawan Huan dari Qi bertanya kepada Guan Zhong,
perdana menterinya: “Apakah ancaman terbesar bagi negara ? “Ancaman itu
adalah mereka yang menyerupai tikus-tikus di kuil,” jawab Guan Zhong. “Tolong
Anda Jelaskan”. Tuanku, Anda tentunya sudah melihat tikus-tikus di dinding
kuil”. Kuil adalah tempat sakral. Tetapi jika dipenuhi tikus, sangat sedikit yang
dapat kita lakukan. Jika kita mencoba mengasapinya agar mereka keluar, kita bisa
jadi malah membakar kuil itu; jika kita menuangkan air di lubang-lubang di
dinding, kita bisa jadi merusak lapisan dan cat dinding itu.”

1

Orang-orang yang dekat dengan penguasa, kata Guan Zhong adalah
seperti tikus-tikus itu. Mereka menggunakan pengaruh mereka untuk kepentingan
mereka sendiri. Mereka menerima suap dan berkolusi dengan kelompokkelompok yang punya kepentingan yang sama untuk meronrong negara. Mereka
mendukung orang-orang yang mendengarkan mereka dan mempersulit hidup
orang-orang yang tidak mendengarkan mereka. sepanjang waktu sang penguasa
dalam kegelapan. Orang-orang seperti ini harus dihukum tetapi sayangnya mereka
mempunyai tempat di hati penguasa. Jika segalanya berjalan seperti ini, negara
akan hancur.

Dalam cerita di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, kuil adalah
negara, sedangkan tikus adalah para pejabat atau pegawai negeri yang seolah-olah
setia kepada negara dengan bekerja sungguh-sungguh, tetapi di balik itu mereka
menggrogoti keuangan negara dalam melakukan pemerasan, penggelapan,
kecurangan, pengelembungan harga, dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya.
Apabila merujuk tentang Korupsi di Indonesia korupsi melibatkan
penyalahgunaan kepercayaan, yang umumnya melibatkan kekuasaan publik
keuntungan pribadi. Menurut Johnson (2005: 12) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk keuntungan pribadi.
Dalam definisi tersebut, terdapat emppat komponen yang menyebabkan suatu
perbuatan dikategorikan korupsi, yaitu penyalahgunaan (abouse), public (public),
pribadi (private), dan keuntungan (benefit).
Maka dari itu, kelompok kami tertarik membahas permasalahan korupsi
di kalangan pejabat dan penyalahgunaan peran, jabatan publik atau sumber untuk
keuntungan pribadi. Kasus yang kami bahas adalah lingkaran korupsi di Partai
Demokrat semoga dengan adanya penulisan makalah ini bisa memberikan solusi
partisipasi mahasiswa dalam pemberantasan korupsi.
Sebelumnya kelompok kami telah melakukan tiga kali diskusi terkait
pembuatan makalah ini, yaitu pertama pada hari selasa di R 1 setelah perkuliahan
Politik Hukum untuk membagi materi dan tugas kepada setiap masing-masing

orang. Pada pertemuan kedua yaitu pada hari rabu setelah perkuliahan olahraga di
sporthall kami kembali menjelaskan dan memberi waktu sampai hari kamis untuk

2

setiap orang mengumpulkan bahan-bahan materinya. Dan pada pertemuan ketiga
kami semua membahas isi dari makalah yang kami buat untuk hari senin kami
presentasikan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat dan ruang lingkup korupsi?
2. Bagaimana latar belakang seseorang melakukan korupsi?
3. Mengapa fenomena korupsi di Indonesia terus meningkat?
4. Bagaimana kronologi kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum kader Partai
Demokrat?
5. Bagaimana upaya penanggulangan korupsi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain untuk memenuhi dan
mengetahui:
1. Tugas mata kuliah Kriminologi

2. Hakikat dan ruang lingkup korupsi
3. Latar belakang seseorang melakukan korupsi
4. Fenomena peningkatan korupsi yang terjadi di Indonesia
5. Kronologi kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum kader Partai Demokrat
6. Upaya yang bisa dilakukan untuk penanggulangan korupsi di Indonesia

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat dan Ruang Lingkup Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara
harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang luas, korupsi adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Korupsi merupakan perubahan dari perkara yang baik menjadi yang
buruk dilihat dari segi moral, cara maupun tindakan, maka korupsi dapat terjadi

dalam segala aspek kehidupan, dan dalam segala tingkat proses tindakan manusia
dalam mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi
dapat terjadi pada bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun ketahanan
nasional, dan dalam tingkat penyaluran kedaulatan, penyususnan kebijakan, serta
pada implementasi kebijakan.
Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa
tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada birokrasi patrimonial yang berkembang
pada kerangka kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam
struktur kekuasaan yang demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan
pencurian akan dengan mudah berkembang Dalam perkembangan selanjutnya,
dapat dilihat bahwa ruang lingkup korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang
sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan juga kepada
hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Pada umumnya orang berbicara korupsi selalu dikaitkan dengan materi
dan uang, sedang korupsi dapat juga terjadi pada segi yang bersifat non materi.
Kelompok kami mengindentifikasi berbagai bentuk dan jenis korupsi yang terjadi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

4


Pertama, korupsi dapat terjadi pada tingkat penyaluran kedaulatan rakyat.
Pada waktu terjadi penyeluran kedaulatan dalam bentuk pemilihan umum, dapat
terjadi suatu bentuk korupsi. Pemilu yang diharapkan diselenggarakan secara
jujur, adil, bebas, langsung dan rahasia, diselewengkan menjadi penyelenggaraan
yang bernuansa pemaksaan baik secara terang-terangan maupun dengan cara
sembunyi. Terjadi berbagai tindakan yang menyimpang dari ketentuan yang telah
ditetapkan. Praktek yang disebut “money politics” merupakan penyimpangan yang
dapat dikategorikan korupsi. Pemaksaan memilih dengan cara yang tidak wajar,
merupakan tindakan korupsi. Penyelewengan terhadap penghitungan hasil Pemilu
juga merupakan bentuk korupsi.
Kedua, korupsi juga terjadi dalam kalangan penyusun peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan memberikan hak dan
kewajiban kepada warganegara dan kelompok serta pribadi atau badan hukum
tertentu dalam melakukan suatu kegiatan berkaitan dengan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dengan hak yang ditentukan peraturan perundang-undangan dapat
memberikan keuntungan dan kemudahan kepada pihak tertentu. Terjadilah tarik
ulur antara stakeholders dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yang
berakibat terjadinya sogok-menyogok yang merupakan salah satu bentuk korupsi.
Sebagai akibat suatu peraturan perundang-undangan tidak selalu memihak pada

kepentingan rakyat.
Ketiga, korupsi yang terbanyak terjadi di bidang eksekutif, karena di
bidang ini terjadinya kegiatan pelayanan pemerintahan kepada rakyat, yang
melibatkan transaksi berbagai kegiatan yang melibatkan direalisasikan pendanaan.
Korupsi mulai dari penyiapan program kegiatan yang biasa disebut proyek. Untuk
menggoalkan suatu proyek memerlukan kiat tertentu yang memerlukan keluarnya
dana. Tanpa dana, proyek akan mengalami kesulitan untuk diwujudkan. Lembagalembaga mana yang terlibat dalam penentuan suatu proyek telah difahami oleh
umum. Sehingga sebenarnya tidak terlalu susah untuk menemukan di mana terjadi
korupsi pada waktu penentuan suatu proyek. Namun hal ini tidak akan terungkap
karena tidak akan ada bukti tertulis, karena kedua belah pihak tidak akan
mengakuinya. Sebagai akibat lebih jauh korupsi akan berlanjut dalam realisasi

5

suatu kegiatan atau proyek. Dan karena dana telah disunat, dalam pengertian
jumlah dana yang tertera dalam proyek telah tidak sesuai lagi dengan kenyataan,
maka terjadilah korupsi berantai, sehingga realisasi kegiatan proyek sebenarnya
tidak 100%, tetapi mungkin hanya 65%, atau mungkin lebih rendah lagi. Korupsi
terjadi dalam segala kegiatan dan transaksi yang terselenggara. Hal ini telah
difahami oleh umum, yang kadang-kadang dianggap sebagai suatu prosedur yang

wajar.
1. Latar Belakang Seseorang Melakukan Korupsi
Penyebab terjadinya korupsi yang dilakuan seseorang diutarakan oleh
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul
“Strategi Pemberantasan Korupsi,” antara lain :
a.

Aspek Individu Pelaku
1) Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin

atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya,
tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi
pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan
rakus.
2) Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk
melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
3) Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi
kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan
berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan
ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar
untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam
arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang
seharusnya.
4) Kebutuhan hidup yang mendesak

6

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang
untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
5) Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong
konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan
berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu
adalah dengan korupsi.

6) Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa
keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan
tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan
korupsi.
7) Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang
tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila
korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini
menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
b. Aspek Organisasi
1) Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal
mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa
memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat
korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang
sama dengan atasannya.
2) Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya.
Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai

situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian
perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

7

3) Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang
memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas
visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan
sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi
tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah
kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
4) Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgarataulemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan
tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
5) Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
c.

Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
1) Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa
ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai
seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana
kekayaan itu didapatkan.
2) Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat
masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu
masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu
adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat
juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena
dikorupsi.

8

3) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi
pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh
masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat
pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak
disadari.
4) Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat
berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya
bila masyarakat ikut melakukannya.
Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena
adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup
adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa,
kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan,
sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang
bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
B. Fenomena Korupsi di Indonesia
Indonesia, sebagai salah satu negara yang telah merasakan dampak dari
tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek
hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa
peraturan - peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang
dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan
UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian
yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30
Tahun2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), ditambah lagi dengan dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan
masyarakat telah berdiri berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat
Profesional Madani (MPM), dan badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian
dan respon terhadap uapaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan
demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional.

9

Seharusnya dengan sederet peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan
semakin menjauhkan sikap,dan pikiran kita dari tindakan korupsi.
Gejala korupsi berkembang bukanlah gejala penyakit sosial yang muncul
di era modern saat ini. Namun, melalui sebuah proses dari setiap masa yang
dilewati.Masa

yang di lewati dalam sebuah tradisi atau gejala sosial akan

memuncak dan muncullah hal yang namanya korupsi. Sejarah korupsi Indonesia
terbagi kedalam beberapa masa, yaitu sebelum dan sesudah kemerdekaan baik di
era Orde Lama maupun Orde Baru hingga berlanjut di era Reformasi:
1.

Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi

korupsi” yang tiada entik karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan
wanita. Kita dapat melihat bagaimana tradisi korupsi berlangsung dalam bentuk
perebutan kekuasaan dalam kerajaan seperti perebutan kekuasaan di Kerajaan
Singosari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demakdan Kerajaan Banten. Dari contoh
– contoh diatas kita diajarkan bahwa bahwa konflik kekuasan yang disertai
dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah
menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Banyak pihak yang
tidak puas dengan apa yang dimilikinya saat itu. Mulai dari harta kekayaan yang
dimiliki hingga kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh atasannya. Kekuasaan
dalam hal ini bukan hanya bersifat kekuasaan yang dimiliki seseorang atas
kedudukannya, tetapi juga kekuasaan atas wanita lain. Karena tidak puas dengan
yang dimilikinya, dia melakukan pemberontakan bahkan menikam dari belakang
orang yang ingin “disingkirkannya”.
Pelajaran menarik pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai
terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Oportunismeadalah suatu
aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan
dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri,kelompok, atau suatu tujuan tertentu.
Atau dengan kata lain oportunisme adalah tindakan bijaksana yang dipandu
terutama oleh motivasi mementingkan diri sendiri. Istilah ini dapat diterapkan
untuk individu, kelompok, organisasi, gaya, perilaku, dan tren. Watak ini dapat
kita lihat dari penyerangan kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Jayakatwang dan

10

Ardaraja (panglima singosari yang anaknya Jayakatwanga) ke kerajaan Singosari
yang pada saat itu dipimpin oleh Kertanegara. Jayakatwang memanfaatkan
kelengahan Kertanegara yang saat itu sedang berperang dengan Kubilai Khan.
Saat pasukan Majapahit pergi meninggalkan kerajaan untuk berperang dengan
kerajaan Mongol, saat itulah kerajaan Kediri melakukan penyerangan ke
Majapahit

yang

mengakibatkan

hancurnya

kerajaan

dan

meninggalnya

Kertanegara.
Selain itu, perilaku opurtunistis dilihat dari posisi orang suruhan dalam
kerajan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi
kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja
atau sultan. Mereka memanfaatkan kedekatannya dengan raja atau sultan untuk
menindas dan mengeruk kekayaan dari pihak lain. Sebagian besar pemberian pada
raja untuk menarik simpatiknya berasal dari perampasan yang dilakukannya pada
rakyat. Kembali lagi rakyat yang menderita akibat timbulnya “raja – raja kecil”
yang memanfaatkan kekuasaan yang diberikan demi kepentingan sendiri. Hal
tersebut pula yang menjadi cikal bakal (embrio) lahirnya kalangan opurtunis yang
pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa korup yang begitu besar dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara kita dikemudian hari.
Pada saat masa penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan
meluas kedalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah
dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun.
Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja
dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif
tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi),
dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan
penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Praktek feodalisme makin berkembang seiring dengan praktek hegemoni dan
dominasi serta perilaku oportunis. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh
Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah
Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat
Indonesia. Selain itu tidak jarang mereka mengkorupsi upeti yang dikumpulkan

11

dari rakyat demi kepentingan diri sendiri sebelum diserahkan pada pihak penjajah.
Hal ini timbul karena tidak adanya sistem pengawasan yang ada dari pihak atasan.
Ini merupakan salah satu alasan terbesar, budaya korupsi menjangkit luas hingga
saat ini.
2.

Era Setelah Kemerdekaan
Era setelah kemerdekaan ditandai dengan 3 masa, yaitu masa orde lama,

orde baru dan reformasi. Sebenarnya fase perkembangan praktek korupsi di
zaman modern seperti sekarang ini dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan. Walaupun penjajah telah pindah tetapi budaya KKN yang
ditinggalkan tidak serta merta lenyap begitu saja. Hal tersebut tercermin dari
perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde
lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di
pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini.
Praktek feodalisme, hegemoni dan dominasi serta perilaku oportunis
merupakan akar timbulkan korupsi. Praktek dominan sangat terlihat pada saat
pemerintahan orde baru. Presiden sebagai pemimpin Negara dan pemerintahan
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa,
moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan. Negara melalui
pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan perilaku yang
menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan
pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola
praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan
telah melegalkan praktek korupsi dan berkembanglah budaya politik bisu (culture
silent) yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam
dan acuh. Secara sosiologi, bangunan birokrasi yang hanya berpusat pada
segelintir orang yang menyebabkan korupsi menyebar dan menjamur di
Indonesia. Praktek feodalisme pun makin terlihat dimana pemimpin daerah
melanjutkan perilaku korupsi yang terjadi diatas dan diterapkan kemasyarakat.
Dengan kekuasaan yang dimilikinya, mereka melakukan korupsi untuk
kepentingan diri sendiri dan atasannya.
a.

Kronologis Kasus Korupsi yang Dilakukan Kader Partai Demokrat

12

Disini kita akan lebih jauh membahas tentang korupsi yang dilakukan
oleh kader-kader dari partai demokrat. Slogan yang sering kita dengar “katakan
tidak pada korupsi” seolah menjadi kebalikan dari fakta yang terjadi saat ini.
Kurang lebih ada 7 anggota partai demokrat yang melakukan tindak pidana
korupsi yang sangat berlainan dengan visinya “partai demokrat bersama
masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar
mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu,
berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme,
Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang
maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera.”
Partai demokrat merupakai partai besar dibawah kekuasaan SBY tetapi
sayangnya banyak sekali kader partai demokrat yang terjerat kasus korupsi.
Diantaranya:
1) Angelina Sondakh
Pada 10 Januari 2013, mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat
Angelina Sondakh divonis 4,5 tahun penjara gara-gara menerima suap terkait
anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Ia menjadi tersangka kasus korupsi dan suap terkati pembahasan
anggaran proyek Wisma Atlet Palembang.
Menurut Opstib pusat, Laksamana Soedomo (Nurdjana, 2010, hlm. 33)
ada lima hal yang menyebabkan potensial korupsi dan penyelewengan yakni,
proyek pembangunan fisik, pengadaan barang, bea cukai, perpajakan, pemberian
izin usaha dan fasilitas kredit perbankan.
Menurut pendapat diatas disebutkan bahwa proyek pembangunan fisik
merupakan wadah yang potensial untuk melakukan korupsi terbukti pada kasus
anggelina sondakh ini dia korupsi akibat proyek wisma atlet di Palembang.
Dari segi kejahatan ini merupakan the white collar criminal, menurut
Cavan (Budimansyah, 2009, hlm. 41) kejahatan yang baru menjelma pada abad
modern ini yang merupakan ekses daripada proses ekonomi. The white collar
criminal merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha dan

13

pejabat-pejabat

dalam

hubungan

dengan

fungsinya.

Contoh:

korupsi,

penyalahgunaan wewenang dll.
Jelas sekali ditinjau dari segi kriminologi bahwa anggelina sondakh
sudah melakukan tindak kejahatan yang menggunakan jabatannya dan tentunya
sangat membawa dampak yang negatif terhadap orang lain dan dirinya sendiri
demi memenuhi hasrat dan kemauannya mendapatkan harta dengan jalan
kriminal.
Hukuman seberat-beratnya patut dilayangkan kepada mantan miss
indonesia 2001 tersebut, Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga
memerintahkan Angie membayar uang denda Rp250 juta. Namun, dalam vonis
ini, Majelis hakim tidak memerintahkan Angie membayar uang pengganti. Vonis
bagi mantan Putri Indonesia itu makin berat saat di tingkat Mahkamah Agung
(MA).Pada 18 November 2013, Majelis Hakim Kasasi memvonis mantan anggota
Badan Anggaran DPR itu 12 tahun penjara. Selain itu, Angie juga diperintahkan
membayar uang pengganti nyaris Rp 40 miliar. Bila tidak mampu membayar uang
pengganti ini dalam waktu yang ditentukan, Angie harusm endekam lagi selama
lima tahun di penjara.
2) Muhammad Nazaruddin
Sejak 2011, Nazaruddin sudah masuk daftar koruptor yang menghiasi
pemberitaan media massa. Hingga 2013, mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat ini masih punya cerita. Pada 23 Januari 2013, Mahkamah Agung (MA)
memperberat hukuman Nazaruddin menjadi 7 tahun. Sebelumnya, Nazaruddin
hanya divonis 4 tahun 10 bulan penjara di pengadilan pertama. Selain itu, MA
mewajibkan Nazaruddin membayar uang denda Rp300 juta. Pada tahun 2013, istri
Nazaruddin juga divonis bersalah karena terlibat korupsi. Neneng Sri Wahyuni
divonis enam tahun penjara dan denda Rp300 juta karena terbukti melakukan
korupsi proyek pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Ditjen
Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT)
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2008. Pengadilan Tipikor
Jakarta juga memerintahkan Neneng membayar uang pengganti sebesar Rp800
juta.

14

Menurut Gabriel Tarde tokoh mazhab lingkungan (Budimansyah, 2009,
hlm. 19) kejahatan bukan suatu jejak yang antropologis tapi sosiologis. Yang
seperti kejadian-kejadian lainnya dikuasai oleh faktor imitasi atau peniruan.
Menurut pendapat tesebut faktor lingkungan merupakan salah satu hal
yang melatarbelakangi terjadinya tindak korupsi, seperti yang dilakukan oleh
nazarudin dan istrinya yang tentu saja melakukan korupsi karena di dukung oleh
faktor lingkungan, terlebih istrinya yang meniru atau mengikuti jejak suaminya
korupsi jelas itu merupakan kejahatan ditinjau dari mazhab prancis (lingkungan).
3) Hartati Murdaya
Pengusaha yang juga mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat
ini divonis 2 tahun 8 bulan pada 4 Februari 2013. Dia terbukti ikut menyuap
Amran Batalipu, Bupati Buol, Sulawesi Tengah. Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi Jakarta juga mewajibkan Direktur Utama PT Hardaya Inti
Plantations (HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) itu membayar uang denda
sebesar Rp150 juta subsider 3 bulan. Hartati terbukti menyetujui pemberian uang
sebesar Rp3 miliar untuk Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu terkait
pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan sawit di Kabupaten Buol,
Sulawesi Tengah.
Dalam kasus ini, Amran divonis lebih berat, yakni 7,5 tahun penjara
karena terbukti menerima Rp3 miliar dari Hartati. Dia juga diwajibkan membayar
uang denda Rp300 juta. Vonis ini tak berubah di tingkat banding, yakni
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2 Mei 2013. Hartati telah memperoleh
pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Menurut Barda Nawawi Arif (Nurdjana, 2010, hlm. 29) korupsi berkaitan
dengan kompleksitas masalah lain seperti:
Masalah sikap mental atau moral, Masalah polaatausikap hidup dan
budaya

sosial,

masalah

kebutuhanatautuntutan

ekonomi

strukturatausistem ekonomi, masalah lingkungan hidup

dan

sosial dan

kesenjangan sosial-ekonomi, masalah strukturataubudaya politik, masalah
peluang yang ada di dalam mekanisme pembangunan atau kelemahan

15

birokrasiatauprosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di
bidang keuangan dan pelayanan umum.
Tentu sangat berkaitan sekali apa pendapat diatas dengan korupsi yang
dilakukan oleh hartati murdaya. Masalah kebutuhanatau tuntutan ekonomi dan
stukturatau sistem ekonomi menjadi penyebab utama pengusaha tersebut
melakukan suap. Penyalahgunaan wewenang yang dia punya menjadikannya
leluasa melakukan tindak kejahatan ini yang tentunya sangat merugikan banyak
pihak.
4) Anas Urbaningrum
KPK menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaingrum sebagai tersangka penerima gratifikasi terkait proyek Pusat
Pendidikan, Pelatihan, dan sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang,
Bogor pada 22 Februari 2013. Kala itu, Anas masih menjabat sebagai Ketua
Umum Partai Demokrat dan anggota DPR. KPK juga langsung mencegah Anas
bepergian keluar negeri untuk kepentingan penyidikan. Keesokan harinya, Anas
langsung mengumumkan pengunduran diri sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat.
Ada beberapa modus operandi korupsi yang sering dilakukan oleh para
koruptor salah satunya menurut Nurdjana (2010, hlm. 38) adalah:
Pelaku oknum aparat atau birokat dengan modus operandi yang sering
digunakan terutama pada bisnis proyek jasa konstruksiatau pembangunan,
pengadaan barang dan jasa seperti komisi proyek dan biaya servis pejabat tinggi
sehingga biaya operasioanal rendah, mark-up harga barang, barang palsu,
penyimpangan dari spektek pengadaan barang fiktif.
Menariknya korupsi yang dilakukan oleh anas urbaningrum dilakukan
dengan modus operandi perjalanan dinas fiktif, penggelembungan harga barang
dan jasa dll. Dengan begitu Anas urbaningrum melakukan kejahatan yang didasari
oleh faktor lingkungan dan internal (bio-sosiologis) karena tidak mungkin dia
melakukan korupsi tanpa adanya faktor pendukung dari luar dan keinginan dari
dirinya sendirii (internal).

16

5) Andi Mallarangeng
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga sekaligus mantan Sekretaris
Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng ditahan pada 17 Oktober 2013
setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2012. Andi diduga
bertanggung jawab pada penyelewangan yang merugikan negara di proyek
P3SON di Hambalang, Bogor. Pada 18 Juli 2014, Andi divonis 4 tahun penjara
dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan penjara. Majelis Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai, Andi terbukti melakukan korupsi terkait
proyek pembangunan P3SON Hambalang.
Dari segi kejahatan ini merupakan the white collar criminal, menurut
Cavan (Budimansyah, 2009, hlm. 41) kejahatan yang baru menjelma pada abad
modern ini yang merupakan ekses daripada proses ekonomi. The white collar
criminal merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha dan
pejabat-pejabat

dalam

hubungan

dengan

fungsinya.

Contoh:

korupsi,

penyalahgunaan wewenang dll.
6) Sutan Bhatoegana
KPK resmi menetapkan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana
menjadi tersangka, Rabu 14 Mei 2014. Sutan ditetapkan sebagai tersangka dalam
dugaan korupsi terkait dengan pembahasan anggaran APBNP tahun 2013 di
Kementerian ESDM. Juru bicara KPK Johan Budi mengungkapkan bahwa kasus
ini merupakan pengembangan dari kasus SKK Migas yang prosesnya sudah
selesai di persidangan. Sutan diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12
huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Pasal ini mengatur soal penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi.
Menurut Nurdjana (2010, hlm. 43) Penggunaan modus operandi pola
kejahatan dimensi baru seperti perbuatan korupsi dengan cara sindikat dan mafia
kejahatan internasional melalui crime as business, organized crime, white collar
crime, bank crime, monopoly oligopoly, manipulation crime yang telah menguras,
merugikan sumber daya kekayaan negara skla besar menjadikan APBN tetap
kecil.

17

Kasus sutan bhatoega merupakan kejahatan tingkat tinggi, karena
seorang menteri yang merupakan kaki tangan dari seorang presiden melakukan
kejahatan yang besar dan merugikan warganegaranya.
b. Upaya Penanggulangan Korupsi di Indonesia
Dasar hukum UU 31 Tahun 1991, UU 20 tahun 2001 Pemberantasan
korupsi di indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:
1) Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi
2) Komisi Pemberantas Korupsi
3) Kepolisian
4) Kejaksaan
5) BPKP
6) Lembaga non-pemerintah: media massa, organisasi massa misalnya ICW
Cara untuk memberantas atau mencegah korupsi dapat dibagi kedalam
tiga kategori besar, yakni kategori kultural, kategori sosial historis, dan kategori
pemerintahan.
Dari kategori kultural, program penanggulangan korupsi sangat
tergantung pada keadaan dan kemauan kelompok pemimpin. Dalam hal ini sangat
dituntut kesadaran dan pemahaman terhadap sifat, sebab dan akibat korupsi,
dengan dimilikinya kesadaran serta pengertian dan pemahaman para pejabat
terhadap korupsi, diharapkan mereka akan merubah orientasinya bahwa
pembangunan

dan

aspek-aspek

keuangannya

hanyalah

ditujukan

untuk

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Dalam kaitan ini perlu
dibangun juga keberanian melengserkan pejabat yang korup secara sistematis.
Sedangkan dari kategori sosial historis, budaya birokrasi patrimonial
perlu dikikis secara perlahan-lahan namun pasti, sehingga pada saatnya akan
menghapus pula budaya nepotisme yang jelas-jelas tidak mendukung kepada
upaya penciptaan profesionalisme birokrasi. Dengan kata lain, sudah saatnya
warisan budaya lama ini ditinggalkan dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan
baru yang lebih menghendaki rekrutmen secara lebih adil dan obyektif.
Adapun dari kategori pemerintahan, banyak hal yang harus dilakukan
antara lain melalui strategi sebagai berikut:

18

1) Penyempurnaan atau pembaharuan sistem administrasi yang belum sempurna
untuk mencegah kebocoran. Khususnya masalah pengawasan harus lebih
diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan
pengawasan.
2) Peningkatan tingkat kesejahteraan aparatur. Pengertian kesejahteraan disini
harus ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik, dimana
dengan pemenuhan dari kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan
mudah tergoda untuk melakukan penyelewengan, justru sebaliknya akan
memperkuat motivasinya guna mengabdikan diri kepada kepentingan bangsa
dan masyarakat.
3) Pembaharuan sistem hukum pidana nasional guna mencegah kecenderungan
kolusi yang sulit dibuktikan. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan
sebagai penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan
kepada kebenaran formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus
memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materil.

19

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rumusan masalah di atas kami menarik kesimpulan:
1. Korupsi merupakan perubahan dari perkara yang baik menjadi yang buruk
dilihat dari segi moral, cara maupun tindakan, maka korupsi dapat terjadi
dalam segala aspek kehidupan, dan dalam segala tingkat proses tindakan
manusia dalam mencapai tujuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Korupsi dapat terjadi pada bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
maupun ketahanan nasional, dan dalam tingkat penyaluran kedaulatan,
penyususnan kebijakan, serta pada implementasi kebijakan.
2. Penyebab terjadinya korupsi yang dilakuan seseorang diutarakan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah dari aspek individu
pelaku, aspek organisasi dan aspek tempat individu dan organisasi berada.
3. Fenomena korupsi yang semakin meningkat di Indonesia sangat berkaitan
dengan budaya terdahulu dan masa pemeritahan sebelumnya seperti era
sebelum Indonesia merdeka yang mementingkan mencari kekuasaan,
kejayaan dan sebagainya
4. Akibat banyaknya korupsi yang dilakukan oleh para oknum kader partai
demokrat menyebabkan kronologisnya pun beraragam mulai dari ketika
proyek hambalang dan lain-lain.
5. Ada cara-cara yang bisa dilakukan untuk memberantas atau mencegah korupsi
yaitu dapat dibagi kedalam tiga kategori besar, yakni kategori kultural,
kategori sosial historis, dan kategori pemerintahan.
B. Saran
Sebaiknya dilakukan proses penanaman (sosialisasi dan internalisasi )
nilai-nilai anti korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK). Proses tersebut
dilakukan melalui proses pendidikan yang terencana, sistematis, terus menerus
dan terintegrasi, sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Demikian juga

20

sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh
komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat dan daerah, lembaga
tinggi negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai sosial anti korupsi atau Budaya Anti
Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan menjadi kebiasaan hidup seluruh
komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA
21

Budimansyah. (2009). Pengantar Kriminologi. Laboraturium PKn UPI: Bandung.
Demokrat. (2015). Visi dan misi partai
www.demokrat.or.idatau [08 april 2015]

demokrat.

[online]

tersedia:

Kesuma, Dharma. (2009). Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi. Pustaka Aulia
Press: Bandung.
Maheka, Arya. (2011). Mengenali dan Memberantas Korupsi. Komisi
Pemberantasan Korupsi: Jakarta.
Nurdjana. (2010). Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi. Pustaka
pelajar: Yogyakarta.
Viva. (2014). Jerowacik tambah daftar politisi demokrat terjerat korupsi. [online]
tersedia: http:atauataunasional.news.viva.co.idataunewsataureadatau534931-jerowacik-tambah-daftar-politisi- demokrat-terjerat-korupsi [08 april 2015]

22