Jurnalistik Sastra Keindahan Tanah Sunda

Jurnalitik Sastra

Oleh Arip Rahman Rohmatulloh

(1154050030)
Jurnalistik 5A

Keindahan Tanah Sunda Yang Ingin
Kita Pertahankan Bersama

“Teu Boga Sawah asal boga Pare, Teu
boga Pare asal boga Beas, Teu boga
Beas asal bisa Nyangu, Teu Nyangu
asal bisa Dahar, Teu Dahar asal Kuat.”
Sederhana namun makmur. Itulah kata
yang
pantas
disematkan
untuk
kampung adat Cireundeu Desa Cireundeu, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi,
Jawa Barat yang saya kunjungi akhir November dua tahun lalu. Saya datang untuk

menyaksikan sekaligus mengobservasi kampung adat tersebut yang konon
Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini
banyak sekali populasi pohon reundeu.
pohon reundeu itu sendiri ialah pohon
untuk bahan obat herbal. Maka dari itu
kampung
ini
di
sebut
Kampung
Cireundeu.
Kampung adat Cireundeu ini sangat
harmonis
secara
geografis
sebab
langsung di himpit oleh tiga gunung
yaitu Gunung Kunci dan Gunung
Cimenteng serta Gunung GajahLangu
yang membuat desa tersebut subur.

1

Daerah yang biasanya sepi dan senyap seketika itu ramai di kunjungi oleh belbagai
kendaran roda dua dan roda empat milik orang-orang dari jurnalistik kelas A
angkatan 2015 UIN Sunun Gunung Djati Bandung. Kami semua berbondongbondong untuk mengunjungi kampung adat ini.
Saya
mengikuti
perjalanan
ke
Cireundeu melalui perjalanan yang
lumayan singkat akan tetapi banyak
cerita yang bermakna, kami berangkat
dari kampus yang terletak di Bandung
Timur ini membutuhkan waktu sekitar
dua jam kurang lebih, perlahan
keramaian-keramaian kota pun kami
lalui untuk menuju desa Cireundeu
yang secara administratif berada di
Kota Cimahi.
Jalan menuju desa tersebut pun sudah bisa di nilai baik karena kinerja pemerintah

setempat yang sudah memperhatikan masyarakatnya, sehingga orang-orang tidak
kesulitan dalam mengunjungi kampung adat Cireundeu ini. Tak hanya itu, desa
Cireundeu ini juga ditetapkan sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) yang masih
menjalankan tradisi-tradisi lama yang mengakar dan di wariskan oleh tetua adat
dulu.
Penat perjalanan sirna tatkala sambutan semilir angin sejuk yang menerpa lembut,
mengabarkan kesederhanaan nan harmonis, ketegangan berganti damai pada saat
itu kami sampai di pintu masuk desa.
Senyum ramah penduduk setempat menambah kami nyaman saat melalui
perjalanan yang melelahkan, seusai istirahat seorang tokoh di desa yaitu Bapak
Widyia (28) yang akrabnya dipanggil Kang Going pun mengajakan kami memasuki
bale’ yaitu sebuah ruangan
aula yang disediakan untuk
para tamu ketika berkunjung.
Ketika di dalam bale’ tersebut
terjadilah dialog yang begitu
membuka mata kami akan
desa yang sederhana nan
harmonis ini. Dimulai dengan
sejarah bermula nya desa ini

ada, serta bagaimana para

2

penduduk menjaga tradisinya yang selama ini tetap utuh meskipun diterjang zaman
yang begitu melaju pesat.
Tak hanya itu banyak ragam keunikan yang membuat diri saya sejenak terdiam
berpikir, dari hal kepercayaan masyarakat setempat yang di anut itu Sunda
Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa oleh Pangeran Madrais dari
Cigugur, Kuningan pada tahun 1918. Salah satu upacara terbesar oleh masyarakat
Kampung Adat Cierundeu yaitu 1 Sura. Bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu
perayaan 1 Sura layaknya lebaran bagi kaum muslim. Sebelum tahun 2000, saat
perayaan mereka selalu menggunakan pakaian baru. Namun setelah adat mereka
dilembagakan sehingga pada saat kaum laki-laki menggunakan pakaian pangsi
warna hitam dan ikat kepala dari kain batik. Sedangkan untuk kaum perempuan
menggunakan pakaian kebaya berwarna putih. Gunungan buah-buahan yang
dibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi seperti rempah-rempah
dan singkong yang menjadi pelengkap wajib dalam ritual ini. Selain itu kesenian
kecapi suling, ngamumule budaya sunda serta wuwuhan atau nasihat dari Sesepuh
atau ketua Adat menjadi rukun dalam upacara 1 Sura.

Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri
Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum
banyak berubah sejak puluhan tahun lalu, dan mereka masih memegang ajaran
moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini.
Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari
falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya,
memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup
berdampingan dengan mahluk hidup lainnya.
Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api,
kayu, dan langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa
yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan
mahluk hidup lain rasakan”.
Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak
memakan nasi melainkan singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang
Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang
terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik,
warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana
nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga kampung, mencintai
lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara,

sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya .
Masyarakat adat Kampung Cireundeu menganut kepercayaan tersendiri. Penduduk
kampung Cireundeu tersebut pada mulanya menggunakan beras sebagai makanan
3

pokoknya. Alasan beralih menjadi singkong sebagai makanan pokok karena pada
masa penjajahan Belanda terjadi kekurangan pangan khususnya beras.
Oleh karenanya pengikut aliran kepercayaan tersebut diwajibkan berpuasa dengan
cara mengganti nasi beras dengan nasi singkong sampai waktu yang tidak
terbatas. Tujuan berpuasa adalah agar segera merdeka lahir dan bathin, menguji
keyakinan para penganut aliran kepercayaan serta agar mereka selalu ingat pada
Tuhan Yang Maha Esa.
Kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu diterapkan dilingkungan
masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam
dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah
leluhurnya dalam rangka menjaga
dan
melestarikan
alam
dan

lingkungan.
Tak terasa matahari pun mulai
memuncak dan tak malu lagi
unjuk gigi di hadapan bumi untuk
memberi cahaya dengan sinar
terangnya,
kemudian
seusai
pengenalan yang mendalam dan
membuat faham terhadap tradisi,
budaya,
serta
kearifan
lokal
setempat kami di ajak untuk mendaki Puncak Salam yang merupakan tempat
singkong-singkong masyarakat ditanam.
Keunikan dalam mendaki puncak salam pun mulai terasa, yaitu syarat mendaki
puncaknya dilarang mengunakan alas kaki apapun, lantas jalan yang terjal serta
licin pun kami rasakan langsung dengan kaki-kaki telanjang. Sesampainya di
puncak angin yang berhembus lembut mengobati keringat-keringat yang bercucur

deras keluar dari dalam tubuh serta keindahan alam yang begitu mempesona
membuat kami nyaman dalam beristirahat, kemudian seorang tokoh desa yaitu
Abah Asep Abas (29) yang mendampingi kami selama perjalanan ke puncak
menuturkan sebuah pepatah makna mendaki puncak tanpa alas kaki ini sembari
beristirahat bersama, “hal ini merupakan bentuk dalam menghargai para petani
singkong yang setiap hari naik turun bukit untuk merawat tanaman singkong milik
desa”.

4

Seusai mendengar penuturan dari Abah Asep kami
semua tidak lupa mengabadikan momen-momen
langka yang tidak biasa kami dapatkan di belahan kota
tempat kami tinggal, pesona alam yang menggoda
elok tersebut membuat ku ingin menetap lebih lama
akan tetapi waktu yang berjalan cepat membuat langit
cepat menuju senja tatkala matahari mulai diselimuti
awan-awan sore serta memaksa kami untuk bergerak
menuruni puncak.
Setelah menaklukan Puncak Salam yang menguras

tenaga, sesampainya di bale’ desa telah disediakan
jamuan-jamuan makan siang berupa ciri khas
kampung Cireundeu yaitu Nasi Singkong dengan lauk
pauk ala masakan Sunda. Dengan tenaga yang telah
terkuras di tambah hidangan khas yang menggoda
membuat nafsu makan kami bergejolak, lalu kami
santap hidangan yang dijamukan tersebut dengan
lahapnya.
Tak hanya dalam hal santap-menyantap saja kami semangat akan tetapi pada hal
pembuatan nasi singkongnya pun kami semangat dalam mempelajarinya, dimulai
dengan cara bagaimana memilih singkong yang sudah baik untuk di olah, kemudian
membersihkannya, serta memparut halus sebelum olahan singkong di keringkan
menjadi beras dan di nanak menjadi nasi yang berasa khas.
Awal kebiasaan mengkonsumsi singkong sebagai bahan pokok telah menjadi turtun
temurun. Para leluhur masyarakat Cireundeu pernah berpesan agar mereka
menanam singkong menggantikan
padi. Berawal sekitar tahun 1918
ketika sawah-sawah yang ditanami
padi mengering dan menyebabkan
fuso. Untuk mengantisipasinya

para
leluhur
Kampung
Adat
Cireundeu menyarankan untuk
menanam
singkong
sebagai
penggati padi. Karena singkong
dapat ditanam pada saat musim
kering maupun musim penghujan.
Kang
Going,
tokoh
pemuda
sekaligus Nonoman Kampung Adat Cireundeu, menyebutkan, dari berbagai
kebiasaan warga setempat, yang paling menyita perhatian dari kampung ini ialah
tradisi memakan berbahan baku singkong. Masyarakat adat Kampung Cireundeu

5


mulai menjadikan singkong sebagai makanan pokoknya sejak 1918. Dan sejak itu,
anak cucu mereka pun konsisten tidak pernah mengonsumsi beras atau nasi.
Walaupun sudah hampir satu abad, kebiasaan memakan singkong sebagai makanan
pokok masyarakat adat Kampung Cireundeu mulai terkenal sejak tragedi logsor TPA
sampah pada 2005 lalu. Pada saat itu, Dirjen Badan Ketahanan Pangan yang masih
dijabat Kaman Nainggolan meninjau lokasi longsor.
"Tak sengaja, di saat beliau istirahat, dia berbincang-bincang dengan warga
Cireundeu dan menyebutkan kalau di sekitar sini ada masyarakat yang konsisten
makan singkong sebagai makanan pokok sehari-hari. Tak lama setelah itu, beliau
langsung berkunjung dan terkagum dengan kebiasaan masyarakat," katanya.
Sejak waktu itu, dia menyatakan, berbagai kunjungan baik dari masyarakat umum
maupun pemerintah silih berganti mengunjungi Kampung Adat Cireundeu. Bahkan,
sekitar 2007, Kampung Cireundeu mendapatkan predikat Desa Mandiri Pangan dari
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lantaran konsisten menjaga warisan
leluhurnya, ketika bepergian ke luar kampung pun mereka tetap tidak makan nasi.

"Orang Cireundeu selalu membawa bekal beras singkong bila bepergian, kalau pun
tidak bawa, bisa diganti dengan makan roti atau singkong goreng, pokoknya enggak
makan berbahan dasar beras," tuturnya.
Dia menyatakan, sebenarnya tak ada aturan yang mengharuskan masyarakat adat
Kampung Cireundeu hanya memakan berbahan baku singkong. Namun, mereka
hidup dengan penuh kesadaran akan adat serta budaya yang diwariskan nenek
moyang.
"Karena kesadaran akan budaya itulah, dengan sendirinya kami terbiasa mengikuti
aturan-aturan yang diwariskan oleh nenek moyang," bebernya.
Untuk mencukupi kebutuhan pangan, khususnya di saat musim hujan, masyarakat
adat Kampung Cireundeu sudah lama menimbun rasi atau beras nasi sejak
pertengahan musim kemarau, sehingga sekalipun sedang tidak musim panen
singkong, mereka tak pernah berurusan dengan beras.
Sampai saat ini, Kang Going bersama sekitar 70 kepala keluarga di Cireundeu masih
berpedoman pada prinsip hidup warisan para leluhur yakni, 'teu nyawah asal boga
pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu
asal dahar, teu dahar asal kuat' (tidak bersawah, yang penting punya pare, tidak
punya pare, yang penting punya beras, tidak punya beras, yang penting bisa
memasak, tidak memasak, yang penting makan, tidak makan, yang penting kuat).
"Prinsip ini lah yang membuat kami tidak pernah kekurangan bahan makanan
pokok. Kalau pun hasil panen kelebihan, akan kami jual dan uangnya digunakan
6

untuk kegiatan bersama, seperti peringatan 1 Sura, dan menambah kas kampung,"
jelasnya.
Masyarakat mulai mengkonsumsi singkong dari tahun 1918 hingga saat ini. Selain
itu manfaat lainnya warga Kampung Adat Cireundeu tidak terpengaruh oleh harga
bahan pokok yang melambung tinggi. Ketahanan pangan masyarakat Cireundeu
telah membuktikan karena pada masa pemerintahaan Orde Baru yang menjadikan
beras sebagai bahan pokok yang sangat terkenal sehingga masyarakat yang
asalnya mengkonsumsi umbi-umbian beralih menjadi mengkonsumsi beras.
Warga masyarakat Cireundeu biasa memaksimalkan tanaman singkong. Mereka
dapat mengolahnya menjadi aci atau sagu dengan cara digiling kemudian
diendapkan setelah itu disaring. Produk kedua setelah sagu yaitu ampasnya yang
kemudian di jemur dan setelah kering menjadi beras nasi, mereka menyebutnya
dengan sebutan rasi atau angeun dalam bahasa Sunda. Itulah yang mereka makan
untuk sehari-hari.
Tak hanya nasi yang terbuat dari singkong, masih banyak lagi olahan yang di buat
dari singkong oleh masyrakat Cireundeu untuk bekal oleh-oleh untuk di rumah
seperti ranggening, opak, cimpring, peyeum atau tape, dan lainnya.
Peneliti Utama Badan Litbang Kementerian Pertanian Joni Munarto, mengatakan
makanan berat berbahan dasar singkong sudah diketahui hingga ke mancanegara.
“Rasi ini kini sudah menjadi ikonnya Cimahi. Bahkan orang-orang Jepang sudah tahu
juga pembuatan rasi itu dari Cireundeu,” kata Joni, disela-sela uji coba produksi
singkong menjadi bahan rasi di kantor UPT Balai Benih Ikan Air Tawar (BBIAT) Kota
Cimahi di Komplek Nata Endah, Jalan Cihanjuang, Kota Cimahi.
Menurutnya, rasi tidak hanya bisa sebagai pengganti beras, banyak manfaat yang
didapatkan jika menkonsumsi rasi salah satunya yakni, untuk meminimalisir
penyakit diabetes, obesitas, kanker dan jantung. “Kalau dikonsumsi, bagus juga
untuk kesehatan,” ujarnya.
Joni mengaku, saat ini pihaknya
tengah melakukan uji coba mesin
Snack
atau
Ekstruder
untuk
memproduksi
singkong
menjadi
bahan rasi hingga sempurna.
“Harus disempurnakan mulai dari
bentuknya hingga rasanya. Dengan
begitu, Cimahi punya khas tersendiri
dan ketahanan pangannya terjaga,”
ucapnya.

7

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Cimahi,
Huzen Rachmadi mengatakan, pihaknya mencoba bagaimana produksi Rasi ini bisa
terus dikembangkan.
“Kalau sekarang bentuk dan rasa dari rasi masih sempurna. Makanya kita buat
kolaborasi bagaimana rasi menjadi beras analog atau beras transgenik yang diberi
brand Cireundeu Rasi,” terangnya.
Menurutnya, agar kedepan Rasi bisa berbentuk beras dengan rasa dan kandungan
yang sudah mendekati beras, maka pihaknya akan melibatkan berbagai pihak
seperti Balai Besar Paska Panen Kemenpan, Unpad dan IPB serta, dinas terkait
untuk menciptakan rasi dengan bentuk dan kandungan seperti beras. Dengan
begitu, Cireundeu Rasi akan menjadi ikon baru di Kota Cimahi.
“Kedepan Cireundeu rasi bukan hanya dikonsumsi sebagai pengganti beras, tetapi
ada fungsi pengobatannya juga,” pungkasnya.
Saya hanya dapat bercerita dan mengambil beberapa gambar seraya memikirkan
bagaimana caranya keluarga kasepuhan ini bisa bertahan. Sudah kurang lebih dari
300 tahun mereka berada di sana. Perempuan-perempuan di Cirendeu begitu
bersih, putih, dan memiliki ciri fisik orang Sunda Khas, dan rata-rata cantik.
Sungguh, ini perjalanan liputan yang tak terlupakan.

8