Islamic Philanthropy Sebagai Upaya Mewuj

Islamic Philanthropy

Sebagai Upaya Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Madani
Oleh: Mahfud Achyar1

T

ahun 2015, tepat Indonesia memasuki usia ke-70 tahun sejak merdeka
pada tanggal 17 Agustus 1945. Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia
senantiasa merayakan kemerdekaan Indonesia dengan berbagai ragam

kegiatan: upacara kenegaraan, perlombaan-perlombaan, dan sebagainya.
Namun, momentum kemerdekaan Indonesia terkesan sebatas euforia semata.
Jarang sekali momentum kemerdekaan digunakan untuk kita merenung,
berkontemplasi, dan gelisah memikirkan usia bangsa yang sudah taklagi belia.

Angka 70 tahun semestinya menjadi momentum bagi Indonesia untuk
memasuki fase yang jauh lebih matang, jauh lebih baik, dan jauh lebih sejahtera.
Namun nyatanya semangat kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial—takkunjung
mendekati kesempurnaan.
Indonesia, negeri yang subur dan indah ini nyatanya menyimpan begitu
banyak persoalan yang seolah takhenti-hentinya datang silih berganti. Persoalan
datang dari berbagai sektor; mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi,
budaya, sosial, dan teknologi. Kondisi demikian membuat Indonesia semakin
terkucil di mata dunia dan semakin tertinggal dibandingkan negara-negara sahabat
seperti Singapura dan Malaysia.
Mari sejenak kita melihat perkembangan salah satu negara sahabat kita
yaitu Singapura. Pada tanggal 23 Maret 2015 lalu, mantan Perdana Menteri
Singapura, Lee Kuan Yew meninggal karena penyakit radang paru-paru.
Meninggalnya bapak Singapura modern tersebut mengundang tangis dari 5 juta
warga Singapura. Betapa tidak, Lee merupakan tokoh yang sangat berjasa bagi
kemajuan Singapura. Ada salah satu ungkapan Lee yang barangkali akan selalu
1

Mahfud Achyar lahir pada tanggal 1 Juli 1989. Merupakan alumni dari Universitas Padjadjaran
Bandung tahun 2011. Saat ini menjadi praktisi Marketing Communication di salah satu NGO
Jakarta dan sedang menempuh studi sebagai mahasiswa tingkat akhir pada program pascasarjana
Universitas Paramadina Jakarta, program studi Corporate Communication. Aktif menulis di blog,

menyenangi social activities, dan memiliki passion dalam travelling.

1

diingat oleh masyarakat Singapura. Ia berkata, “I don’t believe Singapore can
produce two top class teams. We haven’t got the talent to produce two top class
teams. We will wait and see how constructive the opposition can be, or will be.”

Sejak merdeka pada tanggal 9 Agustus 1965 (10 tahun setelah Indonesia
merdeka), Singapura di bawah kepemimpinan Lee berkembang menjadi negara
yang memiliki peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional.
Singapura kian bersinar di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara
bahkan sinarnya mampu menyaingi negara-negara yang dulu diklam sebagai
negara maju.
Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga kajian independen di bawah

pengelolaan majalah The Economist melansir survei mengenai "Indeks Kualitas
Hidup" yang menempatkan Singapura pada peringkat satu kualitas hidup terbaik
di Asia dan kesebelas di dunia. Singapura juga dinobatkan sebagai negara yang
memiliki cadangan devisa terbesar kesembilan di dunia. Tidak hanya sampai di

situ, Singapura juga memiliki angkatan bersenjata yang maju dan juga berhasil
menjadi negara meritokrasi, bebas korupsi, dan nyaman ditinggali untuk semua
ras.
Keberhasilan Lee dalam memajukan Singapura dari negara miskin
menjadi negara yang maju sudah sepatutnya menjadi pemantik semangat bagi
Indonesia. Sayangnya, kerap kali banyak masyarakat Indonesia yang sinis menilai
keberhasilan Singapura. Mereka menilai Indonesia dan Singapura tidak bisa
dibandingkan secara apple to apple (komparasi yang seimbang dan cocok). Hal
ini lantaran luas wilayah Singapura jauh lebih kecil dibandingkan dengan
Indonesia. Selain itu, permasalahan di Singapura tidak serumit permasalahan di
Indonesia. Barangkali pendapat itu benar adanya. Namun, apakah argumen
tersebut menjadi pledoi atau excuse bagi bangsa Indonesia sehingga terus terjebak
pada kondisi yang stagnan atau bahkan menjadi jauh lebih buruk?

Potret Permasalahan di Bumi Pertiwi
Sebagai manusia yang lahir, besar, dan hidup di Indonesia tentu kita memahami
dengan baik bahwa negara yang saat ini dipimpin oleh presiden ke-7 Indonesia,
Joko Widodo, tengah menghadapi berbagai persoalan yang pelik. Berdasarkan

2


hasil survei dari salah satu televisi swasta nasional, setidaknya ada 10 masalah
terbesar yang dihadapi Indonesia, yaitu (1) persoalan kestabilan ekonomi, (2)
korupsi, (3) kemiskinan, (4) pengelolaan BBM, (5) sistem pendidikan, (6)
pengangguran, (7) tingginya harga pangan, (8) bencana alam, (9) kelaparan dan
krisis pangan, dan (10) krisis kepemimpinan.
Sebagai gambaran, barangkali kita bisa telisik lebih dalam persoalan pada
sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Untuk masalah di sektor pendidikan,
berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun
2010, tercatat 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus sekolah.
Tingginya angka putus sekolah disebabkan salah salah satunya karena mahalnya
biaya pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan,
seperti

yang

dilansir

pada


laman

okezone.com,

mengatakan

pihaknya

menginginkan dukungan terhadap para pelajar yang berpotensi putus sekolah
lebih diintensifkan. Lebih lanjut, Anies menilai bahwa konsekuensi dari putus
sekolah berimplikasi dalam aspek kesejahteraan dan permasalahan sosial lainnya.
Selanjutnya, permasalahan pada sektor kesehatan menurut guru besar
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. dr. Hasbullah
Thabrany, MPH, DrPH, seperti yang dilansir pada laman liputan6.com, yaitu
mengenai program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang kurang dikelola
dengan baik. Dampaknya, bila tidak diantisipasi akan menyebabkan goncangan,
keluhan, eksploitasi ketidakpuasan, campur aduk politik, dan teknis kesehatan.
Sebetulnya, JKN merupakan itikad baik dari pemerintah dalam
menyediakan pelayanan kesehatan seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun

permasalahan yang timbul saat ini minimnya penyediaan layanan kesehatan yang
mumpuni. Fasilitas layanan kesehatan di Indonesia tidak merata dan masih
terkesan terfragmentasi. Pemerintah dinilai tidak serius menangani permasalahan
rasio tenaga kesehatan dan penduduk, fasilitas layanan kesehatan yang belum
terstandar, dan sistem rujukan layanan kesehatan yang masih semrawut.
Sementara itu, permasalahan lain datang dari sektor perekonomian.
Menteri Ketenagakerjaaan, M. Hanif Dhakiri, seperti yang dilansir laman
kontan.co.id, mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus

3

2014, jumlah penggangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,24 juta orang.
Angka tersebut naik dibandingkan dengan data pada Februari 2014 yang berada
pada angka 7,15 juta orang. Menurut Hanif, tingginya angka pengangguran di
Indonesia disebabkan krisis ekonomi global dan terjadinya bonus demografi di
Indonesia.
Jika menengok ke negara tetangga seperti Thailand, tingkat pengangguran
di negeri Gajah Putih tersebut hanya berkisar 0,56 persen. Bloomberg melansir
bahwa Thailand merupakan negara yang memiliki tingkat pengangguran terendah
di dunia. Sebetulnya, pemerintah sudah berupaya menekan jumlah penggangguran

di Indonesia hingga minimal mencapai angka 5,6 persen.
Dalam cakupan yang lebih makro, kondisi perekonomian di Indonesia
terus menghadapi persoalan yang berat. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI),
Hendar mengungkapkan bahwa perekonomian dalam negeri akan dibayangbayangi sentimen dari eksternal maupun internal. Resiko yang harus diwaspadai
oleh Indonesia antara lain: kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika The Fed,
semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, peningkatan
utang luar negeri, dan resiko peningkatan tekanan inflasi karena kenaikan LPG
(Liquified Petroleum Gas) dan TTL (Tarif Tenaga Listrik).
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengamankan
kondisi perekonomian di Indonesia yaitu menaikan harga BBM bersubsidi.
Namun, kebijakan yang diambil pemerintah tersebut dianggap tidak pro terhadap
masyarakat. Apalagi pada tahun 2015 ini, pemerintah seolah galau dalam
mengambil kebijakan bila harga minyak dunia naik.
Tercatat selama bulan Maret 2015, setidaknya pemerintah sudah dua kali
menaikan harga BBM, khususnya jenis premium dan solar. Dampak dari naiknya
BBM bersubsidi membuat harga bahan pokok melonjak, harga tarif angkutan
umum naik, dan harga kebutuhan lainnya pun juga turut merangkak naik. Kondisi
demikian menyebabkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat kurang
mampu semakin erat mengencangkan ikat pinggang. Lantas kapan masyarakat
Indonesia dapat sejahtera dan hidup nyaman?

Berbagai upaya tentu sudah ditempuh pemerintah untuk mewujudkan
Indonesia sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Namun

4

nyatanya, berbagai kajian yang dilahirkan oleh berbagai pakar yang mumpuni di
bidangnya sangat sulit diimplementasikan. Banyak sekali faktor penghambat yang
membuat Indonesia seolah sulit untuk menjadi negara yang seperti diamanahkan
dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Islamic Philanthropy Sebagai Solusi

Kendati Indonesia berada pada persimpangan jalan yang memprihatinkan, namun
sudah selayaknya kita mengangkat kepala dan bertekad penuh bahwa kita dapat
mengubah Indonesia menjadi lebih baik lagi. Pemerintah jelas tidak akan sanggup
untuk mengatasi berbagai persoalan yang mendera bumi pertiwi. Untuk itu,
partisipasi dari berbagai pihak merupakan nadi yang terus membuat Indonesia
tetap hidup dan mampu memastikan bahwa setiap bayi yang lahir akan merasa
bangga dan nyaman menjadi orang yang memiliki darah Indonesia.
Mengutip ungkapan salah satu pidato Presiden Sukarno, “Apabila di dalam

diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka
jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan
selangkah pun.”
Salah satu upaya yang dapat membantu akselerasi pembangunan bangsa
dari berbagai aspek yaitu peran dari Islamic Philanthropy. Indonesia, sebagai
mana kita ketahui adalah negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbanyak
di dunia.
Hal tersebut dapat diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pew
Research Center, yaitu lembaga riset yang berkedudukan Washington DC,
Amerika Serikat yang bergerak pada penelitian demografi, analisis isi media, dan
penelitian ilmu sosial. Pada tanggal 18 Desember 2012, Pew Research Center
mempublikasikan risetnya tentang “The Global Religious Landscape” tentang
penyebaran agama di seluruh dunia dengan cakupan lebih dari 230 negara.
Riset tersebut memaparkan total jumlah penduduk Muslim yang tersebar
di berbagai negara yaitu sebanyak 1,6 miliar atau sekitar 23,2% dari total jumlah
penduduk dunia. Indonesia merupakan negara sebagai peringkat pertama sebagai
penganut agama Islam terbesar dengan total 209.120.000 jiwa (87,2%) dari total
penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa. Data tersebut juga

5


diperkuat dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
pada tahun 2010.
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, agama rahmat bagi semua
manusia. Artinya, Islam hadir bukannya hanya untuk Muslim, namun juga untuk
non-Muslim (Ahli Dzimmah). Mereka mendapatkan hak yang sama dengan kaum
Muslimin, kecuali beberapa perkara yang terbatas. Misalnya memeroleh
perlindungan dari marabahaya yang datang dari eksternal. Hal tersebut senada
dengan hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi, “Siapa-siapa yang
menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar
kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaannya, maka

akulah yang menjadi seterunya pada hari kiamat.”
Agama Islam menjadi dan melindungi non-Muslim; darah dan badan
mereka, melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan
jaminan sosial ketika dalam keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan
bekerja, berusaha dan menjadi pejabat. Demikianlah betapa santun dan mulianya
Islam memperlakukan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, Islam sangat
concern menanamkan nilai sosial dalam setiap jiwa pemeluknya.


Lantas apa yang dimaksud dengan nilai sosial? Menurut Clyde Kluckhohn
dalam bukunya yang berjudul “Culture and Behavior”, ia mengatakan bahwa nilai
sosial adalah sesuatu yang diusahakan sebagai hal yang pantas dan benar bagi diri
sendiri maupun orang lain.
Dalam pandangan Islam, nilai-nilai sosial yaitu berperilaku baik kepada
sesama, dalam artian membantu orang yang sedang kesusahan. Hal ini dijelaskan
dalam Al-Qu’ran surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi, “.....Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Nilai sosial dalam Islam dapat diwujudkan melalui aktifitas Islamic
Philanthropy yang memiliki jangkauan kebermanfaatan yang jauh lebih luas.

Istilah filantropi sendiri berasalah dari bahasa Yunani yaitu philein yang berarti
cinta dan anthropos yang berarti manusia. Secara sederhana, filantropi adalah

6

tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia sehingga bersedia
menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.
Dalam konteks kehidupan manusia modern, filantropi dikategorikan
sebagai sektor ketiga setelah sektor negara (state) dan pasar (market). Ketiga
sektor tersebut memiliki peran yang berbeda-beda dalam menyokong cita-cita
suatu negara.
Istilah filantropi juga dipahami masyarakat sebagai organisasi non-profit
dengan tujuan-tujuan mulia seperti mencintai (sesama umat manusia) dengan
memberikan bantuan kepada yang membutuhkan dan menaruh perhatian terhadap
orang lain atau kemanusiaan. Tujuan dari aktifitas filantropi setidaknya terdiri dari
empat spektrum pendekatan, yaitu (1) pendekatan kesejahteraan (welfare), (2)
pendekatan pembangunan (developmentalis), (3) pendekatan pemberdayaan
(empowerment), dan (4) pendekatan transformatif (transformasi sosial).
Dunia filantropi di Indonesia berkembang pesat pascareformasi.
Selanjutnya, organisasi filantropi semakin diramaikan dengan kehadiran
organisasi filantropi yang berbasis keagamaan, salah satunya kehadiran Islamic
Philanthropy yang mulai concern pada pengelolaan dana zakat sebesar Rp 1,73

triliun pada tahun 2012.

Islamic Philanthropy dan Masyarakat Madani

Menyoal keberhasilan Islamic Philanthropy dalam mewujudkan masyarakat
madani, barangkali kita dapat memetik hikmah dan pembelajaran dari
kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dikenal sebagai khalifah
pada penghujung abad pertama hijriyah yang sangat dicintai fakir miskin, anak
yatim, janda-janda tua, dan semua lapisan masyarakat.
Menurut catatan sejarah, Umar bin Abdul Aziz lahir di kampung Hulwan,
Mesir, pada tahun 63 Hijriah/681 Masehi. Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan,
menjabat gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul Malik. Ibunya, Ummu
Asim Laila binti Asim, merupakan cucu Khalifah Umar bin Khattab. Umar
diangkat menjadi Gubernur Madinah dalam usia 24 tahun. Di bawah
kepemimpinan Umar, masyarakat Madinah hidup lebih sejahtera dan lebih
tentram dibandingkan era sebelumnya.

7

Selanjutnya, pada usia 36 tahun, Umar dinobatkan sebagai khalifah di
hadapan kaum muslimin yang sedang berkumpul di masjid. Menjadi seorang
khalifah tidak membuat Umar berbangga diri. Ia justru menangis khawatir ia tidak
dapat menjadi pemimpin yang baik. Bagi Umar sendiri, amanah merupakan
tanggung jawab yang akan ditanya oleh Allah di akhirat kelak.
Selama

menjadi

khalifah,

Umar

berupaya

keras

untuk

untuk

menyejahterakan rakyatnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Umar yaitu
dengan mengotimalkan pengelolaan dana zakat yang diterima dari muzakki (orang
yang wajib zakat) untuk disalurkan kepada mustahik (orang yang menerima
zakat). Prinsip zakat haruslah memiliki dampak pemberdayaan kepada masyarakat
yang berdaya beli rendah sehingga mendorong meningkatnya suplai.
Pada masanya, Umar berhasil menjalankan aktifitas Islamic Philanthropy
dengan sangat baik. Bahkan, jumlah muzakki terus meningkat sementara jumlah
mustahik terus berkurang. Ibnu Abdil Hakam (dalam Lukman Hakim Zuhdi:

2010) menceritakan seorang petugas zakat bernama Yahya bin Said pernah diutus
Umar untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungut, Yahya bermaksud
memberikan kepada orang-orang miskin dan mustahik lainnya. Namun, setelah
berkeliling ke seantero negeri, Yahya tidak menjumpai satu mustahik pun karena
Umar telah menjadikan semua rakyatnya hidup berkecukupan.
Bukti lain yang menguatkan bahwa Islamic Philanthropy dapat membantu
mewujudkan masyarakat madani datang dari Bangladesh. Adalah Muhammad
Yunus yang lahir di Chittagong, East Bengkal, kini Bangladesh pada tanggal 28
Juni 1950. Muhammad Yunus mulai menekuni bidang social entrepreneur sejak
tahun 1974 dengan mengembangkan konsep kredit mikro. Program tersebut
berupa pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak
mampu meminjam uang dari bank umum. Ia menamakan program tersebut
dengan sebutan Grameen Bank.
Misi

Muhammad

Yunus

melalui

Grameen

Bank

adalah

untuk

mengentaskan permasalahan kemiskinan di negaranya. Hasilnya, pada tahun
2006, ia menerima penghargaan nobel perdamaian berkat usahanya dalam
memenangkan perperangan melawan kemiskinan. Program Grameen Bank
berhasil membantu sekitar 47 ribu lebih pengemis di Bangladesh. Mereka tidak

8

lagi berprofesi menjadi peminta-minta, namun telah berhasil menjadi pengusaha
yang mandiri.
Di Indonesia sendiri, perkembangan Islamic Philanthropy menurut Dr.
Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul “Faith and the State: A History of
Islamic Philanthropy” dalam Azyumardi Azra (Republika Online, 16 Mei 2013),
sudah ada sejak awal Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa
kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan,
termasuk masa kontemporer.
Islamic Philanthropy di Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infak,

sedekah, wakaf) memiliki potensi yang sangat besar. Berbagai kalangan
memperkirakan potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap
tahun. Namun, serapan dana ziswaf yang dikumpulkan oleh Organisasi Pengelola
Zakat (OPZ) baru berkisar pada angka 2,7 triliun. Artinya potensi ziswaf di
Indonesia masih sangat besar. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi OPZ
untuk terus berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai
kesadaran menunaikan ziswaf dan juga menyalurkan dana ziswaf untuk programprogram yang mendorong kemandirian masyarakat.
Kehadiran Islamic Philanthropy diharapkan menawarkan solusi-solusi dari
berbagai permasalahan yang melanda negeri ini. Sebab, pemerintah akan kesulitan
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Apalagi Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk 252.370.792 jiwa yang tersebar dari
Sabang hingga Mereuke, dari Natuna hingga Rote. Namun bukan berarti peran
dari Islamic Philanthropy menjadi saingan pemerintah dalam mengentaskan
persoalan bangsa. Melainkan sebagai mitra pemerintah dalam melayani seluruh
masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Beberapa lembaga Islamic Philanthropy yang ada di Indonesia, di
antaranya yaitu Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, LazizNU, LazisMU, Dewan
Da’wah Infaq Club, BSMI, dan PKPU. Lembaga-lembaga tersebut bergerak
dalam aktifitas kemanusiaan dengan cakupan sektor yang lebih luas, baik sektor
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan kebencanaan.

9

Akan tetapi, keberadaan lembaga-lembaga Islamic Philanthropy tersebut
rasanya belum memberikan perubahan yang signifikan untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang madani. Hal ini lantaran setiap lembaga terlalu luas
cakupan programnya sehingga tidak fokus untuk menyelesaikan permasalahan
tertentu. Selain itu, lembaga-lembaga tersebut kurang bersinergis untuk mencari
solusi bersama dalam upaya membantu pemerintah.
Barangkali pemerintah dapat menggandeng lembaga-lembaga Islamic
Philanthropy untuk membahas blue print mengenai pencapaian jangka pendek,

jangka menengah, dan jangka panjang yang dapat dikolaborasikan secara
bersama. Hal ini penting mengingat social movement tidak dapat dilakukan secara
sendiri-sendiri melainkan butuh kolaborasi dari berbagai pihak.
Selain kolaborasi dan sinergis untuk perubahan, lembaga-lembaga Islamic
Philanthropy juga harus memiliki indikator yang terukur dalam menjalankan

program-program kemanusiaan. Salah satu indikatornya adalah mengenai Quality
of Live (QoL) para penerima manfaat program.

QoL didefinisikan sebagai tingkat kepuasan masyarakat terhadap
kesejahteraan hidupnya sehingga tercipta suatu kebahagiaan hidup yang dibagi
menjadi tiga aspek, yaitu fisik, psikologis, dan sosial. Selama ini pengukuran
program kemanusiaan hanya dilihat dari segi kuantitas. Dengan QoL diharapkan
organisasi-organisasi Islamic Philanthropy dapat mengukur kualitas program,
sejauh mana program dapat meningkat kualitas hidup masyarakat yang
berdampak pada outcome dan impact.
Dalam meningkatkan Quality of Life

(QoL), saat ini lebih banyak

indikator positif, seperti: kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya. Namun,
semua QoL berujung pada apa yang benarbenar dibutuhkan oleh masyarakat.
Setiap anggota masyarakat punya kemampuan berdasarkan potensi dan sumber
daya yang ada. Bisa juga dilihat dari kemampuan outreach, influence,
networking semakin penting untuk keperluan community capacity building.

10

Kreatifitas

Percaya diri, saling
merhargai

Pertemanan, keluarga

Kemanan, pekerjaan, moralitas, keluarga, kesehatan
dan rumah

Fisik: Makanan, air, tidur, dsb

Gambar 1.
Teori Hirarki Kebutuhan Manusia, Maslow.
(Teori Maslow ini dimodifikasi menjadi QoL Individu)
Kehadiran Islamic Philanthropy menjadi harapan bagi Indonesia dalam
mewujudkan masyarakat madani. Jika menelisik referensi, masyarakat madani
adalah suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan
memaknai kehidupannya. Masyarakat madani menurut Anwar Ibrahim merupakan
sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Istilah masyarakat madani terinspirasi dari masyarakat Madinah yang
dikenal memiliki tabiat yang baik; taat dan sadar hukum, kebersamaa,
kemakmuran ekonomi, demokratis, cerdas, dan kritis. Semua itu tidak lepas dari
keberhasilan nabi Muhammad saw yang memimpin masyarakat Madinah dari
zaman kegelapan menuju zaman yang penuh ilmu pengetahuan.
Terakhir, mengutip kata bijak dari Eleanor Roosevelt, “I am who I am
today because of the choices I made yesterday.” Salam perubahan!

---

11

Daftar Pustaka
Adzim Abdul. 2013. Madinah: Profil Masyarakat Madani. [Online]. Available at:
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/09/madiniah-profil-masyarakat-madani-549813.html.
(diakses pada tanggal 20 April 2015).
Center, Pew Reseacrh. 2012. The Global Religious Landscape [Online]. Available at:
http://www.pewforum.org/2012/12/18/global-religious-landscape-exec/ (diakses pada tanggal 24
Februari 2015).
Harahap, Rachmad Faisal. 2015. Prioritas Kemendikbud Tekan Jumlah Anak Putus
Sekolah. [Online]. Available at: http://news.okezone.com/read/2015/01/27/65/1098074/prioritaskemendikbud-tekan-jumlah-anak-putus-sekolah (diakses pada tanggal 20 April 2015).
Syarifah Fitri. 2014. 6 Masalah Kesehatan yang Jadi ‘PR’ pada 2014. [Online]. Available
at: http://health.liputan6.com/read/785102/6-masalah-kesehatan-yang-jadi-pr-pada-2014 (diakses
pada tanggal 20 April 2015).
Yudha, Satria Kartika. 2015. Pemerintah Targetkan Tingkat Pengangguran 5,6 Persen.
[Online]. Available at: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/02/03/nj74ulpemerintah-targetkan-tingkat-pengangguran-56-persen (diakses pada tanggal 20 April 2015).
Ariyanti, Fikri. 2015. BBM Naik Dua Kali, RI Sulit Deflasi di Maret Ini. [Online].
Available at: http://bisnis.liputan6.com/read/2202729/bbm-naik-dua-kali-ri-sulit-deflasi-di-maretini (diakses pada tanggal 20 April 2015).
Dee. 2014. 2015 Ekonomi RI Bakal Hadapi Tantangan Berat. Available at:
http://www.jpnn.com/read/2014/12/05/273767/2015-Ekonomi-RI-Bakal-Hadapi-Tantangan-Berat
(diakses pada tanggal 20 April 2015).
Syairuddin, Ricki Valdy. 2012. Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin. Available at:
http://tazkiyah-tazkiyah.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar_24.html
(diakses pada tanggal 20 April 2015).
______. Pengertian Nilai Sosial Menurut Para Ahli. Available at:
http://ssbelajar.blogspot.com/2013/04/pengertian-nilai-sosial.html (diakses pada tanggal 20 April
2015).
Zuhdi, Lukman Hakim. 2010. Umar bin Abdul Aziz, Potret Pemimpin Penyayang Kaum
Dhuafa. Available at: https://komunitasamam.wordpress.com/2010/11/30/umar-bin-abdul-azizpotret-pemimpin-penyayang-kaum-dhuafa/ (diakses pada tanggal 20 April 2015).
Ariefyanto, M. Irwan. 2013. Negara dan Filantropi Islam. Available at:
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/05/15/mmuiqm-negara-dan-filantropi-islam
(diakses pada tanggal 20 April 2015).
Muzakki, Khoirul. 2014. Potensi Filantropi Terhambat Regulasi. Available at:
http://www.koran-sindo.com/read/932949/149/potensi-filantropi-terhambat-regulasi-1417674803
(diakses pada tanggal 20 April 2015).
PKPU. 2013. Draft Quality of Life. Jakarta: Lembaga Kemanusiaan Nasional.

12