BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Pemahaman. - Pemahaman Masyarakat Bantaran Sungai Babura Di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan Tentang Manajemen Bencana Banjir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Pemahaman. Pemahaman adalah bagian dari tingkatan pengetahuan. Pengetahuan sendiri

  merupakan proses hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

  Terdapat enam tingkatan pengetahuan, yaitu: a.

  Tahu.

  Yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari suatu bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima untuk mengukur tentang apa yang dipelajari dengan menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.

  b.

  Memahami.

  Yaitu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan objek tersebut secara benar.

  c.

  Aplikasi.

  Yaitu kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan materi yang telah dipelajari dan dipahami sebelumnya.

  d.

  Analisis.

  Yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tertentu, tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut e.

  Sintesis.

  Yaitu menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

  f.

  Evaluasi.

  Berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian tersebut berdasarkan suatu kriteria yang ditentikan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Masyarakat.

2.2.1. Pengertian Masyarakat.

  Koentjaraningrat (2003) merumuskan pengertian masyarakat berdasarkan empat ciri berikut : a.

  Interaksi.

  b.

  Adat-istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan.

  c.

  Bersifat terus-menerus.

  d.

  Rasa identitas. Berdasarkan empat ciri di atas, masyarakat diartikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Sihotang (1992) menjelaskan masyarakat dalam dua defenisi, yaitu defenisi analitik dan defenisi fungsional. Dalam definisi analitik, masyarakat adalah sejumlah orang yang wilayah tempat tinggal, kebudayaan sendiri, dan keturunan yang akan meneruskan masyarakatnya. Sedangkan dalam defenisi fungsional, masyarakat adalah sejumlah manusia yang mempunyai sistem tidakan bersama, yang mampu terus ada lebih lama dari masa hidup seorang individu, dan para anggotanya bertambah sebagian melalui keturunan pada anggota.

  Ciri-ciri masyarakat (Sihotang, 1992: 13): a.

  Mampu berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan sendiri, b.

  Mampu mempertahankan keberadaanya melalui pergantian atau pertambahan anggota dengan adanya keturunannya.

  c.

  Mampu mempertahankan keberadaannya bergenerasi-generasi.

  d.

  Ada wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal.

  e.

  Mempunyai kebudayaan sendiri yang menjadi sumber nilai dan norma, pola tindakan, dan alat memenuhi keperluan hidup.

  f.

  Mempunyai sistem dan struktur. Berdasarkan ciri-ciri di atas, definisi masyarakat adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal di wilayah tertentu yang tersusun oleh sistem dan mempunyai struktur, mempunyai kebudayaan sendiri, dan dapat mempersiapkan penerusan adanya anggota untuk bergenerasi (Sihotang, 1992: 13).

2.2.2. Masyarakat Perkotaan.

  Sihotang (1992) menilai bahwa masyarakat baik perkotaan ataupun pedesaan secara pasti akan menghadapi berbagai masalah sosial yang terwujud sebagai hasil dari kebudayaanya, sebagai akibat dari hubungan antar sesamanya dan juga sebagai akibat dari tingkah laku mereka. Berkembangnya kebudayaan nasional cenderung terjadi di kota. sosial yang tergolong dalam lingkungan nasional.

  Masyarakat perkotaan bersifat heterogen. Heterogenitas yang mewarnai kehidupan di perkotaan berlaku juga untuk keanekaragaman lapangan mata pencaharian, karena adanya keanekaragaman sektor-sektor ekonomi. Perkembangan industri erat hubungannya dengan laju perkembangan kota, karena perkembangan industri merupakan salah satu terjadinya dinamika kota. Pada waktunya, kota-kota akan mengalami kesulitan untuk menyediakan pekerjaan, dan syarat-syarat minimal kehidupan yang pantas untuk jumlah yang besar secara terus menerus semakin meningkatkan laju pertumbuhan jumlah penduduk kota sedangkan mereka adalah orang baru yang memasuki ekonomi kota (Sihotang, 1992: 171).

2.3. Pemukiman.

  Industrialisasi yang akan terjadi di Indonesia akan mendorong pertumbuhan penduduk kota lebih cepat dari sebelumnya. Jumlah penduduk perkotaan pada tahun 1990 mencapai 28,8% dari 180 juta jiwa. Dan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 49,5% dari 257 juta jiwa. Dengan demikian pemukiman perkotaan yang lebih memerlukan kemampuan teknologi akan menjadi tantangan pembangunan dan pengelolaan pemukiman di masa mendatang (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002: 257).

2.3.1. Strategi Pengembangan Pemukiman.

  Lindungan bagi semua orang (shelter for all) adalah tujuan universal pengemba- ngan pemukiman. Tantangan di masa akan datang dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia sebagai prasyarat pembangunan yang terorganisasikan, konsep pengembangan pemukiman yang dipilih perlu diprioritaskan pada tiga hal berikut: Pengembangan pemukiman yang menunjang aktivitas ekonomi dalam suatu sistem yang terpadu dengan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam.

  b.

  Pengembangan pemukiman untuk kebutuhan masyarakat atas prakarsa dan diorganisasikan oleh masyarakat harus didorong dan difasilitasi.

  c.

  Pengelolaan pemukiman perlu lebih ditujukan untuk mewadahi dan mendorong integrasi sosial melalui penyediaan fasilitas umum yang memadai, memenuhi kebutuhan dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002: 258).

2.3.2. Pengembangan Pengelolaan Pemukiman.

  Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), gejala urbanisasi di Indonesia tergambar pada tiga hal berikut: a.

  Menyatunya kota besar dengan daerah atau kota-kota kecil di sekitarnya.

  b.

  Perubahan fisik daerah agraris/pedesaan menjadi fisik perkotaan yang diikuti peningkatan jumlah penduduk.

  c.

  Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seiring dengan perkembangan kota.

  Bila dilihat dari peningkatan jumlah penduduk, sejumlah kota-kota di Indonesia berpotensi tumbuh menjadi kota-kota besar. Karena pertumbuhan fisik kota-kota ini tidak diimbangi dengan peningkatan sosio ekonomi dan budaya, maka kota tersebut masuk dalam kategori semi-urban. Masalah terberat dalam pengelolaan pemukiman adalah mengatasi ketimpangan penggunaan ruang dan penguasaan sumber daya, baik sebagai dampak pemangunan ruang, maupun kemampuan sektor swasta besar mengatasi peluang kedepan.

  Kunci keberhasilan pengelolaan pemukiman berkelanjutan terletak pada dua hal berikut: Kemampuan untuk menyerasikan, memadukan, dan memanfaatkan potensi dan kepentingan sektor swasta dengan kepentingan ruang masyarakat berpendapatan rendah, dengan kepentingan ekologis.

  b.

  Kemampuan untuk menyetarakan pemukiman dari berbagai kondisi dan percepatan petumbuhan.

2.4. Kependudukan.

  Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), gambaran keadaan kependudukan di Indonesia di masa mendatang adalah sebagai berikut: a.

  Persentase penduduk perkotaan semakin besar, hal ini disebabkan oleh adanya urbanisasi dan perubahan wilayah dari desa ke kota.

  b.

  Laju pertumbuhan penduduk menanjak seiring perkembangan global..

  c.

  Permintaan barang non-pangan akan meningkat dengan pesat. Hal ini akan berimplikasi pada pengurasan sumber daya alam untuk kepentingan non-pangan tersebut. Pembangunan berkelanjutan baik di desa maupun di kota sangat terkait dengan aspek lingkungan. Strategi yang dibutuhkan dalam kaitan ini adalah sebagai berikut: a.

  Pengembangan keterkaitan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan.

  Dalam perumusan/penjabaran konsep ke dalam suatu perencanaan strategis, diperlukan dua hal, yaitu: 1)

  Pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan antara lingkungan dan pemangunan.

  2) Data dan informasi yang akurat tentang ketrkaitan antara variabel kependudukan dan lingkungan.

  Perumusan integrasi kebijakan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional, regional, dan lokal.

  Persebaran dan kepadatan penduduk yang tidak merata akan menimbulkan berbagai permasalahan yang berbeda antara wilayah satu dengan wilayah yang lain. Oleh karenanya kebijakan kependudukan dalam pola mobilitas dan persebarannya harus diselaraskan dengan rencana umum tata ruang nasional yang disesuaikan dengan daya dukung wilayah. Dari uraian di atas, perlu empat hal yang menjadi cerminan dalam membuat kebijakan kependudukan, yaitu:

  1) Kebijakan dirumuskan secara integral. 2) Kebijakan didukung data dan informasi yang akurat. 3)

  Kebijakan didukung oleh kelembagaan yang dapat mengintegrasikan berbagai aspek keterkaitan dalam pembangunan berkelanjutan.

  4) Kebijakan dapat dilaksanakan secara operasional.

  c.

  Pelaksanaan program integrasi kebijakan kependudukan, lingkungan hidup, dan pembangunan berkelanjutan pada masyarakat (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).

2.5. Sungai.

2.5.1. Pengertian Sungai.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011, sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dabatasi garis sempadan di sisi kiri dan kanannya.

  Kern (1994) dalam Maryono (2005) menjelaskan, sungai terbentuk sesuai dengan kondisi geografi, ekologi, dan hidrologi daerah setempat. Kondisi geografi banyak menentukan tampang melintang dan keragaman hayati serta faktor resistensi sungai. Sedangkan kondisi hidrologi menentukan besar kecil dan frekuensi aliran air sungai. Namun ketiga faktor tersebut saling terkait dan berpengaruh secara integral membentuk morfologi, ekologi, dan hidraulika sungai.

  a.

  Zona Memanjang.

  Zona memanjang sungai pada umumnya diawali dengan sungai kecil dari mata air di daerah pegunungan, kemudian sungai menengah di daerah peralihan antara pegunungan dan dataran rendah, dan selanjutnya sungai besar pada datarn rendah sampai di daerah pantai.

  b.

  Zona Melintang.

  Zonasi sungai secara melintang dapat dibedakan menjadi tiga zona, yaitu zona akuatik (badan sungai), zona amphibi (daerah tebing sungai sampai pertengahan bantaran), dan zona teras sungai (pertengahan bantaran yang sering tergenang air pada saat banjir sampai batas luar bantaran yang hanya kadang-kadang terkena banjir) (Maryono, 2005: 5-6).

2.5.2. Fungsi-fungsi Sungai.

  Maryono (2005) menjelaskan bahwa ada tiga fungsi sugai, yaitu: a.

  Sebagai saluran eko-drainase (Drainase ramah lingkungan).

  Yaitu bagaimana membuang air kelebihan dengan cara selambat-lambatnya ke sungai, sehingga sungai-sungai alamiah tetap mempunyai bentuk yang tidak teratur, berliku-liku dengan berbagai terjunan yang alamiah, dan lain-lain.

  Bentuk-bentuk ini pada hakikatnya berfungsi untuk menahan air agar tidak cepat mengalir ke hilir serta menahan sedimen.

  Sebagai saluran irigasi.

  Yaitu sistem pengairan persawahan atau pertanian.

  c.

  Fungsi ekologi (ekosistem sungai).

  Komponen ekologi sungai adalah vegetasi daerah badan, tebing, dan bantaran sungai. Menurut Diester (1996) dalam Maryono (2005) faktor yang sangat menentukan dalam ekosistem sungai adalah struktur dinamik dari debit yang mengalir di sungai.

2.5.3. Daerah Aliran Sungai (DAS).

  Menurut Suripin (2002), DAS adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menerima hujan, menampung, menyimpan, dan mengalirkan ke sungai, dan seterusnya ke danau atau ke laut. DAS juga merupakan ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antar faktor-faktor biotik, non-biotik, dan manusia.

  Maryono (2005) mendefenisikan DAS sebagai suatu wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. DAS tersusun oleh kesatuan berlapis- lapis kawasan yang secar geografis membentang mulai dari hulu, tengah, hingga hilir. Si kawasan hulu, DAS menjadi daerah tangkapan air hujan dan berfungsi sebagai kawasan penahan run off yang selanjutnya akan menjamin ketersediaan pasokan air bagi keseluruhan sistem ekologi DAS, terutama bagi penduduk di kawasan penyimpan resipitasi air hujan serta mengalirkan kelebihannya melalui jaringan anak sungai dan infiltrasi aliran air bawah tanah. Cadangan air tanah tersebut selanjutnya akan menjadi sumber air di berbagai tempat bagi mereka yang tinggal di daerah hilir.

  Terganggunya tata air di DAS dapat menimbulkan banjir pada saat musim penghujan, kekeringan di musim kemarau, pendangkalan waduk sebagai akibat adanya mengakibatkan penurunan produktivitas tanah dan produksi usaha tani maupun kesejahteraan sosial (Asdak, 1995).

  Menurut Maryono (2005) perubahan fisik yang terjadi pada DAS akan berpengaruh langsung pada kemampuan retensi terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan untuk menahan air bagian hulu. Perubahan tata guna lahan akan menyebabkan berkurangnya retensi DAS ini secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan ke arah hilir. Sebaliknya, semakin besar retensi suatu DAS, maka akan semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik diresapkan (diretensi) di DAS dan secara perlahan-lahan di alirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir.

2.6. Bencana.

2.6.1. Pengertian Bencana.

  Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun faktor non-alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

  Carter (2001) dalam Kodoatie dan Sjarief (2006) yang dikutip oleh Purnomo dan Sugiantoro (2010) mendefenisikan bencana sebagai suatu kejadian alam atau buatan manusia, yang datang secara tiba-tiba yang menimbulkan dampak yang dahsyat, sehingga masyarakat yang terkena harus merespon dengan tindakan-tindakan yang luar biasa.

  Menurut United Nation Development Program (UNDP) dalam Ramli (2010), bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang pada tingkat yang menimbulkan bencana.

2.6.2. Jenis-Jenis Bencana.

  Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 mengklasifakasikan bencana ke dalam tiga jenis, yaitu: a.

  Bencana Alam.

  Merupakan bencana yang besumber dari fenomena alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, pemanasan global, topan dan tsunami.

  b.

  Bencana Non-Alam.

  Merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non- alam antara lain; gagal teknologi, epidemik, dan wabah penyakit.

  c.

  Bencana Sosial.

  Merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia seperti; konflik sosial, dan aksi teror.

1) Bencana Alam.

  a) Gempa.

  b) Tsunami.

  c) Letusan gunung berapi.

  d) Banjir.

  e) Kekeringan.

  f) Kebakaran. g) Angin topan.

  h) Tanah longsor. Bencana Non-alam.

  a) Wabah penyakit

  b) Gagal teknologi, contoh: kerusakan jaringan internet dalam skala besar.

3) Bencana Sosial.

  a) Konflik SARA.

  b) Aksi teror, contoh: pembunuhan misterius, dan penculikan.

2.6.3. Manajemen Bencana.

  a.

  Pengertian Manajemen Bencana.

  Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban jiwa dan kerugian yang ditimbulkannya (Ramli, 2010: 10).

  Manajemen bencana pada dasarnya merupakan konsep penanggulangan bencana. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

  b.

  Tujuan.

  Menurut Ramli (2010) ada empat tujuan manajemen bencana, yaitu: 1)

  Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.

  2) Menekan kerugian dan angka korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana.

  3) Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi terhadap bencana sehingga terlibat dalam proses penanggulangan bencana.

  Melindungi anggota masyarakat dari ancaman, bahaya atau dampak bencana.

  c.

  Konsep Manajemen Bencana.

  Manajemen bencana dapat dibagi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkat lokasi, tingkat unit atau daerah, dan tingkat nasional atau korporat. Untuk tingkat lokasi disebut manajemen insiden (incident management), pada tingkat daerah atau unit disebut manajemen darurat (emergency management), dan pada tingkat nasional disebut manajemen krisis (crisis management).

  1) Manajemen insiden (incident management).

  Yaitu penanggulangan bencana di lokasi atau langsung di tempat kejadian. Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat teknis. 2) Manajemen darurat (emergency management).

  Yaitu penanggulangan bencana di daerah yang mengkordinir lokasi kejadian. Tingkatan ini meliputi strategi dan taktis.

  3) Manajemen krisis (crisis management).

  Manajemen krisis berada pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat nasional. Tingkatan ini lebih bersifat strategis dan penentuan kebijakan.

  d.

  Tahapan Manajemen Bencana.

  Tahapan bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk mengelola bencana dengan baik dan aman. Tahapan tersebut pada dasarnya adalah satu kesatuan sistem dalam upaya penanggulangan bencana. Berikut tahapan manajemen bencana tersebut :

1) Pra bencana.

  a) Kesiagaan. mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah- langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiagaan merupakan tahapan yang paling strategis, karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam manghadapi datangnya suatu bencana.

  b) Peringatan dini.

  Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat akan bencana yang akan terjadi. Peringatan yang diberikan didasarkan pada berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah, atau diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkingan akan terjadinya suatu bencana.

  c) Mitigasi.

  Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan suatu bencana (Ramli, 2010).

  Pendekatan-pendekatan dalam mitigasi bencana.

  a.

  Pendekatan teknis.

  1) Membuat rancangan bangunan yang kokoh. 2)

  Membuat material yang tahan terhadap bencana. Contoh: material tahan api.

  3) Membuat rancangan teknis pengaman. Contoh: tanggul.

  b.

  Pendekatan manusia.

  Pendekatan ini ditujukan untuk membentuk karakter manusia yang paham dan sadar mengenai bahaya bencana. oleh karenanya perilaku dan pola hidup manusia harus dapat diperbaiki dengan kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadpainya.

  Pendekatan administratif.

  1) Penyusunan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek resiko bencana.

2) Sistem prizinan dengan memasukkan aspek analisa resiko bencana.

  3) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan industri bersiko tinggi.

  4) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi pelaksananya baik pemerintah maupun industri bersiko tinggi.

  d.

  Pendekatan kultural.

  Pendekatan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai bencana dan bahaya yang ditimbulkannya.

  Penyadaran disesuaikan dengan kearifan lokal dan tradisi masyarakat yang telah membudaya sejak lama (Ibid).

2) Saat terjadi bencana (tanggap darurat).

  Tangggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi proses pencarian, penyelamatan, dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuha n dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, serta pemulihan sarana dan prasarana. Dalam UU No. 24 Tahun 2007 disebutkan proses penyelengaraan bencana pada saat tanggap darurat sebagai berikut: a)

  Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap loksi, kerusakan, dan sumber daya. b) Penentuan status keadaan darurat bencana.

  c) Penyelamatan dan evakuasi.

  Pemenuhan kebutuhan dasar.

  e) Perlindungan terhadap kelompok rentan.

  f) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.

3) Pasca bencana.

  a) Rehabilitasi.

  Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

  b) Rekontruksi.

  Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana serta kelembagaan di wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perkonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat (Ramli, 2010).

2.7. Banjir.

2.7.1. Pengertian Banjir.

  Banjir adalah keadaan dimana suatu daerah tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh tersumbatnya sungai maupun karena penggundulan hutan di sepanjang aliran sungai (Ramli, 2010: 98).

  Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011, banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.

2.7.2. Faktor-faktor Penyebab Banjir.

  Curah hujan tinggi.

  b.

  Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat.

  f.

  Kerusakan bangunan pengendali banjir.

  e.

  Drainase lahan.

  d.

  Sampah.

  c.

  Kawasan kumuh.

  Perubahan kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS).

  b.

  Berikut beberapa faktor penyebab banjir menurut Ramli (2010): a.

  Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.

  f.

  Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan dipinggir sungai.

  e.

  Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran (bantaran) sepanjang sungai.

  d.

  Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keluar sempit atau terbatas.

  c.

  Permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut.

  Kodoatie (2002) menjelaskan faktor-faktor penyebab banjir karena tindakan manusia sebagai berikut: a.

2.7.3. Penanggulangan Banjir.

  Maryono (2005) menjelaskan langkah-langkah pokok dalam menyusun pedoman Langkah-langkah tersebut yaitu: a.

  Pemetaan dan analisis perubahan tata guna lahan di DAS. Hasil dari langkah ini adalah berupa peta tata guna lahan di DAS perubahannya, serta kaitannya dengan kejadian-kejadian banjir.

  b.

  Pemetaan dan analisis wilayah sungai, sempadan sungai, dan alur sungai, baik sungai besar di hilir maupun sungai kecil di bagian hulu. Dari pemetaan di sepanjang sungai ini selanjutnya dapat di analisis dengan cermat karakter sungai bersangkutan serta kaitannya dengan potensi banjir, baik banjir biasa maupun banjir banding.

  c.

  Pemetaan komponen ekologi retensi alamiah sempadan sungai dan kondisi fisik hidraulik di sepanjang sempadan sungai. Hasil dari pemetaan ini dapat digunakan untuk menganalisis kemungkinan peningkatan retensi sepanjang alur sungai.

  d.

  Pemetaan dan analisis saluran drainase yang masuk ke sungai. Dari hasil pemetaan ini dapat ditetapkan alur-alur drainase yang perlu diperbaiki.

  e.

  Pemetaan dan pendataan kondisi daerah pedesaan dan daerah semi urban bagian hulu dan tengah. Langkah ini labih baik dilaksanakan besama masyarakat, sehingga tujuan penanganan banjir dapat tercapai, dan masyarakat mendapatkan pembelajaran dai itu.

  f.

  Pemetaan sistem makro dan mikro wilayah keairan (sungai, danau, pantai, dan lain- lain) yang dilanda banjir. Hasil kegiatan ini adalah dapat ditemukan secara pasti penyebab banjir pada skala mikro dan makro wilayah tersebut. Hasil pemetaan ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan kebijakan mengenai penanggulangan banajir.

  Pemetaan budaya masyarakat dan kaitannya dengan penanggulangan banjir.

  Selain langkah-langkah di atas, terdapat langkah-langkah penanggulangan banjir lainnya yang terkait langsung dengan sungai, yaitu: 1) Reboisasi dan konservasi hutan di sepanjang DAS dari hulu ke hilir. 2)

  Penataan tata guna lahan yang meminimalisir limpasan langsung dan mempertinggi retensi dan konservasi air di DAS.

  3) Tidak melakukan pelurusan sungai. 4)

  Mempertahankan bentuk sungai yang berliku-liku, karena akan mengurangi erosi, dan meningkatkan konservasi.

  5) Memanfaatkan daerah genangan air di sepanjang sempadan sungai dari hulu ke hilir.

  6) Mengubah sistem drainase konvensional yang mengalirkan air buangan secepat- cepatnya ke hilir menjadi sistem yang alamiah (lambat), sehingga waktu konservasi air cukup memadai dan tidak menimbulkan banjir di hilir.

  7) Melakukan relokasi pemukiman yang berada di DAS atau bantaran sungai. 8)

  Melakukan pendekatan sosio-hidraulik, yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat secara terus menerus untuk terlibat dalam penanggulangan banjir.

  Beberapa tindakan penanggulangan banjir menurut Ramli (2010): a.

  Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai dengan fungsi lahan.

  b.

  Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering menimbulkan banjir.

  c.

  Tidak membangun rumah atau pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir. d.

  Mengadakan program pengerukan sampah di sungai.

  e.

  Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.

2.8. Kerangka Pemikiran.

  Banjir yang terus melanda Indonesia menuntut pemerintah harus berpikir lebih cerdas dalam menyiasati penanggulangannya, baik itu dalam tataran ide (kebijakan), maupun dalam pelaksanaan teknisnya. Harus diakui pemerintah tidak akan mampu bekerja sendiri tanpa diikuti keterlibatan atau peran aktif masyarakatnya. Semakin aktif dan sering keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan banjir, maka akan sangat berpengaruh positif bagi kelancaran prosesnya. Hal ini bahkan memberikan nilai dan pelajaran tersendiri, dimana masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (tetap berdasarkan Standart Operasional Procedure) .

  Namun penglibatan masyarakat dalam penanggulangan banjir oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah bukanlah perkara yang mudah dan tidak boleh ceroboh, apalagi menyangkut keselamatan jiwa. Pemerintah harus benar-benar yakin masyarakat yang akan dilibatkan telah memahami manajemen banjir atau Standart Operasional Procedure (SOP) penanggulangannya. Karena melibatkan masyarakat yang tidak paham dalam penanggulangan banjir malah akan memungkinkan timbulnya masalah baru. Maka perlu diketahui terlebih dahulu pemahaman manajemen banjir di lingkungan masyarakat.

  Begitu pula dengan masyarakat bantaran sungai Babura di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan. Demi terbangunnya proses yang baik dalam penglibatan masyarakat dalam penanggulangan banjir, maka perlu digali terlebih dahulu pemahaman tentang manajemen banjir yang dimiliki masyarakat tersebut.

  Gambar 1 Bagan Alur Pemikiran.

BANJIR SUNGAI BABURA MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI BABURA PEMAHAMAN

  

MANAJEMEN BANJIR

TAHAP KESIAGAAN TAHAP TANGGAP TAHAP PEMULIHAN

DAN MITIGASI DARURAT

2.9. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional.

  2.9.1. Defenisi Konsep.

  objek penelitian, seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang di teliti. Proses ini disebut dengan defenisi konsep. Perumusan defenisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh peneliti (Siagian, 2011: 138).

  Dalam penelitian ini, peneliti membatasi konsep-konsep sebagai berikut: a. Pemahaman masyarakat adalah daya pikir atau kemampuan kognitif atau wawasan yang dimiliki masyarakat akan suatu hal tertentu, serta mampu menjelaskan suatu hal tersebut.

  b.

  Bantaran sungai, yaitu sisi kanan dan kiri sungai yang berjarak maksimal 20 m dari bibir sungai, dimana berdirinya bangunan rumah/tempat tinggal.

  c.

  Masyarakat bantaran sungai adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa Kepala Keluarga (KK) yang bertempat tinggal di bantaran sungai.

  d.

  Sungai Babura adalah salah satu sungai yang melintasi atau membelah Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.

  e.

  Manajemen bencana banjir, yaitu suatu sistem penanganan banjir mulai dari kesiagaan, tanggap darurat sampai pemulihan.

  2.9.2. Defenisi Operasional.

  Dalam merumuskan defenisi operasional peneliti menentukan indikator-indikator sebagai berikut : a.

  Pemahaman masyarakat akan manajemen bencana banjir, meliputi: 1) Penyuluhan bencana yang mungkin pernah diterima masyarakat.

  Pelatihan manajemen bencana yang mungkin pernah didapat masyarakat. 3) Kelompok diskusi bencana yang mungkin pernah ada di masyarakat.

  b.

  Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir.

  1) Program penanggulangan banjir yang pernah dibuat di lingkungan. 2)

  Keterlibatan dalam program penanggulangan banjir, baik oleh pemerintah, swasta, ataupun swadaya masyarakat sendiri.

  3) Ada tidaknya tim tanggap darurat di lingkungan. 4) Ada tidaknya dilakukan evaluasi setelah banjir.

Dokumen yang terkait

Pemahaman Masyarakat Bantaran Sungai Babura Di Lingkungan I Kelurahan Padang Bulan Medan Tentang Manajemen Bencana Banjir

0 61 100

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Strategi Adaptasi Dan Mitigasi Bencana Banjir Pada Masyarakat Di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perhitungan Debit dan Luas Genangan Banjir Sungai Babura

0 3 26

BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Peristiwa Banjir Medan - Pergeseran Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Yang Terkena Banjir (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Sekitar Sungai Deli, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun)

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku - Hubungan Pengetahuan Dan Motivasi Mahasiswa Indekost Terhadap Tindakan Seksual Pranikah di Jalan Sei Padang Kelurahan Padang Bulan Selayang I Medan Tahun 2013

0 1 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) - Penentuan Tinggi Muka Air Banjir Sungai Deli

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Evaluasi Tinggi Tanggul Banjir Rob Muara Sungai Belawan

0 0 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Seksual Pranikah pada Remaja Putri yang Tinggal di Kost Lingkungan V Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2013

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Lingkungan - Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Anggota Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan Tentang Pencemaran Lingkungan di Kelurahan Sei Kera Hilir I Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2013

0 0 38

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi 1.1 Defenisi Komunikasi - Hubungan Pola Komunikasi Keluarga dengan Tingkat Depresi Lansia di Kelurahan Padang Bulan Medan

0 0 16