BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekonomi Syariah dan Sejarah Perkembangannya - Studi Pemahaman Masyarakat Tentang Bagi Hasil Menurut Prinsip Ekonomi Syariah Di Kota Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekonomi Syariah dan Sejarah Perkembangannya

  Ekonomi Islam atau sering juga disebut dengan ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahua masyarakat yang dilhami oleh nilai-nilaEkonomi syariah berbeda dengan ekonomi kapitalis dan sosialis yang merupakan sistem ekonomi konvensional.

  Ekonomi syariah berbeda dari sistem ekonomi konvensional karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap masyarakat yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan pada segelintir orang. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran. Krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai oleh ulah sistem ekonomi konvensional yang mengedepankan sistemsebagai instrumen profitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen profitnya, yaitu sistem bagi hasil.

  Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan sistem ekonomi konvensional karena ekonomi syariah sangat bertolak belakang dengan ekonomi kapitalis yang lebih bersifat individual dan sosialis yang memberikan hampir semua tanggung jawab kepada warganya, ekonomi syariah menetapkan bentuk perdagangan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas luasnya kepada setiap pelaku usaha.

  Menurut Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner dalam arti kajian ekonomi syariah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang baik dan mendalam terhadap ilmu-ilmu syariah dan ilmu- ilmu pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi sebagai tool of

  

analysis seperti matematika, statistic, logika dan ushul fiqih. (Rianto dan Amalia,

  2010 : 7). Dalam ekonomi syariah terdapat dua hal pokok yang menjadi landasan hukum sistem ekonomi syariah yaitu: Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, hukum- hukum yang diambil dari kedua landasan pokok tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapanpun dan dimana saja), Sedangkan menurut Hasan Uzzaman, Ekonomi Islam adalah suatu ilmu aplikasi petunjuk dan aturan syariah yang mencegah ketidak adilan dalam meperoleh dan menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat. (Rianto dan Amalia, 2010 : 7).

  Sistem ekonomi syariah dimaksudkan untuk mengatur kegiatan ekonomi guna mencapai derajat kehidupan yang layak bagi seluruh individu dalam bersifat dinamis dan adil dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dengan memberikan hak pada setiap individu untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan mulia baik di dunia maupun di akhirat nantinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para pemikir ekonomi syariah melihat persoalan ekonomi tidak hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi, dan distribusi, berupa pengelolaan sumber daya yang ada untuk kepentingan bernilai ekonomis. Akan tetapi, lebih dari itu mereka melihat persoalan ekonomi sangat terkait dengan persoalan moral, ketidak adilan, ketauhitan dan sebagainya. Ekonomi syariah menempatkan nilai-nilai Islam sebagai pondasinya. Hal inilah yang membedakan dengan konsep ekonomi barat yang menempatkan kepentingan individu sebagai landasannya.

  Dilihat dari sejarah perkembangannya, pemikiran ekonomi Islam telah lama keberadaanya di dunia ini, yaitu selama keberadaan agama Islam itu sendiri mulai dari zaman nabi Muhammad SAW di utus membawa ajaran agama Islam ke bumi hingga sekarang. Pada zaman Rasulullah SAW (571-632 M) perekonomian masih relatif sederhana, tetapi beliau menunjukkan prinsip-prinsip yang mendasar bagi pengelola ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada saat itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha- usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan ummat. Pada masa Rasulullah SAW pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam, Rasulullah mendirikan Al-Hisab yang merupakan suatu institusi yang bertugas untuk mengawasi pasar. Rasulullh juga membentuk Baitul Maal yang merupakan suatu institusi yang bertindak srbagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal mempunnyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. (Pusat Pengkajian dan Pengembanagan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas Kerja Sama dengan Bank Indonesia, 2011: 98)

  Ekonomi syariah telah melalui beberapa periode dalam perjalanannya, baik masa masa kejayaan maupun masa masa kemunduran. Setelah zaman Rasulullah, ekonomi syariah dalam perkembangannya pernah mempunyai pemikir-pemikir yang sangat penting di bidang ekonomi syariah dimana diantara tokoh-tokoh ini juga merupakan sahabat nabi Muhammad SAW yang disebut sebagai Khulafaurrasyidin yang sangat tekenal pada masanya masing masing, diantaraya adalah Abu Bakar As-Sidiq (51 SH-13 H / 537-634 M), Umar bin Khattab (40 SH - 23 H / 584 - 644 M), Ustman Bin Affan (47 SH - 35 H / 577- 656 M) dan terakhir Ali bin Abi Thalib (23 H- 40 H / 600-661 M). (Ibrahim, 1994 : 11). Dalam perkembangan pemikiran ekonomi pasca Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin telah banyak tokoh-tokoh ekonomi syariah yang baru bermunculan dan menjadikan hasil pmikiran pemikiran ekonomi syariah yang sebelumnya sebagai pondasi pengetahuan dalam melahirkan teori-teori ekonomiya sesuai dengan peradaban agama Islam pada zaman masing-masing, dimana pada Periode Pertama / Fondasi (Masa awal Islam – 450 H / 1058 M).

  Pada periode ini banyak sarjana muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang akurat. Beberapa diatara mereka Seperti Zayd bin Ali (120 H / 798 M), Abu Yusuf (182 H / 798 M), Muhammad Bin Hasan al Shaybani (189 H / 804 M), Abu Ubayd (224 H/838 M) Al Kindi (260 H/873 M ), Junayd Baghdadi (297 H / 910 M), Ibnu Miskwayh (421 H / 1030 M). Periode ini sebagai pembentukan dasar-dasar ekonomi syariah. ( Azwar Karim, 2004 :10) Periode Kedua (450 – 850 H / 1058 – 1446 M)

  Prideode ini dikenal ssebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Disisi lain pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatar belakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekradensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, misalnya Al Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M), Nasiruddin Tutsi (485 H /1093 M), Ibnu Taimyah (661-728 H / 1263-1328 M), Ibnu Khaldun (732-808 H/ 1332-1404 M), Al Maghrizi (767-846 H / 1364-1442 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Abdul Qadir Jaelani (1169 M), Ibnul Qayyim (1350 M), dll.

  Periode Ketiga (850 – 1350 H / 1446 – 1932 M) Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Priode ini juga ekonomi yang berkualitas selama dua ratus tahun terakhir, Seperti Shah Waliullah (1114-1176 M / 1703-1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1206 H / 1787 M), Jamaluddin al Afghani (1294 M / 1897 M), Muhammad Abduh (1320 H / 1905 M), Ibnu Nujaym (1562 M), dll.

  Periode Kontemporer (1930 – sekarang).

  Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara-negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya. Zarqa (1992) mengklasifikasikan kontributor pemikiran ekonomi berasal dari: (1) ahli syariah Islam, (2) ahli ekonomi konvensional, dan (3) ahli syariah Islam sekaligus ekonomi konvensional. ( Azwar Karim, 2004 :10).

2.2. Prinsp-Prinsip Ekonomi Syariah

  Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, setiap orang boleh berusaha dan menikmati hasil usahanya dan memberikan sebagian kecil hasil usahanya kepada orang yang kurang mampu, dalam bentuk harta yang halal. Allah SWT menciptakan alam semesta ini untuk kemaslahatan umat manusia. Tetapi Allah menyediakan itu semua bukanlah untuk dipergunakan dengan sesuka hati kita. Allah SWT menyediakan apa yang ada di bumi dan langit untuk kepentingan umat manusia. Tapi ada batas-batasnya agar umat manusia tidak mengalami kesulitan pada masa yang akan datang. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini menjadi perbedaan mendasar antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional. Meski demikian, hanya orang yang berimanlah yang benar-benar dapat menerapkan prisip ekonomi syariah dalam kehdupannya. Dalam ekonomi syariah terdapat prinsip-prinsip khusus dalam kegiatan manusai dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Menurut Metwally dalam buku (Suprayitno.

  2005 : 2), prinsip-prinsip ekonomi syariah secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut : 1)

  Dalam ekonomi syariah, berbagai jenis sumber daya alam dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah SWT kepada manusia, sehingga pemanpaatannya haruslah bisa dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. 2)

  Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui pendapatan yang diperoleh secara tidak sah. 3)

  Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegatan ekonomi syariah. Islam mendorong manusia untuk bekrja untuk mendapatkan materi / harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan. 4)

  Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang orang kaya, dan harus berperan sebagai capital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

  5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunah

  Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api.” 6)

  Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat. Kondisi ini akan mendorong seorang muslim menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dalm kegiatan ekonomi.

  7) Seorang Muslim diwajibkan membayar zakat apabila hartanya sudah mencapai batas ukuran tertentu (nisab). Zakat merupakan alat distribusi kekayaan yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan.

  8) Islam melarang setiap penerapan riba atas berbagai bentuk pinjaman, maupun berbagai aspek kegiatan ekonomi lainnya dalam kehidupan sehari hari.

  Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang penerapan bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga / riba adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aris toteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek bunga.

2.3. Ciri-Ciri Ekonomi Syariah

  Ekonomi syariah mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dari system ekonomi lainnya. Ciri-ciri yang dimaksud dalam buku (Al-Assal dan Abdul Karim, 1999 : 24) adalah sebagai berikut: A. Ekonomi Syariah merupakan bagian dari system Islam yang universal.

  Ekonomi syariah mempunyai hubungan yang sempurna dengan agama Islam, baik sebagai akidah maupun syariat. Oleh karena itu kalau kita mempelajari ekonomi syariah tidak boleh lepas dari akidah dan syariat Islam, karena sistem ekonomi syariah merupakan bagian dari syariat dan erat hubungannya dengan akidah sebagai dasar. Hubungan ekonomi syariah dengan akidah ini akan tampak misalnya dalam pandangan Islam kepada seluruh alam yang diperintahkan untuk patuh dan mengabdi kepada Tuhan, dan tampak pula dalam masalah halal dan haram yang menjiwai orang Islam tatkala ia melangkah pada satu diantara sekian banyak cara bermuamalat, dan akhirnya akan tampak pada kepercayaan adanya unsur pengawasan yang dirasakan orang Islam dari alam Gaib. Dalam keyakinan, kita memandang ekonomi syariah merupakan satu bagian saja dari sistem Islam yang menyeluruh dan merupakan hal yang paling nyata dari hal-hal yang membedakan ekonomi syariah dengan ekonomi lainnya. Hubungan ekonomi syariah dengan akidah itulah yang menyebabkan kegiatan ekonomi dalam Islam berbeda dengan kegiatan ekonomi menurut sistem-sistem hasil penemuan manusia, menyebabkan memiliki sifat pengabdian dan cita-cita yang luhur, dan menyebabkannya memiliki pengawasan atas pelaksanaan kegiatan ini dengan pengawasan sebenarnya. Uraiannya adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat pengabdian.

  Dalam Islam dikenal kaidah umum, yang menyatakan bahwa pekerjaan apapun yang dilakukan oleh orang Islam, baik pekerjaan ekonomi atau bukan, bisa berubah dari pekerjaan material biasa menjadi ibadah yang berpahala apabila orang Islam tadi dalam pekerjaannya bermaksud mengubah niatnya untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. Peranan niat sangatlah penting dalam mengubah pekerjaan biasa menjadi ibadah yang berpahala. (Al-Assal dan Abdul Karim, 1999 : 24).

  2. Kegiatan ekonomi dalam Islam bercita-cita luhur.

  Kegiatan ekonomi syariah bertujuan tidak hanya mengejar materi semata, tetapi yang menjadi tujuan luhur ekonomi syariah adalah bagaimana memakmurkan bumi untuk mendapatkan kehidupan yang insani sebagai tanda pengabdian kepada Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi.

  3. Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan ekonomi dalam Islam adalah pengawasan yang sebenarnya yang mendapat kedudukan utama.

  Sistem ekonomi hasil penemuan manusia terpisah dari agama dan mengesampingkan pengaruhnya dari perekonomian, bahkan sebagian dari sistem ini ada yang mengingkari agama secara keseluruhan seperti sistem ekonomi sosialis yang di cetus oleh Karl Marx. Sistem pengawasan sistem ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk melaksanakan pengawasan tersebut sesuai dengan peraturan yang tidak menjamin terealisasikannya cita-cita, hal ini berbeda dengan Pengawasan kegiatan ekonomi pada lingkungan ekonomi syariah, disamping adanya pengawasan syariat yang dilaksanakan oleh kekuasaan umum, ada pula pengawasan terhadap adanya Allah dan adanya hari kiamat.

B. Ekonomi syariah merealisasikan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

  Tujuan kegiatan ekonomi syariah tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan semata, keuntungan material hanya sebagai perantara untuk tujuan yang lebih besar dan cita-cita yang lebih luhur yaitu memakmurkan bumi dan mempersiapkannya untuk kehidupan insani, sebagai kepatuhan terhadap perintah Allah dan khalifah di muka bumi. Kita percaya bahwa manusia pasti akan mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah SWT suatu hari kemudian. Perbedaan mendasar terlihat jelas antara cita-cita ekonomi konvensional dengan ekonomi syariah dimana dalam konvensional dapat menciptakan persaingan, monopoli, ataupun sikap mementingkan diri sendiri dengan usaha mengumpulkan harta kekayaan sebanyak banyaknya dan mencegahnya dari orang lain sehingga dapat menyebabkan peperangan dan kehancuran, hal ini berbeda dengan sistem ekonomi syariah yang cita- citanya adalah meralisasikan kekayaan, kesejahteraan hidup, dan keuntungan umum bagi seluruh masyarakat disertai niat melaksanakan dan mematuhi perintah Allah SWT. (Al-Assal dan Abdul Karim, 1999 : 21)

  Dalam Islam mengakui kepentingan individu dan kepentingan orang banyak selama tidak ada pertentangan antara keduanya atau selama masih mungkin menyatukan keduanya. Buktinya dalam soal hak milik, Islam masih mengakui hak milik individu, dan pada saat yang sama masih mengakui hak milik untuk mendahulukan kepentingan masyarakat banyak dari pada kepentingan pribadi.

2.4. Tujuan Ekonomi Syariah.

  Tujuan ekonomi syariah berbeda dengan ekonomi konvensional. Tujuan ekonomi yang membedakan suatu sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya. Dalam ekonomi syariah terdapat beberapa tujuan utama dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi diantaranya adalah (dalam buku Ibrahim, 1994 : 232) 1.

  Mengutamakan Ibadah Kepada Allah SWT.

  Tujuan utama dari ekonomi syariah adalah mengabdi kepada Allah SWT, mencari tempat di akhirat, untuk memperingati bahwa masih ada tempat yang abadi selain di dunia ini yaitu akhirat. Di akhirat semua perbuatan manusia akan dipertanggug jawabkan, dengan demikian manusia wajib bertakwa kepada allah dengan cara mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya.

  2. Memperjuangkan kebutuhan hidup di akhirat tanpa melupakan kehidupannya di dunia.

  Ekonomi haruslah ditujukan kepada perjuangan nasib. Kita harus memperjuangkan nasib di dunia ini tanpa harus melupakan akhirat. Untuk individualis.

  3. Menyukseskan ekonomi yang diperintahkan Allah SWT, berbuatlah kebajikan sebagaimana Allah berbuat kebajikan kepada kamu.

  Dalam hal ini tujuan ekonomi ialah berbuat kebaikan sebanyak banyaknya kepada masyarakat. Dari situlah ekonomi syariah sosiais religius, sosialis yang beragama. Sosialis ini berbeda dengan sosialis Eropa. Dasar dasar sosialis Islam itu lebih mudah dan sudah berakar dalam syari’at Islam itu sendiri.

4. Negara melarang membuat kekacauan dan kehancuran.

  Memetingkan diri sendiri tanpa ada batasnya menimbulkan paham kapitalisme yang akan menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Untuk menjaga tujuan ini memerlukan negara untu kmengatur jalannya perekonomian, dan mencegah terjadinya kehancuran di muka bumi. Negara mengatur perekonomian masyarakat untuk menjadikan masyarakat memenuhi kebutuhan materil dan rohani dan menciptakan pemerataan pendapatan dan keadilan sosial. (Ibrahim, 1994 : 232)

2.5. Dasar Hukum Ekonomi Syariah

  Sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki landasan hukum agar bisa dinyatakan sebagai sebuah bagian dari konsep pengetahuan, demikian pula dengan ekonomi syariah. Ada beberapa dasar hukum yang menjadi landasan pemikiran dan penentuan konsep ekonomi syariah. Beberapa dasar hukum ekonomi syariah tersebut diantaranya adalah : lanngsung oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk membimbing ummat manusai, dan al-qur,an merupakan sumber hukum Islam yang abadi dan merupakan kitab suci ummat Islami yang berasal dari allah.

  2. Hadits adalah sebuah perkataan, perbuatan dan perilaku nabi Muhammad yang tidak wajib dilakukan ummat manusia, namun apabila mengerjakan apa yang di lakukan nabi Muhammad, maka manusia akan mendapatkan pahala.

  3. Ijma adalah sumber hukum ke tiga merupakan pendapat / fatwa baik yang telah disepakati bersama oleh masyarakat maupun cendikiawan agama. dengan berdasar pada al-qur,an sebagai sumber hukum utama. 4. ijtihad dan qiyas merupakan kebiasaan dari para pemuka agama untuk memecahkan masalah yang muncul dalam masyarakat, dimana masalah tersebut tidak dijelaskan secara rinci dalam hukum Islam. Dengan merujuk beberapa ketentuan yang ada, maka ijtihad berperan untuk membuat sebuah hukum yang bersifat aplikatif dengan dasar al-qur,an dann hadits. (Rianto dan Amalia, 2010 : 40)

2.6. Sistem Bagi Hasil Dalam Ekonomi Syariah

  Istilah bagi hasil sebenarnya bukan hal baru dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. System bagi hasil sudah di kenal sejak dahulu melalui bagi hasil pertanian yang dilakukan oleh penggarap dan pemilik lahan. Bagi hasil sendiri menurut terminologi asing (Inggris) di kenal dengan profit sharing. Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul total (total cost).

  Bagi hasil dapat berbentuk suatu bonus uang tahunan yang didasarkan pada laba yang di peroleh pada tahun tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada ekonomi syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss

  

sharing , di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi

  atas kesepakatan bersama sejak awal perjanjain antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan modal dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Bentuk bentuk pembagian laba yang tidak langsung mencakup alokasi saham-saham (penyertaan) perusahaan pada para pelaku usaha dibayar melalui laba perusahaan dan memberikan pilihan pada para pelaku usaha untuk membeli saham perusahaan sampai pada jumlah tertentu dimasa yang akan datang pada tingkat harga sekarang, sehingga memungkinkan para pelaku usaha memperoleh keuntungan baik dari pembagian keuntungan maupun setiap pertumbuhan dalam nilai saham yang dihasilkan dari peningkatan dalam kemampuan perusahaan memperoleh laba. Pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan dalam kegiatan usaha tadi harus melakukan trasnparansi dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan usaha.

  Sistem ekonomi konvensional yang merupakan suatu sistem ekonomi yang banyak diterapkan oleh negara-negara di muka bumi ini untuk menjalankan dan mengatur perekonomiannya adalah suatu sistem ekonomi yang tujuan utamanya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Pendapatan yang diperoleh dalam sistem ekonomi ini adalah dari hasil kegiatan usaha yang yang dijalankan. Dilihat dari segi permodalan, sistem ekonomi konvensional juga menerapkan sistem bunga sebagai sumber pendapatan utamanya dengan cara pemberian pinjaman kepada pihak yang membutuhkan modal untuk dijadikan sebagai modal usaha dan pembelian saham-saham perusahaan maupun pembelian surat-surat berharga lainnya dengan harapan mendapat keuntungan yang lebih besar. Sedangakan biaya yang dikeluarkan berupa biaya yang dibutuhkan untuk membayar keperluan dalam rangka menjalankan kegiatan usaha.

  Bunga adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan atau hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu dan diperhitungkan secara pasti di muka berdasarkan presentase yang ditentukan. Bunga dalam ekonomi konvensional yang dikenakan kepada para peminjam dana merupakan sumber keuntungan yang terbesar.

  Dalam hal penanaman modal usaha, pihak yang membutuhkan modal untuk kegiatan usaha dapat memperoleh dana dari pihak yang mempunyai modal dengan cara pinjaman dan pengenaan bunga pinjaman uang sebesar persentase yang telah ditetapkan oleh pemilik modal. Begitu pemilik modal memberikan pemberi modal tidak menanggung resiko. Pihak yang membutuhkan modal usaha dalam melaksanakan kegiatan usahanya berhasil atau tidak, mendapatkan keuntungan yang besar atau tidak, pemilik modal akan tetap menerima bunga sesuai yang diperjanjikan.

  Misalnya, pemilik modal menyerahkan uang sebesar Rp.50.000.000 secara tunai kepada peminjam untuk dijadikan sebagai modal usaha sesuai dengan permintaan peminjam / pelaku usaha dengan bunga pinjaman sebesar 13% per bulan. Pada umumnya pelaku usaha sebagai pihak yang membutuhkan modal usaha, menjalankan kegiatan usahanya secara maksimal untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal sebagai tujuan utama dan untuk memajukan usaha yang dijalankan. Berapa pun besarnya pendapatan dan keuntungan yang diterima oleh peminjam uang maka pembayaran imbalan yang diberikan kepada pemilik modal dalam bentuk bunga oleh peminjam tetap sebesar 13% per bulan tanpa memperhatikan pelaku usaha sebagai peminjam modal dalam melaksanakan kegiatan usahanya mendapatkan keuntungan atau mengalami kerugian.

2.8. Perbandingan Antara Sistem Bagi Hasil Dalam Ekonomi Syariah dan Sistem Bunga Dalam Ekonomi Konvensional

  Pembayaran imbalan yang diberikan oleh pelaku usaha dalam ekonomi syariah kepada pemilik modal dalam bentuk bagi hasil sangat tergantung dari pendapatan yang diperoleh oleh pelaku usaha sebagai pihak yang membutuhkan memperoleh hasil usaha atau keuntungan yang besar maka pembagian hasil usaha didasarkan pada jumlah yang besar sesuai dengan keuntungan yang diperoleh, sebaliknya apabila pelaku usaha memperoleh hasil usaha yang sangat kecil atau mengalami kerugian maka keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama- sama sesuai dengan kesepakatan diawal perjanjian. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi konvensional, dimana pembayaran imbalan yang diberikan pelaku usaha kepada pemilik modal dalam bentuk bunga dibayarkan dalam jumlah tetap sesuai dengan persentase yang ditetapkan sejak awal perjanjian, tidak terpengaruh pendapatan yang diterima oleh pelaku usaha dalam ekonomi konvensional. Pelaku usaha sebagai peminjam modal dalam ekonomi syariah menjalankan fungsi sebagai pengelola modal usaha yang diberikan oleh pemilik modal usaha karena besar kecilnya pendapatan atau imbalan yang diterima oleh pemilik modal sangat tergantung pada keahlian / keprofesionalan para pengola usaha yang dijalankan dalam sistem ekonomi berdasarkan syariah. Sarana untuk melakukan perhitungan pembagian hasil usaha antara pemilik modal dengan pengelola dana dalam kegiatan usaha ini yang lazimnya disebut dengan “profit sharing” Konsep ini terdapat unsur keadilan, dimana tidak ada suatu pihak yang diuntungkan sementara pihak yang lain dirugikan antara pemilik modal dan pengelola modal sehingga besarnya keuntungan yang diperoleh pemilik modal sangat tergantung kepada kemampuan pengelola usaha dalam mempergunakan dan mengembangkan modal usaha yang diamanahkan kepadanya.

  Hal ini jelas sangat berbeda dengan sistem ekonomi konvensional dimana menjalankan kegiatan usahanya mengalami untung atau rugi, yang penting pemilik modal menerima bunga pinjaman uang sesuai dengan persentase yang telah dijanjikan sejak awal, atau sebaliknya pihak peminjam modal usaha hanya membayar bunga sebesar yang telah diperjanjikan walaupun usaha yang dijalankan oleh pelaksana usaha memperoleh keuntungan yang sangat besar.

  Islam mengharamkan penerapan bunga dan menghalalkan bagi hasil dalam kegiatan ekonomi sehari karena bunga dianggap sebagai bentuk kejahatan dan ketidak adilan dalam ekonomi sehingga tidak sesuai dengan konsep pemikiran ekonomi syariah. Allah SWT melarang dan mencela setiap penerapan bunga dalam kehidupan perekonomian. Bagi hasil dan bunga sama-sama memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat dari adanya perbedaan antara investasi dan pembungaan uang. Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung risiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian.

  Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki risiko, karena adanya presentase suku bunga tertentu yang ditetepakan berdasarkan besarnya modal.

  Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang dalam bentuk modal usaha dalam ekonomi syariah termasuk kategori investasi. Besar kecilnya keuntungan yang dibagikan tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan pelaksana usaha sebagai pengelola modal usaha yang diberikan pemilik modal kepadanya. Dengan demikian, pelaku usaha dalam ekonomi dalam ekonomi syariah harus terus-menerus berusaha meningkatkan kemajuan usaha yang dijalanka sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik modal. Berikut ini ada beberapa perbedaan mendasar antara bagi hasil dalam ekonomi syariah dan sistem bunga dalam ekonomi konvensional antara lain : A. Bagi Hasil

  1. Penentuan besarnya rasio / nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi.

  2. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh sesuai dengan kesepakatan bersama.

  3. Bagi Hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Bila usaha rugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

  4. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan / keuntungan yang diperoleh.

  5. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.

  B. Bunga

  1. Penentuan bunga di buat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.

  2. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang di pinjaman.

  3. Pembayaran bunga tetap seperti yang di janjikan tanpa pertimbangan apakah

  4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang meningkat.

  5. Keberadaan bunga diraguakan dan dilarang oleh semua agama, termasuk Islam.

2.9. Bentuk Bentuk Kegiatan Usaha Kerja Sama Dalam Ekonomi Syariah

  Kita mungkin mempunyai perusahaan atau tanah pertanian yang dikelola oleh orang lain. Keduanya merupakan bentuk kerja sama ekonomi. Untuk menumbuhkan perekonomian yang sehat, diperlukan suatu kerja sama yang baik. Adapun bentuk bentuk kerja sama usaha dalam ekonomi syariah adalah :

  1. Mudharabah

  Secara teknis, mudharabah didefinisikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pemilik modal menyediakan 100% modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola usaha. Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka keuntungan tadi kemudian dibagi antara peemilik modal dan pelaku usaha dengan persentase nisbah atau rasio yang telah disepakati sejak awal perjanjian / kontrak. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemilik modal sepanjang hal itu disebabkan oleh resiko bisnis dan bukan karena kelalaian pengelola usaha.

  2. Musyarakah

  usaha tertentu di mana masing masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

  3. Al Muzara’ah

  Al Muzara’ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Dalam prinsip ini benih disediakan oleh pemilik lahan. Rasulullah menganjurkan ummatnya untuk melakukan kerja sama dalam pengelolaan tanah pertanian secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil, Rasulullah juga menganjurkan untuk menanami tanah pertanian atau menyerahkannya kepada orang lain untuk digarap. Dalam konteks ekonomi syariah dapat memberikan modal dalam bentuk pembiayaan bagi pengelola yang bergerak di bidang pertanian atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.

4. Al Musaqah

  Al Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.

  Sebagai imbalan si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Dalam hal ini seseorang pemilik kebun memberikan kepercayaan pada penggarap untuk memelihara kebunnya dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka, sebagai imbalan mereka memperoleh persentase tertentu dari 2.10. Akad Pembiayaan Usaha Bagi Hasil Dalam Ekonomi Syariah.

  Akad adalah merupakan suatu perjanjian atau persetujuan antar dua atau berbagai pihak dalam hukum Islam dinamakan dengan aqad (transaksi). Aqad menurut bahasa berarti ikatan, kaitan atau janji. Dikatakan ikatan maksudnya ialah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Perikataan mengacu pada terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu jika seseorang mengadakan perjanjian kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, terjadilah perikatan. Ketika kedua buah janji berpadu, disebut aqad.

  Dalam melaksanakan suatu akad kerja sama antara pemilik modal dengan pelaku usaha terdapat rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Hal ini dilakukan agar akad sah menurut hukum. Rukun adalah yang harus di penuhi untuk sahnya suatu perjanjian, sedangkan syarat adalah ketentuan yang harus diindahkan dan dilakukan. Dalam syariah rukun dan syarat ini sama sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Mengenai rukun dan syarat akad dalam sebuah perjanjian yang menentukan sah atau tidaknya sebuah perikatan bahwa rukun akad hanya sighat al-’aqd, yaitu ijab dan kabul. ijab merupakan suatu perkataan dari si pemilik modal dan qabul adalah ucapan dari peminjam modal berupa penerimaan perikatan, sedangkan syarat akad adalah subjek akad dan objek akad. Dari beberapa akad pembiayaan dalam ekonomi syariah yang merupakan akad pembiayaan dengan menggunakan prinsip bagi hasil adalah

1. Qiradh / Mudharabah

  Istilah qiradh dikemukakan oleh ulama Hijjaz, sedangkan ulama Iraq menyebutnya mudharabah. Qiradh merupakan kerja sama dalam pemberian modal kepada seseorang (pekerja / pedagang) untuk diperdagangkan yang keuntungannya dan kerugian dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.

  (Ibrahim,1995 : 399). Dalam kerja sama ini satu pihak memberikan 100% modal kepada pihak lainnya untuk dijadikan sebagai modal usaha. Adapun rukun qiradh adalah orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja, dan akad.

  Adapun syarat-syaratnya, yaitu sebagai berikut :

  a. Orang yang bertransaksi harus orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wali.

  b. Syarat yang berkaitan dengan modal, yaitu :

  • Berbentuk uang - Jumlahnya harus jelas.
  • Tunai.
  • Diserahkan sepenuhnya kepada pedagang.

  c. Keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan bisnis tersebut.

2. Syirkah / Musyarakah

  Syirkah berasal dari bahasa Arab yang artinya “pencampuran” (sehingga sulit dibedakan). Secara terminologis, syirkah bisa diartikan sebagai perserikatan dagang, ikatan kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam sama memberikan kontribusi dan untung dan rugi ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Syirkah merupakan upaya saling menolong antar sesama manusia. Adapun syarat syarat umum syirkah adalah sebagai berikut : a. Perserikatan itu merupakan transaksi yang bisa diwakilkan. Artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap objek perserikatan itu, dengan izin pihak lain, dianggap wakil seluruh pihak yang berserikat. b. Persentase pembagian keuntungan untuk setiap yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.

  c. Keuntungan diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain. Pada masa Rasulullah kerja sama modal ini sangat lazim dilakukan dalam rangka sistem ekonomi syariah. Adapun klasipikasi kerja sama ini dibagi dalam empat kategori yaitu :

  1. Syirkah al-inan yaitu kerja sama modal bersama dimana salah satu pihak menyerahkan modal lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan yang lain, sedangkan pembagian keuntungan dan kerugian berdasarkan persentase besarnya modal yang diberikaan atau sesuai kesepakatan bersama.

  2. Syirkah al-mufawwadah yaitu perserikatan dua orang atau lebih dalam usaha, dengan syarat setiap pihak memberikan modal dengan yang sama,serta melakukan kerja secara bersama sama. Unsur penting dalam perserikatan ini adalah, baik dalam masalah modal, kerja, maupun keuntungan, setiap pihak yang mengingatkan diri dalam perserikatan ini

  3. Syirkah al-Sanai yaitu kerja sama dalam dalam usaha untuk memproduksi suatu barang, dimana modal yang dibeikan dalam bentuk keterampilan yang berbeda dan saling melengkapi untuk menghasilkan suatu produk komoditas tertentu. Pembagian keuntungan dalam kategori ini dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama.

  4. Syirkah al-wujuh yaitu serikat yang dilakukan dua orang atau lebih dimana masing masing pihak tidak mempunyai modal dan keterampilan, usaha yang dijalankan untuk mendapatkan modal diperoleh dari kredit pihak lain. Pembagian keuntungan harus dilakukan secara bersama, bahkan dilarang membagi keuntungan secara berbeda. Usaha kerja sama jenis ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah mempunyai reputasi tinggi dalam masyarakat.

3. Al-Muzara’ah

  Kerja sama di bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap disebut muzara’ah. Istilah ini, dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan paroan sawah. Dalam muzara’ah bibit yang ditanam berasal dari pemilik lahan. Adapun rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah, yaitu: a. Pemilik lahan.

  b. Petani penggarap.

  c. Objek muzara’ah, yaitu manfaat lahan dan hasil kerja petani.

  Adapun rukun dan syarat-syarat muzara’ah menurut jumhur ulama, yaitu sebagai berikut : a. Para pihak yang berakad (pemilik tanah dan penggarap), syarat bagi keduanya harus cakap melakukan perbuatan hukum (balig dan berakal sehat). b. Objek yang dijadikan tujuan akad (lahan pertanian), disyaratkan agar tempat tersebut layak untuk ditanami dan dapat menghasilkan sesuai kebiasaan serta tempat tersebut sudah ditetapkan secara pasti.

  c. Hasil atau sewa yang ditetapkan harus jelas dan pembagiaannya ditentukan saat akad.

  d. Sigat ijab qabul, yaitu ungkapan khusus yang menunjukkan akad muzara’ah. Akad muzara’ah berakhir karena beberapa hal berikut:

  1. Berakhir masa akad muzara’ah.

  2. Salah satu atau kedua belah pihak meninggal dunia.

  3. Terjadi pembatalan akad muzara’ah karena alasan tertentu, baik dari pemilik tanah maupun dari pihak petani penggarap.

4. Al-Musaqah

  Musaqah adalah transaksi antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman pada masa tertentu sampai tanaman itu berbuah. (Ibrahim,1995 : 416). Tanaman yang ditransaksikan dalam musaqah adalah tanaman yang minimal usianya satu tanaman keras. Adapun rukun musaqah menurut jumhur ulama ada lima, yaitu: a. Ada dua orang / pihak yang melakukan transaksi.

  b. Ada lahan yang dijadikan objek dalam perjanjian.

  c. Menyangkut jenis usaha yang akan dilakukan.

  d. Ada ketentuan mengenai bagian masing-masing dan hasilnya.

  e. Ada perjanjian, baik tertulis maupun lisan (sigath). Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap rukun, yaitu sebagai berikut.

  a. Pihak-pihak yang melakukan transaksi harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni balig dan berakal; b. Benda yang dijadikan objek perjanjian bersifat pasti, dikemukakan sifat dan keadaannya sehingga tidak ada kemungkinan berbeda dengan keadaan yang telah dijelaskan.

  c. Hasil panen yang dihasilkan dari kebun tersebut merupakan hak mereka bersama sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

  d. Bentuk usaha yang dilakukan oleh pengelola harus yang berkaitan dengan usaha untuk merawat dan mengolah kebun agar memberikan hasil yang maksimal.

  e. Ada kesediaan setiap pihak untuk melakukan perjanjian musaqah berupa ungkapan lisan atau tertulis.

Dokumen yang terkait

Studi Pemahaman Masyarakat Tentang Bagi Hasil Menurut Prinsip Ekonomi Syariah Di Kota Medan

5 52 111

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Ekonomi Pembangunan - Analisis Evaluasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Kabupaten / Kota Pemekaran Di Sumatera Utara

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ekonomi Syariah - Persepsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara Terhadap Dukungan Ekonomi Syariah Di Sumatera Utara

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bank Syariah 2.1.1 Pengertian Bank Syariah - Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kota Medan Terhadap Produk-produk Perbankan Syariah Studi Kasus: Kecamatan Medan Petisah

0 1 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam - Analisis Potensi Menabung dan Preferensi Masyarakat Terhadap Perbankan Syariah di Kota Padang Sidempuan

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Dampak Program Bank Sampah Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Di Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan

0 1 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Ekonomi Makro 2.1.1.1 Pengertian dan Sejarah berkembangnya Ekonomi Makro - Dampak Kebijakan Loan To Value Terhadap Permintaan Properti Di Kota Pematangsiantar

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Zakat - Studi Tingkat Pemahaman PNS Muslim Terhadap Zakat Profesi Di Kota Medan

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembiayaan dan Sistem Pembiayaan Syariah - Analisis Efektifitas Pembiayaan Sistem Syariah Bagi UMK Di Kabupaten Padang Lawas

0 0 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Pemahaman. - Pemahaman Masyarakat Bantaran Sungai Babura Di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan Tentang Manajemen Bencana Banjir

0 1 23