Tentang eceng gondok atawa bagaimana mem

Tentang eceng gondok atawa bagaimana memandang soal
identitas dalam film Indonesia
Eric sasono

Pidato 30 Maret
Pidato Seno Gumira Adjidarma dalam rangka Hari Film Nasional ke-64 tanggal 30 Maret
lalu bicara soal yang tak akan pernah selesai: identitas nasional dalam film Indonesia. Tulisan ini
berniat mengomentari pidato tersebut. Untuk itu, saya akan meringkat pidato itu, kemudian
mengajukan beberapa komentar berkait dengan gugatan tentang yang ‘nasional’ dari Seno (kita
panggil SGA saja). Selanjutnya, kritik seputar istilah film nasional itu sendiri akan ditelisik lebih
jauh berdasar kritik dari peneliti Thomas Barker, juga bagaimana posisi SGA sendiri di hadapan
kritik itu. Di bagian terakhir, saya akan mengajukan semacam usulan bagaimana cara
memandang soal-soal seputar identitas dalam film Indonesia.
Berkaitan dengan pidato tanggal 30 Maret itu, SGA mengajukan sedikitnya empat hal
penting berkaitan dengan posisi identitas nasional dalam film Indonesia.
Pertama, ia menyoal basis gagasan “film nasional” dengan mempersoalkan apa yang
“nasional” itu sendiri. Ia menggugat pandangan yang menyatakan bahwa identitas nasional dan
ke-Indonesiaan itu sama dan sebangun. Ditolaknya pengertian bahwa yang nasional itu identik
dengan definisi territorial (dan administratif) bagi wilayah yang disebut Indonesia. Dengan
memandang pada aspek tekstual pada film-film yang “ber-KTP” Indonesia, SGA menyimpulkan
bahwa banyak dari mereka justru merupakan tiruan dan daur ulang saja dari cara bercerita dan

teks film-film Hollywood yang mendominasi dunia saat ini.
Gugatan soal basis “nasional” ini dipersoalkan SGA dengan mengusulkan situasi yang
disebutnya sebagai “pasca nasional” yaitu sebuah kondisi yang sudah melampaui moda
“nasional” sebagai sebuah moda menjelaskan kehidupan bersama manusia Indonesia. Hal ini
membuka kemungkinan bahwa identitas bagi kehidupan kolektif bernama Indonesia yang ada
dalam film-film Indonesia adalah rangkaian kemungkinan yang terbuka, bukan sesuatu yang
bersandar pada esensi tertentu. Ia kemudian mengusulkan sebuah cara memandang identitas
muatan dalam film Indonesia itu melalui dua proses yaitu fungsional dan relasional. Secara
fungsional, SGA mengusulkan pentingnya pembedaan, terutama pembedaan “naratif visual
1

dengan film-film yang telah merajai dunia sejak tahun 1910”, termasuk (elemen) naratif visual
Hollywood dan film “bangsa-bangsa lain”; serta proses relasional yaitu “secara tekstual dapat
dipertanggungjawabkan hubungannya dengan kebudayaan dan kebangsaan Indonesia”.
Maka sebuah film bisa saja didanai oleh dana luar negeri dan beredar di festival-festival
internasional (dan tak diterima di pasar dalam negeri) tetapi lebih berpeluang mengisi identitas
Indonesia karena secara tekstual ia lebih bisa terhubung dengan “akar budaya”, “yakni dalam
kenyataannya non-Hollywood sehingga mendapatkan fungsinya sebagai representasi negara
bangsa yang disebut Republik Indonesia”.
Poin kedua dari SGA adalah ia mengingatkan bahwa kebangsaan Indonesia itu bersifat

terbuka. Dengan mengambil gagasan-gagasan yang disampaikan oleh tokoh pergerakan
kebangsaan dan emansipasi di awal abad keduapuluh, SGA berargumen bahwa sifat gagasan
kebangsaan Indonesia sendiri sudah bersifat pasca-nasional dan tidak semata bermula dan tidak
terhenti pada Sumpah Pemuda tahun 1928 dimana “pemuda sudah bersumpah untuk menjadi
Indonesia dan hanya Indonesia dalam aspek geopolitik kebangsaan”. Melalui poin ini, SGA ingin
menekankan bahwa gagasan kebangsaan Indonesia memang sudah bersifat pasca-nasional sejak
semula dan ini sejalan dengan kompleksitas abad keduapuluhsatu; dimana “identitas nasional
yang klasik tak dapat menampungnya lagi”. Ini adalah penambah argumen SGA tentang
pengertian “nasional” itu sesungguhnya abstrak sejak semula, tak terlalu jelas juntrungnya.
Poin ketiga, SGA tetap melihat adanya kebutuhan merumuskan “identitas nasional”, dan
dengan argumen poin pertama dan kedua, ia mengusulkan agar identitas nasional itu tidak
dianggap sebagai hal yang esensial, melainkan sebagai sebuah proses produksi. Dari basis
nasionalisme yang abstrak dan penuh kemungkinan itu, SGA melihat bahwa identitas nasional
adalah bentuk manifestasi dari yang abstrak tersebut dalam berbagai kegiatan yang terwacana
(discourse practices). Bagi SGA, identitas nasional dibentuk oleh berbagai makna dan praktik
dari berbagai kategori sosial di dalam masyarakat sehingga banyak kemungkinan cara orang
Indonesia dalam memahami identitas nasional itu sendiri.
Bagaimana hal ini dijabarkan dalam praktek identitas di dalam film nasional? SGA mulai
dengan mengingatkan tentang makna peringatan “film nasional” yang diambil dari hari pertama
syuting film Darah dan Doa sebagai sebuah politik identitas dalam rangka proyek membentuk

konstruksi tentang Indonesia, dan sebaiknya tidak dipandang sebagai sesuatu yang esensial. Ini
disebabkan oleh dua hal. Pertama, film Darah dan Doa yang syuting hari pertamanya dijadikan
sebagai dasar penetapan hari nasional, menurut SGA berpeluang untuk menjadi dasar bagi
sesuatu yang salah kaprah. Sebabnya, film itu sendiri memiliki judul lain yaitu Long March yang
2

sebenarnya terinspirasi dari metode revolusi sosial di Cina yang dipimpin oleh Mao Tse Tung
yang melakukan perjalanan panjang untuk memulai revolusinya. Ide ini berasal dari Sitor
Situmorang yang menulis skenario film tersebut yang memang dekat dengan gagasan revolusi
sosial ketika itu. Dengan fakta ini SGA bertanya retoris:
“Jika mengingat bahwa seni maupun media film itu sendiri jelas tidak terdapat akarnya
dalam tradisi pra-Indonesia, dan latar belakang gagasannya pun berdasarkan perjuangan
kaum Komunis Tiongkok yang ideolognya kelak dianggap sebagai musuh ideologis
Negara Pancasila, masih sahihkah film ini menjadi monument ‘film pertama’
Indonesia?”

Sebab lainnya mengapa peringatan “film nasional” perlu dipersoalkan titik tolaknya
adalah praktik pemerian identitas film nasional ini sebaiknya tidak dianggap monolitik bersandar
pada gagasan modernisme Usmar Ismail, karena sesungguhnya banyak praktik lain dalam
perfilman yang memungkinkan bentuk tekstual yang berbeda. SGA sendiri kemudian

mengusulkan nama sutradara Djajakusuma untuk ditandemkan dengan Usmar Ismail karena
nama belakangan ini “menggali akar tradisi” ke dalam praktik pembuatan film-filmnya. Maka
ketika kedua nama ini direndengkan, terjadilah sebuah situasi pascamodern di Indonesia jauh
sebelum istilah itu dikenal karena modernitas di Indonesia tidak menghancurkan akar tradisi.
Dengan demikian, praktek pencarian identitas di dalam film-film Indonesia harus
dipandang dalam kerangka seperti ini. Di satu sisi, kebangsaan itu sendiri sesuatu yang abstrak,
hanya bisa dilihat dari praktik-praktiknya. Maka praktik-praktik itu diusulkan oleh SGA agar
memiliki dua syarat: syarat fungsional yaitu pembedaan dengan narasi dominan Hollywood (atau
narasi film ‘nasional’ lain) dan syarat relasional yaitu memiliki hubungan (atau
pertanggungjawaban tekstual) dengan kebudayaan Indonesia sendiri. Jadilah ia pada kesimpulan
tandem dua nama, Usmar Ismail – Djajakusuma, untuk membuka kemungkinan lebih luas
terhadap perumusan identitas nasional dalam film Indonesia.
Dalam konteks inilah SGA menggadang sebuah kemungkinan yang bisa jadi amat
penting: kemunculan gelombang kreatif baru dalam film Indonesia: para pembuat film Indonesia
berjenis kelamin perempuan. Ditilik dari jumlah absolut dan persentase yang besar, maka
keberadaan para pembuat film perempuan di Indonesia saat ini tentu merupakan sesuatu yang
signifikan, dan seharusnya dapat turut mempengaruhi perumusan identitas nasional dalam film
Indonesia ini. Namun apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi tidak terlalu dijelaskan oleh SGA.
Ia berhenti pada identifikasi dan prediksi, tidak membahas lebih jauh. Saya membayangkan
pembahasan ini tentu membutuhkan lebih dari sekadar pemaparan data statistik, karena

3

menyangkut dua syarat yang ditetapkan oleh SGA tadi. Mungkin harus menunggu hasil studi
Novi Kurnia di Flinders University untuk bisa mencari keterangan lebih lanjut adakah
sumbangan numerik ini terhadap sumbangan praktik wacana dalam pencarian identitas nasional
dalam film Indonesia kini.

Eceng gondok
Pidato ini menarik bagi saya karena disampaikan dalam kesempatan peringatan hari film
nasional yang justru dibiayai pemerintah. Penggunaan kesempatan ini untuk menggugat apa yang
dianggap sudah mapan dan tak dipertanyakan lagi, bagi saya adalah sesuatu yang perlu dibiasakan
guna menghindari kebuntuan berpikir dan kenyamanan dalam pendefinisian, terutama
pendefinisian yang bersifat resmi dan pada akhirnya menjadi dasar pengambilan keputusan
politik. Usulan pendefinisian identitas melalui berbagai praktik wacana yang bervariasi yang
diusulkan SGA juga menarik karena membuka berbagai kemungkinan, termasuk bagi apa yang
selama ini disingkirkan dalam rangka politik identitas.
Sekalipun demikian, saya ingin memberi beberapa catatan terhadap pidato SGA ini
dalam beberapa poin yang saya anggap penting, setidaknya di tingkat wacana – dan mungkin juga
praksis.
Pertama, SGA mengusulkan praktik terwacana (discourse practice) sebagai cara

memandang identitas nasional sekaligus mengingatkan tidak relevannya lagi pengertian identitas
nasional yang klasik dan tertutup. Sekalipun usulannya seperti itu, SGA tetap tidak bisa keluar
dari jebakan untuk mengajukan hal yang esensial pada metodenya, yaitu pada penerapan syarat
yang ia sebut “fungsional” dan “relasional” itu. Keduanya syarat itu baru berfungsi apabila bekerja
dalam kriteria-kriteria yang esensial. Misalnya: ketika menyebut syarat fungsional untuk
membedakan identitas Indonesia dengan naratif visual “film bangsa-bangsa lain”, SGA
mengasumsikan bahwa masing-masing elemen naratif visual dari “bangsa-bangsa lain” ini seakan
bersifat eksklusif satu sama lain, mengandaikan mereka bagai bola biliar yang saling terpisah dan
bisa saling beradu di dalam arena pergulatan wacana dan praktek perfilman dunia. Padahal tidak
pernah bisa ada pembedaan tegas seperti itu, dan batas-batas tekstual tidak pernah bisa
dipisahkan berdasar batas negara-bangsa. Bahkan elemen naratif visual Hollywood sendiri, diluar
kemampuannya untuk bertahan amat panjang (Bordwell, 2006), justru mengadopsi berbagai
bentuk dan tradisi yang berasal dari tempat lain.

4

Soal kedua, ketika mengajukan nama Djajakusuma sebagai ilustrasi bagi syarat relasional,
SGA menyatakan pentingnya tempat bagi beliau karena ia ‘menggali akar tradisi’ Indonesia.
Dengan metode ini, praktek wacana Djajakusuma (dan juga SGA sendiri dalam mengajukan
nama Djajakusuma) mau tak mau terkait dengan kualitas esensial tertentu. Dengan metode

relasional ini SGA mengajukan presumsi bahwa ada ‘akar tradisi’ yang merupakan pre-existing

reality yang berada di luar dan menentukan wacana. Padahal pengertian ‘akar tradisi’ ini
merupakan wacana juga, dan muncul sebagai kategori dalam kaitannya dengan modernisasi.
Ketika modernisasi dengan kekuatan promosi-dirinya yang kuat masuk secara teritorial ke
wilayah-wilayah seperti Indonesia, terjadi perumusan-perumusan mengenai apa yang ‘modern’
dan apa yang ‘berakar’ dalam tradisi. Selain menekankan pada esensi tentang sesuatu yang
‘dalam’ dan ‘asli’, pendefinisian melalui istilah semacam ‘akar tradisi’ ini mengadopsi dengan
mudah cara orientalis dalam meregistrasi kriteria-kriteria “baru” yang tak masuk dalam kriteria
yang sudah diregistrasi sebelumnya dalam wacana modern (Said, 1978).
Soal ketiga dalam pidato itu, ketika syarat relasional ini diterapkan dan “akar tradisi”
menjadi penapis, usulan ini kemudian membatasi kriteria dalam mendefinisikan identitas dan
berpeluang melakukan penyingkiran. Ini sudah dapat disimpulkan dari ilustrasi yang digunakan
berupa penyingkiran terhadap kemungkinan gagasan komunisme dari bagian pengalaman
manusia Indonesia dalam contoh SGA tentang film Darah dan Doa alias Long March. Bisa jadi
film Darah dan Doa lebih menampakkan simpati terhadap komunisme ketimbang, misalnya film

Mereka Kembali, yang merupakan buatan-ulang (remake) dari film itu (Heider, 1991) oleh Divisi
Siliwangi, Jawa Barat. Namun jika kita kembali kepada usulan SGA tentang “akar tradisi” sebagai
kriteria, film Darah dan Doa seakan dianggap tidak punya akar, baik dalam hal medium film

(sebagai praktik wacana) maupun asal-usul ideologis (disebut sebagai komunisme Tiongkok)
yang mendasarinya. Dengan demikian, proyek identitas nasional yang dasarnya berkemungkinan
lebih ramah kepada gagasan komunisme (ketimbang film Mereka Kembali yang amat
militeristik) dianulir oleh SGA dengan penolakan yang mirip stigmatisasi terhadap komunisme
sebagai “kelak menjadi musuh ideologi Pancasila”. Jika ini adalah dasar retorika penolakan SGA
atas menggugat pemahaman tentang “film nasional” atau setidaknya pada posisi tunggal Usmar
Ismail, bagaimana ia akan menempatkan pembuat film seperti Bachtiar Siagian atau Basuki
Resobowo?
Tampaknya usulan pemerian identitas nasional yang dilakukan oleh SGA tak terlepas
dari kemungkinan penyingkiran-penyingkiran juga karena retorika post-strukturalis yang
diajukannya masih tak bisa lepas dari berbagai dualisme, terutama yang lahir dari kebutuhan
5

mencari identitas yang bisa terbedakan secara ajeg dan utuh. Ia tetap mengajukan kualitas esensial
sebagai kriteria penetap praktek wacana, dan kemungkinan penapisan-penyingkiran masih besar.
Satu hal lagi, gugatan terhadap basis “nasional” (dan mengajukan usulan pasca nasional)
diambil SGA dari perdebatan para tokoh pergerakan emansipasi pada awal abad keduapuluh.
Pandangan ini mencampuradukkan gagasan proto-nasionalisme sebagai sebuah situasi “pasca
nasional”, karena proto-nasionalisme para tokoh yang dikutip itu bersandar pada esensi identitas
tertentu (Jawa atau kolonial) ketimbang pada invalidnya kriteria esensial itu sebagai alas berpikir

(reasoning) bagi emansipasi dan persamaan hak manusia-manusia di tanah kolonial. Retorika ini
sebenarnya agak anakronistis.
Peluang lebih besar untuk menggugat identitas nasional ada pada film-film yang
diproduksi oleh para produser etnis Cina pada dekade 1930-40-an seperti yang ditulis oleh
Thomas Barker dan Charlotte Setijadi-Dunn (2012). Kedua peneliti ini melihat posisi ambigu
para produser ini. Di satu sisi, kedua peneliti ini melihat kuatnya alasan untuk memandang
mereka sebagai ‘calo budaya’ yang memproduksi film dengan tujuan memberi hiburan (baca:
berdagang) tanpa benar-benar punya ikatan kuat dengan muatan yang mereka sampaikan.
Namun di sisi lain, kedua peneliti ini melihat adanya peluang film-film ini sebagai sebuah upaya
untuk membangun ruang bersama, untuk kemudian membantu memahami apa yang kemudian
dinamakan ‘Indonesia’.
Bertitik tolak dari film-film ini, sebenarnya ada peluang untuk melihat identitas Indonesia
berwatak kosmopolitan, atau melampaui batas-batas nasional dan bersifat cair, tetapi tampaknya
SGA enggan mengambil watak kosmopolitan ini dan maju dengan retorika “akar tradisi” sebagai
kriteria penapisan. Apa yang diajukan ini pada dasarnya masih memandang karakter
kosmopolitan film-film itu (yang biasanya dilekatkan atribut ‘komersial’, ini akan dibahas nanti)
sebagai sesuatu yang tak murni dan tak punya akar yang dalam. Film-film dari para produser prakemerdekaan ini dianggap tanpa akar, kalau diibaratkan tumbuhan, mungkin dipandang mirip
tumbuhan eceng gondok, terombang-ambing, ikut arus kesana kemari tergantung kemana arus
(komersial) mengarah.


Masih soal komesial vs idealis
Anakronisme dan esensialisasi SGA ini akhirnya masih mencerminkan terusan dari
persoalan yang disigi oleh Thomas Barker (2012) seputar istilah “film nasional”. Barker

6

mengkritik praktik perumusan film nasional selama ini karena dua kecenderungan: penyingkiran
dan elitisme.
Pertama, seperti yang dinyatakan di atas, terjadi penyingkiran terhadap film-film yang
dianggap sebagai “film komersial” alias film yang dibuat dengan niatan untuk mencari uang
semata dan dilakukan sebagai upaya “menjual mimpi”. Akibat motivasi utama para pembuat film
ini dalah untuk mencari uang, maka film-film dibuat seadanya dan cenderung asal-asalan: asal
untung. Akibat lanjutannya, tak tampak karakter Indonesia dalam film-film tersebut karena
penggambaran karakter, lokasi dan sebagainya dilakukan comot sana-sini, sehingga “wajah
Indonesia asli” tak tampak. Penyingkiran juga terjadi, menurut Barker, pada film-film dari
seniman yang tergabung dalam Lekra yang berangkat dari stigmatisasi terhadap kelompok
seniman ini sebagai bagian dari PKI yang membuat mereka terkena dampak dari kampanye
“bersih lingkungan” pada masa Orde Baru.
Film-film yang dianggap “komersial” itulah yang menjadi titik tolak SGA untuk
menyatakan bahwa banyak film “ber-KTP Indonesia” tetapi aspek tekstualnya masih merupakan

daur ulang film Hollywood belaka. Sampai akhirnya ia mengusulkan ‘akar tradisi’ untuk sampai
pada kriterianya sendiri dan kemudian mengajukan nama Djajakusuma.
Sebelum lebih jauh membahas soal penyingkiran ini, saya ingin membahas soal
pengajuan nama Djajakusuma. Seperti SGA, saya melihat bahwa Djajakusuma memang
membawa elemen kesenian rakyat populer, yaitu ketoprak, ke dalam film Indonesia, dan ini
merupakan hal yang amat penting. Bukan sekadar membawa pemain ketoprak ke dunia film,
Djajakusuma melakukan pengambilan gambar seakan memindahkan panggung ketoprak ke
layar film. Hal ini tampak jelas pada film Api Di Bukit Menoreh (1971) terutama pada adeganadegan perkelahian antara Untoro (Kies Slamet) dengan Sidanti (Sosialisman) pada film itu. Pada
adegan itu, Djajakusuma meletakkan kamera secara statis dalam jarak agak jauh memperlihatkan
kedua pemain sepenuh badan (medium-long shot) agar bisa menangkap gerakan-gerakan kedua
aktor itu. Hal ini ditujukan guna memperlihatkan kemampuan teknik koreografi beladiri kedua
pemain tersebut (semisal salto dan sebagainya) yang biasanya dapat ditemukan juga pada
pertunjukan ketoprak. Bukan kebetulan teknik ini yang digunakan oleh Djajakusuma mengingat
kedua aktor tersebut merupakan pemain ketoprak yang mahir beladiri dan terbiasa dengan
koreografi adegan perkelahian tanpa efek khusus.
Teknik ini merupakan sebuah terobosan penting karena terinspirasi dari kesenian
tradisional ketoprak. Jika ingin menarik soal ini lebih jauh, apa yang dilakukan oleh Djajakusuma
ini mirip dengan Akira Kurosawa di Jepang yang mengambil inspirasi dari teater tradisional
7

Jepang, Teater Noh, untuk film-filmnya. Artinya hal ini membuka kemungkinan yang penting:
pembuat film di Asia punya kemungkinan membuat film sebagai perpanjangan dari seni rakyat
ketimbang semata perpanjangan dari fotografi yang selama ini dipahami. Saya rasa, inilah yang
dimaksudkan oleh SGA dengan pengajuan nama Djajakusuma untuk ditandemkan dengan
Usmar Ismail, karena filmnya dibuat berdasar inspirasi ‘akar tradisi’.
Sekalipun fakta ini penting, tetapi saya akan menyinggung cara lain dalam melihat
Djajakusuma di bawah nanti.
Kecenderungan untuk melihat pada inspirasi kesenian tradisional seperti itu berpeluang
menjadikan cara pandang ini seakan menjadi perpanjangan gagasan yang melihat bahwa budaya
Indonesia adalah kumpulan dari puncak-puncak kebudayaan ‘tradisional’. Gagasan budaya
sebagai agregat praktek kesenian ini amat jelas memandang adanya esensi dari budaya, bahkan
esensi yang bersifat menyederhanakan persoalan. Jika diimbuhi dengan adanya praktek
pengakuan (sanction) dari negara terhadap agregat kebudayaan ini, maka akan terjadi
marginalisasi praktek kesenian yang dianggap tidak menjadi puncak bagi kebudayaan nasional.
Advokasi SGA terhadap posisi Djajakusuma ini akhirnya sedikit bersoal juga. Selain esensialisasi
terhadap sumber-sumber budaya yang dapat dijadikan sebagai sumbangan bagi proses produksi
identitas nasional itu, elitisme kembali terulang dengan penerapan kriteria pertanggungjawaban
tekstual seperti tadi. Karena: siapa yang berhak menganggap bahwa pertanggungjawaban tekstual
itu cukup? Akhirnya posisi kritikus, kurator dan kaum intelektual menjadi penafsir bagi apa yang
cukup dan tidak cukup dalam pertanggungjawaban seorang kreator.
Inilah kritik kedua Thomas Barker dalam soal “film nasional” ini yaitu elitisme yang terus
menerus muncul dalam berbagai bentuk, terutama sebagai variasi dalam pembedaan antara “film
idealis” versus “film komersial”. Di sini, kriteria film nasional terus berpihak pada “film idealis”
yang dianggap mampu menjadi wakil sesungguhnya dari wajah Indonesia dan menjadi
representasi sejati dari identitas Indonesia. Sementara itu “film komersial” dimasukkan ke dalam
kotak sebagai pekerjaan para pedagang yang hanya ingin mengeruk untung sebesar-besarnya.
Film seperti ini dianggap dibuat secara asal-asalan, daur ulang, tanpa akar dan hanya mampu
membuat orang bertambah bodoh belaka.
“Praktik yang terwacana” yang diajukan SGA sebagai kriteria dalam mengisi aspek
identitas ini, tetap tak beranjak dari elitisme ini. Daftar yang dibuatnya sebagai praktik yang
mencerminkan identitas Indonesia yang “pascamodern” itu tetap merupakan film-film yang
dianggap berkualitas dan patut dimasukkan ke dalam “kanon” alias daftar wajib tonton karena
‘nilai budaya’-nya yang penting. Jika Djajakusuma menjadi tandem Usmar Ismail, mengapa tak
8

ada nama Imam Tantowi misalnya, yang banyak membuat film berjenis silat yang sejalan dengan
tradisi Djajakusuma. Atau jika yang terpenting adalah praktik berwacana secara umum, dimana
posisi film Warkop DKI atau Sally Marcelina dalam perumusan identitas ini? Syarat ‘fungsional’
dam ‘relasional’ itu menggugurkan praktik wacana yang terbuka. Akhirnya terlihat penyingkiran
terhadap selera populer menjadi sebuah dasar bagi pembangunan kriteria-kriteria identitas dalam
film Indonesia ini.

Cara lain melihat Djajakusuma
Sebelum lebih jauh melongok soal identitas ini, saya ingin mengutarakan cara pandang
lain dalam melihat Djajakusuma kertimbang semata pada upayanya ‘menggali akar tradisi’.
Pertama, Djajakusuma adalah pembuat film yang dapat digolongkan sebagai film genre, atau film
yang berlandaskan pada formula yang relatif sudah dikenali (horor, laga, romantis dan
sebagainya). “Film genre” ini merupakan film yang sudah bisa diterka elemen-elemen utamanya
(lokasi, bintang, jalan cerita, kostum dan sebagainya) sehingga hubungan film dengan penonton
(atau produser, pemberi modal, pengiklan dan sebagainya) dibangun berdasar antisipasi dan
sensasi dalam antisipasi itu, bukan pada elemen tekstual yang ‘otentik’1. Maka pemosisian
Djajakusuma sebagai tandem Usmar Ismail berpeluang untuk membuat posisi film auteur dan
genre (lihat pembagian yang kaku ini dari antropolog Karl Heider, 1991) jadi seimbang, yang
satu tidak lagi ditempatkan lebih tinggi daripada yang lain, seperti yang banyak diimplikasikan
oleh akademisi seperti Heider dan banyak kritikus (terus terang, saya terkadang berada pada
posisi itu).
Kedua, Djajakusuma juga dapat dipandang sebagai seorang sutradara yang membuat film
untuk keperluan pesanan (commissioned) dari lembaga-lembaga semi pemerintah. Berbeda
dengan Asrul Sani (ketika ia membuat Apa Jang Kau Tjari Palupi) atau Nya Abbas Akkup (ketika
membuat Mat Dower) yang membuat film dengan dana khusus dari Dewan Film, beberapa film
karya Djajakusuma adalah ‘film penyuluhan’ alias film yang ditujukan untuk mempromosikan
program lembaga semi-pemerintah yaitu tabungan pos (Pak Prawiro, 1958) dan perkebuan karet

1

Bahkan antisipasi dan sensasi ini bisa dikatakan menjadi sebuah pendekatan sendiri dalam memandang segala jenis
film, karena sifat self-referential film yang selalu muncul dan menjadi salah satu metode komunikasi kepada
penonton. Lihat misalnya Noel Carroll (1998)
9

(Rimba Bergema, 1964). Maka film Djajakusuma ini bisa dikatakan bukan film yang dibuat
berdasar ‘idealisme’ lantaran menjalankan pesanan dari pihak lain2.
Setidaknya cara pandang seperti ini terhadap Djajakusuma bisa dikatakan dapat
membebaskan problem penapisan dalam “film nasional” yang selama ini terlihat memandang
rendah film-film yang dibuat atas dasar “pesanan” (baik dipesan oleh pengiklan maupun dipesan
dan diproduksi dengan cara ‘borongan’?). Maka jika Djajakusuma ingin ditandemkan dengan
Usmar Ismail sebagai pelopor “film nasional” atau apapun istilahnya, saya membayangkan posisi
Djajakusuma adalah semacam pembebas dari sekat elitisme dan perendahan terhadap

commissioned film (termasuk juga film ‘borongan’ ) di dalam film Indonesia , dan tak semata
3

4

pada soal ‘akar tradisi’.
Namun saya tak ingin berhenti pada pembongkaran sekat-sekat simbolis seperti itu dan
ingin mendiskusikan kemungkinan lebih jauh yaitu keluar dari opsisi biner (binary system) yang
selama ini terus menghantui kajian film dan masih mempengaruhi dekonstruksi
posmodernis/post-strukturalis yang diusulkan oleh SGA. Oposisi biner seperti ini selalu berakhir
dengan mempertentangkan antara satu titik ekstrim dengan titik ekstrim lain, semisal
pengkutuban antara ‘komersialis vs idealis’atau ‘penghargaan kritikus vs selera populer’, atau
‘kanon vs box office’ atau juga ‘auteur vs genre’ seperti pendekatan Karl Heider (1991) dalam
memandang film di Indonesia. Oposisi biner ini sudah kadung beroperasi secara mendalam,
juga dapat dilihat dalam praktik politik pefilman melalui wacana di Indonesia.
Sebagai contoh saja, ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menghadiri
pemutaran film The Raid 2: Berandal (Gareth Evans), hal itu dikecam oleh Firman Bintang
ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) berdasar alasan bahwa menteri berpihak pada
film penuh kekerasan alih-alih mendukung film yang ‘bermuatan kultural edukatif’. Alasan ini
kemudian menjadi sarkasme yang agak kekanak-kanakan yaitu ketika ketua PPFI menyarankan

2

Ataukah ia dimaklumi lantaran masih bisa memasukkan elemen-elemen kesenian tradisional (semisal wayang orang)
dalam film-filmnya, sekalipun film-film itu merupakan film pesanan? Lihat misalnya sinopsis film Pak Prawiro (1958)
yang ditulis di situs filmindonesia.or.id ini: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p010-58-844026_pakprawiro#.U1eQTfldWaQ
3 Borongan atau outsourcing ini menjadi salah satu perkara dalam eksternalisasi resiko produksi dari produser/investor
ke produser/sutradara. Dengan metode kerja seperti ini, produser/sutradara harus menanggung resiko kekurangan
modal dan himpitan biaya produksi yang dapat berimbas pada pengorbanan aspek artistik film mereka. Lihat soal
borongan ini dalam thesis doktoral Thomas Barker (2012), juga pada wawancara dengan Nayato ini
(filmindonesia.or.id)
4 Bahkan logika ‘film idealis’ yang didani secara murni dari kantong pribadi dan ‘film komersial’ yang sumber
uangnya dari sponsor atau pemodal sudah sulit dipisahkan dengan melihat fenomena iklan built-in product pada film
Indonesia sekarang ini. Sampai dimana batas ‘idealis’ dan ‘komersial’ ketika produk pengiklan dan sponsor sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari elemen naratif (juga artistik)? Hal ini memerlukan studi tersendiri yang mungkin
menjadi amat menarik ketika dihubungkan dengan persepsi penonton terhadap hal ini.
10

anggota-anggotanya membuat film penuh kekerasan (demi mendapat dukung menteri). Tentu
usulan ini dilakukan dengan niat menyindir menteri. Namun penerapan dualisme berdasar
oposisi biner ini bisa menyulitkan bagi pengembangan kebudayaan yang lebih strategis karena
tetap bertolak dari pandangan bahwa ada film “kultural edukatif” yang (diasumsikan pasti) lebih
baik dan bermutu di satu sisi, dan ada film genre, semisal laga horor dan sebagainya (yang selalu
dituduh tak bermutu) yang mempromosikan kekerasan atau tak mencerminkan kebudayaan
Indonesia. Penggunaan asumsi-asumsi ini secara apriori sudah waktunya ditinggalkan.

Politik identitas dalam film
Bagaimana menghindar dari oposisi biner semacam itu dalam rangka mencari soal politik
identitas di film Indonesia? Bisakah penyingkiran-penyingkiran serta elitisme dibuang dalam
rangka perumusan identitas ini?
Saya membayangkan betapa rumitannya memecahkan persoalan ini, serupa belaka
dengan kerumitan memecahkan persoalan identitas Indonesia itu sendiri. Melalui komentar ini,
saya mencoba untuk melakukan semacam identifikasi mengenai beberapa hal yang mungkin bisa
dijadikan sebagai landasan untuk berdiskusi dan studi lebih panjang dan mendalam mengenai
soal identitas dalam film-film Indonesia itu sendiri ketimbang memberi jawaban yang pasti.
Pertama, sama seperti SGA, saya tidak merasa bahwa kriteria “nasional” mungkin tidak
relevan, dan saya mengusulkan kriteria itu tak perlu menjadi kriteria satu-satunya dalam melihat
praktik wacana dalam rangka praktik identitas ini. Saya ingin melihat proses pembentukan
identitas yang terjadi dalam ruang-ruang fisik dan kemudian diabstraksikan beriring dengan
proses konsumsi media itu sendiri. Keberadaan ruang fisik (bioskop, gedung kelas yang diubah
jadi tempat nonton, ruang serbaguna, palwa video dan apapun itu) melahirkan pengalaman yang
membuka kemungkinan munculnya ruang imajinatif bersama bagi kolektivitas yang hidup di
negara bangsa bernama Indonesia. Dalam ruang-ruang inilah terjadi pengalaman menonton yang
unik di satu sisi karena terjadi pada tingkat individu tetapi pada saat yang sama meluber keluar
proses menonton itu sendiri, masuk ke dalam ‘ruang imajinatif’ dalam berbagai percakapan
(Hansen, 2012).
Pengalaman menonton film bagi saya merupakan sebuah pengalaman yang terbuka dan
tidak bisa dipisah-pisahkan apakah pemaknaan identitas yang lahir darinya, apakah “nasional”,
“transnasional” atau “internasional” atau bahkan “tradisional”. Maka dengan demikian, sulit pula
menentukan apakah identitas (nasional atau non-nasional) itu punya batas-batas dalam diri
11

seorang penonton, ataukah itu memang merupakan proses yang unik dan amat tergantung pada
situasi-situasi material dan gagasan yang melingkupi prosesnya. Bagi saya, bagaimanapun proses
pembentukan identitas terjadi pada penonton. Dan sebagaimana medium film sendiri yang juga
tak mungkin ‘murni’ bersifat nasional, maka identitas di dalam diri penonton juga tak mungkin
demikian.
Di luar perkara film, identitas nasional sendiri merupakan sesuatu yang masih amat
terbuka hingga kini dan terus mengalami pendefinisian dari hari ke hari oleh berbagai praktek
yang terjadi di dalam wacana. Proses pembentukan identitas di dalam wacana itu tentu
merupakan sesuatu yang tak bisa diharapkan terjadi satu arah, murni atau tidak meluber ke
wilayah-wilayah non-filmis. Artinya, ketidaksetujuan penonton terhadap identitas yang
ditampilkan di layar bioskop bisa saja meluber ke luar layar dan mencari jalan lewat institusiinstitusi sosial politik dan budaya yang ada.
Dengan cara melihat seperti ini, maka tak perlu heran juga dengan banyaknya
pengimbuhan berbagai predikat, harapan dan gugatan yang terjadi dalam diskusi mengenai film,
karena film memang menjadi salah satu wahana bagi formasi identitas secara kolektif. Saya tak
heran menyaksikan bagaimana film seperti Soekarno Indonesia Merdeka diprotes, bukan karena
dianggap tak setia pada sejarah hidup Soekarno sendiri (Said, 2013) tetapi juga digugat karena
dianggap tak menampilkan tokoh-tokoh komunis (lihat Kusno, 2013) atau tak menampilkan
Soekarno sebagai seorang tokoh relijius, seperti misalnya protes FPI terhadap film itu.
Gugatan dan protes semacam itu terjadi bukan karena para pemrotes tak mengerti bahwa
film Soekarno itu adalah film semata, lantaran justru berdasar pemahaman bahwa film itu adalah
film, sehingga di situlah sebuah ruang imajinatif bersama terbentuk dan pembentukan identitas
itu dilakukan karena sifat film yang punya daya jangkau yang luas terhadap publik (sekalipun
penonton datang menonton film itu berdasarkan transaksi ekonomi). Yang terjadi bukan
pencampuradukkan fiksi dengan kenyataan, tetapi adanya sifat publik dari media seperti film
yang berinteraksi dengan penonton yang melahirkan sebuah proses diskursif sendiri seputar film
tersebut. Maka, alih-alih membatasi proses diskursif dalam melihat film ada pada pembuat film,
kritikus, kurator atau penulis (profesional maupun amatir), proses pembentukan identitas ini
harus dilihat terjadi juga dari respons penonton, dan hal itu tak terbatasi pada saluran semisal
komentar tertulis atau membuat film tandingan, tetapi lewat institusi-institusi sosial budaya politik
lain karena praktik media tak bisa dibatasi secara eksklusif terjadi pada media saja.
Maka tiba kita pada soal kedua dalam perumusan identitas ini, yaitu, asumsi tentang
hubungan penonton dengan media yang perlu diubah. Selama ini penonton selalu dianggap pasif
12

menerima tontonan, terutama dalam pendekatan yang melihat film sebagai kumpulan ‘teks’ yang
bisa dibaca sebagaimana sebuah bahasa yang baku yang punya rumusan tertentu. Ketrampilan
memahami bahasa film ini kerap menjadi sumber bagi previlese pembuat film, kritikus, kurator
dan para intelektual, karena mereka inilah orang-orang yang dianggap punya pengetahuan dan
ketrampilan lebih dalam memahami film ketimbang penonton biasa. Orang-orang inilah yang
memahami, menafsirkan dan akhirnya “memberitahu” penonton mengenai “apa-apa yang tak
mampu” ditangkap penonton.
Berangkat dari pandangan tentang penonton yang aktif ini, maka proses perumusan
identitas adalah sebuah interaksi dari film dan medium yang dikonsumsi dengan persepsi
penonton sendiri ketimbang sebuah percakapan satu arah, dimana muatan dan cara bercerita
tertentu sudah pasti menghasilkan proses pembentukan identitas yang dimaksudkan oleh
pembuat film atau didefinisikan oleh kritikus. Berangkat dari bentuk dan interaksi berbeda
ketika mengkonsumsi media, muncullah pengalaman yang juga berbeda hingga tiba pada
kesimpulan-kesimpulan berbeda pada penonton5.
Saya sendiri tak ingin melihat pengalaman menonton sebagai satu-satunya kriteria yang
paling otentik dalam penentuan identitas ini, karena pengalaman juga bisa mengalami distorsi
karena berbagai hal, sehingga ia tidak pernah netral. Pertama, lingkungan produksi, distribusi
dan eksebisi film tidak pernah netral dan cenderung untuk mempertahankan ideologi dominan,
sehingga apa yang tampak alamiah di layar sesungguhnya adalah sebuah sugesti untuk
mempertahankan apa yang dominan itu6. Kedua, teknologi dan aspek artistik yang lahir dari
ideologi dominan itu telah berkembang dengan pesat dan penonton telah terpapar sedemikian
rupa, membuat mereka akrab dengan aspek-aspek artistik tersebut. Akibatnya, teknologi dan
aspek artistik itu kerap dianggap norma umum (bukan hanya oleh penonton, tetapi juga oleh
kreator) sehingga penyimpangan terhadap norma umum itu dianggap sebagai sesuatu yang asing
dan mengalami kesulitan untuk diterima; bahkan dianggap sebagai sesuatu yang elitis dan
terbatas. Tentu hal ini akan menyulitkan bagi perubahan substansial di tingkatan teknologi dan
aspek artistik film itu sendiri. Ketiga, pengalaman sendiri bisa bersifat langsung dan terbatas
(immediate and closed) ketimbang membuka kemungkinan bagi terciptanya sebuah ruang

5

Lihat misalnya pembahasan saya yang membandingkan film Nagabonar jadi 2 dan Kala yang amat berbeda secara
tekstual tetapi bisa sama-sama menghasillkan kesimpulan di hadapan penonton tentang apa itu identitas Indonesia
dalam persepsi mereka: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/nagabonar-jadi-2-dan-kala-indonesia-nun-disana/
6 Tentu amat berguna melihat kritik idelogi pada film seperti misalnya Slavoj Zizek yang terus menerus menyatakan
hal ini dalam berbagai kesempatan, termasuk pada dua film kuliahnya (lecture film) tentang film dan peran ideologis
mereka dipandang dari pendekatan psikoanalisa, A Pervert Guide to Cinema (2006) dan A Pervert Guide to
Ideology (2012) yang amat baik dalam menyoal hal ini.
13

imajinatif kolektif yang bersifat sosial dan kolektif. Dengan teknologi dan aspek artistik yang
berkembang berdasar perkembangan ideologi dominan, mudah sekali bagi mekanisme pasar
misalnya membuat dirinya tampak alamiah dan terkesan “sudah seharusnya”. Maka dari itu,
telisik lebih jauh ke dalam interaksi antara penonton dengan film yang ditontonnya menjadi
penting dan amat perlu dilakukan. Sejauh apa sebuah tontonan mampu membawa para
penonton untuk membayangkan situasi di luar pengalaman terbatasnya (immediate experience)
dan mengarah pada ruang bersama. Ketiga soal ini perlu diperhatikan juga secara baik-baik ketika
menumpukan proses kepada pengalaman menonton sebagai basis bagi pembentukan identitas.
Soal ketiga dalam perbincangan identitas ini, saya ingin menolak juga oposisi biner pada
aspek tekstual maupun institusional film sendiri yang memisahkan dan cenderung menyeleksi
film berdasar durasi, format, elemen naratif (fiksi dan non-fiksi), produksi, distribusi serta
eksebisi dan sebagainya yang kini berujung pada perayaan terhadap film cerita panjang bioskop
saja sebagai film yang sah dibicarakan dalam rangka diskusi soal identitas dalam film di Indonesia.
Saya kira semua kriteria-kriteria seperti itu sudah seharusnya dileburkan dan dipandang sebagai
kontinum yang saling mempengaruhi proses menonton dan membentuk identitas. Sudah
waktunya film bioskop panjang ditanggalkan dari posisi tunggal yang dirayakan sebagai wahana
pembentukan identitas. Perbincangan tentang identitas (apapun satuan identitas tersebut)
menurut saya sebaiknya tidak dilakukan secara eksklusif pada film cerita panjang yang beredar
di bioskop saja.
Memandang film bioskop sebagai satu-satunya film yang berpeluang didiskusikan dalam
kaitannnya dengan soal identitas, menurut saya amat bermasalah mengingat bioskop sebagai
tempat eksebisi punya keterbatasan serius. Saat hanya sekitar 13% penduduk Indonesia terlayani
oleh bioskop (Taurisia, 2013). Perlu diingat juga, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Tim
Rumah Film (2011), terjadi gentrifikasi yang dialami bioskop di Indonesia sejak dekade 1990-an
yang membuat bioskop menjadi tempat yang cenderung melayani kelas menengah.
Maka dengan demikian upaya perengkuhan (inclusion) film sebagai bagian dari proses
pembentukan identitas, tak hanya dengan cara memasukkan film-film “genre” atau film-film yang
dulu dikategorikan sebagai “film komersial” (seperti cara memandang Djajakusuma yang saya
usulkan di atas), tetapi juga pada film-film lain tak peduli durasinya: panjang atau pendek, elemen
naratifnya: fiksi, documenter atau eksperimental dan seterusnya dan seterusnya, menjadi bagian
dari proses pembentukan identitas itu. Demikian pula dengan institusi film (praktek produksi,
distribusi dan eksebisi) semisal tempat dan praktek pemutaran film tak hanya di bioskop.
Pertimbangkan misalnya bahwa institusi film dan edukasi film yang dilakukan dilakukan teman14

teman di Purbalingga melalui Cinema Lovers Community (CLC) – seperti yang dilaporkan oleh
Cinema Poetica (Jusuf, 2014) – juga berpeluang besar menyumbang pada urusan film dan
identitas itu. Ini merupakan salah satu contoh saja, bahwa peluang untuk mendiskusikan identitas
itu tak hanya semata besifat nasional dalam platform yang juga nasional dan ditentukan oleh
konsep-konsep ‘tinggi’ yang ditetapkan oleh kaum intelektual dan kritikus, melainkan bisa
tumbuh dari bawah berdasarkan kebutuhan dan gagasan yang berbeda. Contoh apa yang
dilakukan oleh CLC ini juga memperlihatkan bahwa pembentukan identitas bisa lahir juga dari
keseluruhan proses yang muncul dari institusi film (produksi, distribusi, eksebisi) dan tidak
semata ditentukan oleh aspek tekstual film semata.
Pada akhirnya, komentar saya ini memang saya harapkan lebih banyak menghasilkan
pertanyaan ketimbang memberi jawaban mengenai apa itu identitas Indonesia (mungkin tak
pernah ada jawaban final atas pertanyaan seperti ini). Kemudian jika identitas itu adalah sebuah
proses, seperti apa proses itu harus dijalani. Terus terang saja, ini bukan pertanyaan untuk
dijawab sendirian, melainkan sebuah proses yang harus dijalani dan dilakukan secara bersamasama. Semoga komentar ini bisa sedikit menyumbang proses tersebut.

Referensi
Barker, T. (2012). Historical Inheritance and Film Nasional in post-Reformasi Indonesian Cinema.

http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/historical-inheritance-and-film-nasional-in-postreformasi-indonesian-cinema/
Barker, T. and Setijadi-Dunn, C. (2012). Imagining ‘Indonesia’: Ethnic Chinese film producers in preindependence cinema. http://new.rumahfilm.org/uncategorized/imagining-

%E2%80%98indonesia%E2%80%99-ethnic-chinese-film-producers-in-pre-independencecinema/
Bersamadakwah.com. FPI Minta Film Soekarno Dihentikan, Ini Alasannya. Online:

http://www.bersamadakwah.com/2013/12/fpi-minta-film-soekarno-dihentikan-ini.html
Bordwell, D. (2006). The Ways Hollywood Tells It: Story and Styles in Modern Movies. Berkeley and
Los Angeles: University of California Press.
Carroll, N (1998). Interpreting the Moving Image. Cambridge: Cambridge University
Press.
Heider, K. (1991). Indonesian Cinema: National Culture on Screen. Honolulu: Univeristy of Hawaii
Press.
Hansen, M, B. (2012). Cinema and Experience: Sigfried Kracauer, Walter Benjamin and Theodor W.
Adorno. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

15

Jusuf, W(2014). CLC Purbalingga: Edukasi Film, Edukasi Politik. Cinema Poetica. Online:

http://cinemapoetica.com/clc-purbalingga-edukasi-film-edukasi-politik/
Pasaribu, A.J dan Kartikasari, A (2011). Nayato Fio Nuala: Saya Buat Film Untuk Nonton Film di
filmindonesia.or.id Online: http://filmindonesia.or.id/article/nayato-fio-nuala-saya-buat-film-

untuk-nonton-film#.U2IrS_ldWaQ
Said, E. (1978). Orientaliasm. New York: Routledge, Kegan and Paul Ltd.
Said, S (2013). Setelah menonton Soekarno. Carikabar.com. Online: http://carikabar.com/mimbar/164kolom/5790-setelah-menonton-sukarno
Taurisia, M (2013). Investasi Industri Film Indonesia: Lokal atau Asing? Filmindonesia.or.id, Online:

http://filmindonesia.or.id/article/investasi-industri-film-indonesia-lokal-atauasing#.U2i2XvldWaQ

16

Dokumen yang terkait

Strategi Pemenangan Pilkada Langsung di Kota Batu Periode 2012-2017 (Studi Tentang Strategi Pemenangan Pilkada Langsung Pasangan Calon Edi Rumpoko Dan Punjul Santoso)

2 49 40

MANAJEMEN SIARAN PADA VOICE OF AMERICA (VOA) INDONESIA (Studi Tentang Pengolahan dan Penyebaran Program Acara Radio dan Televisi Oleh VOA Indonesia)

3 48 23

PEMAKNAAN MAHASISWA PENGGUNA AKUN TWITTER TENTANG CYBERBULLY (Studi Resepsi Pada Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2010 Atas Kasus Pernyataan Pengacara Farhat Abbas Tentang Pemerintahan Jokowi - Ahok)

2 85 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2

Dari Penangkapan Ke Budidaya Rumput Laut: Studi Tentang Model Pengembangan Matapencaharian Alternatif Pada Masyarakat Nelayan Di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur

2 37 2

Pandangan Islam Tentang politik pendidikan

0 29 69

Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi (Studi Deskriptif Tentang Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi)

4 40 1

Konstruksi Makna Gaya Blusukan (studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Gaya Blusukan Gubenur Joko Widodo Bagi Masyarakat Jakarta Pusat)

1 65 112

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79