Perlindungan Hukum Internasional Atas Pelanggaran Ham Terhadap Sukuanakdalamsebagai Kaum Indigenous Di Indonesia

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP SUKU ANAK DALAM SEBAGAI KAUM INDIGENOUS DI INDONESIA A. Pengaturan Hukum Dalam Deklarasi PBB Terhadap Hak-Hak Kaum Indigenous (United Nation Declaration On The Rights Of Indigenous People) Kurang lebih 350 juta penduduk dunia ini adalah masyarakat adat

  (indigenous people). Sebagian besarnya hidup di daerah-daerah terpencil. Mereka terdiri dari kurang lebih 5000 masyarakat yang menyebar luas mulai dari hutan di Amazon hingga masyarakat suku (tribal peoples) di India dan emrentang dari suku Inuit di Arktika hingga masyarakat Aborigin di Australia. Pada umumnya mereka menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya. Bahkan menurut the World Conservation Union (1997), dari sekitar 6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 diantaranya adalah masyarakat adat,

   berarti sekitar 80 persen dari semua masyarakat budaya di dunia.

  Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut masyarakat adat, seperti istilah first people dikalangan antropolog dan pembela HAM, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, serta bangsa asal ddi Malaysia. Di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah disepakati penggunaan istilah indigenous peoples sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi

15 Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan

  PBB, yaitu draft of the United Nation Declaration on the Rights of the

  Masyarakat adat adalah kelompok-kelompok khusus yang dilindungi dalam undang-undang nasional atau internasional yang memiliki seperangkat hak tertentu berdasarkan ikatan sejarah mereka untuk suatu wilayah tertentu, dan

   kekhasan budaya atau sejarah mereka dari populasi lain .

  Tanah dan sumber daya alam sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat adat, bahkan sangat penting bagi kelangsungan eksistensi mereka. Sehubungan dengan itu, pengakuan dan perlindunganhak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam sangat esensialbagi pemeliharaan dan pembangunan budaya, ekonomi, bahkan sangat esensial bagi kelangsungan hidup atau eksistensi mereka.

  Meskipun demikian, sejarah telah menjadi saksi “takdir buruk” dari kelompok-kelompok masyarakat adat ini berkenaan dengan hak-hak mereka terhadap tanah dan sumber daya alam dan perjuangan mereka untuk tetap bertahan hidup.

  Selama masa penjajahan bahkan hingga saat ini, tanah dan wilayah mereka, yang merupakan tempat mereka menggantungkan hidup, dirampas atau dihancurkan oleh kekuatan pihak penguasa dan agen-agennnya, dan mereka disingkirkan ke “wilayah tapal batas” yaitu sebuah wilayah yang dianggap sebagai tanah terlantar dengan nilai ekonomi yang sangat kecil. Hal ini berujung pada proses pemindahan secara paksa, pencerabutan hak dan marginalisasi masyarakat adat, bersama dengan hilangnya integritas budaya mereka, dan dalam beberapa kasus, dampaknya bahkan sampai pada hilangnya pertahanan atau eksistensi

   mereka. iakses 24 Februari 2015. 17 Coates 2004:12.

  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945sama internasional. Badan ini merupakan pengganti Liga Bangsa-Bangsa dan didirikan setelah Perang Dunia II untuk mencegah terjadinya konflik serupa. Pada saat didirikan, PBB memiliki 51 negara anggota; saat ini terdapat 193 anggota. Selain negara anggota, beberapa organisasi internasional, dan organisasi antar-negara mendapat tempat sebagai pengamat permanen yang mempunyai kantor di Markas

   Besar PBB, dan ada juga yang hanya berstatus sebagai pengamat.

  Penegakanmerupakan alasan utama untuk didirikannya PBB. Kekejaman, damenyebabkan munculnya konsensus bahwa organisasi baru ini harus bekerja untuk mencegah tragedi serupa pada masa mendatang. Tujuan awal adalah menciptakan kerangka hukum untuk mempertimbangkan, dan bertindak atas keluhan tentang pelanggaran hak asasi manusia. Piagam PBB mewajibkan semua negara anggota untuk mempromosikan "penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia" dan mengambil "tindakan bersama dan terpisah" untuk itu. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, meskipun tidak mengikat secara hukum, diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun 1948 sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua.

  Majelis secara teratur mengambil isu-isu hak asasi manusia.

  PBB dan lembaga-lembaganya adalah badan penting dalam menegakkan, dan melaksanakan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam

  

alah satu contoh adalah dukungan oleh PBB

  untuk negara-negara dalam transisi menujantuan teknis dalam memberikan pemilu yang bebas, dan adil, meningkatkan struktur peradilan, penyusunan konstitusi, pelatihan pejabat hak asasi manusia, dan mengubah gerakan bersenjata menjaditelah memberikan kontribusi signifikan terhadap demokratisasi di seluruh dunia. PBB telah membantu pemilihan berjalan di negara-negara dengan sedikit atau tanpa sejarah demokrasi, termasuk baru-baru

  . Diakses 11 Maret ini diBB juga merupakan forum untuk mendukung hak perempuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial negara mereka. PBB memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesadaran konsep hak asasi manusia melalui perjanjian, dan perhatiannya terhadap pelanggaran yang spesifik melalui Majelis Umum, resolusi Dewan Keamanan resolusi, at

  yang didirikan pada

tahun 2006 bertujuan untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia. Dewan

  adalah penerus Komisi Hak Asasi Manusia PBB, yang sering dikritik karena memberikan jabatan tinggi kepada negara-negara anggota yang tidak menjamin

  

  hak-hak asasi warga negara mereka sendiri. Dewan ini memiliki 47 anggota didistribusikan secara wilayah, dengan masing-masing masa jabatan tiga tahun,

  

  dan tidak mungkin menjabat selama tiga kali berturut-turut. Sebuah kandidat untuk Dewan Hak Asasi Manusia harus disetujui oleh mayoritas Majelis Umum. Selain itu, dewan memiliki aturan ketat untuk keanggotaan, termasuk peninjauan hak asasi manusia universal. Sementara beberapa anggota dengan catatan hak asasi manusia yang dipertanyakan telah dipilih, hal ini lebih sedikit dari sebelumnya dengan fokus peningkatan pada catatan hak asasi manusia masing- masing negara anggota.

  Hak sekitar 370 juta masyarakat adat di seluruh dunia juga merupakan suatu fokus untuk PBB, dengan Deklarasi tentang Hak-Hak Masyarakat Adat

  

  yang disetujui oleh Majelis Umum pada tahun 2007. Deklarasi ini menguraikan hak-hak individu, dan kolektif untuk budaya, bahasa, pendidikan, identitas, pekerjaan, dan kesehatan, menyikapi isu-isu pasca-kolonial yang dihadapi masyarakat adat selama berabad-abad. Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat, dan mendorong pertumbuhan adat, budaya 20 Resolusi 251 sesi 60 Mejelis Umum PBB, Diakses 11 Maret 2015. New York Times. erserikatan Bangsa-Bangsa.

  

institusi, dan tradisi. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat, dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam hal-hal yang menyangkut masa lalu, masa sekarang, dan masa depan mereka.

  Dalam hubungannya dengan organisasi lain sepertiPBB menyediakan makanan, air minum, tempat tinggal, dan pelayanan kemanusiaan lainnya untuk orang-orang yang menderita kelaparan, pengungsi akibat perang, atau yang terkena bencana lainnya. Cabang kemanusiaan utama dari PBB adalah Program Pangan Dunia (yang membantu pakan lebih dari 90 juta orangdi 73 negara), kantor Komisaris Tinggi untuk Pengungsi dengan proyek-proyek di lebih dari 116 negara, serta proyek-proyek penjaga perdamaian di lebih dari 24 negara.

  Gagasan tentang hak-hak masyarakat adat dapat dilacak dari masa awal periode kolonial, ketika para misionaris dan cendikiawan yang menaruh perhatian (terhadap nasib masyarakat adat) mencoba untuk memastikan bahwa masyarakat adat di daerah kolonial pada masa itu terlindungi dari tindakan-tindakan dari para pendatang dan orang-orang yang ingin memperoleh akses ke tanah dan sumber daya alam mereka dan menjadikan mereka tenaga kerja.

  Sehubungan dengan haln inikiranya perlu disebut “Aliran Hukum Internasional Spanyol” pada abad ke lima belas, dimana para pengikutnya. Terutama pendirinya, Fransisco De Victoria, mengkritik cara penjelajah Spanyol dan kolonialisnya dalam merebut tanah dan hak-hak orang Indian yang dijadikan tenaga kerja. Sambil menekankan pentingnya esensi kemanusiaan suku Indian di dunia belahan narat, aliran ini menegaskan bahwa Suku Indian memiliki kewenangan dan hak-hak asli yang otonom atas tanah dimana orang-orang Eropa

  

  harus menghormatinya. Dalam praktik-praktik kenegaraan, isu mengenai penghancuran terhadap masyarakat adat dan perubahan cara hidup mereka dibahas di Parlemen Inggris pada abad 18 dan 19, terutama selama debat-debat mengenai masalah perbudakan. Pemerintah Amerika Serikat melakukan perjanjian (traktat) dengan masyarakat adat, sesuatu yang mengindikasikan pengakuan tak langsung

   terhadap kedaulatan masyarakat adat.

  Meski demikian, baru sejak abad lalu perbincangan mengenai masyarakat adat muncul di tingkat internasional. Istilah “penduduk/populasi adat” (indigenous

  

populations ) digunakan pertama kali dalam forum internasional dalam konferensi

  Berlin tahun 1884-1885, tapi konsepnya berbeda dari apa yang dipahami sekarang ini. Istilah ini (yaitu indigenous populations) dipakai untuk menyebut penduduk asli/pribumi di Afrika yang berada dibawah dominasi kolonial Kekuatan Besar (Great Powers), untuk membedakannya dari warga negara atau penduduk dari

   bangsa-bangsa (Great Powers) yang menjajah mereka.

  Pada akhir Perang Dunia I, sebuah doktrin dikembangkan berdasarkan pada “perwalian” (trusteeship). Hal ini tampak jelas dari praktik Liga Bangsa- Bangsa. Pasal 22 dari Kovenan Liga Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang “bangsa yang belum mampu untuk berdiri sendiri di tengah kondisi dunia moderen yang berat” dan melihat dalam “ketenteraman dan perkembangan” mereka sebuah “peradaban luhur”. Sembari menentukan tentang ide perwalian, alhasil, Pasal 23 dari Kovenan tersebut mengharuskan para anggota dari Liga Bangsa-Bangsa untuk melakukan “tugas positif” untuk “berusaha memastikan perlakuan yang adil terhadap masyarakat adat dari wilayah yang berada dibawah kontrol mereka”.

  Piagam PBB tidak memberikan perhatian pada permasalahan dan hak-hak masyarakat adat. Pasal 73 dari piagam ini hanya merujuk ke “wilayah dimana penduduknya belum memperoleh secara penuh sistem pemerintahan sendiri (self-

  

government )”, suatu konsep yang tidak memiliki relevansi dengan isumasyarakat

  adat. Meski tidak ada rujukan tentang masyarakat adat dalam piagam PBB, namun 25 Dalam 100 tahun eksistensinya, Amerika Serikat membuat lebih dari 370 traktat

  dengan Bangsa Indian Amerika; Lihat G. Alfredsson, “Treaties with Indigenous Populations”, dalam Encyclopedia of International Law, vol 2, 1995, hal. 951. 26 Erica-Irene Daes, “Standard Setting Activities: Evolution of Standards

Concerning the Rights of Indigenous People”, Kertas kerja mengenai konsep “masyarakat sejak awal pembentukannya PBB telah menempuh beberapa kebijakan yang berhubungan dengan “nasib” dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat tersebut. Terkait dengan kondisi masyarakat adat, PBB dan badan-badan multilateral lainnya telah menempuh strategi utama dengan melakukan kajian-kajian tentang kondisi masyarakat adat. Pelaksanaan di lapangan dari kajian-kajian ini, bagaimanapun bukanlah hal yang mudah. Pada tahun 1949, Majelis Umum PBB menetapkan bahwa ECOSOC dengan bantuan dari berbagai badan-badan khusus dan dari Lembaga Inter-Amerika (Inter-

  

American Institute ), perlu mengadakan penelitian mengenai kondisi masyarakat

  adat di Amerika. Pemerintah Amerika Serikat Berusaha mencegah dilakukannya

   studi ini, karena mereka tidak mau menerima kritikan dari anggota PBB lainnya.

  Baru tahun 1970-an dan awal 1980 PBB dapat mengadakan penelitian ini dan memperoleh informasi detail ,mengenai permasalahan masyarakat adat.

  Pada tahun 1971, PBB memerintahkan sebuah sub-komisi di bawah CHR yaitu Sub-Komis untuk Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas (Sub-comission on Preventing of Discrimination and Protection of

  

Minorities , sekarang bernama Sub-comission on Protection and Promotion of

Human Rights ) untuk melakukan studi tentang “Masalah Diskriminasi Terhadap

  Masyarakat Adat”. Hasil dari studi ini adalah laporan multivolume oleh pelapor

   khusus Jose Martinez Cobo.

  Studi ini menggabungkan banyak data tentang masyarakat adat di seluruh dunia, dan membuat sebuah laporan berdasarkan atas informasi tertulis yangdiberikan oleh berbagai pemerintah dan masyarakat adat. Laporan ini akhirnya menjadi referensi standar untuk diskusi tentang masyarakat adat dalam sistem PBB dan terus digunakan dan dirujuk dalam setiap aktivitas yang dijalankan oleh PBB sekarang ini. Lebih lanjut, laporan ini mempelopori pola pengumpulan data dan kerja evaluasi yang terkait dengan tema tersebut oleh para 27 Nathan, Lerner, “The 1989 ILO Convention on Indigenous Population: New Standards?” dalam Israel Yearbook on Human Rights, vol 2, 1991, hal. 229. 28 Jose Martinez Cobo, Study of the Problem of Discrimination againts Indigenous

  ahli yang bekerja atas sponsor atau dukungan organisasi-organisasi

   internasional.

  Tahun 1989, Miquel Alfonso Martinez ditunjuk sebagai Pelapor Khusus untuk Studi tentang perjanjian, persetujuan, dan pengaturan-pengaturan konstruktif lainnya antara negara dan masyarakat adat. Pada tahun 1992, pelapor khusus lainnya, Erica-Irene Daes, ditunjuk dengan mandat untuk melakukan studi tentang perlindungan harta kekayaan budaya dan intelektual masyarakat adat. Studi yang diberi judul “Kajian tentang Perlindungan Warisan Masyarakat Adat” ini, dan juga prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk untuk perlindungan warisan masyarakat adat diserahkan oleh Pelapor Khusus ini ke sub-komisi pada tahun 1995. Erica-Irene Daes, kemudian ditunjuk kembali sebagai Pelapor Khusus untuk mengadakan “Studi Tentang Masyarakat Adat Dan Hubungannya Dengan Tanah”, dan pada tahun 1997 dia menyerahkan laporan pendahuluannya tentang masalah

   tersebut.

  Kebijakan-kebijakan lain dan tindakan-tindakan yang lain yang dilaksanakan oleh PBB adalah pembentukan dua kelompok kerja (working

  

group ), pendeklarasian Dekade Internasional untuk Masyarakat Adat Dunia,

  dimana PBB mengadakan seminar dan workshop tentang masalah-masalah masyarakat adat dan menyediakan program beasiswa bagi masyarakat adat untuk training dan kerja praktik tentang hak asasi manusia dan sistem-sistem di PBB, dan kemudian pada saat itu sedang dipertimbangkan untuk pembentukan sebuah forum permanen untuk masyarakat adat.

  Pada tahun 1982, PBB membentuk Kelompok Kerja tentang Populasi Masyarakat Adat (Working Group on Indigenous) untuk meninjau kembali perkembangan-perkembangan menyangkut pemajuan dan perlindungan hak asasi 29 UN General Assembly, “Review of The Existing Mechanisms, Procedures and

  Programmes within the United Nations concerning Indigenous Peoples”, Report of the Secretary General to the General Assembly, UN Doc. A/51/493. 30 Erica-Irene Daes, “Indigenous Peoples and their Relationship to Land”,

  manusia dan kemerdekaan fundamental populasi adat, termasuk meninjau informasi yang diminta oleh Sekretaris Jendral setiap tahun, dan untuk memberikan perhatian khusus bagi perkembangan (pembentukan) standar-standar berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat. Karya utama dari kelompok kerja ini adalah mempersiapkan Draf Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Selama proses diskusi dan perdebatan dalam kelompok kerja ini, terutama selama proses penyusunan draf, kelompok kerja ini menyambut baik negara-negara, masyarakat adat dan pihak-pihak lainnya dalam dialog multilateral yang diperluas berkenaan dengan muatan spesifik dari norma-norma yang berkaitan dengan masyarakat adat dan hak-hak mereka. Kelompok kerja ini telah menjadi forum internasional utama menyangkut masalah masyarakat adat, dan sejalan dengan itu, menawarkan sebuah platform bagi proposal-proposal berkenaan dengan kebijakan PBB. “Dengan menyambut baik komentar dan proposal dari masyarakat adat selama lebih dari satu dekade, kelompok kerja ini telah menyediakan sarana penting bagi masyarakat adat untuk mempromosikan atau memperjuangkan

   konsep mereka sendiri tentang hak-hak mereka di arena internasional”.

  Proses penyusunan draf deklarasi dalam kelompok kerja ini selesai pada tahun 1993. Pada tahun 1994, induk dari kelompok kerja ini yakni Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minorittas (Sub-comission on

  

Prevention of Discrimination and Protection of Minorities ) mengadopsi atau

  menyetujui draf ini dan menyerahkannya ke Komisi Hak Asasi Manusia. Komisi ini melalui resolusi 1995/32 tanggal 3 Maret 1995 memutuskan, “untuk membentuk, sebagai suatu hal yang diprioritaskan ... sebuah kelompok kerja inter- sesional yang terbuka dalam Komisi Hak Asasi Manusia dengan tujuan tunggal membahas secara matang draf deklarasi”, dengan mempertimbangkan draf yang diusulkan oleh sub-komisi dengan judul “Draf Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat” untuk dipertimbangkan dan diadopsi oleh Majelis Umum dalam dekade internasional untuk masyarakat adat dunia. Pembahasan draf ini di komisi, yaitu kelompok kerja dalam komisi, bisa makan waktu yang cukup lama, dan bisa dipengaruhi terutama oleh adanya kepentingan negara, karena para anggota Komisi tersebut mewakili negara mereka. Namun pertisipasi yang lebih besar dari masyarakat adat dalam proses pembahasan draf dalam kelompok kerja tersebut, bagaimanapun, disambut baik. Untuk maksud ini, lampiran dari resolusi Komisi 1995/32 tersebut menetapkan suatu prosedur akreditasi bagi “organisasi masyarakat adat” untuk berpartisipasi dalam kelompok kerja komisi yang

  

  membahas draf tersebut.” Majelis Umum PBB pada 13 September 2007 telah mengadopsi deklarasi yang menguraikan hak-hak bagi yang diperkirakan 370 juta masyarakat adat di dunia dan melarang diskriminasi terhadap mereka, suatu langkah yang diikuti lebih dari dua dekade perdebat

  

telah disetujui setelah 143 negara anggota memberikan suara mendukung, 11

  abstain dan empat anggota yakni Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat memilih untuk menentang teks. Sebuah teks tidak mengikat, Deklarasi menetapkan individu dan hak-hak kolektif masyarakat adat, serta hak-hak mereka dengan budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan isu-isu lainnya. Deklarasi tersebut menekankan hak-hak masyarakat adat untuk mempertahankan dan memperkuat institusi mereka sendiri, budaya dan tradisi dan untuk mengejar perkembangan mereka sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

  Hal ini juga melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat dan mendorong partisipasi penuh dan efektif itas mereka dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka, dan hak mereka untuk tetap berbeda dan untuk mengejar visi mereka sendiri serta untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Presiden Majelis Umum Sheikha Haya Rashed Al Khalifa, Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon dan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Louise Arbour semuanya menyambut adopsi dengan baik. Sheikha Haya mengatakan, "Pentingnya dokumen ini bagi masyarakat adat dan, lebih luas, untuk agenda hak asasi manusia, tidak dapat diremehkan. Dengan mengadopsi Deklarasi, kami juga mengambil langkah besar maju ke arah promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua." Tapi dia memperingatkan bahwa "Bahkan dengan kemajuan ini, masyarakat adat masih menghadapi marginalisasi, kemiskinan dan pelanggaran HAM lainnya. Mereka sering terseret ke konflik dan sengketa tanah yang mengancam cara hidup mereka dan kelangsungan hidup; dan, menderita kurangnya akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan." Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh juru bicaranya, Ban menjelaskan adopsi Deklarasi sebagai "momen bersejarah ketika negara-negara anggota PBB dan masyarakat adat telah berdamai dengan sejarah yang menyakitkan mereka dan memutuskan untuk maju bersama di jalan HAM, keadilan dan pembangunan untuk semua." Dia meminta pemerintah dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa visi Deklarasi menjadi kenyataan dengan bekerja untuk mengintegrasikan hak masyarakat adat dalam kebijakan dan program mereka.

  Ms. Arbour mencatat bahwa Deklarasi telah lama datang. Tapi kerja keras dan ketekunan masyarakat adat dan teman-teman dan para pendukung mereka di masyarakat internasional akhirnya telah membuahkan hasil dalam laporan yang paling komprehensif sampai saat ini yaitu hak-hak masyarakat adat.

  PBB merupakan Forum Permanen untuk Masyarakat Adat. Isu memperkirakan ada lebih dari 370 juta masyarakat adat di sekitar 70 negara di seluruh dunia. Anggota Forum mengatakan bahwa pada awal tahun 2007 Deklarasi menciptakan hak baru dan tidak menempatkan masyarakat adat dalam kategori khusus.

  Duta Besar Kanada John McNee mengatakan negaranya kecewa harus memberikan suara terhadap Deklarasi, tapi itu "kekhawatiran signifikan" tentang bahasa dalam dokumen. Ketentuan di atas tanah, wilayah dan sumber daya "yang terlalu luas, tidak jelas dan mampu berbagai interpretasi" dan bisa dimasukkan ke dalam hal-hal pertanyaan yang telah diselesaikan oleh perjanjian, katanya. Mr McNee mengatakan ketentuan pada kebutuhan bagi negara untuk mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan sebelum dapat bertindak pada hal-hal yang mempengaruhi masyarakat adat yang terlalu membatasi, dan ia juga menyatakan keprihatinan bahwa proses negosiasi Deklarasi selama tahun lalu

  

  belum "terbuka, inklusif atau transparan." Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat diadopsi oleh Majelis

  Umum PBB pada sesi ke-61 di Markas Besar PBB di New York City pada 13 September 2007.

  Sementara sebagai Deklarasi Majelis Umum itu bukan instrumen yang mengikat secara hukum di bawah hukum internasional, menurut siaran pers PBB, itu mewakili dinamika perkembangan norma-norma hukum internasional dan mencerminkan komitmen negara-negara anggota PBB untuk bergerak dalam arah tertentu. PBB menggambarkannya sebagai pengaturan standar penting untuk perlakuan bagi masyarakat adat yang pasti akan menjadi alat yang signifikan untuk membrantas pelanggaran hak asasi manusia terhadap 370 juta penduduk asli dan membantu mereka dalam memerangi diskriminasi dan marjinalisasi."

  UNDRIP yang dikodifikasi sebagai keluhan sejarah adat, tantangan kontemporer dan aspirasi sosio-ekonomi, politik dan budaya adalah puncak dari generasi panjang upaya oleh organisasi adat untuk mendapatkan perhatian internasional, untuk menjamin pengakuan aspirasi mereka, dan untuk menghasilkan dukungan untuk mereka sebagai agenda politik. Canada Research Chair dan staf pengajar di University of Saskatchewan, Ken Coates, berpendapat bahwa UNDRIP bergema kuat dengan penduduk asli, sementara pemerintah nasional belum sepenuhnya memahami dampaknya.

  Pembuatan deklarasi lebih dari 25 tahun. Deklarasi (dokumen A/6/L.67) kemudian dirujuk ke Majelis Umum, yang diadopsi dari proposal pada 13 September 2007 selama sesi reguler ke-61. Pemungutan suara yang dilakukan menghasilkan negara pendukung sebanyak 143 negara yaitu Afghanistan, Albania, Aljazair, Andorra, Angola, Antigua dan Barbuda, Argentina, Armenia, Austria, Bahama, Bahrain, Barbados, Belarus, Belgia, Belize, Benin, Bolivia, Bosnia dan Herzegovina, Botswana , Brasil, Brunei Darussalam, Bulgaria, Burkina Faso, Kamboja, Kamerun, Cape Verde, Republik Afrika Tengah, Chili, Cina, Komoro, Kongo, Kosta Rika, Kroasia, Kuba, Siprus, Republik Ceko, Republik Demokratik Rakyat Korea, Republik Demokratik Kongo, Denmark, Djibouti, Dominika, Republik Dominika, Ekuador, Mesir, El Salvador, Estonia, Finlandia, Perancis, Gabon, Jerman, Ghana, Yunani, Guatemala, Guinea, Guyana, Haiti, Honduras, Hungaria, Islandia, India, Indonesia, Iran, Irak, Irlandia, Italia, Jamaika, Jepang, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Republik Demokratik Rakyat Laos, Latvia, Lebanon, Lesotho, Liberia, Libya, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, Madagaskar, Malawi, Malaysia, Maladewa, Mali , Malta, Mauritius, Meksiko, Mikronesia (Negara Federasi), Moldova, Monako, Mongolia, Mozambik, Myanmar, Namibia, Nepal, Belanda, Nikaragua, Niger, Norwegia, Oman, Pakistan, Panama, Paraguay, Peru, Filipina, Polandia, Portugal, Qatar, Republik Korea, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, San Marino, Arab Saudi, Senegal, Serbia, Sierra Leone, Singapura, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Suriname, Swaziland, Swedia, Swiss, Suriah, Thailand, Republik Makedonia, Timor-Leste, Trinidad dan Tobago, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, Republik Tanzania, Uruguay, Venezuela,

   Vietnam, Yaman, Zambia, Zimbabwe.

  Indonesia tercantum sebagai salah satu negara yang ikut mendukung menyetujui lahirnya Deklarasi PBB Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat. Dengan begitu artinya Indonesia ikut melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Deklarasi PBB Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat.

  Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya memantapkan sistem “universal” untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, PBB juga menjalankan program-program untuk menyusun instrumen yang secara hukum mengikat guna menangani aspek-aspek hak asasi manusia yang khusus. Diantara

   instrumen-instrumen ini adalah traktat-traktat mengenai pencegahan dan penghukuman terhadap apartheid, larangan terhadap praktek penyiksaan, kerjasama internasional mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan pengungsi dan orang-orang tak bernegara, dan yang terbaru suatu konvensi khusus mengenai hak anak-anak.

  Terdapat pula beberapa langkah dan inisiatif kelembagaan yang diambil oleh PBB untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. ECOSOC telah menetapkan prosedur berdasarkan Resolusi 1235 dan 1503 yang memungkinkan dilakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia secara kasar dan terus-menerus oleh negara-negara tertentu.

  Berdasarkan Deklarasi PBB Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat, masyarakat adat sejajar dengan semua masyarakat lainya, sementara tetap mengakui hak semua orang untuk berbeda, untuk memandang dirinya berbeda, dan untuk dihargai karena perbedaan tersebut. Masyarakat adat dalam melaksanakan hak-haknya harus bebas dari segala bentuk diskriminasi, apapun jenisnya. Masyarakat adat telah mengalami penderitaan yang salah satunya diakibatkan oleh pencerabutan tanah-tanah, wilayah, dan sumber daya mereka sehingga mereka terhalang untuk menggunakan hak mereka atas pembangunan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingannya. Masyarakat adat mengorganisir dirinya untuk memperbaiki politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan

   tekanan yang terjadi dimanapun.

  Deklarasi PBB Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat merupakan kemitraan baru untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat di berbagai bidang seperti hak asasi manusia, lingkungan, pembangunan, pendidikan, dan kesehatan. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang isu-isu dan keprihatinan masyarakat adat itu sendiri, terutama dalam hal tanah, sumber daya, dan jenis perkembangan dan perubahan yang mereka inginkan untuk masa depan mereka, budaya mereka, cara hidup mereka. Peningkatan upaya untuk mencapai keseimbangan antara aspirasi yang sah dari masyarakat adat dan perhatian yang tulus dari negara.

  Partisipasi di kelompok kerja PBB untuk masyarakat adat ini terbuka untuk semua orang yang melihatnya sebagai forum yang tepat untuk masalah mereka, memiliki kesinambungan sejarah dengan masyarakat yang mendahului kolonisasi, penaklukan dan penciptaan negara-negara, dan ingin melestarikan dan mengembangkan identitas mereka yang berbeda. Dengan sekitar 600 perwakilan masyarakat adat, sekarang, pada kenyataannya, ini adalah salah satu kelompok terbesar yang bekerja untuk hak asasi manusia di PBB.

  Masyarakat adat di seluruh dunia yang kini menemukan inspirasi dan dukungan untuk perjuangan mereka, seperti yang dimiliki oleh orang lain, dalam kata-kata visioner Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan instrumen hukum internasional lainnya .

  Untuk hidup dengan dan tidak bertentangan dengan satu-satunya dunia yang kita miliki adalah kearifan tradisional yang dunia modern harus mempelajari kembali jika mengejar pembangunan ekonomi dan sosial dapat tercapai - sehat bagi masyarakat dan lingkungannya, untuk jangka panjang. Masyarakat adat telah kurang dilupakan daripada yang lain dari kebenaran penting ini. Benang estetika dalam semua aktivitas manusia merupakan salah satu benang yang paling kuat yang mengikat kita bersama . Kami telah memilih untuk menekankan bahwa dalam upaya untuk memperkuat untaian cahaya terhadap gelap , untuk merayakan kekayaan dan berbagai upaya kita bersama karena kita berjuang untuk mengatasi masalah kita yang buruk dan tampaknya tidak pernah berakhir terhadap diskriminasi dan perampasan .

  Hak-hak mendasar yang diperjuangkan oleh masyarakat adat adalah : a.

  Partisipasi tanpa diskriminasi dalam hal politik, ekonomi, sosial, dan kehidupan berbudaya di negara mereka. c.

  Kendali atas tanah dan wilayah ulayat, dan sumber daya alam mereka.

  d.

  Mempertahankan dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dan sistem pendidikan untuk memelihara tradisi dan cara hidup mereka.

  e.

  Kompensasi yang adil untuk tanah mereka.

  f.

  Prosedur yang adil untuk penyelesaian konflik.

  g.

  Perlindungan hak-hak perjanjian yang sah dan kesepakatan di dalam negeri dan dalam hukum internasional.

  h.

  Perlindungan terhadap eksploitasi intelektual dan budaya mereka : pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan obat-obatan, tumbuh- tumbuhan, hewan, dan lingkungan mereka; situs suci dan patung- patung, artefak, desain, upacara, cerita rakyat (lisan maupun tulisan),

   dan hasil karya seni.

  Masyarakat adat di sejumlah negara menempati posisi minoritas, dan menjadi lemah dan tak tersampaikan, banyak tuntutan mereka bertepatan dengan

  

  orang-orang dari kelompok minoritas lainnya . Seperti cerminan nama mereka, menjadi masyarakat adat untuk tanah, banyak dari mereka yang terbunuh,

  

  sementara korban ditaklukkan atau ditundukkan. Masyarakat adat, yang telah tanpa henti menjadi korban di era kontemporer, tetap dalam kondisi yang dinyatakan oleh pemerintah modern seperti kurang berkembang. Upaya untuk mempertahankan kehidupan asli mereka mengaitkan sejumlah kelompok - dari asimilasi terpaksa terhadap genosida. Sayangnya, presekusi dan diskriminasi terhadap masyarakat adat itu masih ada di banyak masyarakat, dan kelanjutan dari sejumlah undang-undang yang diskriminatif memberikan komentar sedih di

  (United Nations Headquarters, 1993). 37 H. O’Shaugnnessy and S. Corry, What Future for the Armindians of South America , (London: Minority Rights Group, 1987). 38 J.H Clinebell and J. Thomson, Sovereignity and Self-Determination, (London:

  

  negara mereka. Sebuah dokumen PBB fasih merangkum posisi kontemporer yang dihadapi masyarakat adat :

  Sering tercerabut dari tanah tradisional mereka dan cara hidup dan dipaksa oleh masyarakat nasional yang berlaku, masyarakat adat menghadapi diskriminasi, marginalisasi, dan keterasingan. Meskipun tumbuh mobilisasi politik dalam mengejar hak-hak mereka, mereka terus kehilangan identitas budaya mereka bersama dengan sumber daya alam mereka. Beberapa berada dalam bahaya kepunahan.

  Sementara kekhawatiran serupa bersama baik bagi masyarakat adat dan kelompok minoritas lainnya, masih ada pandangan jelas bahwa masyarakat adat

  

  termasuk kategori yang berbeda. Hal ini, pada kenyataannya, adalah membentuk pandangan masyarakat adat itu sendiri dan yang membumi dibanding minoritas pada umumnya mulai dari hak-hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri (termasuk kemungkinan hak untuk memisahkan diri). Dalam beberapa kasus, ada juga reaksi terhadap praktik Negara yang menolak setiap pengakuan yang berbeda dan terpisah untuk masyarakat adat. Sementara beberapa negara telah terbukti sangat sensitif pada isu definisi, banyak kelompok pribumi sendiri telah menegaskan hak prerogatif untuk menentukan "negara" mereka. Di tengah konflik tersebut, tidak mengherankan untuk melihat ketegangan mengenai definisi apa pun yang diberikan kepada masyarakat atau masyarakat adat. Jadi tidak hukum internasional umum maupun adat daerah menyediakan definisi masyarakat adat

  

  yang diakui dan sepenuhnya diterima. Definisi yang paling banyak dipublikasikan dari masyarakat dan masyarakat adat adalah yang diajukan oleh Pelapor Khusus PBB Jose R. Martinez-Cobo.

  39 International Labour Conference, Report of the Comitee of Experts on the Application of Conventions and Recommendations , 64th Session, 1978. 40 United Nations, Indigenous Peoples: International Year 1993, (Geneva: United Nations) 1992. 41 42 N. Lerner, The Evolution of Minority Rights in International Law, hal. 81.

  Mc. Candles, Indigenous Peoples: The Definitional Debate, (London: Minority Kontinuitas sejarah dapat terdiri dari kelanjutan, untuk periode eksternal mencapai ke masa, dari satu atau lebih dari faktor-faktor berikut : a.

  Pendudukan tanah leluhur atau setidaknya bagian dari itu; b.

  Nenek moyang yang sama dengan penghuni asli di tanah tersebut; c. Budaya secara umum, atau dalam manifestasi spesifik (seperti agama, hidup di bawah sistem kesukuan, keanggotaan masyarakat internasional, pakaian, mata pencaharian, gaya hidup, dan lainnya); d. Bahasa (baik yang digunakan sebagai satu-satunya bahasa, sebagai bahasa ibu, sebagai maksud kebiasaan daripada komunikasi di rumah atau di keluarga, ataupun sebagai bahasa utama, kebiasaan umum atau bahasa normal); e.

  Tempat tinggal di bagian tertentu di suatu negara, atau di suatu wilayah di dunia; f.

43 Banyak klaim yang dibuat oleh masyarakat adat bertepatan dengan orang-

  Faktor lain yang relefan.

  orang dari kelompok minoritas lainnya. Keinginan untuk otonomi dan pengakuan sebagai entitas kolektif merupakan bagian dari kosakata masyarakat adat serta kelompok minoritas lainnya, meskipun dorongan dan semangat ini mungkin berbeda secara signifikan. Asosiasi sejarah dengan tanah dan lingkungan membagi-bagikan rasa yang berbeda dengan tuntutan yang dibuat oleh masyarakat adat. Klaim mereka termasuk, antara lain, bahwa hak milik kolektif atas tanah dan sumber daya alam, sifat khusus dan bentuk hubungan antara anggota individu dan suku, dan hak untuk menentukan kewajiban-kewajiban masing-masing anggota yang belum tentu terinspirasi oleh minoritas lainnya.

   Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat

  terdiri atas empat puluh enam pasal, banyak diantaranya berkaitan dengan hak dan hubungan masyarakat adat dengan tanah, lingkungan, dan sumber daya alam 43 B. Kingsbury, Indigenous Peoples as an International Legal Concept in R.

  Barnes, A. Gray and B. Kingsbury, hal. 26. mereka. Beberapa pasal dalam deklarasi ini menekankan pada hak-hak masyarakat terhadap kepemilikan dan penggunaan wilayah tradisional mereka, beberapa pasal menekankan pentingnya dunia alamiah dalam praktik-praktik budaya masyarakat adat, dan yang lainnya menekankan hak-hak masyarakat adat untuk menjalankan pemerintahan mereka sendiri di wilayah mereka.

  Isu-isu tentang hubungan dan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam diatur dalam bagian VI yang terdiri dari pasal 25 hingga pasal

  30. Hal-hal itu mencakup : a.

  Hak atas pengakuan penuh dan perlindungan terhadap hak adat atas tanah dan sumber daya alam (Pasal 26); b.

  Pengakuan akan hubungan yang khas antara masyarakat adat dengan tanah dan hak mereka untuk mempertahankan hubungan spiritual mereka dengan tanahdan perlindungan terhadap tempat-tempat keramat mereka (Pasal 25); c.

  Perlindungan penuh terhadap hak milik budaya dan intelektual mereka (Pasal 29); d. Hak untuk menentukan nasib sendiri (internal) dalam urusan pembangunan dan penggunaan tanah dan sumber daya mereka (Pasal

  30). Dari hal tersebut, tersyarat bahwa negara harus meminta persetujuan (free

  

and informed consent ) masyarakat adat sebelum menyetujui proyek apapun yang

   mempengaruhi tanah, wilayah, dan sumber daya alam mereka.

  Pasal 26 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat mengakui hak atas tanah yang “secara tradisional telah dimiliki atau ditinggali atau digunakan.” Pada pasal 27 Deklarasi Perserikatan Bangsa- Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat secara khusus mengatur mengenai

  

  restitusi semacam itu. Restitusi bermakna : 1.

  Ganti kerugian; pembayaran kembali

   2.

  Penyerahan bagian pembayaran yg masih bersisa

  Pasal 27 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat mengatur tentang “kompensasi yang adil dan setimpal”, yang harus “berupa tanah, wilayah, sumber daya yang sama kualitas, ukuran, dan status hukumnya”, kecuali kalau masyarakat adatnya secara bebas menyetujui kompensasi lainnya.

  Pasal 26 dan 27 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, tanpa diragukan lagi, menyediakan suatu “rezim” perlindungan yang kokoh terhadap hak atas tanah dan sumber daya alam dari masyarakat adat. Hal ini bisa berfungsi sebagai suatu “rezim hukum” yang bertujuan untuk “mengobati” ketidak adilan di masa lalu, di mana masyarakat adat dicabut haknya

   secara sewenang-wenang dan dipindahkan secara paksa dari tanah mereka.

  Hak-hak masyarakat adat berkaitan dengan tanah, wilayah, dan sumber daya alam dicantumkan jelas di dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang meliputi :

  Pasal 8 : (2) Negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk mencegah, dan mengganti kerugian atas : (b) setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau berakibat pada tercerabutnya mereka dari tanah, wilayah atau sumber daya mereka; (c) setiap bentuk pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau berakibat melanggar atau mengurangi hak apa pun kepunyaan mereka.

  Pasal 10 : Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa 46 47 Ibid ., hal 157.

  Kamus Besar Bahasa Indonesia. persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk kembali lagi.

  Pasal 25 : Masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara dan memperkuat hubungan spiritual yang khas dengan tanah, wilayah, air dan pesisir pantai dan sumber daya yang lainnya, yang digunakan atau dikuasai secara tradisional, dan untuk menjunjung tinggi tanggung jawab mereka terhadap generasi-generasi mendatang.

  Pasal 26 : (1) Masyarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah- wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan. (2) Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah wilayah dan sumber dayasumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanahtanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang dimiliki dengan cara lain. (3) Negara-negara akan memberikan pengakuan hukum dan pelindungan atas tanah-tanah, wilayahwilayah dan sumber daya-sumber daya tersebut. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan atas kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi dan sistem penguasaan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.

  Pasal 27 : Negara-negara akan membentuk dan mengimplementasikan, dalam hubungannya dengan masyarakat adat yang bersangkutan, sebuah proses yang adil, independen, tidak memihak, terbuka dan transparan, dalam memberikan pengakuan yang benar atas hukum-hukum masyarakat adat, tradisitradisi, kebiasaan-kebiasaan dan sistem-sistem penguasaan tanah, untuk mengakui dan memutuskan hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka yang lainnya, termasuk yang dimiliki secara tradisional atau sebaliknya dikuasai atau digunakan. Masyarakat adat memiliki hak untuk berprtisipasi dalam proses-proses ini.

  Pasal 28 : (1) Masyarakat adat memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian, dengan cara-cara termasuk restitusi atau, jika ini tidak memungkinkan, kompensasi yang layak dan adil, atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki secara tradisional atau sebaliknya tanah, wilayah dan sumber daya yang dikuasai atau digunakan, dan yang telah disita, diambil alih, dikuasai, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan bebas tanpa paksaan dari mereka terlebih dahulu. (2) Kecuali melalui persetujuan yang dilakukan secara bebas oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan, kompensasi atas tanah, wilayah dan sumber daya akan dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap kualitas, ukuran dan status hukum atau berdasarkan kompensasi moneter atau ganti rugi yang layak lainnya.

  Pasal 29 : (1) Masyarakat adat mempunyai hak atas pemulihan dan perlindungan lingkungan hidup dan kapasitas produktif tanah, wilayah dan sumber daya-sumber daya alam mereka. Negara-negara akan membentuk dan menjalankan program-program bantuan untuk masyarakat adat seperti konservasi dan perlindungan, tanpa diskriminasi. (2) Negara-negara akan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpangan atau pembuangan bahan-bahan berbahaya di atas tanah-tanah dan wilayah- wilayah masyarakat adat tanpa persetujuan bebas dan sadar tanpa paksaan dari mereka.

  Pasal 32 : (1) Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk pembangunan atau penggunaan tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya lainnya. (2) Negara-negara akan berunding dan bekerjasama dalam cara-cara yang tulus dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri supaya mereka dapat mencapai persetujuan yang bebas tanpa paksaan sebelum menyetujui proyek apapun yang berpengaruh atas tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan pembangunan, pemanfaatan atau eksploitasi atas mineral, air, dan sumber daya mereka yang lainnya. (3) Negara-negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk ganti rugi yang adil dan pantas untuk aktifitas apapun, dan langkah- langkah yang tepat akan diambil untuk mengurangi pengaruh kerusakan

   lingkungan hidup, ekonomi, social dan budaya atau spiritual.

  Pemerintah yang berdasarkan atas prinsip kedaulatan atas sumber daya alam memiliki hak untuk mengontrol sepak terjang atau aktivitas perusahaan, dalam banyak kasus negara terlihat sangat lemah. Segala prosedur ini tidaklah cukup memadai untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat tanpa adanya keseriusan pemerintah. Namun pembentukan forum permanen

   untuk masyarakat adat di PBB merupakan hal yang sangat menggembirakan.

B. Perlindungan Hukum Berkaitan Dengan Hak Asasi Manusia a. Hukum Internasional

  Di dunia Barat yang menganut nilai-nilai liberal, hak-hak yang lebih dahulu dikembahngkan, dilindungi, dan yang juga mendapatkan perlindungan internasional adalah hak-hak sipil dan politik, dan bukan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Konsep liberal ini telah dikembangkan para pemikir Eropa terdahulu seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesqieu, Jean Jaques Rousseau yang pada mulanya bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi hak-hak individu terhadap kekuasaan raja yang absolut. Konsep ini merumuskan kebebasan- kebebasan yang dapat dimiliki oleh individu-individu dalam menghadapi negara yang begitu kuat. Dengan mendasarkan pada konsep sosialis, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya meminta campur tangan yang lebih jauh dari negara. Dalah hal ini, individu tidak lagi dianggap sebagai makhluk terpisah tetapi sebagai makhluk sosial yang merasa diri berhak menuntut sejumlah bantuan atau paling tidak pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan untuk kesejahteraan sosial 49 United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People , 2007. mereka. Sepintas lalu perbedaan antara hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ini kelihatannya tidak sulit namun dalam pelaksanaannya tidak semudah apa yang diperkirakan.

  Masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan ini bukan semata soal tumpang tindih tetapi bersifat lebih mendalam. Pelaksanaan hak-hak ekonomi,sosial, dan budaya adalah mutlak bagi terlaksananya hak-hak sipil dan politik dengan baik. Tidak mungkin hak-hak sipil dan politik dapat berkembang dengan baik sekiranya rakyat masih berada dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan kesengsaraan. Oleh karena itu kedua ketegori hak-hak tersebut tidak dapat dipisahkan dan tidak ada prioritas dari yang satu atas yang lain seperti yang sering diingatkan oleh resolusi- resolusi Majelis Umum PBB.

  Bahkan belumlama ini dilancarkan pula gagasan hak-hak generasi ketiga atau solidaritas yang mewujudkan hubungan yang lebih erat antara hak-hak asasi dan konteks ekonomi dan sosial beserta perkembangannya, hak pembangunan, hak untuk perdamaian, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, dan lainnya. Namun perwujudan formal hak-hak tersebut dalam naskah-naskah hukum yang mengikat belum lagi berkembang secara luas walaupun sudah ada beberapa dokumen yang berisikan hak-hak tersebut seperti hak untuk pembangunan dalam

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 59 Tahun 2014 Tentang kurikulum 2013 Sekolah menengah Atas/ Madrasah Aliyah (Studi Pada Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Medan)

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Makan Seimbang - Pengaruh Pendidikan Gizi Tentang Pola Makan Seimbang Melalui Game Puzzle dan Gambar Animasi Terhadap Peningkatan Pengetahuan Anak SDN 067690 Kota Medan

0 1 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pendidikan Gizi Tentang Pola Makan Seimbang Melalui Game Puzzle dan Gambar Animasi Terhadap Peningkatan Pengetahuan Anak SDN 067690 Kota Medan

0 0 8

Pengaruh Pupuk Kandang Kelinci Pada Pupuk Urea Terhadap Ketersediaan N-Total dan Pertumbuhan Tanaman Jagung ( Zea mays L. ) Pada Tanah Inceptisol Kwala Bekala

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori kepuasan 2.1.1 Pengertian Kepuasan Pelanggan - Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat Pada Pelayanan Publik Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat Pada Pelayanan Publik Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan

0 0 13

Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat Pada Pelayanan Publik Di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan

0 0 14

1. Nama Usaha - Pengaruh Spirit Of Entrepreneur Terhadap Kinerja Usaha Para Pelaku UKM Tenant Pusat Inkubator Bisnis Cikal USU

0 0 13

BAB II TINJUAN PUSATAKA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 2.1 URAIAN TEORITIS 2.1.1 Perkembangan Entrepreneurship - Pengaruh Spirit Of Entrepreneur Terhadap Kinerja Usaha Para Pelaku UKM Tenant Pusat Inkubator Bisnis Cikal USU

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Spirit Of Entrepreneur Terhadap Kinerja Usaha Para Pelaku UKM Tenant Pusat Inkubator Bisnis Cikal USU

0 0 8