Ekonomi rio survei pada anggota

Ekonomi

Berbagai Hambatan dalam Penerapan Kebijakan Moneter Inflation Targeting

I. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang
berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negri kita ini
diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan
tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta
terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan
memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya.
Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah
mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian
telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi sematamata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target inflasi (inflation targeting) ini
diharapkan dapat menciptakan fundamental ekonomi makro yang kuat. Makalah ini akan membahas
berbagai hal yang berkaitan dengan target inflasi, yang meliputi pengertian, evolusi teori, prasyarat,
karakteristik dan elemen target inflasi. Agar dapat mengetahui dengan jelas kondisi ekonomi nasional
Indonesia hingga tahun 2000 ini, maka dalam pembahasan juga dipaparkan tentang perkembangan
ekonomi makro Indonesia.


II. PEMBAHASAN
1.

Perkembangan Ekonomi Makro di Indonesia Sejak Tahun 1980-an.

Program pembangunan bidang ekonomi di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1970-an dan
menunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun 1980-an. Pada masa itu pemerintah memberikan
banyak kemudahan bagi para investor yang akan berinvestasi di bidang keuangan dan perbankan.
Hingga pertengahan tahun 1990-an perekonomian Indonesia terlihat semakin kuat dan mulai
terpandang di dunia internasional. Dalam artikel ini akan dibahas perkembangan ekonomi di Indonesia
saat mulai berkembang tahun 1980-an hingga terjadinya krisis moneter pada tahun 1997.

2.

Perkembangan Moneter Perbankan.

Krisis moneter di Indonesia telah memporak-porandakan sektor keuangan yang sebelumnya
tengah berkembang pesat sejak tahun 1980-an. Dalam upaya pemulihan sektor keuangan Indonesia,
telah dilakukan restrukturisasi sistem moneter sejak tahun 1998. Bentuk nyata restrukturisasi dilakukan
dengan cara menyehatkan bank dan memberikan independensi kepada Bank Sentral. Meski telah

menelan banyak biaya dan telah dilaksanakan lebih dari tiga tahun, namun proses penyehatan sistem
moneter belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
3.

Kebijakan Moneter

Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat
itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa.
Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar
relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan
ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh
pasar keuangan internasional.
4.

Kebijakan Fiskal.

Berdasarkan AD/ART pemerintah negara Indonesia, sebagaimana yang dipublikasikan oleh BI,
untuk semester pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit anggaran yang
disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga hutang. Meski
sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya peningkatan penerimaan masih

jauh lebih rendah dibanding peningkatan pengeluaran.
Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan deregulasi sektor riil menyebabkan
terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang.
5

Prospek Ekonomi Jangka Pendek.

Ditinjau dari aspek ekonomi makro, kinerja perekonomian bukan hanya dipengaruhi oleh faktorfaktor internal, namun juga dari faktor eksternal. Kondisi ekonomi sangat dipengaruhi oleh kondisi politik
dan keamanan dalam negeri. Untuk beberapa tahun ke depan, kegiatan ekonomi Indonesia
diperkirakan akan mengalami peningkatan, dengan asumsi kondisi politik dan keamanan stabil.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi bertumpu pada kenaikan ekspor yang dewasa ini mulai membaik
kembali.

6

Target Inflasi.

Pengertian.
Ada berbagai kebijakan yang biasa dipergunakan oleh pemerintah dalam menangani
permasalahan ekonomi, misalnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Target inflasi merupakan

salah satu bentuk kebijakan moneter yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya
pemulihan kondisi ekonomi nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan
target laju inflasi untuk periode jangka waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan target inflasi lebih
berorientasi ke depan (forward looking) dibanding kebijakan-kebijakan moneter sebelumnya (yang oleh
BI disebut juga kebijakan konvensional).
Tidak seperti halnya kebijakan moneter konvensional yang senantiasa mempergunakan target
antara besaran moneter, dalam target inflasi diperggunakan proyeksi inflasi. Kalaupun harus
mempergunakan target antara, biasanya akan digunakan tingkat bunga jangka pendek.
Evolusi Teori.
Inflasi sebagai sasaran utama dan indepensi bank sentral sebagai pengendali inflasi merupakan
landasan dari target inflasi. Konsep target inflasi ini merupakan produk dari evolusi teori moneter dan
akumulasi pengalaman empiris. Teori-teori moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan
konsep ini meliputi teori klasik hingga teori modern, antara lain:


Teori Klasik >< Teori Keynes.

Menurut teori Klasik, kebijakan moneter tidak berpengaruh terhadap sektor riil. Sedangkan
menurut teori Keynes, sektor moneter dan sektor riil saling terkait melalui suku bunga. Berdasarkan
perkembangan teori dan pengalaman empirik, disimpulkan bahwa dalam jangka panjang teori yang

sesuai untuk dipergunakan adalah teori Klasik, sedangkan dalam jangka pendek teori Keynes lebih
tepat. Kebijakan moneter hanya mempunyai dampak permanen pada tingkat harga umum (inflasi).
Dengan kata lain bahwa pembenahan sektor ekonomi dapat dilakukan dengan cara pengendalian
inflasi.


Teori klasik modern >< Teori Keynes.

Salah satu penganut teori klasik modern, Milton Friedman, mengemukakan bahwa kebijakan
rule lebih baik dibanding discretion. Pendapat tersebut bertolak belakang dengan teori Keynes.
Kemudian, untuk menentukan pilihan atas rule vs discretion, target inflasi menawarkan suatu
framework yang mengkombinasikan keduanya secara sistematis, yang disebut dengan constrained
discretion. Karena pada dasarnya, dalam praktik kebijakan moneter tidak ada yang murni rules ataupun
murni discretion.


Teori kuantitas >< Teori Keynes.

Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai sasaran antara, sedangkan dalam teori
kuantitas digunakan jumlah uang beredar. Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat bunga

maupun kuantitas uang, akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna menghindarkan
polemik ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir. Dengan demikian target
inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak harus tingkat bunga ataupun kuantitas
uang. Dengan mengambil inflasi sebagai sasaran akhir, otoritas moneter dapat lebih bebas dan lebih
fleksibel dalam menggunakan semua data dan informasi yang tersedia untuk mencapai sasaran,
karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.


Teori rational expectations.

Teori rational expectations menyebutkan bahwa faktor ekspektasi mempunyai peran
penting, karena mempengaruhi perilaku dan reaksi para pelaku ekonomi terhadap suatu kebijakan.
Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek, karena setelah
ekspektasi masyarakat berperan, output akan kembali seperti semula. Ekspektasi masyarakat inilah
yang menjadi kunci keberhasilan yang harus dapat dikendalikan. Dengan penerapan target inflasi
dalam kebijakan moneter, diharapkan dapat menjadi anchor bagi ekspektasi masyarakat.


Teori moneter modern.


Dalam perkembangan selanjutnya, teori moneter modern memasukkan aspek kredibilitas
yang bersumber dari masalah time inconsistency. Artinya bahwa inkonsistensi dalam kebijakan
moneter dapat terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka
panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini tidak terjadi, maka
pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau setidaknya menjadi sasaran utama.
Menetapkan inflasi sebagai sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan.

7

Prasyarat.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat mencapai
keberhasilan dalam pelaksanaannya. Prasyarat tersebut meliputi:
-

Indepensi Bank Sentral.
Sebenarnya tak ada Bank Sentral yang bisa bersifat benar-benar independen tanpa
campur tangan dari pemerintah. Namun demikian, ada instrumen kebijakan yang tidak
dipengaruhi oleh pemerintah, misalnya melalui kebijakan fiskal.


-

Fokus terhadap sasaran.

Pengendalian inflasi hanyalah salah satu di antara beberapa sasaran lain yang hendak
dicapai oleh Bank Sentral. Sasaran-sasaran lain kadang-kadang bertentangan dengan
sasaran pengendalian inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja, neraca pembayaran, dan kurs. Oleh karena itu, seharusnya bank Sentral tidak
menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi.
-

Capacity to forecast inflation.
Bank Sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi secara
akurat, sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.

-

Pengawasan instrumen
Bank Sentral harus memiliki kemampuan untuk mengawasi instrumen-instrumen
kebijakan moneter.


-

Pelaksanaan secara konsisten dan transparan.
Dengan pelaksanaan target inflasi secara konsisten dan transparan, maka
kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat.

-

Fleksibel sekaligus kredibel
Biasanya, kebijakan yang fleksibel akan cenderung kurang kredibel dan hal itu
merupakan dilema dalam penentuan kebijakan. Aturan Taylor (Taylor’s rule) dapat
dipergunakan sebagai pedoman untuk mengatasi dilema tersebut.

8

Karakteristik.

Dalam mengatur/menggunakan instrumen, kebijakan target inflasi ini lebih berwawasan ke depan. Hal
ini dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya, yaitu:


a. Dalam kebijakan ini target dan indikator inflasi ditentukan terlebih dahulu dan dipergunakan
sebagai pegangan dalam pelaksanaan kebijakan moneter.

b. Dalam kebijakan ini juga dibuat prediksi inflasi di masa yang akan datang. Prediksi dilakukan
dengan mempergunakan data besaran moneter, tingkat bunga, kurs, harga aset, harga barang
industri dan sebagainya.

c. Melakukan review terhadap kinerja kebijakan moneter. Hasil tinjauan tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja selanjutnya.

9

Elemen-elemen.

Berdasarkan teori dan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa elemen-elemen dalam target
inflasi terdiri atas:

a. Sasaran target inflasi.
Sasaran utama dalam kebijakan target inflasi adalah pengendalian inflasi. Kalau ada sasaransasaran lain di samping sasaran ini, maka sasaran yang lain harus tunduk pada sasaran utama.


b. Laporan pelaksanaan
Mestinya, publik perlu untuk mengetahui sasaran kebijakan ini. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka hasil yang telah dicapai oleh kebijakan ini harus dimonitor, dilaporkan dan diumumkan secara
periodik. Ini penting bagi publik agar dapat mengukur keberhasilan kebijakan ini, karena akan
berpengaruh terhadap ekspektasi masyarakat.

c. Independensi
Dengan adanya independensi dalam menentukan kebijakan, maka peluang tercapainya sasaran
akan lebih maksimal.

d. Komunikasi
Dalam pelaksanaan kebijakan ini perlu adanya komunikasi yang efektif terhadap publik tentang
cara-cara pencapaian sasaran inflasi dan mekanisme transmisi yang jelas.

e. Data dan informasi
Data dan informasi yang relevan, terbaru dan lengkap diperlukan untuk melakukan analisis
kebijakan yang prima.

10 Prospek.
Kebijakan target inflasi ini telah dilaksanakan di negara-negara Selandia Baru, Kanada, Inggris,
Finlandia, Swedia, Australia, Spanyol, Korea dan Filipina. Negara-negara tersebut mendapatkan

keberhasilan dalam menekan laju inflasi dengan penerapan kebijakan ini.

Seperti halnya Indonesia, negara-negara tersebut sebelumnya juga mempergunakan kebijakan
moneter dengan target antara. Karena adanya kesamaan permasalahan dan latar belakang, maka
diharapkan pelaksanaan target inflasi di negara kita juga akan dapat menuai keberhasilan.

11 Berbagai Hambatan Dalam Pelaksanaan Targat Inflasi.
Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak
hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya di
Indonesia. Ditambah dengan adanya faktor lain yang juga menjadi kendala dalam pemberlakuan
kebijakan ini. Secara singkat, hambatan-hambatan dapat dijelaskan sebagai berikut:

-

Hambatan dalam menciptakan independensi

-

Sulitnya menciptakan independensi bank sentral, karena hingga saat ini sistem
pemerintahan Indonesia tidak memungkinkan untuk memberikan kewenangan penuh
terhadap suatu lembaga/otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan instrumen
keuangan. Dengan kata lain bahwa pemerintah tidak dapat benar-benar tidak turun
campur tangan dalam urusan lembaga pengawas, meski lembaga tersebut disebut
lembaga independen. Para pejabat dalam lembaga tersebut digaji oleh pemerintah,
yang berarti loyalitas mereka terhadap pemerintah tak diragukan lagi. Hal ini jelas-jelas
menyebabkan fungsi pengawasan tak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

-

Hambatan dalam memprediksi inflasi.

-

Kemampuan untuk memprediksi inflasi merupakan kunci utama dalam pelaksanaan
kebijakan target inflasi. Kemungkinan besar, peramalan inflasi di Indonesia akan sulit
dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik dan keamanan yang boleh
dikatakan tidak menentu akhir-akhir ini. Padahal, stabilitas nasional sangat berperan
dalam menentukan kondisi ekonomi suatu negara. Untuk saat ini, para investor masih
beranggapan bahwa negara kita tidak cukup kondusif bagi investasi. Isu-isu seputar
politik dan keamanan daerah sudah rawan untuk memporak-porandakan perekonomian

nasional. Jika stabilitas belum tercapai, mustahil dapat memprediksi dengan cermat.

-

Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara konsisten dan transparan.

-

Pelaksanaan kebijakan target inflasi secara konsisten dan transparan juga akan sulit
terwujud. Tingkat korupsi di Indonesia yang sedemikian tinggi akan mempersulit
pemerintah dalam meraih kepercayaan dari masyarakat. Juga maraknya praktik kolusi
yang menyebabkan sikap masyarakat semakin apatis dan enggan berpartisipasi dalam
pelaksanaan pemulihan krisis ekonomi. Kebijakan target inflasi belum tentu didukung
oleh masyarakat, kecuali apabila lembaga pelaksana kebijakan ini dapat meyakinkan
masyarakat bahwa aparaturnya negara bersih dan bebas korupsi.

-

Hambatan dalam mewujudkan kebijakan secara fleksibel dan kredibel.

-

Menjalankan kebijakan secara fleksibel sekaligus kredibel juga bukan merupakan
pekerjaan yang mudah. Jika kebijakan diberlakukan secara lentur, maka akan
membuka kesempatan korupsi dan kolusi, sehingga menyebabkan incredible. Demikian
juga sebaliknya, apabila kebijakan ini lebih berfokus pada kredibilitas, maka akan timbul
sifat inflexible.

-

Tingkat keparahan krisis.

-

Faktor lain adalah tingkat keparahan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sudah
tergolong akut, sehingga penanganannya juga lebih sulit dibanding negara-negara lain.
Mungkin kebijakan target inflasi ini berhasil diberlakukan di negara-negara lain, namun
belum tentu akan sesuai diberlakukan di Indonesia.

III. KESIMPULAN
-

Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat krisis memerlukan upaya pemulihan dengan
menggunakan kebijakan moneter. Kebijakan yang diterapkan berupa inflation targeting yang telah
berhasil mengentaskan problem inflasi di berbagai negara di dunia.

-

Target inflasi dicetuskan dari perkembangan evolusi teori-teori ekonomi dan dalam
pelaksanaannya ditentukan oleh kondisi suatu negara dengan prasyarat-prasyarat untuk
keberhasilan sistem ini.

-

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diharapkan dapat mengembangkan kebijakan yang
secara efektif dapat memulihkan stabilisasi ekonomi jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi berkelanjutan, dengan ongkos yang minimal.

-

Pemulihan kondisi ekonomi yang stabil bukan hanya ditentukan oleh faktor internal, namun juga
faktor eksternal, misalnya kondisi politik dan keamanan negara.

-

Target inflasi nampaknya akan sulit untuk diberlakukan sebagai salah satu kebijakan moneter di
Indonesia, mengingat berbagai hambatan yang harus dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA :
-

Adiningsih, Sri. 2000. "Perkembangan Moneter Perbankan Indonesia". Makalah Seminar Sehari
Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.

Ekonomi

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah
Berkelanjutan?
SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap
terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea
keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang
dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya
pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah
kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga

mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam
platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi
cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk
miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia
tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini
bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan
pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi
terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997.
Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di
Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah
penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I)
pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di
Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan
kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan
kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk
orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring
pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan
persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan,
bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru
dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk
orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi
produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat
permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan
korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk

peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah,
seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya
biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan
adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri
sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu
kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga
prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang
sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada
indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat
mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai
negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi
ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara
lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk
kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah
kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur.
Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk
orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan
BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999
adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I)
yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini
cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang
digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi
bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna)
dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin
antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya
bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi

tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga
miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat
menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui
model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data
keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga
prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi
Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada
identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa
menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak
dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem
sosial yang spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi
kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap
manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja
(pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh
(sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk
memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat
kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain
data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut
juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikatorindikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau
komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang
realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu
dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif
terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-

unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan,
seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikatorindikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu
sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu
para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di
daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak
hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu
antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam
upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasiinformasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah
karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang
terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan
makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data
kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan
secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga
keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi
dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan
pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah
dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk
pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat
mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang
salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui
kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut
bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan
pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau
internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin
tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan
apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi

itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah
dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam
kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan
pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah,
dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali
informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan
dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan
segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan
program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat
menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik
daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan
instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara
kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem
pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih
penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme
pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat
dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan
ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta
kompromi ekologi yang meningkat.
Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

Bermimpi Indonesia Merdeka dari Utang
Ketergantungan pada utang luar negeri dan intervensi asing membelenggu Indonesia untuk bisa

membuat lompatan-lompatan jauh ke depan dalam perbaikan ekonomi. Benarkah Indonesia sekarang
ini mengalami apa yang disebut sebagai Fisher’s Paradox?
Mengapa semakin besar utang luar negeri yang dibayar, semakin besar akumulasi utang? Benarkah
kita sudah merdeka secara ekonomi?
Seorang panelis pada Diskusi ”Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030” pekan lalu
mengatakan, sampai sekarang ia tidak melihat ada keinginan dan komitmen jelas dari pemerintah untuk
menghentikan ketergantungan pada utang atau keluar dari jerat utang.
Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya langkah signifikan yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi
beban utang luar negeri. Mulai dari langkah moderat dengan menolak utang baru hingga langkah paling
radikal meminta penghapusan utang, atau bahkan melakukan pembangkangan dengan mengemplang
utang karena sebagian utang luar negeri yang ada saat ini dianggap sebagai utang najis (odious debt).
Alih-alih meminta penghapusan utang, sekadar mempercepat pelunasan utang kepada Dana Moneter
Internasional (IMF) pun pemerintah terkesan berat hati. Tahun lalu, keberatan untuk mempercepat
pelunasan utang kepada IMF dikemukakan antara lain oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin
Abdullah.
Menurut Gubernur BI, meskipun tidak dapat digunakan, dana IMF yang masih tersisa sebesar 7,8 miliar
dollar AS bisa diputar oleh BI untuk menambah penghasilan pemerintah.
Tahun ini, setelah IMF menaikkan suku bunga pinjaman dari 3,5 menjadi 4,5 persen, keberatan untuk
mempercepat pelunasan utang IMF disuarakan langsung oleh pejabat Departemen Keuangan. Direktur
Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia P Nasution mengatakan pelunasan utang kepada IMF dapat
memancing para spekulan untuk menarik dana mereka dari Indonesia.
Sikap ini dinilai sebagai upaya mempertahankan intervensi IMF di negeri ini. Sikap pemerintah yang
menolak anjuran Koalisi Anti-Utang agar menghapuskan utang lama dan menolak utang baru juga
sangat bertolak belakang dengan kecenderungan internasional yang semakin kritis terhadap utang.
Kritik tidak hanya muncul berkaitan dengan efektivitas utang itu sendiri, tetapi juga sisi
kelembagaannya, sisi ideologi, serta implikasi sosial politiknya.
Dari efektivitas, secara internal utang luar negeri tidak hanya menghambat tumbuhnya kemandirian
ekonomi negara-negara pengutang. Utang juga mengakibatkan kontraksi belanja sosial, merosotnya
kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi (Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick,
1997; Todaro, 1987).
Secara eksternal, utang luar negeri juga meningkatkan ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga
pada pasar luar negeri, modal asing, dan juga pada tradisi pembuatan utang luar negeri secara

berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).
Dari sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri, seperti IMF,
Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sendiri dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel.
Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan negara-negara negara-negara maju pemegang saham
utama lembaga-lembaga tersebut, untuk mengintervensi negara-negara pengutang (Rich, 1999; Stiglitz,
2002; Pincus dan Winters, 2004).
Dari sisi ideologi, utang luar negeri dituding telah dipakai oleh negara-negara kreditor, terutama AS,
sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia dan ”menguras
dunia” (Erlerm, 1989). Dari sisi implikasi sosial politik, utang luar negeri dicurigai sengaja dikembangkan
oleh negara-negara kreditor untuk mengintervensi negara-negara pengutang.
Secara tidak langsung, utang dianggap juga bertanggung jawab atas lahirnya rezim-rezim diktator,
kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi, perdagangan obat-obatan terlarang, serta
terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992; Hanton, 2000).
Masalah utang luar negeri sebenarnya bukan masalah baru bagi Indonesia, karena Indonesia sudah
menjadi pelanggan utang, bahkan sebelum merdeka. Tetapi, utang baru menjadi masalah serius
setelah terjadi transfer negatif bersih (utang yang diterima lebih besar dibandingkan cicilan pokok dan
bunga utang yang harus dibayar setiap tahun) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun
anggaran 1984/1985.
Tahun 1950, utang pemerintah tercatat 7,8 miliar dollar AS, terdiri dari utang warisan Hindia Belanda 4
miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 3,8 miliar dollar AS.
Pada awal kemerdekaan, sikap Soekarno-Hatta sebagai Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di
satu sisi, mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan
untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, mereka mewaspadai kemungkinan
penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk mencederai kedaulatan Indonesia sehingga
mereka cenderung menetapkan persyaratan cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
Syarat tersebut, negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, dan suku bunga
tidak lebih dari 3-3,5 persen per tahun. Selain itu, jangka waktu utang cukup lama, untuk keperluan
industri 10-20 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur lebih lama lagi (Hatta, 1970).
Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar
memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Sikap ini pula yang membuat
Soekarno waktu itu dengan gagah, berani mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS yang
berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.

Pemutus lingkaran setan?
Pasca-Soekarno, utang mengalami pembengkakan secara dramatis. Orde Baru, dipelopori oleh
kelompok orang-orang terbaik yang disebut Mafia Berkeley, menganggap utang luar negeri sebagai
salah satu langkah tepat untuk memutus lingkaran setan kemiskinan melalui pembangunan besarbesaran (the big push theory), yang di antaranya dibiayai dengan utang.
Total utang yang pada akhir era Soekarno baru sebesar 6,3 miliar dollar AS (terdiri dari 4 miliar dollar
AS warisan Hindia Belanda dan 2,3 miliar dollar AS utang baru) membengkak menjadi 54 miliar dollar
AS pada akhir pemerintahan Soeharto.
Selama dua tahun era BJ Habibie, utang bertambah lagi 23 miliar dollar AS menjadi 77 miliar dollar AS.
Sekarang ini total utang luar negeri sekitar 78 miliar dollar AS. Ditambah utang dalam negeri, pada
pascakrisis 1997, total utang Indonesia pernah mencapai sekitar Rp 2.100 triliun.
Dengan total utang Rp 1.318 triliun dan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa sekarang ini, setiap
penduduk Indonesia (termasuk bayi baru lahir) terbebani utang sekitar Rp 7 juta.
Sementara kekayaan alam dan kemandirian serta kapasitas kita untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat terus tersandera oleh beban membayar cicilan dan bunga utang yang menyita hingga sepertiga
sendiri anggaran belanja APBN. Posisi Utang Rp 1.318 ini terdiri dari Rp 636,6 triliun utang dalam
negeri dan 76,6 miliar dollar AS utang luar negeri.
Hasil penelitian Reinhard, Rogoff, dan Savastano tahun 2003 (Almizan Ulva, 2004), batas aman rasio
utang luar negeri (pemerintah dan swasta) terhadap PDB negara berkembang adalah 15-20 persen.
Apabila seluruh portofolio utang pemerintah dikonversi menjadi utang luar negeri, menurut Almizan Ulva
—peneliti dari Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional Depkeu—rasio
utang luar negeri pemerintah terhadap PDB (tahun dasar 2000) pada 2004 adalah sebesar 52,2 persen.
Tingginya angka ini menyebabkan risiko gagal bayar (default) Indonesia juga tinggi.
Sebenarnya utang luar negeri masih bisa diterima selama itu digunakan dengan baik untuk
membangun ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta tidak mengakibatkan beban
berlebihan pada keuangan negara dan tidak diembel-embeli dengan persyaratan yang memberatkan.
Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, utang banyak bocor sehingga sasaran yang ingin dituju melalui
strategi big push theory juga tidak tercapai.
Prinsip gali lubang tutup lubang masih terjadi karena untuk membayar utang lama, pemerintah harus
terus membuat utang baru. Akibat salah kelola utang, Indonesia dalam lingkaran setan perangkap
utang (debt trap). Sebuah kajian independen Bank Dunia pernah menyebutkan, sekitar 30 persen utang
luar negeri dikorupsi oleh rezim berkuasa pada era Soeharto sehingga kemudian muncul anggapan

utang itu utang ”najis” yang tidak pantas dibayar.

Tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan perusahaanperusahaan dari negara-negara kreditor juga diakui oleh AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal
1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara
berkembang yang mengalami krisis finansial. Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar
40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaanperusahaan dari negara-negara maju.
Departemen Keuangan AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembagalembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari
kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman
lembaga-lembaga tersebut.
Ini bukan hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral, seperti dari Jepang, pun
biasanya diikuti persyaratan sangat ketat menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk
konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek. Melalui modus ini, selain bisa merecycle ekses dana yang ada di dalam negerinya, Jepang sekaligus bisa menggerakkan perusahaan
dalam negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana utang
ini.ngutang
Dari pinjaman yang disalurkannya ini, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju
lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang. Dus
Indonesia sebagai negara debitor justru menyubsidi negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.
Yang belum terlihat sampai sekarang memang keinginan atau komitmen kuat Pemerintah Indonesia
untuk mengurangi utang. Memang benar banyak negara lain berutang. Bahkan, AS yang besar itu pun
memiliki utang sangat besar. Tetapi, mereka memiliki kapasitas untuk membayar.
Seperti kata seorang panelis, kemandirian hanya bisa dibangun jika kita bisa menolong diri sendiri.
Dalam kaitan dengan utang, mungkin menolong diri sendiri untuk keluar dari jebakan utang.
Hal ini terbuka untuk dilakukan dengan cadangan devisa yang kini sekitar 43 miliar dollar AS. Namun,
tampaknya pemerintah tidak mengambil kesempatan itu, seperti juga mereka tidak pernah
memaksimalkan diplomasi utang untuk mengurangi beban utang yang ada.
Untuk bisa menatap 2030 sebagai bangsa bermartabat dan berdaulat, tidak diintervensi kekuatan atau
kepentingan luar, kita harus berani membebaskan diri dari utang yang bersamanya ada persyaratan
yang mengikat kebebasan kita untuk mengatur ekonomi dalam negeri kita sendiri sesuai dengan

kebutuhan lokal dan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kalaupun tidak langkah drastis seperti mengemplang utang, setidaknya ada semacam konsensus
nasional untuk menghentikan tradisi membuat utang baru. Visi soal utang dan kemandirian ekonomi ini
yang belum ada sekarang ini.
(Sri Hartati Samhadi)
sumber:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2659164.htm

-

Bernanke, B. and Mihov. 1997. "What Does the Bundesbank Target?" European Economic Review.

-

Boediono. 2000. "Inflation Targeting". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE UGM dengan BI, MM
UGM, 29 September.

-

Fischer, Stanley. 1993. "The Role of Macroeconomic Factors in Growth". Journal of Monetary
Economics.

-

Goeltom, Miranda S. 2000. "Perkembangan Ekonomi Makro Indonesia". Makalah Seminar Sehari
Kerjasama FE UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.

-

Mishkin, F.S. 1999. "International Experience with Different Monetary Policy Regimes". Journal of
Monetary Economics.

-

Nopirin. 2000. "Kebijakan Moneter Dengan Target Inflasi". Makalah Seminar Sehari Kerjasama FE
UGM dengan BI, MM UGM, 29 September.

-

Saudagaran, S.M. and Diga, J.G. 2000. "The Institutional Environment of Financial Reporting
Regulation in ASEAN". The International Journal of Accounting.

Oleh: Seruni Sutanto, Dosen STIE Widya Manggala Semarang

Sumber: http://www.stie-stikubank.ac.id/webjurnal

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22