Perkembangan Islam di Mesir (1)

PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR
Asrar Mabrur Faza

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Islam tidak hanya dimaksudkan sebagai sebuah ajaran (baca: pesan moril)
yang bersumber dari nas-nas teologis saja, tetapi juga merupakan ajaran yang
bersumber dari perjalanan sejarah penganutnya. Ajaran Islam model yang pertama
ini bersifat sabit, tidak mengalami perkembangan sehingga disebut ajaran pokok.
Sedangkan model yang kedua bersifat tatawwur, mengalami perkembangan
seiring dengan pertumbuhan sejarah Islam itu sendiri, sehingga dinamakan ajaran
suplemen.1 Sejarah Islam sendiri dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: periode
klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800
sampai sekarang).2 Masing-masing periode tidak bisa dilepaskan dari persepsi
Islam sebagai agama missionaris, 3 yang melakukan aktifitas penyebaran agama.
Salah satu daerah yang menjadi acuan sejarah Islam pada periode modern adalah
Mesir. Selain merupakan satu tempat yang sering disebut dalam Alquran dan
Hadis,4 Mesir juga dikenal sebagai lokasi berawalnya kebangkitan umat Islam
dalam bidang pemikiran modern. 5 Oleh sebab itu, penelusuran perkembangan
1
Term "Ajaran Suplemen" ini digunakan oleh dalam Ahmad M. Sewang, Hubungan

Antarumat Beragama di Masa Nabi Muhammad Saw.: Bahasan Buku Sīrat Nabawiyah Ibn
Hisyam (Makassar: Universitas Islam Alauddin Makassar, 2006) h. 4.
2
Pernyataan ini disampaikan pada salah satu perkuliahan Sejarah Dunia Islam Modern
Pasca Sarjana Strata Tiga Konsentrasi Hadis UIN Alauddin Makassar pada tanggal Rabu, 30
September 2009 di bersama Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A.
3
Missionary activity atau missionary work (pelaksanaan misi) adalah merupakan arti lain
dari pada al-Da'wah, selain bidding (perintah), request (permintaan), dan call (panggilan). Lihat
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edited by J Milton Cowan, cet. III (London:
Wiesbaden, 1971), h. 283. Persepsi penulis tentang term yang digunakan di atas, mungkin sama
dengan apa yang dimaksudkan Syed Abul Hasan Ali Nadwi dalam salah satu judul bukunya,
Muslims in the West: The Message and Mission.
4
Salah satunya adalah Q.S. Yusuf/12: 99: "Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf,
Yusuf merangkul kedua orangtuanya, (seraya) berkata: Masuklah (Datanglah) kamu ke Mesir,
insya Allāh dalam keadaan aman". (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah saw.
bersabda: "Kamu akan menaklukkan Mesir, yaitu daerah yang dinamakan Qirāt, jika kamu telah
menaklukkannya, berlaku baiklah kepada penduduknya, karena mereka punya (hak) suaka dan
(perlakuan) baik". Abū al-Husain Muslim bin al-Hajjāj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisābūri, AlJāmi' al-Sahīh, Juz VII, (Beirūt: Dār al-Jail, t.th.), h. 190.

5
Di dalam tulisan ini, penulis akan menjadikan "Pemikiran Modern dalam Islam" ini
sebagai acuan dalam penelusuran Perkembangan Islam di Mesir, khususnya pada bidang politik
dan pemikiran keagamaan, meskipun juga memperhatikan bidang lain, tapi hanya merupakan

1

2

Islam melalui wilayah ini sangat penting untuk dilakukan jika melihat Islam dari
"ajaran yang suplemen" tadi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam tulisan ini adalah: Bagaimana Perkembangan Islam di Mesir. Rumusan ini
akan dibahas secara sistematis melalui beberapa sub masalah, yaitu:
1. Bagaimana Riwayat Penamaan Mesir
2. Bagaimana proses "masuknya" Islam ke Mesir
3. Bagaimana Perkembangan Islam di Mesir
B. Riwayat Penamaan Mesir
Term Mesir, terambil dari Misr yang bisa dijumpai dalam beberapa ayatayat Alquran maupun hadis Nabi Saw. Pada awalnya disebut dengan nama

penduduknya yaitu, al-Aqbāt (plural dari qibt). Orang-orang qibt kemudian
menyebut daerahnya dengan Kemy dan Takemy, yang berarti hitam atau tanah
yang hitam. Warna "Hitam" di sini menjadi simbol kesuburan. Sedangkan dalam
teks resmi pharaonic, Mesir kuno disebut dengan Tawey yang berarti dua tanah.
Karena secara geografis Mesir terbagi kepada dua, yaitu: Tasymā' (dataran tinggi),
dan Tsameho (permukaan laut). Istilah ini pertama kali muncul pada tahun 4000
tahun sebelum miladiyah. Sedangkan term Egypt (arab: al-Qahirah), dianggap
berasal dari bahasa Yunani yaitu Aigyptus, berarti bumi yang dicintai. Nama juga
yang pernah digunakan sebagai nama sebuah perguruan tinggi pertama yang
dibangun pada masa Napoleon, Egypt University (Universitas Kairo). 6
C. Proses "Masuknya" Islam ke Mesir
Islam pertama kali "masuk" ke wilayah Mesir, yaitu masa khilāfah
rāsyidah yaitu pada pemerintahan 'Umar bin al-Khattāb (13 – 23 H/634 – 644 M),
yang dikenal dengan prestasi ekspansinya ke beberapa wilayah, seperti Syiria,
informasi pendukung saja.
6
"Sejarah Nama Mesir or Egypt" Himpunan Mahasiswa Sulawesi Tengah (Hamasah)
Kairo bs-ba.facebook. (1 Nopember 2009).

3


Irak, Mesir, Persia, Palestina dan lain-lain, sehingga digelari Amīr al-Mukminīn
(pimpinan komandan orang-orang yang beriman). 7 Sebelum kedatangan umat
Islam, Mesir telah dikuasai oleh Byzantium. Panglima perang Islam saat itu yang
dipegang oleh 'Amrū bin al-'Ās telah lama berniat untuk melakukan penaklukan
Mesir, namun karena beberapa pertimbangan masih urung dilakukan. Jamāl 'Abd
al-Hādi mengemukakan beberapa alasan yang "mendesak" umat Islam pada masa
Khalifah 'Umar bin al-Khattab mengadakan ekspansi ke Mesir, di antaranya
adalah semangat penyebaran Islam dan penegakan Islam sebagai aturan hidup di
bumi Tuhan, motivasi Nabi Saw. untuk menaklukkan Mesir, serta adanya
musyawarah yang dilakukan khalifah bersama para tentaranya (mu'tamar 'askari)
dalam rangka memperluas wilayah ekspansi Islam. 8
Akhirnya setelah mendapat "restu" dari Amīr al-Mukminīn, 'Amrū bin
al-'Ās melakukan ekspedisi ke Mesir dengan bantuan 4000 tentara. Ekspedisi
dimulai dari 18 H dengan mulai mendudukuti kota Aris serta Pelabuhan Pelusium
(al-Farama) pada tahun 19 H/640 M. Kota Babylon yang ditundukkan pada tahun
20 H. Iskandariah juga dapat dikuasai oleh pasukan bantuan dibawah pimpinan
Ubadah bin Samit. Perjanjian damai antara Cyrus (al-Muqauqis) dengan pasukan
'Amru bin al-'Ās dengan persyaratan, salah satu di antaranya adalah; Bangsa
Arab akan tinggal di markasnya selama gencatan senjata dan pasukan Yunani

tidak akan menyerang Iskandariah dan menjauhkan diri dari permusuhan; Umat
Islam tidak akan menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh mencampuri
urusan umat Kristen;9 Umat Yahudi harus tetap tinggal di Iskandariah.10 Akhirnya
Mesir dapat takluk di tangan 'Amrū bin al-'Āsh. Pada perkembangan selanjutnya
dibangunlah Fustat (Misr al-'Atīqah) sebagai ibu kota wilayah. Kota ini juga
pada akhirnya menjadi ibu kota empire Fatimiyah.

Mun'im Majeed, Tārīkh al-Hadārah al-Islāmiyah (Mesir: Angelo, 1965), h. 28.
Jamāl 'Abd al-Hādi, Fath Misr (t.t.: Dār al-Wafā', 1999), h. 31.
9
Kebebasan beragama kaum Kristen Koptik, merasa terancam sejak empire Romawi
"bercokol" di Mesir. Sehingga mereka tidak mau dengan kedatangan umat Islam ke sana, dapat
mengulang masa kelam kebebasan beragama kembali. Sehingga perlu dicantumkan persyaratan
ini. Ibid., h. 16
10
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997) h. 55.
7
8

4


D. Perkembangan Islam di Mesir
1. Era Pra-Modern
Masuknya Islam ke wilayah Mesir, sebagaimana yang telah dikemukakan
di atas, merupakan fase ketiga dari sejarah Mesir menurut pengamatan para ahli
sejarah. Mulai pada fase inilah perkembangan Islam mulai dapat ditelusuri di
negeri ini. 11 Pada fase ini bermacam-macam empire Islam pernah berkuasa seperti
Abbasiyah, Thuluniyah, Ikhsyidiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah dan yang terakhir
adalah Usmaniyah. Namun di sini hanya empire yang terpenting dan mengemuka
saja yang akan dipaparkan.
Salah satu empire yang pernah berkuasa di Mesir adalah Fatimiyah yang
didirikan oleh 'Abd al-Lāh al-Mahdi bi al-Lāh. Pada masa empire Fatimiyah inilah
kota Kairo didirikan pada tanggal 17 Sya'ban 358 H/969 M oleh panglima perang,
Jawhar al-Siqli. Jawhar juga kemudian mendirikan masjid al-Azhar pada tanggal
17 Ramadhan 359 H (970 M). Sebuah masjid yang pada akhir berubah fungsi
menjadi Universitas al-Azhar.12 Kota Mesir di masa empire Fatimiyyah telah
mulai memperlihatkan kemajuannya pada masa al-Mu'īz dan puncaknya berada
pada masa pemerintahan anaknya, al-'Azīz. Al-Mu'īz melakukan tiga kebijakan
besar saat itu, yaitu melakukan pembaharuan dalam bidang administrasi,
pertumbuhan ekonomi dan toleransi beragama dan mazhab. 13

Empire selanjutnya adalah Ayyubiyah yang didirikan oleh Salāh al-Dīn
al-Ayyūbi, seorang jenderal dan dan pejuang Kurdi dari Tikrit (Irak). Empire
didirikannya bukan hanya di Mesir, tetapi juga di Syiria, sebagian Yaman, Irak,
wilayah Hijaz dan Diyar Bakr. Salāh al-Dīn dikenal di dunia umat Islam dan
non-muslim (baca: Kristen) karena kepemimpinannya, kekuatan militer, sikap
pengampun kepada musuh ketika perang salib. Selain itu dia juga dikenal sebagai
11

Sejarah Mesir dapat dibagi tiga fase, yaitu: (1) Fase Jahili, yang dimulai sejak
munculnya raja-raja Fir'aun sampai dengan ditemukannya umat Kristen Koptik, (2) Fase Masihi,
yaitu masa Kristen Koptik sampai datangnya ekspansi Islam, dan (3) Fase Islami, yaitu ditandai
dengan munculnya beberapa empire Islam di Mesir. Muhammad Husnī Affandī al-'Āmirī,
Nuzhah al-Bāb (Mesir: al-Hilāl, 1314 H) h. 20, 21.
12
A. Mukti Ali. Ed. Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid II (Jakarta: Departemen Agama
RI, 1988), h. 464.
13
Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1973), h. 118.


5

seorang ulama yang memberi syarah kitab hadis Abū Dāud. 14 Pada masa empire
Ayyubiyah, lembaga-lembaga ilmiah yang telah dipelopori oleh Fatimiyah tetap
dipertahankan, akan tetapi orientasi keagamaan yang pada awalnya berpaham syi'i
dirubah menjadi paham Sunni. Selain itu pada masa ini juga dibangun lembagalembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat belajar
teologi dan hukum. 15
Selanjutnya adalah empire Mamluk juga pernah berkuasa di Mesir. Sebuah
empire - atas prakarsa Baybars - yang pada awalnya didirikan oleh sekelompok
budak yang telah menjadi tentara karena bekal pengalaman dalam berbagai
operasi militer pada masa empire Ayyubiyah. Pada masa ini Mesir berada pada
kondisi "terselamatkan" di tengah-tengah gencarnya serangan-serangan dari
bangsa Mongol. Sehingga Mesir tetapi menjadi pusat peradaban Islam saat itu.
Meskipun tidak banyak kemajuan Islam dicapai, akan tetapi kondisi yang aman
ini dapat menjaga kokohnya bangunan-bangunan peninggalan empire Ayyubiyah.16
2. Era Modern
Era ini ditandai dengan ekspedisi yang dilakukan oleh pasukan Perancis di
bawah komando Napoleon Bonaparte terhadap Mesir, dengan tujuan ingin
menumpas sisa-sisa empire Mamluk yang masih ada di Mesir. Upaya Napoleon
untuk dapat menguasai Mesir bukan hanya dilakukan dengan persiapan strategi

peperangan saja, tetapi dengan mengirimkan alat-alat teknologi, yang pada
akhirnya memberi kesadaranan bagi umat Islam (baca: orang Turki) untuk
mengenali kelemahan mereka setelah dikuasai Perancis. Salah seorang Turki yang
dimaksud adalah Muhammad Ali Pasya.
Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang menjadi penguasa diktator di
Mesir setelah ditinggalkan oleh Perancis pada tahun 1801, dan dikenal juga
sebagai "pendiri Mesir modern". Dalam menjalankan pemerintahannya, dia
menyakini bahwa ada dua penyanggah utama pemerintahan, yaitu kekuatan
14

http://id.wikipedia.org/wiki/Salahuddin_Ayyubi (2 Nopember 2009)
Hitti, Capital Cities of Arab, h. 130.
16
http://id.wikipedia.org/wiki/Mamluk (2 Nopember 2009)
15

6

militer, yang didukung oleh kekuatan ekonomi. Dua kekuatan inilah yang menjadi
garis utama segala kebijakan yang diambilnya. Untuk memperkuat ekonomi, dia

melakukan berbagai perbaikan irigasi, penanaman kapas, serta pembukaan
sekolah pertanian pada 1836. Bahkan melakukan nasionalisasi pemilikan tanah
untuk digunakan sepenuhnya bagi tulangpunggung perekonomian Mesir. Pada
bidang militer, dia merekrut tenaga-tenaga dari Perancis sehingga terbentuklah
Nizām al-Jadīd sebuah model baru angkatan bersenjata Muhammad Ali. Dia juga
membuka sekolah militer pada 1815. Selain itu dibangun juga sekolah penerjemah
pada tahun 1836, guru-gurunya banyak yang didatangkan juga dari Barat. Dari
hasil sekolah ini banyak buku diterjemahkan seperti bidang filsafat Yunani dan
tentang kebebasan berfikir, yang pada akhirnya membuka mata penduduk Mesir
untuk lebih mengenal Barat. Bahkan dia juga mengirim 311 pelajar Mesir ke
Italia, Perancis, Inggris dan Austria untuk mempelajari ilmu-ilmu kemiliteran,
arsitek, kedokteran dan obat-obatan. 17
Rifa'at Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873) adalah salah satu putra Mesir
yang dikirim Muhammad Ali ke Perancis, akan tetapi ditunjuk sebagai pemimpin
(al-imām) bagi para pelajar yang ada di sana selama lima tahun. Setelah mahir
berbahasa Perancis dan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa Perancis,
diapun diangkat menjadi guru bahasa Perancis dan penerjemah bahasa Perancis.
Tak pelak lagi banyak buku yang diterjemahkannya, dengan alasan bahwa untuk
mengetahui ilmu-ilmu yang membawa Barat kepada kemajuan perlu adanya
usaha-usaha penterjemahan. Dari buku-buku yang diterjemahkannya, al-Tahtawi

lebih cenderung kepada filsafat politik. Al-Tahtawi juga aktif menulis untuk
berbagai majalah dan buku, salah satunya adalah Manāhij al-Albāb al-Misriyya
fi Mabāhij al-Adab al-‘Asriyya yaitu tentang sosiologi Mesir. Pemikirannya

dalam bidang pendidikan yang terkenal adalah pencanangan Kecintaan terhadap
Bangsa (hubb al-watan) yang menyempitkan makna watan dari dunia Islam
menjadi khusus Mesir, dengan menggalang rasa cinta kepada Mesir melalui syair
17
Ahmad Tafsir, "Pemikiran di Zaman Modern" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, ed.Taufik Abdullah, et.al., jilid IV (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, t.th.), h. 397, 398. http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Ali_dari_Mesir (2 Nopember
2009)

7

yang memuji Fir'aun. Gebrakan pembaharuan pendidikan yang dilakukannya juga
ditandai dengan pendapatnya bahwa para ulama harus mengetahui ilmu-ilmu
modern agar dapat menyesuaikan syari'at dengan kebutuhan zaman modern. 18
Pemikir modern lain, adalah Jamāl al-Dīn al-Afghāni (1838-1897) yang
pertama kali datang ke Mesir pada tahun 1871. Di sini dia giat memberikan
kuliah-kuliah dan mengadakan diskusi-diskusi bersama orang-orang yang kelak
akan menjadi pemikir-pemikir Islam modern yang lain. Sebenarnya dia lebih aktif
dalam aktifitas politik daripada pengembangan ilmu pengetahuan di Mesir. Pada
tahun 1879 didirikanlah Partai Nasional (Hizb al-Watan) atas prakarsanya.
Selama delapan tahun Al-Afghāni membangkitkan gerakan berpikir di negara ini
agar mencapai kemajuan di bidang pemikiran. Ketika berada di Perancis, dia
mendirikan al-'Urqah al-Wusqa yang bertujuan untuk memperkuat rasa
persaudaraan Islam, dan juga telah berhasil mencetuskan gerakan pan-islam unity
(persatuan Islam). 19 Di antara pemikiran modern Islam-nya adalah bahwa Islam
adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Kalau ada
"kesan" pertentangan antara ajaran Islam dengan kondisi zaman, penyesuaian
dapat dilakukan dengan mengadakan interpretasi baru atas ajaran Islam yang
tercantum dalam Alquran dan Hadis, yaitu melalui ijtihad. Kemunduran umat
Islam menurutnya adalah karena pemahaman yang salah terhadap qada' dan
qadhar sebagai paham fatalis. Sehingga perlu menggiring kembali umat Islam
kepada pemahaman yang sejati, yaitu qada' dan qadar yang diartikan untuk
memupuk keberanian dan kesabaran. Al-Afghāni menganjurkan sistem politik
yang bercorak otokrasi kepada demokrasi, dengan bentuk negara republik. Karena
otokrasi yang absolut akan memecah belah umat Islam, sedangkan republik bisa
mempersatukan umat, inilah yang menjadi muara dari gagasan pan-islam unity. 20
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa al-Afghāni mengadakan
diskusi dengan orang-orang yang akan menjadi pemikir Islam modern,
Muhammad Abduhlah orangnya. Muhammad Abduh (1849-1905), putera
18

Ahmad Tafsir, "Pemikiran di Zaman Modern", h., 398. http://islamlib.com/id/artikel
/bapak-pembaruan-pemikiran-keagamaan-mesir/ (2 Nopember 2009)
19
Ludwig W. Adamec, Historical Dictionary of Islam (Lanham, Md.: Scarecrow Press,
2001), h. 32.
20
Ahmad Tafsir, "Pemikiran di Zaman Modern", h., 399.

8

kelahiran Mesir yang juga merupakan alumni dari Universitas al-Azhar memiliki
pemikiran-pemikiran keagamaan yang "tidak kalah modernnya" dibandingkan
pada pendahulunya. Meskipun ada titik temu dengan yang lain, ketika
mengumandangkan terus dibukanya pintu ijtihad, serta perlu penyesuaian ajaran
Islam dengan zaman modern. Selain itu juga dia sangat menekankan penggunaan
akal dalam berijtihad. Menurutnya Alquran bukan berbicara kepada hati manusia,
tetapi kepada akal manusia. Dia menambahkan bahwa tidak sempurna iman
seseorang jika tidak berdasarkan akal. Demikian penting peranan akal dalam
pemikiran-pemikiran keagamaannya. Bahkan dalam menyikapi hadis ahad dia
berpendapat bahwa keimanan seseorang tidak akan diserang hanya karena dia
menolak hadis-hadis ahad yang tidak pernah didengarnya atau yang tak dapat
dibuktikan kesahihannya, meskipun pada abad pertengahan hadis-hadis seperti itu
dinyatakan sahih. 21 Abduh juga menganjurkan untuk memasukkan ilmu-ilmu
modern dalam kurikulum al-Azhar, dan sebaliknya di pendidikan ilmu-ilmu
umum perlu adanya pendalaman ilmu agama. Pemikiran-pemikiran Abduh yang
lain dituangkan dalam buku-bukunya ataupun beberapa orang muridnya. 22
Di antaranya murid Abduh yang terkenal adalah Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935). Pemikir - yang menguasai bahasa Arab, Turki dan Perancis – ini
juga mendapat pengaruh dari Jamāl al-Dīn al-Afghāni yang kemudian di
dijalankannya pada waktu berada di Mesir. Pendapatnya tentang faktor
kemunduran umat Islam sama dengan yang dipersepsikan pendahulunya,
Muhammad Abduh, yaitu dengan adanya penyebaran takhayyul dan khurafat pada
masyarakat Muslim saat itu. Sehingga pandangan-pandangan seperti ini perlu
diberantas. Dalam bidang pembaharuan pendidikan, dia berpendapat agar tidak
selalu diajarkan pendidikan agama tapi juga perlu dimasukkan kurikulum
pendidikan umum. Untuk menghilangkan sikap kefanatikan yang umat saat itu,
Rasyid Ridha menganjurkan sikap toleransi bermazhab. Karena sikap kefanatikan
hanya akan memelihara semakin lemahnya umat. 23
21

G. H. A. Juynball, The Authenticity of The Tradition Literature Discussions in Modern
Egypt, terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960) (Bandung: Mizan, 1999), h. 2425.
22
Ahmad Tafsir, "Pemikiran di Zaman Modern", h. 401, 401.
23
Ibid

9

3. Era Pasca-Modern (Kontemporer)
Perkembangan Islam di Mesir khususnya dalam bidang pemikiran
keagamaan di era kontemporer, juga menjadi hal yang menarik untuk ditelusuri.
Karena pada era ini bermunculan pemikir-pemikir keagamaan yang juga berasal
dari al-Azhar, tetapi dalam situasi dan kondisi yang tentunya sangat jauh berbeda
dengan masyarakat Mesir di Era Modern sebelumnya. 24 Walaupun demikian di
sini hanya ada dua pemikir – menurut penulis sangat refresentatif – untuk
mewakili corak pemikiran Islam modern di era ini.
Salah satu tokoh yang pernah "mengukir" perdebatan pemikiran
kewahyuan di Mesir (sekitar tahun 1986) adalah Muhammad al-Ghazāli yang
merupakan alumni universitas al-Azhar dari Fakultas Usūl al-Dīn pada bagian
Dakwah. Muhammad al-Ghazāli adalah seorang tenaga pengajar di berbagai
perguruan tinggi, seperti di Qatar dan Pakistan. Dia juga aktif menulis beberapa
buku, salah satu buku yang mengandung kontroversi adalah al-Sunnah alNabawiyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīs. Buku ini berisikan beberapa
kritikannya terhadap hadis Nabi Saw. Salah satu pemikirannya di bidang hadis
adalah menolak hadis yang dinilainya bertentangan dengan ayat-ayat Alquran.
Pendapatnya ini menimbulkan persepsi sebagian orang bahwa Muhammad alGhazali mengingkari hadis. Contoh yang dikemukakannya dalam buku tersebut
adalah peristiwa 'Aisyah ra. (isteri Nabi saw.) yang menolak hadis yang
disampaikan Abū Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda sesungguhnya orang mati
disiksa karena tangisan keluarganya, dengan alasan bahwa kandungan hadis ini
bertentangan dengan surah al-An'am (6) ayat 164. 25
Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi adalah grand syekh di Universitas alAzhar saat ini. Dia adalah merupakan tokoh yang paling kontroversial bukan
hanya di Mesir khususnya, tetapi juga di dunia Islam pada umumnya. Salah satu
24

Pencantuman era kontemporer disini tidak dimaksudkan untuk menambah formulasi
klasifikasi periode sejarah Islam seperti yang dikemukakan Harun Nasution sebelumnya. Tetapi
hanya sebagai pemetaan terhadap alur pemikiran modern yang mengalami perubahan dari waktu
ke waktu.
25
Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīs,
terj. Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadis: Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
(Bandung: Mizan, 1998), h. 11.

10

isu yang paling mutakhkhir adalah larangan penggunaan niqab (cadar) yang
diusungnya. Menurut Sayyid Tantawi, niqab adalah suatu tradisi yang tidak ada
hubungannya dengan Islam. Pelarangan ini hanya berlaku di kelas khusus
perempuan baik siswa maupun guru pada instansi pendidikan yang dipimpinnya.
Bahkan menurut kabarnya yang beredar, kebijakan ini menyusul akan berlaku di
asrama universitas, demikian juga beberapa sekolah yang berada di bawah
naungan al-Azhar. Kebijakan Sayyid Tantawi ini bersamaan dengan Peraturan dari
Menteri Pendidikan Tinggi Mesir Hani Hilal yang telah melarang cadar di
lingkungan sekolah. 26
Kasus lain yang menjadi "atraksi" pemikiran keagamaan Sayyid Tantawi
adalah sikapnya yang melakukan jabat tangan dengan presiden Israel, Simon
Shimon Peres dalam acara konferensi antar agama yang digelar PBB bulan
November kemarin. (2009). Karena jabat tangan yang dilakukan oleh Sayyid
Tantawi memberi kesan bahwa dia "menyetujui" apa yang dilakukan Peres
terhadap pembunuhan orang-orang Palestina baru-baru ini. Melalui kejadian ini
Sayyid Tantawi mendapat kecaman dari para anggota parlemen Mesir, kelompok
oposisi bahkan dari mass media untuk mengundurkan dari dari jabatan pimpinan
tertinggi al-Azhar, dan meminta maaf dari apa yang telah dilakukannya itu. 27
4. Corak Perkembangan Islam di Mesir: Sebuah Analisa
"Munculnya" Islam di Mesir, diawali dari penyebutan tokoh 'Umar bin
al-Khattāb sebagai khalifah kedua dari khilāfah rāsyidah, serta peranan dari yang
besar 'Amrū bin al-'Ās sebagai panglima perang. "Islam suplemen" (baca:
Islamic Teacing) yang diperankan oleh kedua tokoh ini memberi kesan bahwa
Islam yang dibawa oleh mereka adalah Islam yang toleran, seperti yang dilihat
pada perjanjian yang diajukan sebelum Mesir ditaklukkan, yaitu tidak
diperbolehkan-nya umat Islam menghancurkan gereja-gereja dan tidak boleh
mencampuri urusan umat Kristen. Bahkan lebih daripada itu Islam yang "dianut"
oleh salah satu tokoh ini, berawal dari Islam Rasional, contohnya – pada kasus
26

http://www.mafazaonline.com/index.php?news=747 (2 Nopember 2009)
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/pimpinan-al-azhar-mesir-dituntut-mundur.htm
(2 Nopember 2009)
27

11

yang lain – seperti yang dialami 'Umar bin al-Khattāb, ketika tidak membagi
tanah pertanian sebagai bagian harta rampasan perang kepada para tentara Islam
pada saat itu, padahal berdasarkan ketentuan Q.S. al-Anfāl (8) ayat 41, seharusnya
mereka mendapat bagian empat perlima dari harta tersebut, sedangkan yang
lainnya masuk ke dalam kas negara. Namun itu semua tidak dilakukan 'Umar,
karena unsur maslahat yang lebih penting dari urusan pembagian, yaitu keamanan
daerah dari perebutan harta. Pengalaman 'Umar ini menjadi contoh bagaimana
'Umar meninggalkan bunyi harfiah Alquran beralih kepada rasionalitas
pemahaman Alquran yang mengandung unsur maslahah (kepentingan umum)
yang masih berada dibalik teks itu sendiri, dan ini adalah merupakan satu bentuk
pengalaman Islam Rasional. 28
Agenda-agenda toleransi beragama atau mazhab, baik yang dilakukan
secara resmi sebagai bagian dari kebijakan politik, maupun toleransi dalam tataran
praktek yang bersifat individual penguasa, semuanya itu telah berhasilkan
dilakukan "orang-orang nomor satu" yang pernah menguasai Mesir, yaitu seperti
Al-Mu'īz pada empire Fatimiyah, dan Salāh al-Dīn al-Ayyūbi dari empire
Ayyubiyah. Bahkan praktek toleransi yang diterapkan penguasa yang disebut
terakhir ini terbilang sangat unik, karena penerapannya berada dalam situasi yang
sangat kritis saat perang Salib. Sikap toleransi ini juga yang pernah dianjurkan
oleh Rasyid Ridha di era modern.
Muhammad Ali Pasya, penguasa Mesir – meskipun seorang diktator –
memiliki kebijakan-kebijakan yang mungkin dianggap maju (progressive) saat
itu. Usaha pengiriman orang Mesir ke Perancis yang dilakukannya, demikian juga
merekrut orang-orang Barat untuk menjadi tenaga pendidik di negara Islam (baca:
Islam) adalah merupakan pemikiran politis yang progressive. Sehinga hal ini
menjadi cerminan bahwa "Islam" yang dikembangkannya bersifat progressive,
atau disebut dengan Islam Progresif. Pada masa Muhammad Ali Pasya juga sudah
diperkenalkan wacana kebebasan berfikir melalui penerjemahan beberapa buku

Lihat kasusnya dalam Abū al-Farj 'Abd al-Rahmān bin 'Āli bin Muhammad Ibn alJauzi, Manāqib 'Umar bin al-Khattāb, cet. III (Beirūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah, 1987) h. 92. Lihat
juga http://freedominstitute.com/id/artikel/Umar-bin-Khattab-dan-Islam-Liberal/
28

12

yang dilakukannya. Hal ini juga semakin memperkuat pandangan keislaman yang
dianutnya.
Rifa'at Badawi Rafi' al-Tahtawi melalui pandangan hubb al-watan,
menunjukkan bahwa paham nasionalisme yang digalinya berawal dari kondisi
sosial masyarakat Mesir secara khusus. Pandangan nasionalisme ini juga,
nampaknya berbeda dengan pandangan yang dijalin atas nama: "seakidah atau
seagama" seperti yang dianut oleh mayoritas umat Islam pada saat. "Temuan" alTahtawi ini juga merupakan pandangan politik sekaligus keagamaan bersifat
progresif.
Jamāl al-Dīn al-Afghāni ikut menyuarakan kesesuaian ajaran Islam dengan
kondisi zaman. Bahkan dia berpandangan bahwa jika terjadi pertentangan ajaran
Islam dengan kondisi zaman, maka perlu adanya interpretasi baru atas ajaran
Islam (baca: ijtihad baru). Pemikiran keagamaan seperti ini, juga mengisyaratkan
akan adanya "kemajuan" dalam memahami Islam. Dengan kata lain, perlu adanya
penafsiran-penafsiran baru terhadap konsep-konsep ajaran Islam jikalau pada
kenyatannya berdampak negatif bagi umat Islam. Contoh yang dikemukakan alAfghāni di sini adalah persoalan qada' dan qadar yang diartikan umat Islam pada
saat itu sebagai paham fatalis. Tapi seharusnya persoalan qada' dan qadar ini
diartikan sebagai sikap untuk memupuk keberanian dan kesabaran.
Muhammad Abduh tampil dengan menggusung penggunaan akal dalam
memahami ajaran-ajaran Islam. Selain itu dari sikapnya yang progresif juga
tampak pada waktu memberikan penilaian terhadap orang yang menolak hadis
ahad, dengan beranggapan bahwa hal itu bukan termasuk bagian dari persoalan
keimanan, sebagaimana yang dipahami umat Islam saat itu. Sikap progresif
terhadap hadis juga ditunjukkan oleh Muhammad al-Ghazali, ketika sikapnya
yang menolak hadis sahih yang bertentangan dengan Alquran, dianggap sebagai
sikap pengingkaran terhadap hadis Nabi Saw.
Muhammad Sayyid Tantawi, juga selalu menampilkan pemahamanpemahaman terhadap agama yang kontroversial. Fenomena semua ini
membuktikan bahwa semakin "pesatnya" pemikiran-pemikiran keagamaan yang

13

dilakoni oleh para tokoh-tokoh agama di Mesir, sebagai gambaran dari corak
perkembangan Islam di Mesir.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Dari dari apa yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa:
a. Sesungguhnya penamaan yang digunakan untuk negara Mesir dapat ditelusuri
melalui berbagai teks-teks keagamaan (bahasa Arab). Bahkan juga telah
dikenal dalam bahasa non-Arab seperti Yunani. Nama-nama yang
menunjukkan negara Mesir, di samping al-Misr, juga al-Qāhirah, qibt dan
Egypt.
b. Proses masuk Islam ke Mesir di awali ketika ekspansi yang dilakukan oleh
khalifah 'Umar bin al-Khattab (masa khilāfah rāsyidah) di bawah pimpinan
militer 'Amru bin al-As. Selanjutnya perluasan wilayah Islam di daerah
tersebut dilanjutkan pada masa-masa khilafah Abbasiyah dan beberapa
"empire mini"
c. Perkembangan Islam di Mesir, seperti yang dijalankan oleh beberapa tokoh
politik yang berkuasa, atau para pemikir Islam di Mesir mempunyai ciri khas
tertentu. Pengutamaan rasionalitas daripada teks Alquran, kebebasan berfikir
atau penggalangan perlunya berijtihad, toleransi beragama, berpandangan
progresif, dan lain-lain sebagainya adalah merupakan ciri-ciri pengembangan
Islam dengan corak yang liberal.

2. Implikasi
Secara umum perkembangan Islam di Mesir yang dilakukan oleh para
tokoh politik maupun keagamaan yang dianggap liberal, telah berhasil dilakukan.
Oleh karena itu, untuk bisa mengembangkan Islam di daerah lain yang
"kualitasnya" menyerupai (untuk tidak mengatakan sama) pesatnya dengan

14

perkembangan Islam di Mesir, perlu dilakukan oleh orang-orang yang "berhaluan"
liberal.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'ān al-Karīm
'Abd al-Hādi, Jamāl. Fath Misr. t.t.: Dār al-Wafā', 1999.

15

Adamec, Ludwig W. Historical Dictionary of Islam. Lanham, Md.: Scarecrow
Press, 2001.
al-'Āmirī, Muhammad Husnī Affandī. Nuzhah al-Bāb. Mesir: al-Hilāl, 1314 H.
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam. Bandung: Mizan, 1983.
al-Ghazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadīs. Terj. Muhammad al-Baqir, Studi Kritis Atas Hadis:
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1998.
Ibn al-Jauzi, Abū al-Farj 'Abd al-Rahmān bin 'Āli bin Muhammad. Manāqib
'Umar bin al-Khattāb. Cet. III; Beirūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah, 1987.
Juynball, G. H. A. The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in
Modern Egypt. Terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadis di Mesir (18901960). Bandung: Mizan, 1999.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
al-Naisābūri, Abū al-Husain Muslim bin al-Hajjāj bin Muslim al-Qusyairi.
Al-Jāmi' al-Sahīh. Juz VII. Beirūt: Dār al-Jail, t.th.
Sewang, Ahmad M. Hubungan Antarumat Beragama di Masa Nabi Muhammad
Saw.: Bahasan Buku Sīrat Nabawiyah Ibn Hisyam. Makassar:
Universitas Islam Alauddin Makassar, 2006.
Tafsir, Ahmad. "Pemikiran di Zaman Modern" dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam: Pemikiran dan Peradaban, ed. Taufik Abdullah, et.al., jilid IV,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. edited by J Milton Cowan.
cet. III. London: Wiesbaden, 1971.