BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Pengaruh Dilatasi pada Bangunan Pabrik PT. Agri First Flour Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Struktur Bangunan Gedung Setiap bangunan gedung memiliki struktur yang berbeda – beda dikarenakan

  oleh beberapa faktor antara lain : fungsi bangunan yang berbeda – beda, tampilan arsitektur yang bervariasi, dan juga lokasi yang tersedia. Dalam peraturan SNI – 1726 – 2002 disebutkan struktur gedung ada dua yaitu struktur gedung beraturan dan struktur gedung yang tidak beraturan. Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :

  • tingkat atau 40 m.

  Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10

  • mempunyai tonjolan, panjag tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut.

  Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun

  • mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.

  Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun

  • lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu – sumbu utama orthogonal denah struktur gedung secara keseluruhan.

  Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban

  • kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang menjulang dalam masing – masing arah, tidak kurang

  Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan dari 75% dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka. Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa

  • adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu tingkat, di mana kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata – rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu simpangan antar tingkat.
  • setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak boleh lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi ketentuan ini.

  Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya

  • beban lateral menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsure dalam arah perpindahan tersebut.

  Sistem struktur gedung memiliki unsur – unsur vertical dari sistem penahan

  • atau bukaan yang luasanya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.

  Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang

  Apabila struktur gedung yang akan direncanakan tidak sesuai dengan syarat dari stuktur gedung beraturan, maka struktur gedung tersebut dikategorikan ke dalam struktur gedung tidak beraturan. Selain tidak memenuhi syarat dari struktur gedung beraturan menurut SNI – 1726 – 2002, suatu bangunan gedung dikategorikan juga sebagai struktur bangunan gedung tidak beraturan apabila konfigurasi atau bentuk bangunan gedung tersebut berbentuk L, T, dan bentuk – bentuk lain yang tidak simetris, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Denah struktur bangunan tidak simetris

  Struktur bangunan gedung tidak beraturan seharusnya di desain secara terpisah yaitu dengan melakukan dilatasi pada bangunan. Di mana dilatasi adalah suatu garis pemisah antar dua bangunan yang memiliki massa yang berbeda dan bentuk konfigurasi bangunan yang tidak simetris. Menurut jurnal “Pelajaran dari gempa; Tinjauan kerusakan Bangunan akibat Pengaruh Torsional dan Soft/Weak Story”, oleh Daniel Rumbi Teruna dan Robert Panjaitan, pengaruh tidak regular bangunan akan menimbulkan peningkatan gaya geser pada komponen pemikul gaya lateral seperti kolom, sehingga bila kolom tidak memiliki kekuatan yang memadai serta tidak dikekang dengan baik akan menimbulkan kerusakan dan bahkan dapat menimbulkan keruntuhan. Sehingga bangunan sebaiknya direncanakan simetri dan beraturan baik dalam arah horizontal maupun arah vertikal agar memiliki respons yang mudah diprediksi akibat gaya gempa.

II.2 Perencanaan Struktur Beton Bertulang

  Menurut buku “ Struktur Beton Bertulang “ karangan Istimawan Dipohusodo , beton didapat dari pencampuran bahan-bahan agregat halus dan kasar yaitu pasir, batu, batu pecah atau bahan semacam lainnya, dengan menambahkan secukupnya bahan perekat semen, dan air sebagai bahan pembantu guna keperluan reaksi kimia selama proses pengerasan dan perawatan beton berlangsung. Agregat halus dan kasar, disebut sebagai bahan susun kasar campuran, merupakan komponen utama beton. Nilai kekuatan serta daya tahan ( durability ) beton merupakan fungsi dari banyak faktor, di antaranya adalah nilai banding campuran dan mutu bahan susun, metode pelaksanaan pengecoran, pelaksanaan finishing, temperature, dan kondisi perawatan pengerasannya.

  Nilai kuat tekan beton relatif tinggi dibandingkan dengan kuat tariknya, dan beton merupakan bahan yang bersifat getas. Nilai kuat tariknya hanya berkisar 9% - 15% dari kuat tekannya. Pada umumnya sebagai komponen dari sebuah struktur bangunan, beton diperkuat dengan tulangan baja sebagai bahan yang dapat bekerja sama dan mampu membantu kelemehan beton dalam menahan gaya tarik. Dengan demikian terjadi sebuah pembagian tugas, di mana tulangan baja bertugas menahan gaya tarik, sedangkan beton hanya diperhitungkan menahan gaya tekan. Komponen struktur beton dengan kerja sama seperti itu disebut sebagai struktur beton bertulang.

  Beton dan baja tulangan dapat bekerja sama dengan didasarkan pada keadaan-keadaan: a. lekatan sempurna antara batang tulangan baja dengan beton yang membungkusnya sehingga tidak terjadi penggilinciran di antara keduanya; b. beton yang mengelilingi tulangan baja bersifat kedap sehingga mampu melindungi dan mencegah terjadinya karat baja; c. angka muai kedua bahan hampir sama.

  Dalam perencanaan struktur beton bertulang, hal yang harus diperhatikan adalah perilaku komponen struktur beton bertulang pada waktu menahan berbagai beban diantaranya adalah gaya aksial, lenturan, geser, puntiran, ataupun merupakan gabungan dari gaya-gaya tersebut. Secara umum dapat dipahami bahwa perilaku tersebut tergantung pada hubungan regangan-tegangan yang terjadi di dalam beton dan juga jenis tegangan yang dapat ditahan. Karena sifat beton yang mempunyai nilai kuat tarik yang relatif rendah, maka pada umumnya hanya diperhitungkan kuat desak yang bekerja pada daerah tekan pada penampangnya, dan hubungan tegangan- regangan yang timbul karena pengaruh gaya tekan tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan. Menurut SNI – 03 – 2847 – 2002, Modulus elastisitas beton Ec = 4700 x f ' dan menurut SNI – 03 – 1726 – 2002, modulus elastisitas baja Ecs = c 200 GPa.

  Adapun struktur pendukung untuk rumah dan gedung adalah sebagai berikut : 1.

  Plat Plat lantai menerima beban yang bekerja tegak lurus terhadap permukaan plat. Berdasarkan kemampuannya untuk menyalurkan gaya akibat beban, pelat lantai dibedakan menjadi dua yaitu: a. plat satu arah yaitu plat yang didukung pada kedua tepi sisi yang berhadapan sehingga lenturan timbul pada arah tegak lurus terhadap arah dukungan tepi; b. plat dua arah yaitu plat yang didukung pada keempat sisinya yang dibatasi oleh dua balok induk pada sisi pendeknya dan dua balok anak pada sisi panjangnya.

  Plat lantai yang dirancang adalah plat lantai dua arah yang didukung pada keempat sisinya. Untuk memudahkan perancangan akan digunakan tabel dari grafik dan hitungan beton bertulang berdasarkan SNI – 03 – 2847 - 2002.

  Menurut SNI-03-2847-2002 ayat 11.5.3.3 , tebal pelat lantai adalah :

  a) Tidak boleh kurang dari nilai

  �0,8 + 1500�

  ℎ = 36 + 5 ( − 0,2) atau

  �0,8 + 1500�

  ℎ = 36 + 9 b)

  Tetapi tidak boleh lebih dari (SK SNI T-15-1991-03 ayat 3.2.5 butir 3): �0,8 +

  1500� ℎ =

  36 dimana: h = tebal pelat ln = panjang bentang bersih balok dalam arah melintang β = perbandingan antara bentang bersih dalam arah memanjang terhadap arah melintang dari pelat dua arah.

  αm = nilai rata-rata dari α Ecb . Lb

  α = Ecs . Ls

  Ecb = modulus elastis pada beton Ecs = modulus elastis pada pelat.

  Dalam segala hal tebal pelat minimum tidak boleh kurang dari nilai berikut :

  • αm < 2, tebal pelat minimum 120 mm • αm ≥ 2, tebal pelat minimum 90 mm.

  2. Balok Bentangan plat tidak dapat panjang karena ada ketebalan tertentu (termasuk berat sendiri), karena akan menghasilkan struktur yang tidak hemat dan praktis. Oleh karena itu banyak dikembangkan jenis sistem struktur plat yang bertujan untuk mendapatkan bentang sepanjang mungkin. Salah satunya adalah sistem balok anak dan balok induk serta kolom sebagai penopang struktur keseluruhan.

  Analisis dan perencanaan balok yang dicetak menjadi satu kesatuan monolit dengan pelat lantai atau atap didasarkan pada anggapan bahwa antara pelat dengan balok terjadi interakasi saat menahan momen lentur positif yang bekerja pada balok. Interaksi antara plat dan balok yang menjadi satu kesatuan pada penampangnya membentuk huruf T sehingga dinamakan sebagai balok T. plat akan berlaku sebagai lapis sayap (flens). Flens juga harus direncanakan dan diperhitungkan tersendiri terhadap balok pendukungnya.

  3. Kolom Menurut pasal 10.8 SNI-03-2847-2002, kolom adalah salah satu komponen struktur bangunan yang harus direncanakan menyangga beban aksial terfaktor pada suatu bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Sebagai bagian dari suatu kerangka bangunan, kolom menempati posisi penting didalam sistem struktur bangunan. Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain yang berhubungan dengannya atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan bangunan.

  Pada umumnya keruntuhan atau kegagalan kolom sebagai komponen tekan tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, bersifat mendadak. Oleh karena itu, dalam merencanakan struktur kolom harus memperhitungkan secara cermat dengan memberikan kekuatan lebih tinggi daripada komponen struktur lainnya.

  Dalam prakteknya kolom tidak hanya bertugas menahan beban aksial vertikal, definisi kolom diperluas mencakup untuk menahan kombinasi beban aksial dan momen lentur,dengan kata lain kolom juga diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu.

4. Momen

  Berdasarkan kondisi dilapangan serta beban yang menyebabkan terjadinya, momen dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a.

  Momen Lentur Beban yang bekerja pada struktur, baik yang berupa beban gravitasi, beban hidup, beban angin, berat sendiri dari struktur tersebut maupun beban- beban yang lain menyebabkan terjadinya lentur dan deformasi pada elemen struktur. Lentur pada balok merupakan akibat dari regangan yang timbul karena adanya beban. Apabila bebannya bertambah maka akan terjadi regangan tambahan yang menyebabkan timbulnya retak lentur disepanjang bentang balok.

  Momen merupakan beban yang berbanding lurus dengan jarak. Akibat adanya momen, balok mengalami lenturan pada balok dan mengakibatkan retak pada balok. Mengingat sifat beton hanya tahan terhadap gaya tekan saja, maka diperlukan adanya tulangan baja untuk dapat menahan tegangan tarik yang terjadi.

  b.

  Momen Torsi (puntir) Gaya torsi terjadi pada saat suatu komponen memikul beban gaya sedemikian sehingga terpuntir terhadap sumbu memanjangnya. Momen puntir ini sering menyebabkan tegangan geser yang cukup besar. Gaya torsi cendrung terjadi pada batang yang berpenampang bukan bulat. Gaya torsi yang timbul mengakibatkan retak tarik diagonal seperti yang diakibatkan oleh gaya geser lentur.

  Selain terjadi pada elemen struktur beton bertulang seperti pada balok, momen putir juga terjadi pada bangunan itu sendiri. Pada balok, untuk mengurangi resiko akibat momen torsi, diperlukan tulangan baja yang dipasang melintang dengan arah retakan, umumnya dipasang pada arah memanjang balok. Pada bangunan, untuk menghindari terjadinya torsi maka harus menjaga agar pusat rotasi dan pusat massanya berhimpit dan sebaiknya menghindari bentuk struktur bangunan yang tidak beraturan seperti yang disebutkan dalam SNI – 03 - 1726 – 2002 pasal 4.2 dan juga menghindari konfigurasi bangunan yang tidak beraturan seperti gambar 2.1.

5. Gaya Lintang

  Gaya lintang merupakan gaya yang tegak lurus sumbu bagian konstruksi yang ditinjau. Gaya lintang yang terjadi mengakibatkan terjadinya geser. Akibat terjadinya lenturan, balok juga menahan gaya geser. Dalam konsep beton bertulang, apabila gaya geser yang bekerja sangat besar sehingga beton tidak mampu menahanya, maka diperlukan tulangan tambahan untuk dapat menahan gaya yang tejadi.

  Tegangan geser dan lentur akan timbul disepanjang komponen struktur tempat bekerjanya gaya geser dan momen lentur. Terjadinya lentur ditahan oleh tulangan longitudinal sedangkan untuk gaya geser, ditahan oleh tulangan tambahan berupa sengkang. Adapun mekanisme perlawanan geser sebagai berikut: a. adanya perlawanan geser beton sebelum terjadi retak; b. adanya gaya ikatan antar agregat; c. timbulya aksi pasak tulangan longitudinal sebagai perlawanan terhadap gaya transversal yang harus ditahan; d. terjadinya perlengkungan pada balok yang relatif tinggi; e. adanya perlawanan penulangan geser yang berupa sengkang vertikal ataupun miring (untuk balok bertulangan geser).

6. Gaya Normal Gaya normal merupakan gaya yang sejajar sumbu konstruksi yang ditinjau.

  Pada stuktur bangunan, yang mengalami gaya normal atau aksial paling besar adalah kolom. Pada kolom gaya aksial sangat dominan sehingga keruntuhan sangat sulit dihindari. Apabila beban ditambah, maka retak akan terjadi diseluruh badan kolom tersebut dan apabila bebannya terus bertambah, maka akan terjadi tekuk (buckling) yang ditandai dengan lepas atau hancurnya selimut beton kemudian diikuti dengan lelehnya tulangan baja. Untuk mencegah terjadinya keruntuhan akibat buckling, kolom diusahakan tidak terlalu panjang/tinggi dan penulangan kolom harus sangat diperhatikan, baik tulangan memanjang maupun sengkangnya.

7. Lendutan

  Komponen struktur beton bertulang yang mengalami lentur harus direncanakan agar mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi lendutan atau deformasi apapun yang dapat memperlemah kekuatan ataupun mengurangi kemampuan layan struktur pada beban kerja.

  Besar lendutan yang terjadi dapat diatasi dengan meningkatkan inersia tampang tersebut. Untuk konstruksi dua arah, semua lendutan yang dihitung dengan menggunakan formula standar atau cara lain tidak boleh melebihi nilai lendutan izin maksimum yang ditetapkan dalam tabel 2.1 yang sesuai dengan peratuan SNI 03- 2847-2002.

Tabel 2.1 Lendutan izin maksimum [ BSN, SNI-03-2847, 2002 ]

  Lendutan yang Jenis komponen struktur Batas Lendutan diperhitungkan

  Atap datar yang tidak a menahan atau tidak

  l

  disatukan dengan Lendutan seketika akibat 180 komponen nonstruktural beban hidup ( L ) yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar Lantai yang tidak menahan atau tidak

  l

  disatukan dengan Lendutan seketika akibat 360 komponen nonstruktural beban hidup ( L ) yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar Konstruksi atap atau lantai Bagian dari lendutan total yang menahan atau yang terjadi setelah disatukan dengan pemasangan komponen b komponen nonstruktural nonstruktural ( jumlah dari

  l

  yang mungkin akan rusak lendutan jangka panjang, 480 oleh lendutan yang besar akibat semua beban tetap

  Konstruksi atap atau lantai yang bekerja, dan lendutan yang menahan atau seketika, akibat d disatukan dengan penambahan beban hidup ) c l komponen nonstruktural

  240 yang mungkin tidak akan rusak oleh lendutan yang besar a Batasan ini tidak dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan penggenangan air.

  Kemungkinan penggenangan air harus diperiksa dengan melakukan perhitungan lendutan, termasuk lendutan tambahan akibat adanya penggenangan air tersebut, dan mempertimbangkan pengaruh jangka panjang dari beban yang selalu bekerja, lawan lendut, toleransi konstruksi dan keandalan sistem drainase. b Batas lendutan boleh dilampaui bila langkah pencegahan kerusakan terhadap komponen yang ditumpu atau yang disatukan telah dilakukan. c Lendutan jangka panjang harus dihitung berdasarkan ketentuan, tetapi boleh dikurangi dengan nilai lendutan yang terjadi sebelum penambahan komponen non- struktural. Besarnya nilai lendutan ini harus ditentukan berdasarkan data teknis yang dapat diterima berkenaan dengan karakteristik hubungan waktu dan lendutan dari komponen struktur yang serupa dengan struktur yang ditinjau. d Tetapi tidak boleh lebih besar dari toleransi yang disediakan untuk komponen non- struktur. Batasan ini boleh dilampaui bila ada lawan lendut yang disediakan sedemikian hingga lendutan total dikurangi lawan lendut tidak melebihi batas lendutan yang ada.

  Rumus-rumus standar untuk untuk perhitungan lendutan diberikan dalam buku- buku mekanika teknik. Rumus lendutan δ untuk tengah-tengah bentang sebuah balok tertumpu bebas dengan panjang l dan EI konstan, serta letak beban terpusat ditengah bentang adalah

  M . l² δ =

  12 EI Untuk balok yang mendapatkan beban terbagi rata sepanjang balok, lendutan di tengah-tengah bentang adalah

  5M .l²

  δ =

48 EI

  Sedangkan lendutan dari pelat pada umumnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

  2 c .M .l

  δ =

  EI

  atau

  4

  c . w . l δ =

  EI

II.3 Kuat rencana

  Menurut SNI – 03 – 2847 – 2002, kuat rencana suatu komponen struktur, sambungannya dengan komponen struktur lain, dan penampanganya, sehubungan dengan perilaku lentur, beban normal geser dan torsi harus diambil sebagai hasil kali kuat nominal, yang dihitung berdasarkan peraturan.

  Faktor reduksi kekuatan φ sesuai peraturan SNI – 03 – 2847 – 2002 adalah sebagai berikut :

  φ

  1. = 0,8 Lentur, tanpa beban aksial 2.

  Beban aksial, dan beban aksial dengan lentur a.

  φ = 0,8

  Aksial tarik dan aksial tekan dengan lentur, b.

  Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur

  φ

  = 0,7

  • Komponen struktur dengan tulangan spiral,

  φ

  = 0,65

  • Komponen struktur lainnya,

  φ

  boleh

  • Kecuali untuk nilai aksial tekan yang rencah, nilai ditingkatkan berdasarkan aturan berikut : Untuk komponen struktur di mana fy tidak melampaui 400 MPa, dengan tulangan simetris, dan dengan ( h – d – ds ) / h tidak
kurang dari 0,70, maka nilai

  φ

  Faktor reduksi untuk geser pada diafragma tidak boleh melebihi faktor reduksi minimum untuk geser yang digunakan pada komponen vertikal dari sistem pemikul beban lateral.

  φ

  0,65 5. Daerah pengangkuran pasca tarik,

  φ =

  4. Tumpuan pada beton kecuali unutk daerah pengangkuran pasca tarik,

  Geser pada hubungan balok – kolom perangkai yang diberi tulangan longitudinal, φ = 0,80.

  c.

  b.

  boleh ditingkatkan secara linear menjadi 0,80 seiring dengan berkurangnya nilai

  Faktor reduksi untuk geser pada komponen struktur penahan gempa yang kuat geser nominalnya lebih kecil dari pada gaya geser yang timbul sehubungan dengan pengembangan kuat lentur nominalnya, φ = 0,55.

  = 0,75 Kecuali pada struktur yang bergantung pada sistem rangka pemikul momen khusus atau sistem dinding khusus untuk menahan pengaruh gempa: a.

  φ

  3. Geser dan torsi,

  Pn dari 0,10 fc’ Ag ke nol. Untuk komponen struktur beton bertulang yang lain, nilai φ boleh ditingkatkan secara linear menjadi 0,80 seiring dengan berkurangnya nilai φ Pn dari nilai terkecil antara 0,10 fc’ Ag dan P b ke nilai nol.

  φ

  = 0,85

  6. Penampang lentur tanpa beban aksial pada komponen struktur pratarik di mana panjang penanaman strand-nya kurang dari panjang penyaluran yang ditetapkan, φ = 0,75 7. Perhitungan panjang penyaluran sesuai dengan pasal 14 tidak memerlukan

  φ

  faktor reduksi

  φ

  8. untuk lentur, tekan, geser, dan tumpu pada beton Faktor reduksi kekuatan polos structural ( Pasal 24 ) harus diambil sebesar 0,55

II.4 Konsep Perencanaan Bangunan Terhadap Pengaruh Gaya Gempa

  II.4.1 Pemakaian gaya horizontal akibat gaya gempa Ketika gempa bumi terjadi tanah akan bergetar dan bangunan akan bergoyang. Setelah mengalami sejarah yang panjang, goyangan massa bangunan kemudian dianalogikan sebagai akibat dari adanya beban horizontal dinamik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan gambar 2.3 di mana m = massa bangunan, W = berat bangunan, k = kekakuan, H = gaya horizontal, dan V = gaya geser. Prinsip ini sudah diketahui sejak awal abad ke-20 tepatnya setelah gempa San Fransisco USA (1906) dan gempa Messina-Regio Italia (1908).

  m g W k t

Gambar 2.2 Struktur SDOF dengan beban gempa m H W k

  V Gambar 2.3 Beban horizontal Ekuivalen

  Pada saat itu efek beban dinamik pada struktur bangunan belum sepenuhnya dikuasai terutama secara analitik. Suatu komisi yang terdiri para ahli yang bertugas mempelajari perilaku bangunan gedung tahan gempa yang pada akhirnya menghasilkan dua rekomendasi yang berbeda yaitu bangunan diisolasi terhadap tanah dengan dukungan roll sementara rekomendasi yang lain bangunan disatukan secara rigid dengan fondasi,yang pada akhirnya rekomendasi kedua inilah yang diambil sebagai keputusan akhir. Efek beban dinamik terhadap bangunan kemudian disederhanakan yaitu menjadi beban ekivalen statik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Kemudian pada tahun 1909 disetujui bahwa suatu bangunan harus didisain dengan beban horisontal paling tidak 1/12 dari berat total bangunan. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut Elastis, 2001 ]

  II.4.2 Analisis beban ekivalen Perkembangan beban yang berkaitan dengan gempa bumi terus mengalami banyak perubahan, kemudian banyak gempa besar terjadi misalnya gempa El Centro

  1994, gempa Taft 1952, gempa Perlu 1940, gempa Chile 1943, yang mendorong untuk memperbaiki konsep beban horisontal akibat gempa.

  Beban ekivalen statik adalah suatu representasi dari beban gempa setelah disederhanakan dan dimodifikasi, yang mana gaya inersia yang bekerja pada suatu massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Jadi beban statik ekuivalen adalah beban yang ekuivalen dengan beban gempa yang membebani bangunan dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terjadi overstress pada bangunan yang bersangkutan. Sedangkan untuk tujuan pembebanan yang lebih teliti guna memperoleh jaminan yang lebih besar, maka harus dipakai konsep beban yang lain, misalnya dengan cara dinamik analisis. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut Elastis, 2001 ]

  Bergetarnya bangunan akibat gempa kemudian disederhanakan seolah-olah terdapat gaya horisontal yang bekerja pada massa bangunan. Apabila bangunan mempunyai banyak massa maka terdapat banyak gaya horisontal yang masing- masing bekerja pada massa-massa tersebut. Sesuai dengan prinsip keseimbangan maka dapat dianalogikan seperti adanya gaya horisontal yang bekerja pada dasar bangunan yang kemudian disebut Gaya Geser Dasar V. Gaya geser dasar ini secara keseluruhan membentuk keseimbangan dengan gaya horisontal yang bekerja pada tiap-tiap massa bangunan tersebut.

  Beban geser nominal, V yang bekerja pada bangunan menurut SNI - 03 – 1726 - 2002 dapat dihitung dengan :

  C

  I

1 V = W

  t R

  Dimana : V = Beban geser nominal static ekivalen C = Nilai faktor respon spectrum

1 I = Faktor keutamaan bangunan W = Berat total bangunan.

  t R = Faktor reduksi gempa Dinamik karakteristik bangunan adalah massa, kekakuan, dan redaman.

  Dalam konsep ekivalen statik hanya massa yang diperhitungkan, dan inilah yang menjadi perbedaan utama antara konsep statik dan konsep dinamik. Apabila terdapat simpangan horisontal akibat gempa maka simpangan horisontal y tersebut seolah- olah adalah akibat dari adanya gaya horisontal H. Konsep adanya gaya horizontal H akibat gempa kemudian menjadi lebih jelas pada stick model pada gambar 2.4 sehingga terdapat keseimbangan antara gaya geser dasar V dengan gaya horisontal H yang bekerja pada massa.

  M 1 M 2 m y y h h

  M 2 EI EI EI h k k

  M 1 M 1 M 2 V h h

Gambar 2.4 Gaya geser dasar

  Di setiap tempat lokal maupun global biasanya mempunyai kondisi geologi, topografi dan kondisi tanah yang berbeda. Pada tempat-tempat tersebut juga mempunyai frekuensi kejadian, mekanisme kejadian, ukuran gempa, dan kemungkinan daya rusak gempa yang berbeda-beda. Faktor pertama yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C yaitu apabila terjadi gempa, maka daerah tersebut akan mempunyai respon dan juga resiko gempa yang berbeda pula. Faktor yang kedua adalah berhubungan dengan kondisi tanah setempat (tanah lokal). Pengalaman dari beberapa kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa kondisi tanah local yang ditunjukkan oleh jenis, properti dan tebal lapisan tanah berpengaruh terhadap respon tanah dan kerusakan bangunan. Jenis tanah menurut SNI 03-1726- 2002 adalah tanah keras, tanah sedang, dan tanah lunak. Untuk semua daerah gempa, ketiga jenis tanah tersebut akan berpengaruh terhadap nilai koefisien gempa dasar C. Faktor ketiga yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C adalah periode getar T struktur. Dengan demikian untuk memperoleh koefisien gempa dasar C umumnya terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab yaitu dimana bangunan akan dibangun, jenis tanah dimana bangunan akan didirikan, dan periode getar struktur.

  Agar perencanaan struktur beton dapat dilakukan dengan cara yang sederhana (analisis statis ekivalen) tanpa melakukan analisis yang rumit (analisis dinamik) dan prilaku struktur diharapkan sangat baik bila dilanda gempa, maka tata letak struktur sangat penting untuk diatur. Tentunya tidak ada suatu bentuk struktur yang sangat ideal memenuhi semua syarat-syarat yang diijinkan tetapi beberapa pedoman dasar dibawah ini dapat dipakai sebagai acuan dalam merencanakan tata letak struktur antar lain :

  1. bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana; 2. bentuk yang simetris; 3. tidak terlalu langsing baik pada denahnya maupun potongannya; 4. distribusi kekuatan sepanjang tinggi bangunan seragam dan menerus; 5. kekakuan yang cukup; 6. terbentuknya sendi plastis harus terjadi pada elemen-elemen horisontal lebih dahulu dibandingkan dengan elemen vertikal.

  Indonesia merupakan zona patahan lempeng bumi, dimana lempeng tersebut sering terjadi patahan, lipatan, yang mengakibatkan terjadinya getaran sehingga menjadikan Indonesia daerah yang rawan gempa. Namun tidak semua daerah Indonesia memiliki kekuatan getaran gempa yang sama. Oleh karena itu, SNI – 02 – 1726 – 2002 membagi Indonesia menjadi enam wilayah gempa yaitu mulai dari wilayah yang gempa paling rendah hingga wilayah gempa yang paling tinggi. Peta gempa setiap saat dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, dalam perkembangannya terdapat peta wilayah gempa yang dikembangkan oleh Tim Revisi Peta Hazard Gempa dan Tim Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko Tertarget untuk Indonesia. Kemudian dalam menentukan grafik respon spectra, peta tersebut kemudian dikembangkan oleh Wayan Sengara, Andri Mulia, Masyhur Irsyam, M. Asrurifak, dan Kelompok Keahlian Geoteknik - Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana) Institut Teknologi Bandung ke dalam software yang diberi nama Spektra Indo v1.0 beta.

Gambar 2.5 Peta wilayah gempa berdasarkan program Spektra Indo v1.0 beta

  [ TRPHG, Peta Gempa Indonesia, 2010 ] II.4.3 Kondisi tanah Indonesia terletak pada daerah patahan aktif, akibat terjadnya patahan pada lempeng bumi Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempa. Tiap-tiap wilayah gempa mempunyai spektrum respons sendiri-sendiri. Dengan menggunakan software Spektra Indo v1.0 beta, grafik respon spektrum untuk setiap wilayah Indonesia dapat ditentukan berdasarkan koordinat wilayah masing – masing pada peta wilayah gempa 2011 yang telah dikembangkan oleh Tim Revisi Peta Hazard Gempa dan Tim Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko Tertarget untuk Indonesia.

  Berdasarkan SNI - 03 - 1726 - 2002 jenis tanah ditetapkan sebagai tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam tabel 2.2 antara lain kecepatan rambat gelombang geser rata- rata, nilai penetrasi standar rata- rata, dan kuat geser niralir rata - rata.

Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]

  Jenis tanah Kecepatan rambat Nilai hasil Test Kuat geser niralir gelombang geser rata- Penetrasi Standar rata-rata S ( kPa ) u rata, V ( m/det ) rata-rata N s

  Tanah keras

  V ≥ 350 Ns

  50 S ≥ 100 u Tanah sedang 175 ≤

  V < 350 s 15 ≤ N <

  50 50 ≤ S < 100 u Tanah lunak

  V < 175 N < s

  15 S < u

  50 Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih dari 3 m

  ≥

  dengan PI > 20, Wn 40% dan Su < 25 kPa Tanah khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

  

m

t ∑ i=1 i

  Dimana untuk menentukan N � =

  t m i

  ∑ �

i=1

  N i

  Dengan : t i = tebal lapisan tanah ke-i N = nilai hasil test penetrasi standart ke-i

  i

  Nilai N didapat dari tes penetrasi standar. Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan SPT (Standart Penetration Test) untuk mendapatkan nilai perlawanan tanah, di Indonesia percobaan SPT jarang digunakan, umumnya yang digunakan adalah alat Sondir (Dutch Penetrometer Test), karena lebih sesui dengan kondisi tanah di Indonesia dan juga hasilnya lebih dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan adanya suatu konversi dari nilai hasil sondir ke N-SPT. Menurut prof. weasley dalam bukunya yang berjudul mekanika tanah seperti pada grafik 2.1, dinyatakan bahwa nilai N-SPT = q c /4, dimana q c = perlawanan penetrasi konus (nilai sondir), di mana absis pada grafik 2.1 adalah lebar pondasi ( meter ) dan ordinatnya

  2

  menyatakan tekanan yang diperbolehkan ( kg/cm ). Untuk nilai p = qc = 40, maka

  2

  nilai N – SPT = qc/4 = 40/4 = 10 kg/cm Grafik 2.1 Konversi nilai sondir ke N-SPT [ Weasley, Mekanika Tanah, 1977 ]

  Berdasarkan SKBI-1.3.53.1987 menyebutkan bahwa untuk pemakaian pedoman ini suatu struktur gedung harus dianggap berdiri di atas tanah bawah yang lunak, apabila struktur gedung tersebut terletak di atas endapan-endapan tanah dengan kedalaman-kedalaman yang melampaui nilai-nilai yang disebut dibawah ini : a.

  Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata tidak lebih dari 0,5 kg/cm

  2

  : 6 m b. Untuk setiap tempat dimana lapisan yang menutupinya terdiri dari tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap ratarata tidak lebih dari 1 kg/cm2 atau terdiri dari tanah butiran yang sangat padat : 9 m c. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata tidak lebih dari 2 kg/cm

  2

  : 12 m d. Untuk tanah butiran terikat yang sangat padat : 20 m

  Kedalaman harus diukur dari tingkat dimana tanah mulai memberikan penjepitan lateral yang efektif kepada struktur gedung. Tanah bawah yang lebih dangkal dari pembatasan-pembatasan di atas harus dianggap sebagai tanah keras. Analisis beban statik ekivalen juga dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :

  1). Faktor Keutamaan Bangunan (I) Setiap bangunan umumnya didirikan dengan maksud pemakaian tertentu.

  Pada tiap-tiap jenis pemakaian, suatu bangunan harus mempunyai kemampuan minimum untuk melindungi pemakainya. Mengingat hal tersebut, maka pengamanan bangunan dengan cara mengurangi resiko terhadap kerusakan bangunan merupakan sesuatu yang penting. Pengamanan bangunan tersebut diakomodasikan dengan menggunakan faktor keutamaan bangunan I. faktor keutamaan bangunan I untuk berbagai jenis bangunan dapat dilihat pada tabel

  2.3 Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]

  Kategori gedung Faktor Keutamaan 1 I 2 I

  I Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan

  perkantoran 1,0 1,0 1,0

  Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6 Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi

  1,4 1,0 1,4 Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun

  1,6 1,0 1,6 Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5 Dalam tugas akhir ini faktor I digunakan sebesar 1,0

  2). Faktor Reduksi Gempa (R) Faktor reduksi gempa adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktalitas yang dipilih untuk struktur bangunan tersebut. Adapun persamaan faktor reduksi gempa sebagai berikut:

  2,2 ≤ R = µ .

  1

  ≤ Dalam persamaan diatas, R = 2,2 adalah faktor reduksi gempa untuk bangunan gedung yang berprilaku elastik, sedangkan adalah faktor reduksi gempa maksimum yang terdapat dalam tabel 2.3.

  Nilai

  1

  ≈ 1,6 Dimana

  1

  adalah faktor tahanan lebih beban dan bahan yang terkandung dalam struktur bangunan gedung. Dan µ merupakan nilai faktor daktalitas struktur bangunan gedung. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil melebihi nilai factor daktalitas maksimum yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur bangunan gedung seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.4

Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis sistem dan

  subsistem bangunan gedung. [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]

  Sistem dan subsistem struktur gedung Uraian sistem pemikul beban gempa µm Rm F

  1.Sistem dinding penumpu ( Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing )

1.Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8

  

3.Rangka bresing di mana bresingnya

memikul beban gravitasi a.

  5.Dinding geser beton bertulang berangkai daktail 4,0 6,5 2,8

  

3.Rangka pemikul momen biasa (

  

2.Rangka pemikul momen menengah

beton ( SPRMM ) 3,3 5,5 2,8

  Beton bertulang 5,2 8,5 2,8

  Baja 5,2 8,5 2,8 b.

  

1. Rangka pemikul momen khusus (

SRPMK ) a.

  3.Sistem rangka pemikul momen ( Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul rangka

  7.Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsia 3,3 5,5 2,8

  6.Dinding geser beton bertulang kantilever daktail penuh 3,6 6,0 2,8

  Baja 4,1 6,4 2,2

  Baja 2,8 4,4 2,2 b.

  

4.Rangka bresing konsentrik khusus

a.

  2.Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan bresing tarik 1,8 2,8 2,2

  Baja 3,6 5,6 2,2 b. pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur ) SPRMB ) a.

  3.Rangka bresing biasa a.

  2.Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8

  1. Rangka bresing eksentris baja ( RBE ) 4,3 7,0 2,8

  2.Sistem rangka gedung ( Sistem struktur yang pada dasarnya memiki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing )

  

Beton bertulang ( tidak untuk

wilayah 5 & 6 ) 1,8 2,8 2,2

  

Beton bertulang ( tidak untuk

wilayah 5 & 6 ) 3,6 5,6 2,2

  Baja 2,7 4,5 2,8 b.

  

4.Rangka bresing konsentrik khusus

a.

  

5.Dinding geser beton bertulang

kantilever daktail parsial 3,3 5,5 2,8

  

4.Dinding geser beton bertulang

berangka daktail penuh ) 4,0 6,5 2,8

  

3.Rangka terbuka beton bertulang

dengan balok beton pratekan (

bergantung pada indeks baja total )

3,3 5,5 2,8

  2.Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8

  1.Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8

  7.Subsistem tunggal ( Subsistem struktur bidang yang membentuk struktur gedung secara keseluruhan )

  3,4 5,5 2,8

  6.Sistem interaksi dinding geser dengan rangka Beton bertulang biasa ( tidak untuk wilayah 3,4,5 & 6 )

  2

  Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2

  5.Sistem struktur gedung kolom kantilever ( Sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral )

  

Baja dengan SRPMB baja

2,6 4,2 2,8

  

Baja dengan SRPMK baja

4,6 7,5 2,8 b.

  Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 & 6 ) 2,6 4,2 2,8

  Beton bertulang 2,1 3,5 2,8

  

Beton bertulang dengan SRPMK

beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 & 6 ) 4,0 6,5 2,8 d.

  

Baja dengan SRPMB baja

2,6 4,2 2,8 c.

  

Baja dengan SRPMK baja

4,0 6,5 2,8 b.

  3.Rangka bresing biasa a.

  Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8

  Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8 b.

  2.RBE baja a.

  Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang 4,0 6,5 2,8

  Beton bertulang dengan SPRMB baja 2,6 4,2 2,8 c.

  Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang 5,2 8,5 2,8 b.

  1.Diding geser a.

  4.Sistem ganda ( Terdiri dari : 1) rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi; 2) pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral; 3) kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama – sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi/sistem ganda)

  4.Rangka batang baja pemikul momen khusus ( SRBPMK ) 4,0 6,5 2,8

  Dalam tugas akhir ini struktur bangunan termasuk dalam sistem rangka pemikul momen menengah yaitu pada bagian 3.2 pada tabel 2.4 sehingga Rm yang dipakai adalah 5,5.

  II.4.4 Analisis gempa secara dinamik Untuk gedung yang bentuk konfigurasi bangunannya tidak simetris dan yang tidak memenuhi syarat struktur gedung beraturan menurut SNI 03 – 1726 - 2002 , maka perencanaan gaya gempanya harus dilakukan secara analisis dinamik. Analis dinamik ada dua jenis yaitu :

  1. Analisis Ragam Spektrum respons Metode analisis ini merupakan penyederhanaan dari analisis respon dinamik waktu, di mana kita menggunakan spectrum respons gempa rencana sebagai dasar untuk menentukan responsnya. Dalam hal ini, analisis respons spektrum hanya dipakai unutk menentukan gaya geser tingkat nominal dinamik akibat pengaruh gempa rencana. Gaya-gaya internal dalam unsur struktur gedung didapat dari analisis 3 dimensi biasa berdasarkan beban- beban gempa statik ekuivalen.

  2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu Dalam analisis ini, faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori gedung yang ada, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal. Yang lebih ditekankan pada percepatan tanah yang disimulasikan sebagai gerakan gempa.

  II.4.5 Eksentrisitas rencana Pusat massa lantai tingkat suatu struktur merupakan titik tangkap resultan beban-beban yang bekerja pada lantai tingkat struktur tesebut. Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur adalah suatu titik pada lantai tingkat tersebut yang bila terjadi gaya horizontal, gaya tersebut tidak berotasi tetapi hanya bertranslasi.

  Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu eksentrisitas rencana e

  d. apabila ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung

  pada lantai tingkat itu diukur tegak lurus arah pembebanan gempa, dinyatakan dengan b, maka eksentrisitas rencana e harus ditentukan sebagai berikut :

  d

  1. Untuk 0 < e ≤ 0,3 b e d = 1,5 e + 0,005 b atau e d = e – 0,05 b dan pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau.

  2. Untuk e > 0,3 b e d = 1,33 e + 0,1 b atau e = 1,17 e – 0,1 b

  d

  serta pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur subsistem struktur gedung yang ditinjau.

  II.4.6 Pembatasan penyimpangan lateral Menurut SNI 03 1726 – 2002 pasal 8, simpangan antar tingkat pengaruh gempa nominal dibedakan menjadi dua macam yaitu :

  • ,

  Kinerja Batas Layan ( KBL ) struktur gedung yang besarnya dibatasi

  03

  ≤

  ≤ hi atau 30 mm. Pembatasan ini bertujuan unutk mencegah

  R

  terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan di samping menjaga kenyamanan penghuni.

  • struktur gedung beraturan dibatasi sebesar ≤ 0,7 R x ( KBL ) atau ≤ 0,02 hi. ,

  Kinerja Batas Ultimit ( KBU ) struktur gedung akibat gempa rencana untuk

  ≤

  sedangkan untuk struktur gedung tidak beraturan dibatasi sebesar 0,7 R x ( KBL ) dibagi faktor skala atau ≤ 0,02 hi, di mana faktor skala = 0.8 Vek/Vs .Pembatasan ini bertujuan untuk membatasi kemungkinan terjadi keruntuhan struktur yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah benturan berbahaya antar gedung.

II.5 Konsep Strong Column Weak Beam

  Dalam perencanaan struktur beban di daerah gempa perencanaan Limit States

  

design nya disebut capacity design yang berarti bahwa ragam keruntuhan struktur

  akibat beban gempa yang besar ditentukan lebih dahulu dengan elemen-elemen kritisnya dipilih sedemikian rupa agar mekanisme keruntuhannnya dapat memencarkan energi yang sebesar-besarnya.

  Agar elemen-elemen kritis dapat dijamin pembentukannya secara sempurna maka elemen-elemen lainnya harus direncanakan khusus, agar lebih kuat dibandingkan elemen-elemen kritis. Salah satu filsafat yang dikenal dalam perencanaan capacity disebut Strong Column Weak Beam atau kolom kuat balok lemah.

  Dalam SNI – 03 – 1726 - 2003 pasal 4.5 dijelaskan bahwa struktur bangunan gedung harus memenuhi persyaratan kolom kuat balok lemah, artinya ketika struktur bangunan gedung memikul pengaruh gempa rencana, sendi-sendi plastis dalam struktur bangunan gedung tersebut hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan pada kaki kolom dan kaki dinding geser saja. Implementasi persyaratan ini didalam struktur beton dan strutur baja ditetapkan dalam standar beton dan standar baja yang berlaku.

  Join diantara batang-batang seperti pertemuan balok dengan kolom sangat peka terhadap keretakan awal dibandingkan dengan batang-batang yang didukungnya akibat kerusakan-kerusakan pada semua joinnya. Untuk menghindari hal ini maka perencanaan join dilakukan dengan konsep desain kapasitas dan dua mekanisme yang terjadi yakni strut mekanisme dan truss mekanisme diperhitungkan dalam menahan kelebihan beban. Dalam peraturan-peraturan beton yang baru di seluruh dunia belum ada kesepakatan dalam perencanaan. Kesepakatan yang belum dapat disatukan adalah tentang ragam keruntuhan yang dapat diterima pada join balok kolom. Ada yang mengharapkan join balok kolom tetap dalam keadaan elastis, ada yang memperkenankan terjadinya kerusakan-kerusakan pada join balok kolom asal perilakunya masih sangat daktail.

II.6 Pendetailan kolom dan balok yang baik

  Banyak ahli struktur mengatakan bahwa dalam perencanaan bangunan didaerah gempa pendetailan struktur sama pentingnya dengan analisa struktur bahkan lebih penting karena beban gempa itu sangat sulit diperkirakan dan dihitung distribusi gayanya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat kurang baiknya pendetailan adalah

  a. Penampang kurang daktail

  b. Kerusakan akibat penjangkaran yang kurang panjang

  c. Strut dan Tie models yang tidak diperhitungkan dalam pendetailan

  d. Tertekuknya tulangan kolom

Dokumen yang terkait

I. Identitas Responden - Pengaruh Ekuitas Merek dan Bauran Promosi Terhadap Keputusan Pembelian Smartphone Merek Samsung di Kota Medan

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekuitas Merek (Brand Equity) - Pengaruh Ekuitas Merek dan Bauran Promosi Terhadap Keputusan Pembelian Smartphone Merek Samsung di Kota Medan

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Ekuitas Merek dan Bauran Promosi Terhadap Keputusan Pembelian Smartphone Merek Samsung di Kota Medan

0 0 10

Pengaruh Ekuitas Merek dan Bauran Promosi Terhadap Keputusan Pembelian Smartphone Merek Samsung di Kota Medan

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 2.1. Pasar Modal - Pengaruh Pemecahan Saham (Stock Split) Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham pada Perusahaan Go Public yang Terdaftar di BEI Tahun 2006 – 2011

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Efektivitas Pelayanan Sosial Anak di Bidang Pendidikan di Panti Asuhan Yayasan Amal-Sosial Al-Washliyah Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - Efektivitas Pelayanan Sosial Anak di Bidang Pendidikan di Panti Asuhan Yayasan Amal-Sosial Al-Washliyah Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor

0 0 9

Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit Macet Pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan

0 0 10

BAB II BANK SEBAGAI PENYALUR KREDIT 1. Pengertian Bank - Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit Macet Pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit Macet Pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan

0 0 15