7. SEJARAH PERKEMBANGAN dunia FIQIH

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pertumbuhan Fiqih Pada Masa Rasulullah SAW
Pertumbuhan fiqih, bersamaan lahirnya dengan agama islam, karena agama
islam merupakan kesatuan dari aqidah, akhlak dan hokum amaliyah. Hukum
amaliyah ini terwujud sejak zaman rasulullah yang terdiri dari beberapa hukum
yang terdapat didalam al qur’an. Di antara hukum yang datang dari rasulullah
adalah fatwa terhadap suatu masalah karena adanya perselisihan dan jawaban
terhadap berbagai persoalan. Dengan demikian, kumpulan hukum fiqih ini pada
masa permulaannya diambil dari hukum allah dan rasulnya, sedangkan sumbernya
adalah alqur’an dan hadits.1
1. Masa Mekkah Dan Madinah
Periode ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW menjadi Nabi dan
rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat, hanya sekitar 22 tahun dan beberapa
bulan. Akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan ilmu fiqh.
Masa Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari AlQur’an maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang
tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
Periode Rasulullah ini dibagi dua masa yaitu : masa Mekkah dan masa
Madinah. Pada masa Mekkah, diarahkan untuk memperbaiki akidah, karena
akidah yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh karena itu,

dapat kita pahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai da’wahnya
dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang
berakidah tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan al-Akhlak alKarimah, Masa Mekkah ini dimulai diangkatnya Muhammad SAW menjadi Rasul
1 Abdul Wahab Khalaf.. Ilmu ushul fiqh. Kairo: dakwah islamiyah syabab al azhar. 1968. Hlm 27

1

sampai beliau hijrah ke Madinah yaitu dalam waktu kurang lebih selama 12
tahun2.
Selanjutnya masa di madinah, Madinah merupakan tanah air baru bagi kaum
muslimin, kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat
muslimin yang menghadapi persoalan-persoalan baru yang membutuhkan cara
pengaturan-pengaturan, baik dalam hubungan antar individu muslim maupun
dalam hubungannya dengan kelompok lain di lingkungan masyarakat Madinah,
seperti kelompok Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, di Madinah disyaratkan
hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.
2. Sumber Hukum Masa Rasulullah
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai
dengan kejadian atau peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan

hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban
terhadap permintaan fatwa.
Contoh kasus seperti : Larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya
berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk
menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat : ”Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita Musyrik sebelum mereka beriman”. (al-Baqarah : 221)
Pada dasaranya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli (umum),
demikian pula dalalahnya (penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang
bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas, tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadangkadang bersifat dhâni yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.Bidang
hukum yang lebih terperinci tentang pengaturannya dalam Al-Qur’an adalah
tentang bidang al-Ahwal Asyakhshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan
dan warisan.
b. Al-Sunnah
2 Wikipedia.org/wiki/fiqih

2

Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan
dalam Al-Qur’an. Seperti shalat dijelaskan cara-caranya dalam Al-Sunnah.
Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah ditetapkan

dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadist yang memberi hukum tertentu, sedangkan
prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan
Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya
ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang
diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam
menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada
diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ayat :
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (An-Nahl : 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan
penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau
berijtihad dengan berpegang kepada semangat ajaran Islam dan dengan cara
musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, maka
diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah. Seperti ditunjukkan yang
benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti dalam kasus tawanan perang
Badar (al-Anfal: 67) dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak turut
perang Tabuk (At-Taubah : 42-43). Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka
berarti ijtihadnya itu benar. Dari sisi ini jelas bahwa hadist-hadistqath’i yang
berkaitan dengan hukum itu bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.

Pada zaman Rasulullah SAW ternyata Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah
dan juga dilakukan oleh para sahabat tetapi tidak dimasukkan sebagai sumber
hukum. bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad
seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para
sahabatnya dan juga dari kasus Muadz bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja
Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah,
karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian
langsung dijawab dan diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu Ijtihad

3

para sahabat pun apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar.
Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir yang berjunub (hadast besar) yang
kemudian berguling-guling dipasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara
ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak
menemukan air cukup dengan tayamum.
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad
memberikan hikmah yang besar karena : ”Memberikan contoh bagaimana cara
beristinbat (penetapan hukum) dan memberi latihan kepada para sahabat
bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum

Islam (para Fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa
memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsipprinsip yang ada dalam Al-Qur’am dan Al-Sunnah.
Dapat disimpulkan, pada zaman Rasulullah, sumber hukum itu adalah AlQur’an dan Al-Sunnah. Keduanya diwariskan kepada generasi sesudahnya, dalam
Hadist dinyatakan : ”Aku tinggalkan padamu dua hal, kamu tidak akan sesat
apabila berpedoman kepada keduannya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
B. Sejarah Pertumbuhan Fiqih Pada Masa Sahabat
Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir
abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas, yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu para
mujtahid berupaya melakukan ijtihad dan berusaha untuk memutuskan,
memberikan fatwa dan menetapkan berbagai hukum syariat islam yang
disandarkan pada hukum-hukum pada periode rasulullah. Dengan demikian
sumber hukum pada periode ini adalah al quran, as sunnah dan ijtihad para
sahabat3. Berikut penjelasan mengenai sumber hukum tersebut.
1. Sumber Hukum
a. al-qur’an
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayatayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an
dalam satu mushaf datang dari Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para
3 Ibid. Hlm 27


4

sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh
Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran
tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada
akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau
menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit binatang,
tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu
Bakar, seterusnya masa Umar dan kemudian setelah Umar meninggal disimpan
pada Hafshah binti Umar. Pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam
mushaf yang ada pada Hafshah kemudian menugaskan lagi kepada Zaid bin Tsabit
untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah slam yaitu ke
Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai
kepada kita sekarang.
Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih
berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan AlQur’an dan melarang menuliskan Hadist. Dengan demikian tidak akan bercampur
antara ayat Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh
para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Hadits

Adapun Hadist pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab, akibat
tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya Hadist dalam satu mushaf pada
permulaan Islam, maka ulama-ulama dapa periode selanjutnya harus meneliti
keadaan perawi Hadist dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian
Hadist serta muncul Ilmu Musthalah Hadist. Akibat lain adalah timbulnya
perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu Hadist tertentu.
c. Ijtihad Sahabat
Pada masa sahabat, Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia,
Irak, Syam dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang
tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu
pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini
mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode selanjutnya. Bahkan

5

juga mendorong ijtihad para sahabat. Seperti misalnya kasus Usyuur (bea cukai
barang-barang impor), kasus mualaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab.
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam
Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadist, apabila tidak ditemukan baru
berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk Ijtihad

jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan
musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal.
Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara musyawarah, yaitu :
”Musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum”.
Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan
Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umum
dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Mesjid, yaitu
apabila ada masalah yang sangat penting.
Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad para sahabat
dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung
dengan kemaslahatan umum. Mereka menanyakan masalahnya kepada salah
seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah
ijtihadnya termasuk dalam hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat
berijtihad.
Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Qur’an,
Alsunnah dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalahmasalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi
dalam hal-hal yang bersifat pribadi.
C. Sejarah Pertumbuhan Fiqih Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini di mulai sejak abad ke-2 H. yaitu tabi’in dan tabi’it tabi’in

serta para imam mujtahidin, atau setelah daulah islamiyah berkembang dan
banyak pengikutnya yang non arab maka umat islam dihadapkan pada berbagi
peristiwa baru, kesulitan, ulasan dan pandangan serta upaya peningkatan
kesejahteraan, peradaban dan keilmuwan, menyebabkan para imam mujtahidin

6

semakin di tuntut untuk mengembangkan lapangan ijtihad dan penetapan hukum
syariat islam terhadap persoalan tersebut. Maka pintu ulsan analisa semakin
terbuka lebar, akibatnya semakin luas pula lapangan pembentukan hukum syariat
islam yang di kenal dengan hukum fiqih. Seluruh hukum tersebut disandarkan
pada dua kodifikasi yakni yang terdapat pada peroide rasulullah dan periode
sahabat. Dengan demikian koleksi hukum pada periode ketiga ini adalah hukum
allah, rasul dan keputusan serta fatwa para sahabat, fatwa para mujtahid yang
telah menghasilkan ijtihadnya bersumber dari al quran, as sunnah, serta ijtihad
para imam mujtahid4.
Dari masa ke masa fiqih selalu mengalami perkembangan begitu juga pada
sahabat dan tabiin yang merupakan periode ketiga dalam sejarah perkembangan
fiqih yakni setelah periode kenabian dan periode sahabat. Generasi tabiin ini juga
merupakan murid-murid sahabat yang banyak belajar mengenai keislaman. Pada

periode tabiin ini para fuqaha terbagi menjadi dua golongan besar yaitu golongan
ahlu ra’yi dan ahlul hadits. Golongan ahlu ra’yi berdomisili Irak dan golongan ini
cenderung menyimpulkan suatu hukum berdasarkan rasionalitas, sedangkan
golongan ahlul hadits berdomisili di daerah Hijaz dan golongan ini menolak keras
kecenderungan baru yang dimiliki kelompok ahlu ra’yi karena golongan ini
berpendapat bahwa agama adalah ketentuan Ilahi yang tidak bisa dirasionalisasi.
1. Sumber-Sumber Fiqih Pada Masa Tabiin
Sumber-sumber fiqih periode ini sama seperti periode khulafaur rasyidin,
yaitu Al-Qur'an, sunnah dan ijtihad. Hanya saja pada periode ini muncul upaya
untuk mengumpulkan dan menulis hadits. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwasanya pada masa tabiin ditemukan adanya pemalsuan
periwayatan hadits, kemungkinan besar hal inilah yang mendasari adanya
pengumpulan dan periwayatan hadits. Selain factor mendasar tadi pengumpulan
dan penulisan hadits juga dipengaruhi oleh factor lain, seperti adanya desakan
keadaan bagi fuqaha yang mulai menghadapi problematika dan persoalan baru
yang menuntut mereka untuk segera menyelesaikannya yang tentunya didasarkan
atas Sunnah atau hadits Nabi. Selain itu mulai hilangnya kekhawatiran terhadap
4 Ibid. Hlm 28

7


timbulnya perhatian yang berlebihan terhadap penulisan Sunnah sehingga
melupakan penulisan wahyu seperti yang dialami Rasulullah pada saat Al-Qur’an
diturunkan.
Penulisan Sunnah yang dilakukan pada masa ini diprakarsai oleh Umar bin
Abdul Azis yang pada saat itu menjabat sebagai Khalifah ke delapan dari Dinasti
Umayyah. Kesimpulan ni dapat dilacak pada surat kalifah Umar bin Abdul Azis
kepada gubernur Madinah yaitu Abu Bakar bin Hazm. Pada suratnya beliau
memerintahkan untuk melakukan penulisan hadits seperti yang tercermin pada
kata-kata beliau “Tulis apa yang kamu dapati dari hadits Nabi. Saya khawatir akan
kehilangan pelajaran dengan perginya para ulama” (Sirry, 1996). Meskipun pada
masa ini penulisan hadits masih sangat sederhana dan belum memilah-milah
hadits berdasarkan masalah-masalah tertentu, tapi para ulama yang berkompetensi
pada bidang hadits pada masa ini sungguh bekerja keras dalam melakukan
periwayatan hadits. Bahkan mereka mulai menetapkan syarat-syarat khusus yang
sangat ketat diberlakukan pada periwayatan hadits seperti kesinambungan sanad.
Selain itu mereka juga mulai mempelajari sejarah kehidupan para perawi dimana
mereka juga memperhatikan tingkah laku serta kejujuran yang merupakan syarat
mutlak bagi para perawi hadits. Meskipun periwayatan haditspada masa ini sangat
sederhana akan tetapi hal ini sudah menyelamatkan nasib hadits yang sewaktuwaktu bisa disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang
hanya menggunakan hadits untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Dan
ini merupakan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
keislaman khususnya di bidang periwayatan hadits.
D. Sejarah Pertumbuhan Fiqih Pada Masa Imam Mujtahid
Periode ini berlangsung selama ± 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua
hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah. imam mujtahidin, atau setelah
daulah islamiyah berkembang dan banyak pengikutnya yang non arab maka umat
islam dihadapkan pada berbagi peristiwa baru, kesulitan, ulasan dan pandangan
serta upaya peningkatan kesejahteraan, peradaban dan keilmuwan, menyebabkan
para imam mujtahidin semakin di tuntut untuk mengembangkan lapangan ijtihad

8

dan penetapan hukum syariat islam terhadap persoalan tersebut. Maka pintu
ulasan dan analisa semakin terbuka lebar, akibatnya semakin luas pula lapangan
pembentukan hukum syariat islam yang di kenal dengan hukum fiqih. Seluruh
hukum tersebut disandarkan pada dua kodifikasi yakni yang terdapat pada peroide
rasulullah dan periode sahabat. Dengan demikian koleksi hukum pada periode
ketiga ini adalah hukum Allah, Rasul dan keputusan serta fatwa para sahabat,
fatwa para mujtahid yang telah menghasilkan ijtihadnya bersumber dari al quran,
as sunnah, serta ijtihad para imam mujtahid.5
Dalam masa ini pula, banyak sekali kitab fiqih dari masing-masing mazhab
yang dijadikan sebagi pegangan khusus oleh para pengikutnya, bahkan para ulama
merasakan kepuasan dengan adanya kitab fiqih yang banyak tersebut, sehingga
masa ini disebut masa kejayaan fiqih.6
Ada dua hal penting tentang Al-Qur’an pada masa ini, yaitu :
1.

Adanya kegiatan menghafal Al-Qur’an

2.

Memperbaiki tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal terhadap Qur’an. Ini
penting sebab orang muslim non arab bisa salah dalam membaca AlQur’an. Maka Gubernur Irak waktu itu Ziyad bin Abihi meminta
kepada Abu al-Aswad Aduali untuk memberi syakal. Maka Abu al-Aswad
Aduali memberi syakal di setiap akhir kata, yaitu diberi satu titik huruf
diatas sebagai fathah, satu titik di bawah sebagai kasrah dan satu titik di
samping sebagai dhammah. Kemudian Al-Kholil bin Ahmad memperjelas
bentuk tanda-tanda ini dengan alif diatas huruf sebagai tanda fathah, ya
dibawah huruf sebagai kasrah dan wawu diatas huruf sebagai dhammah.
Disamping itu yang diberi tanda bukan hanya huruf akhir kata tetapi seluruh
huruf. Gubernur Irak Al-Hajaj bin Yusuf atas perintah Khalifah Abdul Malik
bin Marwan meminta kepada Nashr-pun memberi tanda satu titik atau dua
titik pada huruf-huruf tertentu, seperti qof dengan dua titik, fa dengan satu
titik dan seterusnya.

5 Ibid. Hlm 28
6 Dahlan Tamrin. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Malang: uin-maliki press. 2010. Hlm 17-18

9

Untuk Hadist pun sebagai sumber hukum yang kedua pada masa ini mulai
dibukukan, antara lain yang sampai pada kita sekarang Kitab al-Muwatho yang
disusun oleh Imam Malik pada tahun 140H. Kemudian pada abad kedua hijriah
dibukukan pula kitab-kitab musnad, antara lain musnad Ahmad ibnu Hanbal. Pada
abad ketiga hijriah dibukukanlah Kutubu Sittah, yaitu Shahih Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Anasa’i, Aturmudzi dan Ibn Majah.
Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah digunakan meskipun
para ulama setiap daerah memiliki warna masing-masing dalam berijtihad.
Misalnya : Abu Hanifah dan murid-muridnya di Irak selain Al-Qur’an, Sunnah
dan Ijma, lebih menekankan penggunaan qiyas dan istihsan. Imam Malik di Hijaz
selain Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma, lebih menekankan penggunaan al-maslahah
al-mursalah.
Adapun sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqh dan bergairahnya ijtihad
pada periode ini antara lain, adalah :
a. Wilayah Islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke Tiongkok dan ke
Barat sampai ke Andalusia(Spanyol sekarang) dengan jumlah rakyat yang banyak
sekali, kondisi ini mendorong para ulama untuk berijtihad agar bisa
menerapkan syari’ah untuk semua wilayah yang berbeda-beda lingkungannya dan
bermacam-macam masalah yang dihadapi.
b. Para ulama telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang
didapatkan dari periode sebelumnya, serta Al-Qur’an telah tersebar di kalangan
muslimin juga Al-Sunnah sudah dibukukan pada permulaan abad ketiga hijriah.
c. Seluruh kaum muslimin pada masa itu mempunyai keinginan keras agar
segala sikap dan tingkah lakunya sesuai denga Syari’ah Islam baik dalam
ibadah mahdhah maupun dalam ibadah ghair mahdhoh (muamalah dalam arti
luas). Mereka meminta fatwa kepada para ulama, hakim dan pemimpin
pemerintahan.
d. Pada periode ini dilahirkan ulama-ulama potensial untuk menjadi mujtahid.
Seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ibnu
Hanbal beserta murid mereka masing-masing.

10

Hal-hal penting yang diwariskan periode ini kepada periode beriktunya, antara
lain :
a. Al-Sunnah yang telah dibukukan, sebagian dibukukan berdasarkan urutan
sanad hadist dan sebagian lain dibukukan berdasarkan bab-bab fiqh. Disamping
itu Al-Qur’an telah lengkap dengan syakal.
b.

Fiqh

telah

dibukukan

lengkap

dengan

dalil

dan

alasannya.

Diantaranya Kitab Dhahir al-Riwayah al-Sittah dikalangan mazhab Hanafi. Kitab
Al-Mudawanah dalam mazhab Maliki, Kitab Al-’Umm di kalangan mazhab alSyafi’i, dan lain sebagainya.
c. Dibukukannya Ilmu Ushul Fiqh. Para ulama mujtahid mempunyai warna
masing-masing dalam berijtihadnya atas dasar prinsip-prinsip dan cara-cara yang
ditempuhnya. Misalnya, Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatha’ menunjukkan
adanya prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang digunakan dalam berijtihad. Tetapi
orang yang pertama kali mengumpulkan prinsip-prinsip ini dengan sistematis dan
memberikan alasan-alasan tertentu adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i dalam
kitabnya Al-Risalah. Oleh karena itu beliau sebagai pencipta ilmu Ushul Hadist.

11

BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan fiqih dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW
menjadi Nabi dan rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat, hanya sekitar 22
tahun dan beberapa bulan. Akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap
perkembangan

ilmu fiqh.

Masa

Rasulullah

inilah

yang

mewariskan

sejumlah nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun Al-Sunnah, mewariskan
prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun
yang tersirat dari semangat Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW sampai akhir
abad pertama hijrah. Pada masa sahabat dunia Islam sudah meluas, yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu para
mujtahid berupaya melakukan ijtihad dan berusaha untuk memutuskan,
memberikan fatwa dan menetapkan berbagai hukum syariat islam yang
disandarkan pada hukum-hukum pada periode rasulullah. Dengan demikian
sumber hukum pada periode ini adalah al quran, as sunnah dan ijtihad para
sahabat.
Pada masa tabi’in di mulai sejak abad ke-2 H. yaitu tabi’in dan tabi’it tabi’in
serta para imam mujtahidin, atau setelah daulah islamiyah berkembang dan

12

banyak pengikutnya yang non arab maka umat islam dihadapkan pada berbagi
peristiwa baru, kesulitan, ulasan dan pandangan serta upaya peningkatan
kesejahteraan, peradaban dan keilmuwan, menyebabkan para imam mujtahidin
semakin di tuntut untuk mengembangkan lapangan ijtihad dan penetapan hukum
syariat islam terhadap persoalan tersebut.
Periode imam mujathid berlangsung selama ± 250 tahun, dimulai dari awal
abad kedua hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah. imam mujtahidin,
atau setelah daulah islamiyah berkembang dan banyak pengikutnya yang non arab
maka umat islam dihadapkan pada berbagi peristiwa baru, kesulitan, ulasan dan
pandangan serta upaya peningkatan kesejahteraan, peradaban dan keilmuwan,
menyebabkan para imam mujtahidin semakin di tuntut untuk mengembangkan
lapangan ijtihad dan penetapan hukum syariat islam terhadap persoalan tersebut.

13

DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, abdul wahab. 1968. Ilmu Ushul Fiqh. Kairo: Da’wah islamiah syabab alazhar
Tamrin, Dahlan. 2010. Kaidah-kaidah hukum islam. Malang: uin-maliki press
http://ilmukamu.wordpress.com/2011/10/11/sejarah-perkembangan-fiqh-padamasa-nabi-muhammad-saw/ di akses pada tanggal 8 November 2013
http://ilmukamu. Wordpress.com/2011/10/11/sejarah-perkembangan-fiqih-pada-masasahabat/ di akses pada tanggal 8 November 2013
http://ilmukamu. Wordpress.com/2011/10/11/sejarah-perkembangan-fiqih-pada-masatabi’in/ di akses pada tanggal 8 november 2013
http://ilmukamu.wordpress.com/2011/10/11/sejarah-perkembangan-fiqih-pada-masaimam-mujtahid/di akses pada tanggal 8 november 2013
Wikipedia.org/wiki/fiqih

14