BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Religiusitas pada Gay (Studi Fenomenologis pada Gay yang Beragama Islam)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Fase usia dewasa awal merupakan fase yang menugaskan seorang individu untuk memilih seorang pasangan yang nantinya akan dibawa ke jenjang hubungan yang lebih intim yaitu pernikahan Havighurst ( dalam Hurlock, 2004). Seorang pria umumnya akan mencari pasangan yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya, yaitu wanita. Namun, kenyataannya ada pria yang mencari pasangan yang berjenis kelamin sama dengan dirinya, inilah yang disebut dengan gay. Hal ini sejalan dengan definisi homoseksual menurut Dede Oetomo (2001), yaitu orang-orang yang orientasi atau pilihan seksnya diwujudkan ataupun tidak, diarahkan pada sesama jenis kelaminnya. Awalnya gay dianggap sebagai sebuah gangguan mental , seperti yang tercantum pada buku acuan DSM (Diagnostic

  and Statistical Manual of Mental Disorder ) edisi pertama yang diterbitkan pada

  tahun 1952 menggolongkan gay ke dalam gangguan kepribadian sosiopathik, yaitu kepribadian yang menyimpang dari norma-norma sosial dan perlu diperbaiki. Edisi DSM-II, diterbitkan tahun 1968, menghapus gay dari golongan gangguan sosiopathik, dan sebagai gantinya, dipindahkan ke dalam golongan

  Sexual Deviation , yaitu dianggap sebagai sebuah penyimpangan seks. Selanjutnya

  pada DSM-III yang diterbitkan tahun 1973, terjadi perubahan pandangan terhadap homoseksual, yaitu gay dianggap sebagai gangguan hanya jika orang tersebut merasa terganggu dengan orientasinya. Fenomena gay pada akhirnya benar-benar

  1 dihapuskan dari daftar gangguan mental, yaitu sejak revisi DSM III diterbitkan, setelah para komite DSM meninjau ulang dan mendapatkan kesimpulan bahwa perasaan terganggu yang muncul pada diri seorang gay ketika ia pertama kali menyadari bahwa ia adalah seorang gay merupakan hal yang wajar atau normal.

  Dengan kata lain perasaan terganggu pada diri gay itu merupakan hal yang wajar dan bukan gangguan. Oleh karena itulah sejak diterbitkannya edisi ini, dalam dunia psikologi, gay tidak lagi dianggap sebagai sebuah gangguan mental.

  Keadaan diri sebagai seorang gay pada fase dewasa awal ini, tentunya sudah melewati sebuah proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan menjadi seorang gay yang terjadi pada seorang individu dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu internal dan juga eksternal. Penelitian yang dilakukan oleh Sigit Cahyo Nugroho, Dra. Siswati, M.Si, dan Dra. Hastaning Sakti, M.Kes yang berjudul Pengambilan Keputusan Menjadi Homoseksual pada Laki-Laki Usia Dewasa Awal mendapatkan hasil bahwa pada awalnya, seorang individu gay itu belum memiliki pengetahuan yang benar tentang orientasi seksualnya. Ia hanya mengikuti perasaannya dan juga menikmati sensasi ketertarikan yang timbul pada dirinya terhadap sesama jenis, namun ia belum memikiran konsekuensi lanjutan dari hal tersebut. Perasaan berupa ketertarikan yang awalnya hanya dipendam akan diwujudkan dalam bentuk komitmen menjalin hubungan. Ketertarikan secara fisik maupun seksual, akan berlanjut menjadi keinginan untuk menjalin hubungan secara intim. Hubungan ini yang kemudian akan menentukan seorang individu akan meneruskan orientasi seksualnya sebagai gay atau mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual. Individu yang merasakan adanya kepuasan dan terpenuhinya kebutuhan seksual maupun kebutuhan emosional dalam hubungan sejenis cenderung akan semakin memantapkan identitas seksualnya sebagai seorang gay. di samping itu, dari segi eksternal, dukungan dari lingkungan juga bisa memberikan penguatan bagi seorang gay. Adanya imbalan positif dari lingkungan berupa adanya dukungan dari pasangan, komunitas sesama gay, dan material yang didapat dari pasangan, serta dukungan informasi dari peer membuat seorang gay itu menjadi merasa semakin menikmati orientasi seksualnya.

  Seorang gay yang beragama pada dasarnya juga memiliki religiusitas. Mangunwijaya (1986) mendeskripsikan religiusitas sebagai sebuah penghayatan aspek di dalam hati, getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal yang terjadi pada diri individu. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988) religiusitas merupakan terjadinya internalisasi agama ke dalam diri seseorang sebagai wujud dari sikap keberagamaan. Dari kedua definisi tersebut dapat dikatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah penghayatan dan internalisasi agama ke dalam hati nurani dan sikap personal. Dan berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan pula bahwa religiusitas memang dimiliki oleh setiap orang yang memiliki agama, termasuklah seorang gay.

  Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas :

  

“ Aku sholat loh, puasa juga, pokoknya aku masih takut sama Allah”

  (Komunikasi personal, 10 Januari 2014)

  “..... dan yang paling terakhir tapi paling penting. Agama. Ini yang bikin aku super galau. “

  (Komunikasi personal, 9 April 2014) Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay tersebut terkandung dimensi-dimensi religiusitas, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan agama (intelektual). Ia yakin akan adanya Tuhan, menjalankan ibadah, memiliki perasaan dekat kepada Tuhan, memahami konsekuensi jika tidak menaati perintah Tuhan, dan ia juga memiliki pengetahuan agama, yaitu tentang adanya larangan terhadap perilaku hubungan seksual sesama jenis. Dimensi-dimensi ini kemudian saling berhubungan untuk membangun suatu konsep religiusitas pada diri seorang gay.

  Sebuah thread yang ada di forum gay gayindonesia.net juga menunjukkan bahwa seorang gay juga memiliki religiusitas. Thread yang dikirim oleh akun bernama doel tersebut berjudul Berbagi dan Berbuka Puasa Bersama di Panti Asuhan. Thread tersebut berisikan pengumuman yang berupa undangan untuk menghadiri acara buka puasa bersama sekaligus memberikan santunan kepada anak yatim yang ada di sebuah panti asuhan. Di dalam thread itu juga terdapat nomor rekening yang bisa digunakan bagi para gay yang ingin memberikan infaq untuk kemudian disalurkan kepada panti asuhan yang dituju. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka gay, namun mereka juga mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang diperintahkan oleh Tuhan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Dzulkarnain (2011) juga mendukung pernyataan bahwa seorang gay memiliki religiusitas. Penelitian yang ia lakukan berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, dan hasilnya menunjukkan bahwa di dunia pesantren juga ditemukan fenomena gay, namun hal tersebut tentu tidak bisa digeneralisasikan pada semua pesantren. Peneliti menemukan bahwa diantara para santri ada yang merupakan seorang gay dan jumlahnya juga tidak sedikit. Di satu sisi, para santri yang gay menjalankan kegiatan pesantren yang sangat bernuansa agama, namun di sisi lain para santri yang gay tersebut juga melakukan hubungan seksual sesama jenis. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Trubus Raharjo dengan judul Dorongan Seksual dan Kecenderungan Perilaku Homoseksual pada Santri Remaja di Pesantren juga menunjukkan bukti bahwa fenomena gay juga terjadi di dunia pesantren. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa ada hubungan antara dorongan seksual dengan kecenderungan perilaku homoseksual pada santri remaja di pesantren. Kutipan wawancara dan penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada diri seorang gay yang beragama terdapat religiusitas.

  Membahas religiusitas artinya juga membahas tentang agama. Karena sesuai dengan definisi religiusitas, yaitu internalisasi agama ke dalam diri seseorang (Glock & Stark, dalam Dister 1988). Salah satu agama yang melarang praktek perilaku seksual kaum gay adalah agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang memberikan detil larangan dan bentuk hukuman terhadap perilaku seksual kaum gay, yaitu melalui ayat Al-

  Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Larangan yang terdapat dalam Al-

  Qur’an, yaitu :

  “ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang- orang yang (menda‟wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-or ang yang diberi peringatan itu”

  (Q.S Naml: 54-58)

  “ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “

  (Q.S Al- A’raf : 8)

  “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang- orang zalim”

  (Q.S Hud : 82-83) Hukuman terhadap perbuatan seksual kaum gay juga sudah ditetapkan dalam agama Islam meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang bentuk hukumannya. Sabiq (1981) menjelaskan bahwa para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat, yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum menikah, ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan yang terakhir dikenakan hukuman ta

  ‟zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh

  sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi‟ i (dalam suatu pendapat) mereka menyatakan bahwa para pelaku hubungan seksual sesama jenis dikenakan hukum bunuh, baik ia seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah menikah). Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah:

  “ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda, „Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan

  Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya, akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟ iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka) maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya adalah sabda Rasulullah SAW : “Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.

  Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟ id Ibn Jabir, dan Mujahid dari Ibn Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam, berdasarkan hadis Rasulullah :

  “ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.

  Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat Rasul berbeda pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya.

  Namun di sisi lain, sebenarnya ada beberapa pendapat tentang bagaimana Islam memandang kaum gay. Pandangan pertama adalah yang secara mutlak mengatakan bahwa dengan menjadi gay saja itu artinya sudah merupakan perbuatan dosa. Pandangan yang kedua adalah yang menyatakan bahwa seorang gay belum tentu berdosa. Jika ia mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan orientasinya ke dalam bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya dan jika ia mau dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum tentu berdosa bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini, sehingga bisa saja di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi Allah SWT dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan.

  Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tom Boellstorff (2010), yaitu seorang professor di bidang Antropologi di Universitas Stanford dan Universitas California yang berjudul Antara Agama dan Hasrat : Muslim yang Gay di Indonesia. Penelitiannya dilakukan di beberapa kota di Indonesia, salah satunya untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat tentang bagaimana Islam dalam memandang gay. Dan hasilnya ada yang mengatakan bahwa gay sudah pasti berdosa. Namun ada pula seorang guru agama di sebuah pesantren yang mengisyaratkan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia tidak melakukan hubungan seksual sesama jenis.

  Pandangan yang mengatakan bahwa seorang gay belum tentu berdosa selama ia mampu menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama jenis juga diungkapkan oleh seorang ustad, beliau mengatakan seperti berikut ini :

  “Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “

  (Komunikasi personal, 18 Mei 2015) Agama Islam juga merupakan agama sampai saat ini tidak mengizinkan adanya pernikahan sesama jenis di rumah ibadahnya. Selain itu, di dalam agama

  Islam juga terdapat perintah untuk memasuki agama secara menyeluruh, seperti yang terdapat dalam Al- Qur’an melalui ayat berikut ini :

  “ Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu

  (Q.S Al-Baqarah : 208) Maksud dari perintah tersebut adalah bahwa seseorang yang beragama

  Islam harus menjalankan setiap perintah dan menjauhkan diri dari larangan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Jangan sampai memilih untuk hanya patuh pada beberapa perintah lantas melupakan perintah yang lainnya.

  Keberadaan ayat yang melarang perilaku seksual sesama jenis, perintah untuk memasuki agama secara penuh, dan larangan untuk melakukan perbuatan- perbuatan tercela, serta adanya dorongan-dorongan untuk menyukai sesama jenis, menjadi dasar timbulnya masalah pada diri seorang gay yang beragama Islam berkaitan dengan religiusitas yang mereka miliki. Masalah yang muncul pada diri seorang gay yang beragama Islam berkaitan dengan religiusitas adalah adanya konflik antara nilai-nilai keagamaan yang sudah terinternalisasi dengan dorongan seksualnya yang mengarah kepada sesama jenis (Okdinata, 2009). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perkembangan seksual mereka yang mengarah dan cenderung menyukai sesama jenis membuat diri mereka mengalami konflik dengan nilai-nilai keagamaan yang sudah menjadi hati nurani dalam diri mereka.

  Dilema memang merupakan suatu keadaan yang dialami oleh seorang gay yang beragama Islam. Disatu sisi, ia ingin tetap patuh kepada nilai-nilai dan peraturan-peraturan agama yang sudah ia hayati dan internalisasikan ke dalam hatinya, namun di sisi lain ia juga tidak bisa menghindar dari dorongan-dorongan dan hasrat kepada sesama jenisnya. Kutipan wawancara berikut ini menunjukkan kenyataan tersebut :

  “ Agama. Ini yang bikin aku super galau. Setiap kali nyari di internet, selalu ada kata bunuh bunuh bunuh bunuh dalam islam. Hukumannya kelak juga serem. Banget. Kalo ini jelas masalah iman aku yang goyah, ga kuat,dan masih egois n diisi kebahagiaan duniawi doang. Soalnya aku belum bisa bener2 pergi dari sini.. Walaupun aku udah tau apa konsekuensinya nanti... Itu aja sih paling masalah yang utama.”

  (Komunikasi personal, 9 April 2014) Konflik atau pertentangan dan dilema antara hal yang baik dan buruk yang terjadi di dalam individu dapat disebut juga dengan konflik moral (Syaiful Hamali,

  2013). Pada diri seorang gay, yang dimaksud dengan hal yang baik adalah keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama, sedangkan yang dimaksud dengan hal buruk adalah dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada sesama jenis.

  Konflik moral yang terjadi pada diri seseorang dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan (Syaiful Hamali, 2013).

  Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa konflik internal atau moral yang dialami oleh seorang gay yaitu antara nilai-nilai dan peraturan agama yang telah terinternalisasi dengan dorongan hasrat kepada sesama jenis dapat menentukan sikap keagamaan pada diri gay tersebut. Dengan kata lain, konflik internal atau moral ini pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay.

  Masalah lain yang menimbulkan ketertarikan adalah berkaitan dengan religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay adalah adanya kontra terhadap keberadaan religiusitas pada diri gay itu sendiri, baik yang berasal dari diri si gay maupun yang berasal dari masyarakat. Yang berasal dari diri seorang gay adalah adanya keresahan apakah ibdahnya diterima tau tidak, seperti yang terlihat dari kutipan wawancara berikut ini :

  “Sering kurang kushu karena berpikir „apa ibadah saya masih diterima‟. Dan setelah sadar, saya berdoa lebih lama

  (Komunikasi personal, 10 januari 2014) Bentuk kontra yang berasal dari masyarakat adalah bahwa seorang gay mustahil memiliki religiusitas, seperti yang telihat dalam wawancara sebagai berikut :

  “ Ha ? emang mereka punya religiusitas ? kan mereka gay , kayak mana pulak bisa punya religiusitas ?”

  (Komunikasi personal, 9 maret 2015)

  “Kayaknya gak mungkinlah mereka punya religiusitas, kalo mereka punya religiusitas, gak mungkin mereka jadi gay”

  (Komunikasi personal, 9 maret 2015) Pembicaraan singkat dengan beberapa orang tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat memiliki anggapan bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas, karena jika mereka memiliki religiusitas tidak mungkin mereka menjadi gay. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa religiusitas itu sebenarnya dimiliki oleh setiap orang yang beragama, termasuklah gay yang beragama Islam.

  Keberadaan konflik internal atau moral yang pada akhirnya berpengaruh terhadap religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay, dan adanya anggapan masyarakat bahwa tidak mungkin seorang gay memiliki religiusitas membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimanakah sebenarnya religiusitas yang dimiliki oleh kaum gay.

1.2 Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Bagaimana latar belakang pemilihan orientasi seksual seorang gay ?

  1.2.2 Bagaimanakah religiusitas gay yang beragama Islam sebelum menyadari sebagai gay, awal menyadari dirinya sebagai gay, dan saat ini menjalankan hidupnya sebagai gay ?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh pemahaman mengenai religiusitas pada masing-masing gay yang beragama Islam.

  1.4. Manfaat Penelitian

  1.4.1. Manfaat Teoritis

  Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah wacana berkaitan dengan gay dan religiusitasnya sehingga mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan juga sebagai bahan referensi bagi para peneliti selanjutnya.

  1.4.2. Manfaat Praktis Bagi partisipan agar memahami bahwa religiusitas dapat mengendalikan diri dari perilaku seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bagi masyarakat, membuka mata masyarakat bahwa kaum gay itu ada dan juga merupakan bagian dari masyarakat dan bahwa tidak semua gay itu berkonotasi negatif sebab mereka pada dasarnya juga memiliki religiusitas.

1.5. Sistematika Penulisan

  Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab, dengan sistematika pembagian sebagai berikut:

  BAB I : Pendahuluan Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah mengenai religiusitas

  yang dimiliki oleh seorang gay, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II : Tinjauan Pustaka Bab ini berisi uraian tentang teori yang mendasari masalah yang menjadi

  objek penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang gay, dan religiusitas.

  BAB III : Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan tentang alasan mengapa dipergunakannya

  pendekatan kualitatif, karakteristik responden penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian dan prosedur penelitian serta metode analisis data.

  BAB IV : Deskripsi Data dan Pembahasan Bab ini berisi deksripsi data dari hasil analisa data yang telah dilakukan dan berisi pembahasan terhadap data-data tersebut. BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan dan saran peneliti.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 17

BAB II - Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik Pt.Kereta Api Indonesia Dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik Pt.Kereta Api Indonesia Dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang)

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penggunaan Bahan Additive Silicafume Dan Superplasticizer Terhadap Perilaku Fisis Dan Mekanis Beton Mutu Tinggi Pasca Bakar

0 0 57

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Penggunaan Bahan Additive Silicafume Dan Superplasticizer Terhadap Perilaku Fisis Dan Mekanis Beton Mutu Tinggi Pasca Bakar

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bank - Determinan Efisiensi BUMD RegionalSumatera Berdasarkan Data Envelopment Analysis (DEA) Studi Kasus: Bank Aceh, Bank Nagari, dan Bank Sumut

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Determinan Efisiensi BUMD RegionalSumatera Berdasarkan Data Envelopment Analysis (DEA) Studi Kasus: Bank Aceh, Bank Nagari, dan Bank Sumut

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kredit Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, “Kredit - Analisis Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Tingkat produktivitas Hasil Panen Padi di Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kegiatan yang - Analisis Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Tingkat produktivitas Hasil Panen Padi di Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara

0 0 8

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Religiusitas 2.1.1 Pengertian Religiusitas

0 3 12