KISAH CINTA CINTA MISIONARIS MUDA

PERJUMPAAN KITA KEMARIN
Waktu kini berlalu ditepis sibuknya kehidupan. Kemarin kita beradu kata,
hari ini kita saling tersenyum dan esok masih dalam balutan ketakpastian.
Mungkin esok akan seperti kata si bijak dari Palestina, "hendaklah kamu saling
mengasihi" atau seperti kata Herakleitos 'segala sesuatu berubah' dan kita bisa
mengubah manisnya senyuman menjadi tangis penuh sesal. Entalah, yang
terpenting bahwa esok pasti ada perubahan. Kita berjalan menuju sebuah
perubahan yang tak dapat dipastikan.
Kemarin kita berjumpa di sebuah lorong sempit, saling menatap
bergambar seribu diam. Kita tak saling menyapa namun tidak lekas pula
berlalu. Dalam kebisuan, kita saling memahami, bak ungkapan Tino Morazin
"yang tidak dikatakan adalah diam yang mengatakan banyak hal". Kita tak tahu
mengapa itu terjadi, tetapi yang pasti bahwa kehendak sedang terbangun pada
diam tuk merasa dan menalar. Hanya KEHENDAK yang terbingkai di hari
kemarin.
Hari ini, ketika pagi kembali bersinar menyapu pergi embun malam, kita
berjumpa di tepian pantai. Angin keasinan menyeruput hidung mengatakan rasa
atas kehendak di hari kemarin. Kita masih membisu. KEHENDAK di perjumpaan
kemarin mengibaskan sayap pada RASA tuk menalar setiap peristiwa. Diri kita
hanya setitik ketika lautan biru menerobos kornea mata. Rasa ketiadaan
menghiasi nurani, kala kehendak mengatakan kepastian akan ketakberdayaan.

Mungkin ada benarnya ungkapan ini "Ketika ada rasa antara kamu, sebetulnya
sedang ada perjumpaan kehendak dengan kehendak". Di tepian pantai itu kita
masih bergandengan menantika kisa hari esok dengan KEHENDAK dan RASA.
Esok akan tiba, itulah satu-satunya kepastian kita. Entah menyenangkan
atau menyedihkan tak dapat terendus. Namun, satu keyakinan melingkungi
ketika kita percaya pada KEHENDAK dan mengolah kehidupan dalam RASA,
esok pasti membawa kecerahan. Perjumpaan kita di hari kemarin
menumbuhkan semua asa yang mungkin akan pupus. Senyum kita dalam
kebisuan masih mengais sejuta bahagia. Kehendak kita membawa rasa pada
setiap perjumpaan. Janganlah nurani dibuia rasa, biarkan rasa diwarnai
kehendak.
Perjumpaan kita kemarin mengisahkan tentang perubahan. KIta tak
mungkin saling mengubah, tetapi kehendak kitalah yang mampu mengubah.
Perubahan itu mulai dari keyakinan pada rasa. Kita tak mampu saling

mengubah, tapi bisa saling mendokan untuk perubahan di hari esok. Ketika
bertelut dalam doa kita serasa tak punya jarak tuk bebagi semua rasa.

SENJA DI REALINO
Sang surya sedang akan berdengkur di atas pertiwi Jogjakarta.

Kendaraan masih bertebaran di ruas jalan. Angin terus berhembus mengusir
pergi kelelahan. Para pesepak bola memutar si kulit bundar mengitari lapangan
yang dikenal Realino. Senja di Realino mengisahkan tentang kehidupan.
Aku duduk menanti pasti bersama diary kecil di tangan. Tiga putri
anggun di samping kananku sedang sibuk dengan seikat rangkaian bunga.
Mataku dapat mengukur, mungkin hanya lima langkah kaki dari tatapanku.
Dengan bunga dalam pelukan mereka bak artis papan atas sedang beradu
acting di depan kamera. Perhatianku terusik ketika kornea menangkap bunga
dalam pelukan. Bunga itu telah merangkai seribu bahasa dalam nubari, hingga
tak ada yang bisa terungkap tentangnya. Nalar memutar bayangan, ingin
mengisahkan pada nurani tentang bunga dan tiga putri. Aku tak mengenal
mereka dan bahkan tak ingin mengenal mereka. Hanya bunga itu tak dapat
diabaikan.
Sesekali senyum dan tawa menghiasi wajah ketiganya. Namun datang
juga saat diam kala bungan itu di panggkuan.13 Februari, demikian tanggal di
senja ini. Ketika senja berlalu dan mentari mulai merekah, periode cinta
menanti percikan kasih anak-anak dara. Bunga itu dipeluk erat bagaikan
rangkulan seorang kekasih. Dekapan itu merangkai tanya mengapa semuanya
terjadi pada seikat bunga?
Sejurus berlalu, deringan siul memberi jawab pada saat mentari kan

terbit. Valentine. Itulah kata dari bisikan saraf yang kudengar. Bunga dalam
dekapan di senja ini, merangkai kesiapan anak-anak dara tuk menyambut
valentine yang alkisah menjadi kesempatan berbagi kasih sayang. Iya, sebuah
narasi besar tercipta ketika semua menginginkan kasih. Namun benarkah hanya
sebatas bunga? Mengapa bunga itu hanya dalam dekapan ketiga gadis itu?
Mengapa senja tak mengajak mereka menaburkan bunga di kerinduan damai?
Bunga dalam dekapan itu telah meretaskan asa akan kehidupan damai.
#panggilanitumenggembirakan

#Valentinebukansekedarkasihsayang

MENCICIPI REMAH-REMAH
Sekitar limabelas tahun lalu, pertama kali diperkenalkan kepada saya apa
itu hidup membiara. Sekelompok orang muda mengadakan Live-in di kampung
halaman paroki St. Aloysius Gonzaga Haekesak. waktu itu tidak ada gambaran
akan menjadi apa nanti, maklum masih Sekolah Dasar di perkampungan.
Menjadi kebanggaan tersendiri ketika harus berhadapan dengan para pemuda
yang biasa disapa Frater. Mereka hadir seperti teman yang bermain bersama,
bercanda bersama di persimpangan jalan. Satu kebanggaan tersendiri ketika
diapit para pemuda ramah dan lucu. Waktu itu tak ada rasa segan berbaur

dengan mereka. Canda tawa menjadi ciri khas mereka. Bayangkan betapa
senangnya ketika seorang anak kecil berada di tengah para frater, ah
senangnya. Saya merasa 'istimewa' di antara anak-anak yang mungkin lebih
layak dekat dengan mereka. Itulah sepenggal pengalaman bersama para frater
CMF (Misionaris Claretian) kala itu.
Pengalaman senyum dan canda tawa para frater terbawa ke alam nurani,
tersimpan rapat hingga baru kembali bergema putra sulung keluarga,
mengalami dan menjalani hidup di seminari. Setiap liburan menjadi saat
tumbuhnya rasa ketertarikan menjadi sepertinya. Namun, mungkin faktor
ketidaklayakan tetap mewarnai rasa kagum. Daya istimewa bersama para frater
kini mengalir dalam kekaguman akan hidup seminari. Remah-remah itu hendak
dicicipi karena rasa istimewa meski tidak layak.
Yesus dalam kisah perempuan Siro Fenesia, justru membawa saya pada
sikap diskusif. Mengapa? Terlepas dari latarbelakang perutusan dan fokus pada
kisah, Ia justru mengungkapkan rasa pilih kasih. "Biarlah anak-anak kenyang
dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan
melemparkannya kepada anjing." Berhadapan dengan pernyataan Yesus,
perempuan Siro Fenisia tidak kehilangan akal, karena satu kayakinan bahwa
Yesus pasti melakukan sesuatu unutk anaknya. Ia lalu memberi jawaban yang


sunggu menyentuh nurani. "Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja
juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak." Perempuan ini tidak
merasa istimewa di hadapan Yesus, melainkan istimewa di hadapan anak-anak
meski hanya mendapat remah-remah. Ia justru menyentuh nurani dengan
kerendahan hati menerima diri dikatakan demikian untuk mencapai
kesembuhan anaknya. Rasa Istimewa menjadi benih keselamatan.
Seringkali kelemahan menjadi pusat perhatian. Ketidakberdayaan menjadi
fokus perjalanan hidup. Kita sedang lupa bahwa meski hanya remah-remah,
namun kita justru istimewa dengan menikmati remah-remah. Pengalaman
difitnah, diolok, dibuang dapat diubah menjadi pengalaman terbalik ketika
kesetiaan pada keistimewaan kita di hdapan Tuhan. Yesus tergerak dengan
perempuan Siro Fenesia karena belaskasih yang muncul dari keistimewaan.
Kita semua pantas merasa istimewa di hadapan Tuhan dan sesam meski kita
mencicipi remah-remah.
Sang Lyan
Yogyakarta, 9 Februari 2017
Markus 7:24-30

MEMILIH DARI LUAR
Suatu kali saya melakukan perjalanan dari kota Kupang menuju gua

Maria Bitauni di kabupaten Timor Tengah Utara. Perjalanan itu sangat
menyenangkan. Saking menikmati tour itu, mengakibatkan saya dan beberapa
teman yang biasanya mengalami gangguan perjalanan tetap dalam keadaan
aman. Di tengah keasyikan menghirup udara segar pinggiran jalan, kami harus
berhenti di depan biara SVD Noemeto. Ada sebuah jembatan kecil yang
menghubungkan ruas jalan pada satu kali mati. Di jembatan itu saya
menyaksikan satu panorama menarik yakni perjumpaan dengan seorang
pemulung yang tidak kukenal dari mana asalnya.
Waktu itu saya tidak memiliki kata yang pas untuk mengungkapkan rasa
heran. Karena tidak biasanya di daerah NTT khusunya pulau Timor ada
pengemis atau pemulung. Biasanya orang-orang menjadi malu ketika harus
mengemis dan memulung. Bahkan yang lebih malu ialah keluarganya. Budaya
malu mengemis dan memulung inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab
ketiadaan pengemis dan pemulung di tanah Timor, yang dikenal oleh
kebanyakan orang Indonesi sebagai salah satu daerah termiskin dan
terbelakang seperti kata Annies Baswedan yang merasa heran dengan prestasi
Jakarta di bawah NTT pada debat II Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta. Saya bisa semiskin apa pun masyarakat NTT, masih sangat sulit
ditemukan adanya pengemis. Karena alasan inilah saya merasa heran dengan
hadirnya pengemis di jembatan itu. Saya menemukan bahwa ia menerima apa

saja yang kami berikan entah uang atau pun makanan. Ia tidak berpikir apakah
ini baik atau tidak, yang penting kenyang satu hari.
Kenyataan pengalaman ini, menghentakkan saya ketika Yesus berkata
tentang sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia tidak menajiskan.

Melainkan yang keluar dari hati itulah yang akan menajiskan. Bagi orang-orang
kesehatan dapat diperdebatkan bahwa Yesus mengatakan semu makanan halal.
Nyatanya orang kolesterol tidak boleh kebanyakan mengkonsumsi lemak. Orang
gula darah bahkan harus mengurangi porsi nasi. Orang darah tinggi harus hatihati memilih daging dan masih banyak larangan lain. Dengan demikian bukan
hanya apa yang keluar yang menajiskan, melainkan juga apa yang masuk ke
dalam dapat menyusahkan manusia. Lalu apa yang perlu dilakukan ketika
berhadapan dengan dua tegangan ini?
Secara Hermeneutis (tafsir) Yesus sedang mengatakan satu hal yakni
kesimbangan porsi. Yang keluar dari hati yakni kejahatan maka itu membuat
manusia jatuh pada dosa, tetapi jika yang keluar itu kebaikan dan cinta maka
itu menumbuhkan benih kedamaian. Yang masuk ke dalam tubuh itu sesuai
porsi maka manusia tidak mengalami kekenyangan berlebihan atau bahkan
sakit. Ketika keseimbangan porsi ini diabaikan maka kanajisan sedang menanti.
Yesus tidak melarang kita memilih dari luar, atau memilih sesuai pendangan
dari luar, melainkan Ia menyarankan kita untuk tau porsi.

Jika kita sebagai bawahan di kantor, bekerjalah sesuai porsi yang
dipercayakan tidak perlu merangkap urusan pemimpin. Jika kita sebagai
mahasiswa, berusahalah menjadi mahasiswa tanpa harus mengalahkan dosen.
Jika kita sebagai biarawan/i cukupkanlah diri pada tugas pelayanan cinta kasih.
Dan jika kita sebagai anak cukupkanlah diri sebagai anak berhadapan dengan
orang tua. Kebencian, dendam, saling menjatuhkan dan saling curiga muncul
ketika kita tidak tau porsi masing-masing. Memilih dari luar itu berarti tau
kemampuan kita untuk porsi kita sendiri. Seperti pengemis tadi kita juga butuh
yang namanya pengalaman 'tanpa saring' yakni menerima apa yang datang dari
luar sesuia porsi yang dibutuhkan.
Terinspirasi dari Markus 7:14-23
Yogyakarta, 8 Februari 2017

SELEMBAR FOTO
4 Agustus 2016, diariku tertulis kisah pertama di kota Ende. Sore di hari
itu terasa matang bahkan bisa kubilang ranum. Iya, semua serba baru. Aku
sebetulnya butuh waktu tuk menyesuaikan diri. Entah suhu, entah kebiasaan
maupun budayanya. Malam di penghujung tanggal itu di rumah itu hanya
kujumpai foto. "Ini bapa" demikian keterangan yang kuperoleh lewat mama
tentang sosok itu. Iya hanya foto di malam itu yang menyapaku 'orang baru'.

5 Agustus 2016, senja jalan Anggrek menggerakkan jari-jemariku tuk
sentuhan di tanah Ende, Aku mencoba mengelilingi rumah, alih-alih mengenal
lingkungan. ''Jangan kaka Frater" demikian putri sulung sosok di foto itu. Aku
datang itu menyentuh kehidupan dan belajar darinya, demikian hatiku berbisik
menjawab suara itu. Sejenak kemudian, bak sambutan pangeran, suara-suara
cilik meyambut kedatangan seseorang di gerbang rumah itu. Aku sempat
terheran, memutar memori otakku menglolah informasi semalam. Iya sosok di
foto itu. Berkharisma, itulah kata pertama yang muncul ketika bayangan foto itu
kucocokan pada kenyataan. Rasa penasaranku semalam terjawab sudah. Kami
saling berpapasan, kami saling senyum. Ternyanta senyum itu mengatakan
bahwa kami memiliki kesamaan. Malam di tanggal itu, aku dikenalkan pada
kota mungil Ende dengan segala kemegahannya. perjalannan itu mau
mengatakan padaku bahwa aku bukan lagi orang asing. Sosok itu ialah Bapa
Yohanes Yansen R Rago.
Di hari bahagia ini, kuucupkan terimakasih atas segala kisah menarik
yang telah dilukiskan pada tapak-tapak panggilanku. Seiring waktu kuucapkan
selamat Ulang Tahun dari sudut kota pelajar. Semoga Sang Waktu yang
terpancang pasti pada dinding kehidupan kita selalu menuntun bapa dalam
tugas perutusan.


Salam selamat ulang tahun!
Sang Lyan

KETIKA CINTA TAK MEMUNGKINKAN
Sudut kota pelajar menjadi saksi bisu perjumpaan kita. Aku dan Kamu
beradu pandang dalam senyum. Tiada kata, tiada nada apalagi suara. Hanya
diam ketika tatapan telah mengatakan seribu satu bahasa. Aku terdiam ingin
merajutMu bagaikana mekaran cinta di nubariku. Namun sayang Sang Waktu
telah merebutmu dariku. Resah dan gelisah meraung batin, mencari arah tuk
mengatakan cinta padaMu, Sayang semuanya hambar, semuanya tak mungkin.
Aku mencoba membiarkan semua kisah kita pergi bersama hilangnya suara
Adzan, aku ingin melupakanmu meski dalam mimpi sekalipun, namun semuanya
terasa sia-sia. Hatiku mencarimu, namun tak kutemukan dirimu. Sang Waktu
telah lebih dahulu merebutmu dariku.
Sehari, seminggu, sebulan, demikian kuhitung putaran waktu. Terasa
dekat padamu kala semenit tak bisa kulewatkan tuk melirik bayanganmu.
Namun kesadaran menerbangkanku bahwa Sang Waktu lagi-lagi telah
merebutmu dahulu sebelum aku. "Mengalah" itulah kata yang melukiskan
perjuanganku tuk merebutmu dariNya. Aku mengalah bukan untuk menang
merebutmu, melainkan membiarkanmu bahagia dengan pilihanMu. Semuanya

coba kurelakan meski terlalu sakit tuk melepasmu.
Kini aku tersadar ketika bunga kecil menempel dan lingkaran cincin menghiasi
jarimu. Aku tidak berhak sedikit pun atas dirimu. Harapanku kebahagiaanmu
tak boleh luntur ketika bunga itu layu dan emas cincinmu pudar termakan usia.
Salam Untuk semua sahabatku!
Sang Lyan di sudut kota Pelajar!

DIA TELAH ADA SEBELUM AKU
Sebelas tahun lalu waktu aku masih berjubel bersama teman-teman di
bangku sekolah dasar, ada rasa untuk masuk dalam satu dunia yang namanya
Seminari. Aku belum sempat berpikir dengan berbagai pertimbangan karena
ketertarikan itu spontan menggelitik nurani. Bukan tanpa alasan melainkan
karena rasa akan 'enaknya' liburan seorang seminaris. Maklum seorang kakak
telah mendahuluiku merasakan hidup dalam dinamika para calon imam. Tumbal
ayam kampung di setiap masa liburan menjadi pesona yang tak terlupakan.
Keteladanannya mengisi waktu membuatku kagum tuk mengalami hal yang
sama. Syukurlah impian ini menjadi nyata kala aku benar-benar mengalami
hidup nyata sepertinya. Dia telah ada sebelum aku, itulah motivasiku selama
masa-masa sulit yang dihadapi. ***
Sepenggal kisah ini sekedar mengiringku pada permenungan akan kisah
Yohanes Pembaptis. DIA TELAH ADA SEBELUM AKU demikian ungkapan
Yohanes mengakui dirinya di hadapan banyak orang. Ia tidak malu mengatakan
kepada publik Yahudi bahwa segala yang diwartakannya bukan sesuatu yang
amat baru dan perlu dibanggkan dengan bertepuk dada. Pewartaannya
merupakan penyempurnaan dari segala yang telah ada dan dijadikan.
Kita seringkali membanggkan tindakan kita, entah itu keberhasilan misi,
entah itu kesuksesan usaha, entah itu keberhasilan studi atau hasil panen
melimpah dan sebagainya. Kebanggaan pada yang baik, berhasil dan sukses
secara terus menerus tak terkontrol secara tidak sadar sedang mambawa kita
pada kelupaan akan belarasa bahwa semua yang baik berasal dari DIA YANG

TELAH ADA SEBELUM KITA. Yohanes dengan pernyataan tegas
menghentakkan kita dari lelapnya kepuasan akan yang baik. Ia membawa kita
pada kesadaran ini dan mengundang kita untuk berbagi. Bukan lewat
kesombongan spiritual melainkan kerendahan hati rohani yakni mengakui
bahwa kita hanyalah saksi dari semua kebaikan ILAHI dari SANG WAKTU.
Dalam rasa ini kit akan berani bersyukur dalam setiap peristiwa hidup apapun.
Semoga Kita berani bersaksi dengan kerendahan hati rohani dalam pekan yang
baru!
Terinspirasi dari Injil Yohanes 1:29-34
Selamat Hari MInggu Biasa II
Sang Lyan, cmf
Yogyakarta, 15 Januari 2017

KOK MAU SELIBAT???
Mujizat terbesar Gereja Katolik pada zaman post-moder ialah hidup
selibat. Perubahan dunia tidak menggoyahkan hati pria dan wanita Katolik
membaktikan diri bagu Sang Waktu dan sesama degan selibat. Para selibater
bahkan merasa bahagia dengan pilihan hidup mereka, walaupun terkadang
tidak mudah.
Hidup selibat seringkali memunculkan banyak pertanyaan publik yang
nota bene 'awam'. "Cakep-cakep mau masuk biara, kenapa?" Tidak jarang orang
sampai pada keraguan bahwa yang cakep pasti tidak bertahan dalam selibat.
Pandangan ini sebenarnya dapat dimurnikan. Bahwa pilihan hidup selibat
sebetulnya perlu lahir dari kehendak bebas penuh kesadaran demi nilai
pelayanan. Cinta sempurna justru ditemukan ketika mencintai tanpa ikatan
eksklusif. Cinta universal hanya tercapai ketika setiap pribadi selibat memilih
untuk bebas mencintai. Kecakepan bukan halangan menghidupi selibat (hidup
tidak menikah). Jawaban retorik atas pertanyaan 'kok bisa?' ialah 'masa sama
Tuhan dikasi kurang cakep?' hehehe. Ini bukan diskriminasi tetapi hanya mau
dikatakan bahwa di mata Sang Waktu tidak ada perbedaan yang cantik, cakep,
pas-pasan atau kurang cakep dan lain sebagainya. Semuanya sama di mata dia
yang memanggil.

Maka jawaban yang kiranya mempermudah pemahaman hidup selibat
ialah walaupun cakep mau selibat karena Sang Waktu membutuhkannya.
Selibat bukan hanya soal pilihan tetapi panggilan!

OM TELOLET OM Di MASA PENANTIAN!
Di Tengah boomingnya seruan anak-anak Om Telolet om banyak orang
justru bertanya apa arti semuanya? Viralnya berbagai persoalan kemanusiaan
seolah pause dari hadapan publik. Berbagai persoalan sejenak dihalau pada
hiburan seruan para penumpang angkot. Viralnya seruan singkat ini
mengindikasikan hasrat setiap insan yang butuh didengarkan. Persoalan
kemanusiaan seperti teror, pembunuhan dan sebagainya menjadi ajang
kemerosotan kemanusiaan. Aksi anak-anak kecil yang menanti angkutan kota
mengisahkan kepada setip kita harapan akan adanya kebahagiaan.
Natal semakin dekat, bunyi yang sama akan diperdengarkan dalam
hitungan hari. Sudahkah setiap pribadi masuk dalam dunia dan merasakan
kebahagiaan? Dukacita dunia dengan berbagai persoalan kemanusiaan tidak
mudah terhapuskan meski Dia datang jikalau manusia tidak diam terpaku.
Viralnya Om telolet om di masa penantian juga merupakan tanda kerinduan
akan Dia yang datang sebagai pembawa sukacita.

Sore nan indah, meski gelap mulai menutup dunia. Hadirku di alam baru
Pu'u Rere. Aku berada dalam ketidakpastian entah ke mana harus kuletakkan
tubuh kecilku. Bukan kecemasan melainkan penantian yang melanda. Aku
menanti dalam kepastian bahwa seyum pasti menjumpaiku. Di ruang kecil
pastoran Pu,u Rere ditemani cahaya remang, hatiku menanti giliran kepada
siapa senyumku ditebar,,hahaha,,maklumlah aku baru pertama ke pusat pulau
bunga. Sejurus berlalu akhirnya namaku disebut! Tak segan kutebarkan senyum
sederhana menyambut dekapan seorang ibu, senyuman manis meyakinkan,
canda tawanya menggembirakan dan mata yang bekaca menenangkan hati.
Tanpa sepatah katapun kujawab kuturuti langkahnya. Keyakinan nurani dalam
diam menghantarku menuju kediaman di setapak Jl. Anggrek. Akhirnya aku pun
perlahan mengenalnya bernama Fransiska Natali. Tak ada keraguan berkisah,
sesekali senyum pertama di sore itu menghiasi dinamika kebersamaan. Semua
yang kualami indah dan mengesankan. Senyum itu turut menguatkanku
menapaki panggilan sebagai Misionaris. Terimakasih Mama Fransiska Natalia,
Selamat ulang tahun. Semoga sehat selalu dan tetap mnebar senyum untuk
dunia yang sedang dilanda kemurungan,,hehehe,,

salam hangat dari Sang Lyan di tepian Jogjakarta,,

SENYUM SENJAMU
Kuletakkan wadas kepastian di pelupuk tuk merangkai kisah baru di
lembaran kebersamaan. Ketika senja menghempaskanku pada kesadaran
tentang siapa dirimu. Adamu, adaku bukan sekedar hiasan waktu, melainkan
kenyataan bertubuh rasa. Nurani merintih menyusuri kisah tentang senyummu
di setiap senja. Bertepi merasa sendirian, bergumul merasa tertantang tuk jarak
nan jauh.
Seyum senjamu merangkai kisah lagi akan dunia kita. Duniamu yang
berbeda dariku. Ingin kuteriakkan cinta dari lembah terdalam sejak senyum
senjamu menatap pasti di atas bukit. Namun, kesadaranku merintih mengelus
rasa tuk ditahan. Bertahan tuk mengerti tentang engkau dan aku. Berjuang tuk
merasa meski tak kuungkapkan rasa. Senyum senjamu berkata pada aliran
waktu tentang kita yang berjarak.
Senyum senjamu menggugah nubari, mengisi baris-baris akal sehat. Di
senja nan sejuk kutatap senyum itu yang masih seperti dulu. Senja ini,
menitipkan pesan selamat jalan sebelum mata kita beradu pandang. Nuraniku
berbisik 'indah nian senyum senjanya.' Lama terpekur dalam waktu, rasa kuat

tuk berkata "Aku cinta padamu." Senja telah merubah memoriku pada
kekosongan yang menanti tuk dipenuhi semangat cinta bergelora.
Senyum senjamu, menggetarkan meski hanya sedetik berlalu. Senyum senjamu,
mengisahkan cinta dalam peraduan damai. Senyum Senjamu, Merangkai rasa
akan realitas mudaku
Senyum senjamu, menghidupakan kisah yang ingin kupendam mati.

KEBEBASAN SANG DELIMA SENJA
Sore nan indah di balik pembaruan, merangkai kisah hidup pertama
dalam lautan. Sayap-sayap fery nan mungil membelah hamparan biru dan
mengisahkan siapa diriku di alam semesta. Perlahan penuh kepastian berlayar
menuju kota Reinha Larantuka. Aku terhanyut pasti kala delima senja meraih
asa. “Sunset harapan”, degung kalbuku tanpa sensasi ketika mata beradu
kedipan. Di atas lautan lepas kurangkai kisah hidupku.
Sore nan indah berhiaskan sunset. Merah merona senyumnya meraih
nurani. “Ah, laut lepas. Simbol kebebasan setiap insan.” Bebas mencinta meski
beradu pengorbanan. Berani memilih walau pasti disakiti. Sunset berkilau
menghiasi baris-baris biru lautan lepas, ia memancar bak surya keadilan. Inikah
kebebasan? Kumaknai kebebesan bukan dari ketimpangan melainkan asa
terangkai pasti penuh tuk sebuah kebebasan nurani.
Goresan kecil di hamparan laut lepas
ketika tersapa merona sunset

tuk semua yang kukasihi!
#panggilanitumenggembirakan
#someonelikeyou

TETESAN BENING DI ATAS KANVAS
Sendu senyap menarik kalbu
Mengurai kisah menata harapan
Kala dia tak mampu menjawab
Semua tanya kehidupan
Tanyaku akan sebuah absurditas
Deru rintangnya mengatakan palang
Sayang tak mungkin diriku kepalang
Bukan kenyataan mengabur malang
Melainkan rasa menyata senang
Kini biarkan diriku mengusik
Pada setetes bening subuh
Segar nurani merias mentari
Berharap tuk dihempas badai
Tersendat sungguh berkarang niat

Maju, maju, maju
Resapi bahagia bersama Dia
Patut rasa tak pernah redup
Matikan ego di alam bebas
Aku ingin kamu terbebas
Dari rasa tuk dirasa.
Sobatku Sang Waktu aku memimpikanMu
Malamku bak siang bersamaMu
Senjaku cepat berlalu pada tapak kepastian
Aku masih terus mencintaiMu
Maafkanku kelopak indah
Ijinkan putik itu bertebaran di kanvas
Sajikan aroma lukisan cinta bagi yang lain
Dan biarkan Sang Lyan mengatakan maaf
Atas goresan bertinta bening
Maafkanku sobat tuk tetesan bening di atas kanvas
Tetesan tak berwarna apalagi berbentuk
Itulah doamu nan menguatkan.
INILAH PERJUANGAN
(Belajar dari Tetesan Stalaktit)
'Kemarau panjang tak terduga menguasai rasa dan raga kami. Tiada tenaga tuk
berlangkah kala lumbung kian menipis. Kami hanya mampu berharap akan
perubahan nasib jika Sang Waktu menghendaki'. Demikian kisah seorang petani
tua padaku. Rintihan nuraninya menggetarkan jantungku. Tersentak aku kan
kisah panjang perjuangan masyaraktku tuk segumpal nasi. Aku termenung
dalam diam, hanya kalimat itu yang terpatri pasti pada baris diari batin
bertanggal 28 Juli 2016.
***
Hari itu Senja berhiaskan sunset masih seperti biasa beralih dari tatapan insani.
Kuiringi kepergiannya dengan senyum penuh kecut. Ya, aku kecut karena
sebuah kecemasan. Aku kecut pada penerang itu yang seolah diam di hadapan
nasib para sederhana. Mereka seolah tak dijawab dalam rintihan di atas pertiwi
berkarang. Akalku tak hentinya megolah setiap rasa pada lenyapnya asa. Petani
tua itu telah menggodok lapisan poriku tuk merinding akan bayangan
kemiskinan. Sempat terlintas di garis ide-ide, tuk berdialog pada Sunset yang

terus dipuji meronanya. Kuingin katakan padanya "Masyarakatku butuh hujan".
Senja masih ada, garis-garis bukit barat nampak jelas oleh pelupuk mata,
namun aku hanyalah raga tanpa logika. Mungkin sangat prematur kukatakan
Sunset nan indah hanya merindukan pujian para pengagum dan bukan
kesuksesan para sederhana. Bagiku sunset mengajarkan keindahan tiada
kesederhanaan. Aku pun berpikir tuk sejenak menarik diri dari Sunset.
Akal kembali menerjang, mencari sebuah gua penuh gelap. Tiada nada, sunyi
senyap melanda. Aku sendirian dalam kesepian. Hening gua membawaku
kembali pada sosok petani tua. Rintihannya semakin keras terdengar gendang
nurani. Aku kini mengadu pada barisan stalaktit nan rapi. Stalaktit yang jarang
dijangkau mata insani. Ia mungkin kurang disapa apalagi dipuji. Seolah rasa
terhubung kala tatapan itu semakin mendalam. Aku berbangga masih ada yang
bisa menerima rintihan petani tua. Stalaktit itu terdiam penuh harap. Ia
membisu mendengar jeritan nuraniku. Sayup-sayup terdengar bisikan sendu
"aku mengerti rintihanmu. Aku memahami derita para sederhana. Aku pun
pernah kehilangan asa kala tetesan air memaksaku tuk menembusi karang
tebal. Namun, bukan hasil yang kubanggakan melainkan proses yang
mebahagiakan. Aku berproses dalam ruang dan waktu, kadang kuat akan
kepastian, kadang lemah dalam impian. Proses telah membentukku tuk terus
meneteskan butiran bening tiada henti walau hanya uapan embun".
Kembali raga tersadar, bisikan stalaktit mengusik semua pupus. Ya, sebuah
optimisme pada proses kembali hadir. Tetesan hujan meski berkurang oleh
gerakan tangan penebang. Kemiskinan mungkin melanda jika tiada butiran
bening. Petani tua pasti mengeluh kala lumbung makin menipis. Asaku
melemah kala raga tak mampu berjuang. Namun, satu yang tersisa, proses tuk
terus berjuang. Perjuangan tuk maju, perjuangan tuk mengasah asa dalam
desiran nafas. Perjuangan hanyalah proses yang terus kumaknai tuk mencapai
realitas nyata.

KISAHKU DI BUKIT PUURERE
KAMIS 4 AGUSTUS 2016 pagi nan cerah kota REINHA menghiasi diari
senyumku mengawali haru baru. Kesejukan pantai menembus taman kecil Tuan
Mninu. Paruku berkembang menghela nafas panjang. Berat tuk tinggalkan
bahagia dalam pelukan Tuan Ma. Baru sehari kujamahkan telapakku di atas
kepala Nusa Bunga, telah kutemui dambaan keindahan alam berkelopak. Bukan
sebuah spekulasi jika harus kukatakan itu mempesona. Tidak mengherankan
banyak 'kumbang' ingin meraih 'putik manis' nusa bunga. Petualangan
mengantarku pada hentakan tuk terus berjalan menuju perut nusa bunga Kota
Ende. Berliku dan berkeloknya pertiwi nusa bunga menggetarkan jantungku.
Nadiku menghela cilentio kala beradu kedalaman hati dan jurang. Nusa Bunga,
menggetarkan bak gemuruh ombak di tepian pantai, namun mengagumkan bak
mekarnya mawar di taman hati.

10 jam petualangan menatap pasti Kelimutu berhawa sejuk. Segar kurasa
menghiasi pori kulit ketimoranku. Aku masuk dalam dekapan decak kagum
akan bunga mekar alam idaman. Sejenak mengisi rintihan ususku di puncak
Wolowaru, belum menyaingi kepuasan batinku akan puncak danau berwajah
dunia. Kembali kuraba diari senyumku tuk sejenak melukiskan kesukaannku
pada lembaran hijau bukit kelimutu. Sepanjang tepian jalan kutemui ukiran
perhatian berbahasa asing yang sedikit mencemaskanku jika semua pribadi
nusa bunga justeru menjadi terasing jika dunia asing menguasai. Kulengkapi
kecemasanku dengan harapan pada jantung pemerintahan yang pasti
mendengarkan jeritan mereka yang mulai terasing. Tak butuh tekek bengek,
dalam hitungan detik jam tangan, aku telah tiba di bukit indah Puurere, 'tanah
terjanji' tuk belajar akan kehidupan.
Bukit kecil bernada kota itu telah menghalau sang surya pada peradauan di
senja hari. Gelap datang meramba keramaian berlatar tangisan para pasien.
Namun itu tidak menggetarkan. Satu kata yang ingin kuutarakan pada
pandangan pertama 'BAHAGIA'. Kebahagiaan teruntai pasti dalam gerak
senyuman insan berhati. Senja itu telah disulap menjadi senyum keakraban.
Aku kembali tercegang, kala si roda empat mengantarku kembali ke lembah
bernama jl. Anggrek. Di sebuah gubuk kecil, aku berdiam tuk belajar akan nilai
kehidupan. Bersama dalam kekeluargaan, berkisah dalam kesetiaan, berdamai
dalam keterbukaan bagaikan hiasan bunga di atas lembaran hidup nusa bunga.
Puurere, jl. Anngrek, bukan hanya sekedar nama. Nama yang kini telah
melukiskan apa artinya ada dan bersama. Puurere dalam kisah terbingkai
indahnya anggrek kehidupan. Terimakasih Sang Waktu tuk perjumpaan di atas
bukit Puurere, tuk senyum di lembah kecil jl. Anggrek.
KURSIKU DI BELAKANG
Suatu ketika aku diundang ke pesta pernikahan. Suasan gemerlap malam
berhiaskan alunan musik menyemaraki tenda sukacita. Kedua mempelai
berhiaskan senyum sedang menatap wajah para undangan. Tak terkecuali
diriku di antara ribuan pasang mata. Kukira waktu langkah masuk kedua kakiku
bebas dari tatapan itu. Sebuah praduga nan mengesankan. Bukan tanpa alasan,
aku mengayunkan langkah menuju kursi terbelakang. Aku memilih tempat itu
bukan demi kursi terdepan melainkan semata hanya tuk memberi tempat bagi
yang lebih membutuhkan.

Pesta berlangsung meriah. Aku sendiri sungguh menikmati suguhan acara
kedua mempelai. Mulai dari senyum sapa hingga pemotongan tumpeng
pernikahan. Aku masih dapat menyaksikan setipa rangkaian gerak kedua
mempelai dari kursiku di belakang. Bermodalkan mataku yang tak minus
maupun plus dan alisku yang lengkap, aku mampu menangkap makna di setiap
peristiwa ramah tamah. Kesanku kedua mempelai pun menikmati semaraknya
pesta. Sejurus kemudian aku teringat akan sosok kedua orangtuaku yang kini
hampir di penghujung senja kehidupan. Aku membayangkan betapa meriahnya
pesta pernikahan keduanya. Namun, kemeriahan kala itu terlampau jauh dari
yang kudambakan. Aku ditolak kedua orang tuaku karena kehadiran temantemanku para jalanan dan pemulung. Bagiku mereka bukan hanya teman yang
dapat kupilih dan kupilah, melainkan saudara seciptaan yang pantas diundang
ke pesta kedua orang tuaku. Lagi pula aku bukanlah orang asing, aku bisa
dikatakan tuan pestanya.
Idealismeku menyalahi hasrat kedua orangtuaku. Mereka hanya mau
mengundang yang berdasi dan beruang. Mereka hanya ingin menikmati pujian
tetangga bahwa banyak sedan dengan berbagai merk bisa berjejer hingga pintu
dapur rumah. Mereka berhalusinasi bahwa saudara-saudaraku tidaklah selevel
derajat kebangsaan kam. Akibatnya aku diasingkan bahkan dianggap durhaka.
Malam itu aku hanya diberi kursi terbelakang di pesta kedua oragtuaku.
Kini aku menghadiri pesta pernikahan saudara kandungku. Aku hadir dengan
kepingan hati saudara-saudaraku para jalanan dan pemulung. Aku kini memang
tidak mau mencari kursi terdepan. Aku hanya ingin kursiku di belakang. Aku
hanya ingin menyisahkan tempat bagi mereka yang hanya dipandang sebagai
penghilang alis mata masyarakat sosia. Kursiku di belakang. Kursiku ialah kursi
kesejukan bukan kursi panas. Aku tidak lagi menginginkan diri sebagai tuan
pesta walaupun itu milik saudara kandungku. Aku sebetulnya layak untuk kursi
terdepan, namun biarlah karena masih banyak yang lebih membutuhkan dariku.
Cukuplah dengan kursiku di belakang.
Terinspirasi dari kisah kehidupan yang Kutemukan dalam alun-alun kehidupan
sistem kekuasaan. Terdorong oleh daya kasih tuk mereka yang terus mencari
panasnya kedudukan. Termotivasi oleh mereka yang terus mencari keadilan.
Tuk semuanya kutitipkan kisah ini dari gerakan nurani teknologi.
Salam hangat dariku didataran Pojok Yogyakarta
Lius Kiik, CMF

Sepekan di ROWOSENENG menarikku masuk dalam dunia baru. Kesepian nan
menyenangkan menyelimuti kalbu di setiap detik hari-hari perenungan.
Perbukitan Dieng menerpa ragaku dalam dingin dan diamnya. Bertepi, menarik
diri, namun bukan melarikan diri. Tercengang mata kala menatap hijaunya
hamparan kopi di berbagai arah mata angin. Hati menggelora menyaksikan
setiap tetesan susu sapi perah para pendoa Gereja (Rahib OCSO). Nurani
tersadar kala gendang telinga perlahan merekam alunan doa para pertapa tujuh
kali sehari.
ROWOSENENG bak tanah terjanji di tengah pergolakan dunia. Ia menjajikan
kedamaian dalam hening. Bukan sebuah kebetuan, kucicipi sedikit manisnya

susu olahan jari-jari setia. Kurasakan lembutnya tepung balutan kasih yang tak
akan pernah membosankan. Kuteguk segarnya tetesan bening yang mengalir
tanpa henti dari rahim bumi pertiwi Dieng tercinta.
ROWOSENENG menghantarku menemukan setiap titik pijak kehidupan. Titik
yang menuntunku pada kesiapan tuk terus menjadi dalam proses. Ia telah
mengajarkanku indahnya nilai perdamaian dan kedamaian di tengah alam nan
hijau, di atas bumi nan luas berhiaskan sejuta janji kesuburan. Terimkasih Sang
Waktu tuk perjumpaan dalam hening. Terimakasih para rahib tuk senyum
selamat datang. Semoga berjumpa di lain kesempatan!
Yogyakarta, 14 Juli 2016
Salam Hangat!
Sang Lyan, CMF

Sang Waktu kembali berkisah dalam tapak keindahan. Mentari berkilau di atas
mendung pagi ini, 1 Juli 2016. Terjaga raga dari lelap, guyuran air menerpa
tubuh, lantunan madah syukur menghiasi pagi di Pojok kota pelajar, kota
budaya, Yogyakarta. Lantunan madah 'Nafas Iman' menghentakkan raga tuk
berayun sang jago putih menuju hijaunya hamparan sawah dusun Kalasan.
Putaran roda sang jago putih bak bertiupkan gelora bertarung. Melingkari
jalanan tanpa lelah terasa ringan menemui panggilan. Mata menatap penuh
kagum, hijauhnya alam, nikmatnya hidup dalam bentangan sawah hadaih Sang
Waktu. “Betapa indahnya ciptaanMu” hati mendengung penuh decak berkobar
rasa bahagia.

Tiada nada nan syaduh mengalahkan semilir angin sawah. Tiada tiupan
menyegarkan selain nafas Sang Waktu pada desiran sepanjang pinggiran
selokan Mataram. Damai, tenang mengiringi Sang Lyan melewati sempitnya
lorong-lorong perjuangan. Detik berlalu tak terasa kala sang jago menerobos
ketidakpastian putaran sang bundarnya. Keraguan berubah, gelisah sirna dalam
keyakina Sang Lyan bahwa Sang Waktu kan menuntun. Perjalanan yang
meneyenangkan. "Bukan keraguan yang menguasai melainkan keyakinan yang
menguatkan" demikian doa nurani dalam tapak ketidakpastian.
Lega hati meretas asa di setiap gumpalan tanah. Sentuhan pada 'tubuh' pertiwi
mengingatkanku pada desiran narasi teori dalam ruang ide pergulatan
intelektual. Sentuhan itu mengakarkan khayalan teori menjadi kenyataan. Sang
Lyan meraih sepotong besi menatap penuh keyakinan pada pertiwi. Sang Waktu
telah memberi 'rahim' yang takkan pernah termakan usia, bila tangan-tangan
berani berkata tidak pada eksploitasi. Sentuhan bernilai keyakinan akan hidup
dalam kebersamaan, nyata tak terbantahkan. Gumpalan di setiap sentuhan
telah berbisik menyakinkan "Terimakasih tuk perhatiannmu sobatku tercinta!"
Tetesan keringat menampakkan perhatian pada rahim yak tak pernah melukai
bila tak dillukai. Rahim yang telah tersenyum pada setiap tetesan keringat Sang
Lyan bersama segenap keluarga besar Misionaris berhati (CMF & RMICM).
Terimakasih Sang Waktu tuk pengalaman sehari di pojok Kalasan,Yogyakarta
kota pelajar. Tak ada yang lebih berharga selain syukur untukMu selamanya
sobatku Sang Waktu.

Kisah hidupku terangkai dalam bingkai rahmat dan kasih. Ketika aku hadir ke
dunia meninggalkan 'dunia' pertama yakni rahim sang bunda aku tak tahu pasti
bahkan tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Sang Waktu kini
menempatkanku pada sebuh 'rahim' baru yakni dunia saat ini dengan segala
dinamika dan kemelut. Kepastian dan kemungkinan menjadi dua kekuatan yang
terus menemaniku dalam setiap langkah kehidupan. Kepastian akan semua
masa laluku dan masa kini menjadikanku bersiap menerima kemungkinan masa
depan. Waktu Indah menghiasi tapak demi tapak proses kehidupan. Kesadaran

akan segala kebaikan menggetarkan nuraniku kala kisah-kisah bersama kedua
orang tua, kesembilan belahan hati, Komunitas Claretian, saudara-saudara
sepanggilan, sahabat, teman dan kenalanku telah membentuk diriku menjadi
seorang pribadi dalam dinamika 'rahim' dunia. Pembentukan dalam kurun
waktu sembilan bulan sepuluh hari menjadi lengkap ketika aku dibentuk dalam
perjalan hidupku. Karena itu di hari bahagia ini, dari kedalaman nurani ijinkan
aku mengucapkan syukur kepada SANG WAKTU, terimaksih tuk semua yang
pernah menjumpaiku dalam segala dinamika dan mohon maaf beribu maaf jika
aku pernah menyakiti. Biarkan semua itu terbenam dalam manisnya senyum
yang telah kalian ajarkan padaku. Yogyakarta 3 Juni 2016.

SI'ARAI LOLON BERKISAH PERJUANGAN
Kisah Ksadan menyadarkan Nai, betapa kaya pertiwi kedua orangtuanya.
Tempat pusar ayah dan ibunya diletakkan. Ia memahami mengapa selalu
Raifatus menjadi idola ayah ketika berkisah dan Siarai menjadi rujukan ketika
ibu menasehati. Semua karena Siarai begitu kaya dan mempesona. Karang
menjadi teman sepermaianan ayah ketika menghadapi peristiwa kelaparan.
Kacang menjadi sahabat ibu ketika jagung tak mampu menjawab kebutuhan
hidup. Maklumlah kala itu teknologi belum menyentuh wajah polos Siarai-

Raifatus. Tak seorang pun dari eyang yang mengerti bahwa karang Raifatus
menyimpan marmer. Kacang bisa diolah menjadi berbagai jenis minyak dan
pastinya tak seorang pun tahu bahwa Kikit Mate lembah sumbur di kaki lereng
Siarai menyimpan Mangan yang kini terus diincar para pemodal. Bibir Nai
mengulas senyum indah penuh harap akan kisah baru tentang Raifatus.
Malam terang, rembulan seolah bersahabat dengan nurani Nai yang tidak puas
akan kisah Raifatus. Malam itu bertanggal 1 Agustus 2011, sehari di sebuah
teras nan indah, ia kembali mendengar kisah Raifatus dari ungkapan hati ayah
akan lereng terjal yang disebut Si’arai Lolon. Lereng itu bagaikan kekarnya
dada seorang pria perkasa yang siap menjadi tempat letakkan kepala gadis
manis. ‘Lolon’ yang berarti ‘terjal’ menjadi sebutan bagi lereng bukit Siarai.
Bagian atas Lolon dibatasi dengan karang yang sejak jaman kerajaan disebut
Fatuk Mutin (batu putih) sesuai warna batu. Ornamen utama Lolon tidak lain
adalah karang yang dieratkan oleh gumpalan tanah. Sejak dahulu Lolon pun
dihiasi dengan kelopak bunga kuning yang jaman ini dikenal dengan nama
bunga matahari. Lolon ternyata bukan hanya tinggal kenangan mati, melainkan
kenangan kehidupan akan nilai perjuangan antara hidup dan mati.
Perkampungan tua (Kota Tuan) yang berada dipuncak Siarai Lolon menuntut
penduduk Kota Tuan berjuang keras mendapatkan air dari sumber We Tear.
Ayah dan Ibu harus berani menjunjung bambu berukuran 2-3 meter agar
segarnya setetes air We Tear dapat menghilangkan dahaga anggota keluarga.
Bambu sebagai wadah pengisian air itu disebut Doran. Doran berat itu dibawa
melewati Siarai Lolon. “Ami hatiu Doran mesa bot hodi tuir Sia Rai Lolon oras
ba kuru we iha We Tear (kami membawa Doran besar-besar, melewati Siarai
Lolon ketika menimba air di We Tear)”, kisah Antonius pada Nai. Siarai Lolon
menjadi saksi usaha mendapatkan setetes air.
Pengambilan air seringkali dilakukan secara berkelompok. Tidak kurang dari 610 orang dalam kelompok. Adanya kelompok ini hanya karena satu alasan yakni
mereka datang dari satu tali kekeluargaan. Rasanya tiada seorang pun yang
sendirian menghidupi perjuangan kehidupan akan setetes air. Kesulitan air
seolah dapat teratasi kala pendakian Lolon dilakukan bersama. Seyum Nai
kembali merekah, menghiasi bibir mungilnya. Benar, jika pekerjaan berat
dikerjakan bersama pasti akan lebih baik. Nai merasa bangga dalam nuraninya,
melihat berbagai lapisan masyarakat bersama menghadapi masalah terorisme.
Nai bahagia melihat berbagai pihak bahu membahu menolak tambang. Kisah
ayahnya tentang Siarai Lolon ternyata masih relevan untuk hidup di masanya.

Kebersamaan mampu meredupkan pergolakan. Demikian degungnya dalam
kalbu...Bersambung,,,,

KSADAN SIARAI MENYIMPAN KISAH KEHIDUPAN
Ksadan sebuah tempat teduh di bawah rimbunnya beringin, bertakhta anggun
di puncak bukit Sirai, Raifatus, Raihat-Belu-Timor-NTT. Anggun wajahnya
menyiratkan kisah perjalanan panjang para leluhur warga Raifatus. Senyum
Ksadan mengungkapkan nilai luhur para pendahulu yang pernah hidup penuh

persaudaraan, kerukunan dan damai. Ya, kedamaian itu masih terasa kala
berteduh di bawah lindungan beringin tua, ditemani hembusan angin lembah
Siarai Lolon nan sejuk.
Sore itu bertanggal 30 Juli 2011 sebuah kisah kedamaian terpatri dalam nubari
kala dua insan kembali menggali kisah indah realitas Ksadan. Robertha seorang
ibu, mengisahkan kepada anaknya kehidupan para eyang yang kini tinggal
dalam nisan balutan batu-batu plat. Kisah yang bukan saja fiksi, melainkan fakta
sejarah. Fakta yang dapat diungkapkan bukan saja oleh para cicit, melainkan
juga oleh kesaksian batu-batu bisu yang menyimpan seribu bahasa. Ksadan
merupakan sebuah tempat pertemuan kerajaan terdiri dari kursi batu, disusun
berbentuk lingkaran Letaknya persis di tengah perkampungan tua yang disebut
dengan Kota Tuan (Kampung Lama). Di sinilah para leluhur kerajaan Maumutin
duduk, berbicara dan mengambil keputusan bagi kehidupan kerajaan. ''Ksadan
ne'e on bei sian tur fatin (Ksadan ini 'tempat duduk' para eyangmu)", kisah
Robertha pada anaknya Nai.
Berbagai semburan ombak kehidupan kerajaan bagai dibendung oleh keputusan
Ksadan. Ksadan menjadi penentu kebenaran. Cahaya kebenaran Ksadan tidak
menuai serangan "satu kata" melainkan dengan rela ditaburkan realitas
kehidupan. Pertikaian antar suku dapat teredamkan tanpa jeruji besi.
Permasalahan antar kerajaan menuai damai tanpa peradilan internasional.
Masalah tata kampung dapat terbentuk tanpa harus ada penggusuran. Semua
itu terjadi dalam ritme Ksadan. Ksdan menjadi jaminan kedamaian hidup para
eyang.
Nai baru tersadarkan ketika Robertha mengungkapan kisah damai itu. Lantas
nurani batinnya berontak. "Mengapa aku tak terlahir saat itu?" tanyanya dalam
batin. Manusiawi, Nai merindukan situasi Ksadan yang dapat menjadi pusat
kedamaian. Bukan 'Ksadan' Senayan yang terus diterpa badai politik dan
kepentingan pribadi. Ksadan yang tetap menyimpan kisah sejarah penuh damai,
bukan kisah korupsi dan perkelahian. Kisah hidup para eyang telah
menerbangkannya pada kesdaran bahwa dirinya dan sesama membutuhkan
hadirnya realitas Ksadan demi meredakan gelora pergulatan kehidupannya saat
ini.
Terimakasih Ksadan Raifatus, atas nilai kehidupan yang masih terpatri di atas
batu-batu. Ijinkan aku untuk terus belajar dari kebisuanmu. Dan semoga
susunan batu lambang kedamaian hati tidak lekang termakan harimau ke-egoan.