Pariwisata Spiritual di Bali dari Perspe (1)

Pariwisata Spiritual di Bali
dari Perspektif Stakeholders Pariwisata
I Ketut Sutama
Dosen Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali
tomsutama@gmail.com
Abstract
Spiritual tourism is different from religious tourism. Spiritual tourism is a tourism
activity where tourists seek for spiritual experiences with no religion concern;
while religious tourism is an ativity in relation with religion. Tourism stakeholders
do not have clear undestanding yet of the difference between spiritual and
religious tourism. This preliminary study is aimed to explore perspectives of
tourism stakeholders in Bali for their understanding of spiritual tourism. A
number of 23 samples stakeholders were taken from news of online media to find
out their perspectives on spiritual tourism. They were divided into four categories,
namely elements of goverment 4 samples, scholars 3 samples, tourism bussines
practitioners 7 samples, and spiritual practitioners 8 samples. There were 3 main
variables utilised to measure relationship between spiritual and religious tourism,
such as Balinese culture, nature, and Hindu religion, including temples, ritual, and
costumes. It was found that all stakeholders put weight on Balinese culture and
nature. It means they all agreed that it was potential to develop spiritual tourism in
Bali since it was supported by Balinese culture and nature. Tri Hita Karana, a

Balinese local genius, had strong attention among stakeholders. On the other
hand, their perspectives on relationship between spiritual tourism and Hindu
religion varied among themselves. All elements of stakeholders put temples as
part of activities of spiritual tourism. While inclusion of other aspects of Hindu
religion, such as ritual and costume were still seen from perspective of the
tourism bussines practitioners. Seen from the fact, the government must have
initiative to set a meeting among all parties concerned to make one understanding
of spiritual tourism, to put as regulation by the government.
Keywords: spiritual tourism, religious tourism, tourism stakeholders.
LATAR BELAKANG
Laporan United Nation World
Tourism Organization (UNWTO)
2012 memuat data yang sangat
spektakuler menyangkut perjalanan
wisata yang dilakukan wisatawan
interasional. Diprediksi lebih dari
satu milliar wisatawan internasional
melakukan
perjalanan
wisata

sepanjang tahun 2012. Dinyatakan
juga ada sekitar 5 - 6 juta wisatawan
melakukan perjalanan wisata di
dalam
negerinya.
Internasional

tourist arrivals terbanyak masih
diperolah Eropa, sebesar 534 juta
(52%); selanjutnya disusul Asia –
Pasifik sebesar 234 juta (22%);
Amerika 163 juta (16%); Afrika 53
juta (5%); dan Timur Tengah 52 juta
(5%). Data tersebut menunjukkan
perbedaan yang sangat ekstrim kalau
dibandingkan dengan jumlah sekitar
25 juta wisatawan internasional pada
tahun 1960-an. Disamping, ketika itu
destinasi yang dikunjungi tidak


Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.1

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

sebanyak dewasa ini (UNWTO,
2013).
Apa artinya data tersebut bagi
penduduk dunia? Siapa yang mampu
membendung pertumbuhan tersebut?
Ini tiada lain sebuah sinyal yang
menyatakan bahwa manusia akan
terus bergerak dari satu destinasi ke
destinasi lain. Mereka akan berusaha
dan bekerja keras untuk bisa
melakukan pergerakan tersebut.
Diprediksi akan semakin banyak
orang melakukan perjalanan wisata
ke banyak negara atau destinasi, dan
menjadikan pariwisata sebagai „the
world largest industry‟ (Moli, 2003).

Kemajuan perkembangan teknologi
informasi, seperti internet dan
turunannya yang lain semacam
facebook, twitter, email, blog, online
ads, dan yang lainnya memiliki andil
besar sebagai pemicu (trigger ),
sebagai pull factor , orang melakukan
perjalanan wisata ke suatu destinasi.
Ajakan dan „ejekan‟ saudara, kerabat
maupun teman melalui media sosial
online tersebut membawa efek yang
besar terhadap keputusan melakukan
perjalanan wisata. Perkembangan
teknologi informasi tidak ada yang
mampu membendung, demikian juga
halnya pariwisata.
Pesatnya perkembangan orang
melakukan
perjalanan
wisata

berbanding
lurus
dengan
pertumbuhan prasarana dan sarana
yang dibutuhkan wisatawan, yang
paling kelihatan misalnya akomodasi
dan transportasi. Contoh kasus yang
paling nyata di Bali adalah
pembangunan jalan tol di atas laut
yang menghubungkan Benoa-TubanNusa Dua, Pengembangan Airport
Ngurah Rai dan pembangunan hotel
masih
banyak
ditemukan.
Pembangunan dan pembenahan
prasarana dan sarana tersebut secara
ideal
dimaksudkan
untuk


memberikan
kemudahan
dan
kenyamanan bagi wisatawan, juga
masyarakat tuan rumah atau host
community.
Idealnya
memang
demikian, akan tetapi ada banyak
faktor lain yang patut menjadi
pertimbangan agar dapat tercapai
tujuan yang hendak dituju tersebut
dengan baik. Melalui kasus yang
dikemukan tersebut, dampak negatif
yang paling dirasakan saat ini adalah
kemacetan lalu lintas. Upaya
pemecahan atau pengalihan arus lalu
lintas sudah dilakukan, namun masih
menimbulkan kemacetan di jalur
lain. Ketidaknyamanan ini dirasakan

oleh semua pengguna jalan, baik
masyarakat lokal maupun wisatawan.
Hal ini sebagai bukti belum adanya
perencanaan pembangunan yang
holistik, yang mempertimbangkan
semua aspek, baik yang terkait
langsung maupun yang tidak
langsung. Apa yang akan terjadi
dengan kepariwisataan Indonesia
kalau Bali sudah tidak nyaman lagi
untuk dikunjungi, penduduknya
sudah tidak ramah lagi yang dapat
terlihat dari kelakuan mereka berlalu
lintas di jalan, saling serobot haluan
karena kesal dengan kemacetan
dimana-mana?
Bali memang identik dengan
pariwisata. Bali merupakan „icon‟
pariwisata Indonesia. Artinya, ketika
berbicara kepariwisataan Indonesia,

Bali selalu ditempatkan pada posisi
paling atas, baik sebagai destinasi
wisata unggulan maupun sebagai
rujukan
model
pengembangan
pariwisata. Pada tatanan yang lebih
luas, misalnya pada tingkat Asia atau
malah Asia Pasifik, Bali selalu
masuk dalam sepuluh besar destinasi
terpopuler. Dunia internasional juga
mengakui Bali sebagai salah satu
destinasi wisata utama dunia. Sejak
diperkenalkan oleh para sarjana asing

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.2

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

pada era penjajahan Belanda, pada

era 1920-an sampai dengan 1930-an
Bali semakin intens diperbincangkan
di Eropa dan Amerika Serikat.
Diawali dengan diterbitkannya hasil
jepretan kamera seorang dokter muda
asal Jerman, Gregor Krause, yang
bertugas di Bali, tepatnya di Bangli
pada 1912, pada masa penjajahan
Belanda.
Semenjak
itu
Bali
dikunjungi
oleh
wisatawan
mancenegara, terutama wisatawan
Eropa
dan
Amerika
Serikat.

Kedatangan para wisatawan tersebut
dan pemberitaan atau publikasi
mereka di luar negeri membuat Bali
semakin dibicarakan di kancah dunia
(Budarma, 2012). Hanya saja banyak
di antara mereka masih bingung,
dimana sesungguhnya Bali berada,
maksudnya dibelahan dunia mana
(Resmayasari, 2012). Tidak saja
terbatas pada berwisata, di antara
mereka banyak yang datang ke Bali
berulang-ulang kali, dan tidak sedikit
di antara mereka tinggal menetap
menjadi warga Bali. Para wisatawan
yang terkagum-kagum dengan Bali
secara utuh, oleh keindahan alamnya,
keunikan budayanya, karakteristik
masyarakatnya, dan gaya hidupnya,
memberikan julukan bermacammacam terhadap Bali, seperti „Island
of God‟, „Island of Thousand

Temple‟, „Island of Paradise‟,
„Morning of the World‟, juga dengan
ekspresi atau pernyataan „come to
Bali before die‟ Konsekuensi dari
semua itu tentu ada, karena
bagaimana pun juga wisatawan yang
datang ke Bali pasti membawa serta
budaya
mereka
masing-masing
(Santi, 2010). Oleh karena demikian
akulturasi budaya tidak dapat
dihindari, dan tatanan yang sudah
ada pada budaya Bali akan
mengalami pergeseran, sebagaimana

dikawatirkan oleh Covarrubias dan
Ramseyer (Parma, 2013).
Setidaknya ada tiga hal yang
dapat dijadikan indikator sebuah
tempat atau daerah menjadi tujuan
wisata, yaitu alam, budaya dan
karakteristik
masyarakat
yang
tercermin lewat gaya hidup (life
style) mereka. Karena menjadi
indikator tujuan wisata, ketiga hal
tersebut harus bersifat atraktif atau
attractive to people . Alam yang
indah menakjubkan dapat menjadi
magnet daya tarik sebuah tempat
untuk
dikunjungi.
Aspek-aspek
budaya yang unik dapat menjadi
pemicu orang tertarik mengunjungi
suatu tempat, malah bisa menetap di
tempat tersebut untuk selanjutnya
mempelajari aspek budaya tertentu
dari tempat atau daerah tersebut.
Berpartisipasi
langsung dalam
sebuah tradisi masyarakat (host
community) adalah bagian penting
dan menarik dari sebuah perjalanan
wisata. Wisatawan sebenarnya tidak
hanya tertarik mencicipi kuliner
lokal,
misalnya,
akan
tetapi
mengalami langsung atau ikut
terlibat dalam proses memasaknya
jauh lebih menarik bagi mereka
(Pribadi dan Adriani, 2011). Gaya
hidup (life style) masyarakat juga
berpengaruh
besar
terhadap
ketertarikan
orang
luar
atau
wisatawan untuk mengetahui lebih
dekat dan berpartisipasi di dalamnya.
Kepopuleran Bali sebagai salah
satu destinasi wisata dunia membuat
banyak orang „mabuk‟. Mereka
meliputi para investor, kalangan
birokrat, pelaku usaha, para pekerja,
para pelaku organisasi profesi, tidak
ketinggalan
juga
masyarakat,
terutama mereka yang memahami
pariwisata.
Pada
kenyataannya,
kelompok
tersebut
cenderung
mengedepankan
kepentingan

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.3

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

masing-masing
ketika
melihat
income (pemasukan) yang dihasilkan
pariwisata. Sektor pariwisata yang
membagi cukup besar spending
(pengeluaran) wisatawan, seperti
misalnya akomodasi, restoran dan
pusat perbelanjaan pembangunannya
seolah-olah tanpa batas. Akibat
buruk dari pembangunan yang tidak
terkontrol tersebut adalah perang
tarif atau harga, perang komisi dan
saling
serobot
pelanggan
(wisatawan). Kajian daya dukung
Bali,
khususnya
menyangkut
kepariwisataan,
tidak
pernah
dilakukan oleh pemerintah walaupun
sudah sejak lama menjadi wacana
publik. Titik kulminasi atau titik
jenuh kepariwisataan Bali pasti akan
terjadi suatu waktu mengikuti alur
alami product life cycle . Banya orang
peduli akan hal ini, terutama mereka
yang berasal dari kalangan akademis,
pemerhati, pelaku „lokal‟, pejabat
dan termasuk wisatawan „intelek‟
atau yang tergolong „quality
tourists‟. Hal ini tercermin melalui
diskusi dan perdebatan dalam
seminar atau pertemuan-pertemuan
ilmiah (Seminar “Wisata Spiritual”,
28 Juli 2012). Akan tetapi realisasi
atau concrit action tidak pernah
terwujud sampai detik ini.
Kejenuhan pariwisata dapat
terjadi apabila para pemangku
kepentingan (stakeholders) tidak
kreatif. Hal ini sudah diantisipasi
oleh para pelaku pariwisata di Bali,
mengingat
para
pemangku
kepentingan, terutama para pelaku
bisnis
pariwisata,
memiliki
pengalaman cukup mumpuni untuk
mengatasi
masalah
kejenuhan
tersebut. Berbagai produk pariwisata
dikemas untuk memberikan pilihan
beragam bagi wisatawan, sebagai
substitusi „paket wisata tradisional‟
“Kintamani
Full-Day
Tour”,

“Besakih Full-Day Tour”, yang
diawali nonton barong dan shopping
di Sukawati, “Uluwatu Half-Day
Tour” yang dilanjutkan dengan
nonton Ramayana Ballet, dan lain
sebagainya. Beberapa paket wisata
pilihan yang sering ditawarkan
adalah
paket wisata menjelajah
alam, seperti trekking di alam
pedesaan sambil belajar memasak
dan menikmati kuliner lokal,
mendaki gunung (biasanya Gunung
Agung dan Gunung Batur), memetik
buah kopi di perkebunan kopi sambil
mengolah dan menikmatinya.
Paket wisata alternatif lain
yang sedang populer di kalangan
pelaku pariwisata di Bali adalah
“Wisata Spiritual”. Potensi Bali
untuk
dikembangkan
menjadi
destinasi wisata spiritual sangat
besar. Baru sekitar 5 persen dari
jumlah total turis asing di Bali yang
berwisata dengan tujuan memperoleh
pengalaman
spiritual
(Pitana;
Sudibya, 2012)
Kepariwisataan
Bali
berkembang sampai sekarang karena
budayanya yang unik dan hidup.
Artinya, wisatawan hampir setiap
hari bisa melihat kegiatan ritual
Hindu, misalnya kalau tidak Dewa
Yadnya , mereka bisa menyaksikan
Manusa Yadnya atau yadnya-yadnya
lainnya. Terlebih lagi, di sela-sela
perjalanan atau tour yang dilakukan
mereka
secara
kebetulan
menyaksikan upacara ngaben atau
odalah misalnya. Peristiwa ini
sungguh berkesan bagi mereka
karena kejadiannya asli atau natural,
tidak dibuat atau dipaket untuk
konsumsi
wisatawan
oleh
penyelenggara tour . Pada bagian
lain, Bali memiliki local genius
pilosofi hidup keselarasan yang
sangat membumi yang dikenal
dengan Tri Hita Karana, yaitu

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.4

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

keselarasan
(harmony)
antara
manusia
dengan
Tuhan
(Parhyangan), keselarasan antara
manusia dengan manusia lain
(Pawongan), dan keselarasan antara
manusia dengan alam lingkungannya
(Palemahan). Pilosofi ini sangat
tepat
digunakan
landasan
pengembangan wisata spiritual,
mengingat
wisatawan
yang
mengikuti
wisata
spiritual
mempunyai tujuan utama mencari
kedamaian dan keharmonisan, tidak
merusak alam dan budaya setempat
(Pitana, 2012).
Batasan Pembahasan
Pembahasan
menyangkut
wisata spiritual masih sangat terbuka
lebar di masyarakat. Hal tersebut
dimungkinkan
mengingat
para
pemangku kepentingan di bidang
pariwisata,
seperti
pemerintah,
pelaku industri pariwisata, praktisi
spiritual, dan para akademisi masih
sedang mencari bentuk atau format
menyangkut apa dan bagaimana
wisata spiritual tersebut. Guna lebih
memudahkan
pemahaman
menyangkut
wisata
spiritual,
pembahasan dalam artikel ini akan
dibatasi pada tiga hal, sebagai
berikut:
a. Sejarah Munculnya Wisata
Spiritual (Spiritual Tourism)
b. Wisata Spiritual (Spiritual
Tourism) dan Wisata Relegi
(Religious Tourism)
c. Pandangan
Stakeholders
terhadap Wisata Spiritual
(Spiritual Tourism) di Bali
PEMBAHASAN
Sejarah Munculnya Wisata
Spiritual (Spiritual Tourism)
Munculnya istilah pariwisata
spiritual atau wisata spiritual tidak
bisa terlepas dengan adanya Gerakan

Zaman Baru atau The New Age
Movement. Padahal antara pariwisata
dan spiritual merupakan dua hal yang
berseberangan, yang oleh Rogers
(2002) disebut sebagai “secular and
spirituality”. The New Age adalah
potret zaman yang memadukan
rasionalisme Barat dengan mistikspiritual Timur. Ciri utama dari
zaman ini adalah penolakan terhadap
agama formal, karena dipandang
cenderung mengekang kebebasan
individu. Kesejukan spiritual bisa
diselami dan dinikmati dengan
menembus batas agama. Esensi
semua agama diyakini sama, dan
seluruh realitas dilihat sebagai
pancaran Tuhan. Aktivitas yang
dilakukan The New Agers adalah
wisata spiritual lintas agama (Sukidi,
2001).
Secara literal, The New Age
Movement adalah gerakan zaman
baru, yang oleh Rederic dan Mery
Ann Brussat disebut sebagai "zaman
kemelekan spiritual". Ada semacam
arus besar kebangkitan spiritual yang
melanda generasi baru dewasa ini,
terutama di Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, Italia, Selandia Baru, dan
Australia. Ekspresinya beragam,
mulai dari cult, sect, new thought,
new religious movement, human
potentials movement, the holistic
health movement, sampai New Age
Movement.
Namun,
benang
merahnya hampir sama, memenuhi
hasrat spiritual yang mendamaikan
hati. Hasrat spiritual inilah yang
menjadi ciri khas The New Agers
yang secara praktis adalah a freeflowing
spiritual
movement ,
terartikulasi ke berbagai manuskrip
metafisika-spiritualitas. Prinsip dasar
yang dianut gerakan ini adalah
bahwa pada dasarnya di balik alam
semesta ini ada kekuatan semesta
(power, energy, force ) yang menjadi

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.5

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

sumber terjadinya segala sesuatu;
dan manusia adalah bagian dari
kekuatan semesta itu. Dengan kata
lain, orang menyebut kekuatan
semesta itu sebagai kekuatan besar
(makro kosmos), dan manusia adalah
kekuatan kecil (mikro kosmos).
Kalau dalam matematika dikenal
himpunan bagian, maka dalam kaitan
ini manusia merupakan himpunan
bagian
dari
makro
kosmos
(http://www.glorianet.org/manati/106
2-gerakan, diunduh pada 30 Agustus
2013).
Gerakan yang dimulai di
Inggris tahun 1960-an ini, antara lain
dipelopori Light Groups, Findhorm
Community, Wrekin Trust. Gerakan
ini sangat cepat merambah dunia
berskala internasional, terutama
setelah diselenggarakan seminar New
Age oleh Association for Research
and Enlightenment di Amerika
Utara, dan diterbitkannya East West
Journal pada tahun 1971 yang
dikenal sebagai jurnalnya The New
Agers (Sukidi, 2001).
Perkembangan
New
Age
menjadi terkenal dan fenomenal pada
1970-an sebagai protes keras atas
kegagalan proyek Kristen dan
sekulerisme
dalam
menyajikan
wawasan spiritual dan petunjuk etis
menatap masa depan. Pertama, di
lingkungan Gereja Kristen misalnya,
sulit dihapus ingatan masa lalu saat
gereja menerapkan doktrin no
salvation outside the church, yang
artinya tidak ada keselamatan di luar
gereja.
Doktrin
ini
yang
mengakibatkan sikap menutup diri
terhadap kebenaran agama lain,
tetapi juga berimplikasi serius
terhadap konflik atas nama agama
dan Tuhan. Oleh karena itu,
"keselamatan" itu tidaklah penting di
kalangan The New Agers. Mereka
lebih percaya prinsip pencerahan

(enlightenment), bahwa manusia
dapat tercerahkan, menjadi mahluk
suci (sacred self). Paham inilah yang
akhirnya menjadikan "pantheisme"
begitu fenomenal di kalangan The
New Agers. Kedua, protes The New
Agers atas hilangnya kesadaran etis
untuk menatap masa depan. Oleh
karena itu, salah satu manuskrip
terpenting yang menjadi wawasan
etis The New Agers dalam menatap
masa depan adalah The Art of
Happiness, Ethic for the New
Milllenium oleh Dalai Lama (2004).
Sebagai
alternatif
dari
protesnya terhadap kegagalan gereja
Kristen dan sekulerisme dalam
menyajikan wawasan spiritual dan
petunjuk etis menatap masa depan,
The New Agers menoleh pada
spiritualitas baru lintas agama. Oleh
karena itu, The New Agers sangat
menghayati betul arti pentingnya
monism, yaitu segala sesuatu yang
ada merupakan derivasi dari sumber
tunggal, divine energy; pantheisme,
yaitu all is God and God is all,
menekankan
kesucian
individu
(sacred self), dan karenanya proses
pencarian Tuhan tidaklah melalui
teks suci, tetapi justru melalui diri
sendiri, karena God within ourself;
dan reinkarnasi, yaitu setelah
kematian,
manusia
terlahirkan
kembali. Tradisi spiritual The New
Agers lintas agama ini tidak saja
dapat
mengobati
kegersangan
spiritual, tetapi juga memberi muara
ke
arah
Universal
Religion.
Disamping itu, The New Age
bertujuan membentuk "a spirituality
without borders ". Memegang teguh
konsep atau pandangan dunia yang
menyatakan “badan kasar, pikiran
dan roh” satu sama lain saling
berkaitan
(htpp://www.carm.org/new-age-

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.6

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

what, diunduh pada 20 Agustus
2013).
The New Agers dan para
penganut kepercayaan universal
lainnya memiliki potensi yang sangat
besar dalam pariwisata. Jutaan The
New
Agers
telah
melakukan
perjalanan setiap tahun, biasanya
mereka terlibat langsung beraktivitas
di destinasi wisata, mengajarkan
orang untuk lebih peduli pada diri
sendiri, kembali ke spiritual, peduli
pada
alam,
dan
mengurangi
ketergantungan pada dunia materi.
Pariwisata The New Age adalah
aktivitas dan tipe perjalanan yang
mengkombinasikan beberapa elemen
seperti budaya, relegi, berbasiskan
alam dan pariwisata kesehatan atau
health tourism (Gee dan Fayos-Sola,
1997). Wisatawan The New Agers
biasanya berpartisipasi dan terlibat
dalam kegiatan yang tidak umum
dilakukan wisatawan lainnya, seperti
meditasi, berdoa, dan mengikuti
berbagai jenis ritual.
Wisata
Spiritual
(Spiritual
Tourism) dan Wisata Relegi
(Religious Tourism)
Pada awalnya para sarjana
(scholars) memandang perjalanan
wisata (travel) di luar makna
spiritual, devoid of spiritual meaning .
Boorstin dan Lowenthal (dalam
Willson, 2011) menyatakan bahwa
perjalanan wisata (travel) tidak
memberi makna bagi dirinya. Para
wisatawan termasuk orang-orang
„kaya yang egois‟. Mereka berwisata
ke negara-negara yang secara
teknologi sudah maju dan tinggal di
hotel
mewah.
Mereka
tidak
menemukan makna hidup yang
sebenarnya.
Belakangan
ini
pandangan tersebut dibantah oleh
para
sarjana
(ahli)
lainnya,
disebutkan
beberapa,
seperti

Franklin,
Crang,
MacCannell,
Uriely, Dann, Cohen, McIntosh,
Smith, Timothy dan Conover
(dalam Willson, 2011). Para ahli
tersebut
menyatakan
bahwa
pariwisata atau perjalanan wisata
memberikan makna positif bagi
wisatawan. “Tourism is viewed as
not merely „physica l‟; it includes an
array of mental and spiritual
experiences”
Motivasi wisatawan menjadi
penting ketika membahas perbedaan
wisata spiritual dan wisata relegi.
Mansfeld (dalam Ambroz and
Ovsenic, 2011) menyatakan bahwa
motif kunjungan ke suatu tempat
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pertama, keinginan meninggalkan
tempat dimana wisatawan biasa
tinggal untuk menuju ke suatu
tempat yang asing baginya, yang
oleh Dann (dalam Ambroz and
Ovsenic, 2011) disebut dengan
istilah “wanderlust” (sebagai nafsu
berkelana, mencari sesuatu yang
belum pasti). Sedangkan motif kedua
adalah, keinginan berkunjung ke
suatu tempat yang memiliki fasilitas
atau hal-hal tertentu yang tidak
dimiliki oleh tempat atau daerah
dimana ia biasa tinggal, yang oleh
Dann disebut dengan istilah “sun
lust” (nafsu mencari matahari,
sesuatu yang pasti). Dilihat dari
sudut pandang wisatawan, kedua
motif
tersebut
sesungguhnya
memiliki kesamaan, yaitu wisatawan
sama-sama mencari atau menuju
sesuatu yang secara pisik berbeda
dari apa yang mereka lihat maupun
lakukan sehari-hari, yang oleh
Jackson (1989) disebut sebagai
“ritual inversion ” (ritual yang
bertolak belakang). Artinya, terkait
dengan motif pertama, wisatawan
pergi ke suatu tempat hanya sebagai
pelarian dari rutinitas, hanya untuk

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.7

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

melepaskan beban keseharian, di
suatu tempat yang wujud pisik dan
suasananya berbeda dari tempat
tinggalnya. Sedangkan pada motif
yang kedua jelas tersirat bahwa
wisatawan pergi ke suatu tempat
dengan tujuan pasti, misalnya
mereka yang memiliki motivasi
intrinsik, sebagai push factor atau
faktor pendorong dari dalam dirinya
mencari kedamaian (spiritual), maka
mereka akan mencari tempat-tempat
yang bisa memberikan kedamaian.
Tempat-tempat tersebut menjadi pull
factor , faktor penarik, pemenuhan
hasrat bepergiannya (Jackson, 1989).
Wisatawan dari negara-negara Barat
akan memenuhi hasrat spiritualnya,
mencari kedamaian ke negara-negara
Timur, seperti India, Cina, Tibet,
termasuk Indonesia atau Bali, pada
khususnya. Sedangkan mereka yang
melakukan perjalanan ke suatu
tempat karena terkait dengan ritual
agama yang dianut dan diyakini akan
dengan tekun mengikuti aturanaturan yang diamanatkan oleh ajaran
agamanya, seperti tirtayatra ke India
bagi pemeluk Hindu atau naik haji ke
Mekah bagi pemeluk Islam. Kedua
model perjalanan (travel) tersebut
memiliki perbedaan yang sangat
jelas, yang pertama sebagai wisata
spiritual (spiritual tourism) dan yang
berikutnya sebagai wisata relegi
(relegious tourism).
Di kalangan para akademisi
tingkat dunia dikotomi wisata
spiritual (spiritual tourism) dan
wisata relegi (relegious tourism)
masih
terbuka
lebar
untuk
diperdebatkan. “Religious tourism is
far from being a simple concept. A
simple quest for religion and travel
on a search engine would reveal that
there are several terms used in the
literature to define travel to religious
sites: pilgrimage, religious tourism

or faith tourism. In a few studies
these terms are used ver y loosely
and
often
interchangeably”
(Sharpley and Sundaram, 2005:163).
Egresi et al (2012) lebih cenderung
menyebut pilgrimage dan religious
tourism daripada spritual dan
religious tourism. Mereka juga
menyatakan
bahwa
pengertian
pilgrimage dan religious tourism
sering dikaburkan. Hal ini terjadi
karena tidak menutup kemungkinan
wisatawan memiliki motivasi ganda,
berziarah sekaligus berwisata atau
berwisata
sambil
berziarah.
Sementara pandangan yang lebih
jelas diberikan oleh Sharpley dan
Sundaram (2005), mengutip Heelas,
Hay dan Socha yang menyatakan
bahwa
kesadaran
spiritual
merupakan hal yang alami dan
bersifat universal pada diri
manusia, tidak terikat oleh agama
apa pun. Malah seseorang dapat
dikatakan
memahami
dan
memiliki pengalaman spiritual
walaupun ia tidak memeluk atau
meyakini sebuah agama tertentu.
Rogers (2002) menyatakan
spiritualitas merupakan jalan kembali
ke dasar pluralitas bentuk agama
yang menjadi dasar rasional bagi
keberagamaan tanpa batas pada jalan
seseorang di dunia. Spiritualitas
adalah hal alami dan universal dan
oleh karenanya tidak dapat hanya
dikaitkan dengan budaya agama
tertentu.
Berkemenn
2006
(dalam
Herntre dan Pechlaner, 2011)
menyatakan bahwa secara umum
pariwisata spiritual berarti segala
bentuk perjalanan wisata yang
menyangkut perjalanan pisik dan
spiritual. Interaksi antara tubuh
(body) dan pikiran (mind) juga
mendapat penekanan dari Bramer
(2009) yang menyatakan bahwa

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.8

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

spiritualitas adalah pencarian untuk
mempersatukan kepala (head), hati
(heart), dan badan (body) yang dapat
dicapai melalui pergerakan badan
pisik menyatu ke alam semesta
(physical movement in nature).
Freyer (1996) dan Sneinacke (2007)
menyatakan
motif
pariwisata
spiritual dan relegi adalah pariwisata
yang berorientasi pada kebudayaan.
Melcher
(2009),
memiliki
pemahaman yang sama dan melihat
kesenian, budaya dan relegi sebagai
motif utama dari pariwisata spiritual.
Bagaimanapun, ia juga menekankan
persepsi
individu
tentang
spiritualitas. Hal yang menentukan
adalah pengalaman seseorang selama
melakukan
perjalanan.
Dengan
demikian spiritual berarti spesifik,
subjektif, menyangkut idealisme
kehidupan batin individu. Langkah
awal dari pengalaman spiritual
berupa terbangunnya keakraban,
pengertian dan berhubungan dengan
aktivitas pada suatu tempat, yang
mana perasaan subjektivitas menjadi
sangat penting (Melcher 2009, dalam
Herntre dan Pechlaner, 2011).
Dari perdebatan di atas, penulis
cenderung mengikuti pandangan
bahwa wisata spiritual (spiritual
tourism) berbeda dengan wisata
religi (religious tourism). Wisata
spiritual adalah wisata mencari
pengalaman spiritual yang tidak
memandang
agama,
sedangkan
wisata religi terkait dengan perintah
agama. Seorang pemeluk Islam yang
pergi haji, ia bisa dikatakan
berwisata religi sekaligus spiritual.
Akan tetapi, kalau ia mengunjungi
Pura Besakih misalnya, bisa jadi ia
hanya berekreasi, atau mungkin juga
mencari
pengalaman
spiritual,
pengalaman batin yang tidak
langsung terkait dengan doktrin
agama yang dianutnya, melainkan

tentang hubungan antara Yang Maha
Pencipta dan ciptaan-Nya. Jadi,
wisata religi termasuk juga wisata
spiritual, namun wisata spiritual
belum
tentu
wisata
religi
(http://venuemagz.com/September2012).
Pitana (2012) menyatakan
bahwa sebenarnya wisata spiritual
telah hadir di bumi sejak berabadabad lalu. Wisatawan spiritual
(spiritual tourists) berwisata ke suatu
tempat untuk mencari kedamaian dan
keharmonisan (peace and harmony),
dan mereka kebanyakan orang yang
berpendidikan, peduli pada budaya,
peduli pada alam dan lingkungan,
dan tidak mengganggu siapa pun.
Lebih lanjut Pitana menyatakan
bahwa wisata spiritual di Bali
merupakan gabungan antara budaya
dan aspek keagamaan. Wisatawan
yang datang ke Bali untuk tujuan
spiritual berpengaruh positif bagi
Bali. Mereka ke Bali tidak mencari
“sun, sea, sand and sex”, melainkan
mencari kedamaian batin. (http://
www.eturbonews.com/30411/balirapidly-becoming-popular-spiritualtourism-destination)
Pandangan Stakeholders terhadap
Wisata
Spiritual
(Spiritual
Tourism) di Bali
Sejak
munculnya
wacana
serius pengembangan Pariwisata
Spiritual atau Wisata Spiritual di
Bali pada tahun 2012, tepatnya
setelah dilangsungkannya seminar
Spiritual Tourism yang digagas
Anand Ashram Foundation di Inna
Grand Bali Beach Hotel, Sanur, Bali,
pada 28 Juli 2012, banyak orang
memberikan pandangan atas gagasan
tersebut. Pada pembahsan ini akan
dikemukakan beberapa pandangan
atau persepektif yang diberikan oleh
para pemangku kepentingan atau

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.9

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

stakeholders
pariwisata
yang
meliputi
unsur
pemerintah,
akademisi, pelaku bisnis pariwsata,
dan praktisi spiritual di Bali yang
disampaikan pada pertemuan ilmiah
maupun melalui media massa online
menyangkut pengembangan Wisata
Spiritual di Bali.
Pada saat artikel ini ditulis
penulis sedang melakukan kajian
mengenai wisata spiritual di Bali,
dan hasil yang penulis sampaikan
disini
merupakan
hasil
studi
pendahuluan. Hasil sementara ini
menarik untuk disampaikan karena
paling tidak menyangkut dua alasan.
Alasan pertama, karena stakeholders
pariwisata di Bali belum memiliki
kesamaan
pandangan
dan
pemahaman
mengenai
wisata
spiritual tersebut. Hal ini tercermin
melalui pandangan mereka yang
disampaikan melalui media online
atau pertemuan-pertemuan ilmiah.
Alasan kedua, paket wisata spiritual
sudah dijual melalui website para
pelaku pariwisata dan banyak yang
sudah
dilaksanakan,
padahal
menyimpang dari kaidah-kaidah
spiritualitas. Dikatakan demikian,
mengingat paket yang ditawarkan
dan dijalankan sangat bernuansa
Hindu. Hal ini penting dikritisi agar
ke depan tidak menimbulkan konflik
antara umat Hindu dengan pelaku
pariwisata di Bali.
Sampel stakeholders yang
penulis gunakan dalam studi
pendahuluan ini berjumlah 23, yang
dikelompokkan mejadi empat unsur,
yaitu 5 sampel unsur pemerintah, 3
sampel unsur akademisi, 7 sampel
unsur pelaku bisnis parwisata, dan 8
sampel unsur praktisi spiritual.
Dalam sampel ini, yang dimaksud
unsur pemerintah adalah pejabat
pemerintah yang meliputi eksekutif
maupun legislatif, yang pada saat

dimintakan
pandangannya
oleh
media online berbicara atas nama
jabatannya. Yang dimaksud unsur
akademisi adalah dosen yang pada
saat dimintakan pandangannya oleh
media online berbicara atas nama
jabatan dosen dan/atau jabatan
eksekutif. Yang dimaksud unsur
pelaku bisnis pariwisata adalah
mereka yang langsung melakukan
bisnis pariwisata, dalam hal ini yang
terlibat langsung menjual dan
menjalankan paket wisata spiritual.
Sedangkan yang dimaksud praktisi
spiritual adalah mereka yang
memiliki center dan melatih kegiatan
spiritual, terutama yang terkait
langsung dengan pariwisata.
Dalam
mengukur
tingkat
pemahaman
stakeholders
yang
digunakan sebagai sampel dalam
studi pendahuluan ini menyangkut
wisata
spiritual,
penulis
menggunakan tiga variabel utama
dan tiga anak variable. Variabel
utama yang dimaksud meliputi:
Budaya Bali, Alam, dan Agama
Hindu, yang memiliki tiga anak
variabel yaitu Pura, Ritual, dan
Pakaian Adat. Penentuan dan
penggolongan
variabel-variabel
tersebut
dilakukan
berdasarkan
adanya keterkaitan dengan paket
wisata spiritual di Bali. Artinya, oleh
stakeholders
pariwisata,
wisata
spiritual di Bali selalu dikait-kaitkan
dengan budaya Bali, alam Bali, dan
agama Hindu. Agama Hindu identik
dengan pura sebagai tempat suci,
ritual sebagai sarana upacara, dan
pakaian adat sebagai penciri atau
identitas aktivitas, misalnya pakaian
putih-putih identik dengan pakaian
sembahyang ke pura.
Tabel
berikut
merupakan
rangkungan data yang penulis
peroleh selama studi pendahuluan
yang
menunjukkan
pandangan

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.10

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

stakeholders tentang wisata spiritual.
Melalui keterkaitan antara variabel
yang satu dengan yang lainnya dapat

dilihat pemahaman stakeholders
terhadap wisata spiritual.

Tabel 1 Rangkuman Pandangan Stakeholders terhadap Wisata Spiritual
No.
1.
2.
3.
4.

Stakeholders

Unsur Pemerintah (5)
Unsur Akademisi (3)
Unsur Pelaku Bisnis
Pariwisata (7)
Unsur Praktisi Spiritual
(8)

Budaya
Bali
5 (100%)
3 (100%)
7 (100%)

5 (100%)
3 100%)
7 (100%)

Pura
2 (40%)
1 (33%)
7 (100%)

8 (100%)

8 (100%)

4 (50%)

Melalui data pada Tabel 1 di atas
dapat dijelaskan bahwa semua unsur
stakeholders memberikan penekanan
yang kuat terhadap budaya Bali dan
alam Bali. Artinya, keempat unsur
stakeholders
semuanya
(100%)
sepakat bahwa pengembangan wisata
spiritual di Bali sangat potensial
karena didukung oleh budaya dan
alam Bali. Hanya saja tidak dirinci
secara detail aspek budaya yang
dimaksudkan. Tri Hita Karana yang
merupakan local genius Bali
mendapat perhatian oleh sebagian
unsur
stakeholders.
Sedangkan
pandangan
mereka
mengaitkan
wisata spiritual dengan agama Hindu
bervariasi. Hanya 2 sampel (40%)
dari 5 sampel Unsur Pemerintah
mengaitkan wisata spiritual dengan
aspek agama Hindu, khususnya pura.
Sedangkan hanya 1 sampel (33%)
dari 3 sampel Unsur Akademisi
mengaitkannya dengan aspek agama
Hindu, dalam hal ini pura. Dari 7
sampel
Unsur
Pelaku
Bisnis
Pariwisata
semuanya
(100%)
mengaitkan dengan aspek agama
Hindu, yaitu pura, 6 sampel (86%)
mengaitkan dengan ritual, dan
sebanyak
2
sampel
(28%)
mengaitkan dengan pakaian adat ke
pura. Dari 8 sampel Unsur Praktisi
Spiritual, ada 4 sampel (50%)
mengaitkan dengan aspek agama

Alam

Agama Hindu
Ritual
Pakaian
0
0
0
0
6 (86%)
2 (28%)
3 (37%)

0

Hindu, yaitu pura, dan 3 sampel
(37%) mengaitkannya dengan ritual.
PENUTUP
Simpulan
Sampai
saat
ini
masih
ditemukan adanya batasan yang
kabur antara wisata spiritual dan
wisata relegi. Banyak kalangan
akademis berargumentasi bahwa
keduanya bisa saling menggantikan
atau interchangeable . Pada sisi lain
banyak juga yang membantah
pemahaman tersebut, dikatakan
bahwa antara wisata spiritual dan
wisata
relegi
sangat
jelas
perbedaannya.
Wisata spiritual adalah jenis
wisata atau perjalanan wisata yang
dilakukan oleh seseorang dengan
tujuan untuk mencari ketenangan
kedamaian dan keharmonisan dengan
alam. Oleh karena demikian,
wisatawan dapat melakukan wisata
spiritual ke tempat mana pun
sepanjang tempat tersebut mampu
memberikan
harapannya,
yaitu
ketenangan,
kedamaian
dan
keharmonisan dengan alam atau
dengan Sang Maha Pencipta, dalam
arti luas. Tempat-tempat tersebut
bisa tempat suci agama tertentu,
sepanjang dimungkinkan, gunung,
pantai, monumen atau tempat lain
yang
dirasakan
mampu

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.11

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

memancarkan vibrasi spiritualitas.
Kegiatan wisata spiritual tidak terkait
sama sekali dengan agama atau
unsur-unsur yang berkaitan dengan
keagamaan, seperti misalnya ajaran
atau perintah kitab suci, tempat suci,
sarana dan prosesi ritual.
Wisata relegi, pada sisi lain,
adalah jenis wisata yang terkait
dengan tuntutan atau perintah agama.
Wisata relegi merukan kegiatan yang
wajib dilakukan sebagai perintah
agama, dan wajib pula mengikuti
aturan-aturan
yang
ditetapkan.
Walaupun begitu, kegiatan yang
dilakukan tidak bisa terlepas begitu
saja dengan wisata. Dikatakan
demikian, karena orang yang
menjalankan perintah agama ke suatu
tempat atau daerah tidak bisa nihil
dari
aktivitas
wisata,
seperti
menginap di hotel, menggunakan
jasa biro perjalanan, menikmati
keindahan atau keunikan tempat
tersebut (sightseeing) di sela-sela
kegiatan ibadah agama yang
dilakukan.
Para pemangku kepentingan
atau stakeholders pariwisata di Bali
sedang
gencar-gencarnya
mengembangkan dan menggarap
paket wisata spiritual. Akan tetapi, di
antara mereka masih belum memiliki
pandangan dan pemahaman yang
satu menyangkut wisata spiritual. Di
antara mereka, terutama para pelaku
bisnis pariwisata, melalui aktivitas
yang ditawarkan kepada wisatawan
yang membeli paket wisata spiritual,
masih mengaitkan wisata spiritual
dengan agama Hindu, malah ada
yang nuansa agama Hindunya sangat
kental. Artinya, wisatawan diajak
beraktivitas relegi dari menyiapkan
ritual (banten) sampai melukat
(mandi suci), nedunang (memanggil)
roh leluhur dan sembahyang ke Pura
Sad Kahyangan di Bali.

Rekomendasi
Dari
kenyataan
yang
dikemukan pada simpulan di atas,
pemahaman menyangkut wisata
spiritual perlu segera dirumuskan,
agar semua pihak yang terlibat atau
para pemangku kepentingan di
bidang
pengembangan
dan
penyelenggaraan wisata spiritual
memiliki pedoman yang baku.
Pemerintah,
selaku
pemegang
kebijakan hendaknya mengambil
inisiatif untuk mempertemukan para
pihak
yang
berkepentingan,
stakeholders, untuk merumuskan
konsep wisata spiritual untuk
selanjutnya dituangkan kedalam
peraturan perundang-undangan. Hal
ini penting dilakukan agar jangan
sampai
masing-masing
pihak,
terutama pelaku di lapangan yang
berhubungan langsung dengan klien
atau pasar memberikan interpretasi
sendiri-sendiri sekehendak hatinya
menyangkut
wisata
spiritual.
Apalagi, wisata spiritual, oleh
berbagai pihak dianggap paling tepat
digunakan
„jembatan‟
menuju
pariwisata berkualitas bagi Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Anand
Ashram
Foundation.
“Seminar Wisata Spiritual” di
Hotel Inna Grand Bali Beach,
Sanur, Bali, 28 Juli 2012.
Budarma, I K. (2012). “Akulturasi
antara Budaya Wisatawan dan
Masyarakat
Lokal
dalam
Kepariwisataan Bali”. Jurnal
Ilmiah Pariwisata Universitas
Udayana (online), Vol. 2 No.
1, hal. 109-222. Diunduh pada
26
Agustus
2013
dari
http://www.ojs.unud.ac.id.
Egresi, Istvan., Bayram, B. dan Kara,
F. (2012). “Tourism at
Religious Site: A Case from
Mardin, Turkey”. The Journal

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.12

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

of Geographica Timisiensis.
Vol. 21 No. 1, pp. 5-15.
Graf Alexandra, (2011). “Spirituality
and Health Tourism”, Trends
and Issues in Global Tourism.
Springer
Verlag
Berlin
Heidelberg.
Gee, C.Y. and Fayos-Sola, E. (1997).
International
Tourism:
A
Global Perspective, Madrid:
World Tourism Organization.
Herntrei Marcus dan Pechlaner.
(2011). “Spiritual Tourism –
The Church as Partner in
Tourism?” Trend and Issues in
Global Tourism: SpringerVerlag Berlin.
Holman, Christine. (2011). “Surfing
for A Shaman”. Annals of
Tourism Research, Vol. 38. 1,
pp. 90-109.
Jackson, Ian. (1989). An Introduction
to
Tourism.
Melbourne:
Hospitality Press.
Lama, D. (2004). Ethic for the New
Millennium. The Dalai Lama
Foundation.
Moli, G Poyya. (2003). “Promotion
Of Peace And Sustainability
By Community Based Heritage
Eco- Cultural Tourism In
India”. International Journal of
Humanities and Peace Vol. 19,
No.1, pp. 40-45. Diunduh pada
1 September 2013 dari
http://search.proquest.com//pdq
web.
Parma,
I
P.G.
(2013).
“Pengembangan
Pariwisata
Berkelanjutan
Berdasarkan
Perspektif Tata Ruang Di
Bali”.
Jurnal
Jurusan
Perhotelan Undiksa , Vol 10,
No 2, hal. 1-8. Diunduh pada
25
Agustus
2013
dari
http://www.garuda.dikti.go.id.
Pitana, I Gde. (2004). “Mispersepsi
Pemberdayaan
Masyarakat

dalam Kepariwisataan Bali”.
Bali Post, Maret 2004. Hal 7.
Pitana,
I
Gde.
(2006).
Kepariwisataan Bali dalam
Wacana Otonomi Daerah.
Jakarta:
Puslitbang
Kepariwisataan.
Pitana, I Gde. (2012). “Keynote
Speaker Seminar Spiritual
Tourism”, 28 Juli 2012, Bali
Hai Room – Inna Grand Bali
Beach Hotel, Sanur Bali.
Diunduh pada 26 Agustus 2013
dari
http://bali.antaranews.com/beri
ta/25650/spiritual-tourismmenuju-wisata-berkualitas.
Pribadi, Krishna Nur. dan Adriani,
Yani. (2011). “Creative Urban
Tourism:
Potensi
Pengembangannya di Kota
Bandung”.
Jurnal
Kepariwisataan Idonesia , Vol.
6, No. 2, hal. 163-180.
Resmayasari,
Ira.
“Persepsi
Wisatawan Perancis Terhadap
The Island Of Paradise ”.
Jurnal
Ilmiah
Pariwisata
Universitas Udayana (online),
Vol. 2 No. 1, hal. 109-222.
Diunduh pada 26 Agustus 2013
dari http://www.ojs.unud.ac.id.
Rogers, C.J. (2002). “Secular
Spiritual
Tourism”
(Unpublished
doctoral
dissertation).
Central
Queenland
University.
Diunduh pada 14 Juni 2013
dari
http://www.iipt.org/africa2007/
PDFs/CatherineJRogers.pdf.
Santi D, Desak Made. (2010).
“Komodifikasi Wisata Spiritual
di Puja Mandala Nusa Dua
Bali”. Jurnal Kepariwisataan
STP Nusa Dua Bali, Vol. 9 No.
1, hal 1 – 9.

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.13

Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, Ketut Sutama

Sharpley, R. dan Sundaram, Priya.
Journey?, the Case of Ashram,
India”. Internstional Journal of
Tourism Research, Vol. 7, pp.
161-171. Diunduh pada 1
September
2013
dari
http://search.proquest.com//pdq
web.
Sharpley, R. dan Jepson, Deborah.
(2010). “Rural Tourism a
Spiritual Experience”. Annals
of Tourism Reseach. Vol 38,
no. 1, pp. 52-71. Diunduh pada
1 September 2013 dari
http://search.proquest.com//pdq
web.
Smith, M. (2003) “Holistic holidays:
tourism and the reconcialiation
of body, mind, and spirit,”
Tourism Recreation Research
28 (1): 103-108.
Strutt, R. (1999) “Pack your bags
and learn,” New Age 16 (7):
17-20.

(2005). “Tourism: a Sacred
Sukidi, (2001). New Age Wisata
Spiritual Lintas Agama .
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
The New Age. Diunduh pada 26
Agustus 2013 dari
http://www.glorianet.org/1062gerakan.
Willson, G. Brian. (2011). “The
Search for Inner Peace:
Considering the Spiritual
Movement in Tourism”. The
Journal of Tourism and Peace
Research, 1(3), pp. 16-26.
Diunduh pada 1 September
2013 dari
http://search.proquest.com//pdq
web.
WTO. (2013). UNWTO Annual
Report 2012 (E-book).
Diunduh pada 29 Agustus 2013
dari http://www.unwto.org.

Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.14