Kurikulum Berbasis Kompetensi (2). docx

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) (tugas
makul Pengembangan Kurikulum Dan
Program Pengajaran)
March 11, 2011 at 2:49 pm Leave a comment
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
(KBK)
A. Latar Belakang
Dewasa ini kehidupan manusia dengan cepat berubah dari waktu ke waktu.
Demikian juga dengan kehidupan anak/generasi muda, yang bahkan kadangkadang perubahan itu sangat kompleks. Kehidupan keluarga, termasuk anak-anak
sekarang memberikan banyak kebebasan dan banyak dipengaruhi oleh faktor dari
luar. “Dunia menjadi semakin kosmopolitan dan kita semua mempengaruhi satu
sama lain.” Demikian ujar desainer Paloma Picasso, seperti dikutip oleh John
Naisbitt (1990:106)
Di lain pihak dengan kemajuan di bidang komunikasi (termasuk telekomunikasi
tentunya), melalui film, TV, radio, surat kabar, telepon, komputer, internet, dan
lain – lain. anak-anak sekarang sudah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
dari luar. Dalam tulisan berikutnya, John Naisbitt menggambarkan: Dahulu biaya
untak memulai sebuah surat kabar sama dengan biaya untuk memulai sebuah
pabrik baja. Akan tetapi, dengan desktop publishing sekarang ini, sebuah surat
kabar dapat dimulai dalam semalam dengan sedikit sekali biaya. Daily Planet
Telluride sepenuhnya didigitalkan, termasuk pemakaian kamera digital yang

citranya diumpankan langsung ke dalam komputer. (John Naisbitt, 1994:28-29).
Jadi sekarang ini kehidupan kita senantiasa dibayangi oleh perkembangan
IPTEKS (baca: Ilmu, Teknologi dan Seni) dengan akselerasi laju yang luar biasa,
yang menyebabkan terjadinya “ledakan informasi”. Pertumbuhan pengetahuan
pada tahun 80-an saja berjalan dengan kecepatan 13% per tahun. Ini berarti bahwa
pengetahuan yang ada akan berkembang menjadi dua kali lipat hanya dalam
tempo kira-kira 5,5 tahun. Akibatnya pengetahuan dalam bidang tertentu menjadi
“kadaluwarsa” hanya dalam tempo kira-kira 2,5 tahun. (Dikutip dari Miguel
Ma.Varela, Education for Tomorrow, APEID, Unesco PROAP, Bangkok, 1990,
oleh Santoso S. Hamidjojo).
Dari gambaran di atas kiranya jelas bahwa dunia yang dihadapi peserta didik
termasuk mahasiswa pada saat ini, sangat kompleks.Wajarlah jika secara periodik
kurikulum senantiasa harus selalu ditinjau kembali, dan senantiasa ada
pembaharuan di bidang kurikulum. Adapun sejumlah masalah yang dihadapi saat
ini dan tantangan masa depan dapat berupa: Faktor-faktor Eksternal seperti:
globalisasi, perkembangan ekonomi nasional, desentralisasi, politik, sosial budaya
dan teknologi. Faktor-faktor Internal seperti: dampak manajemen yang
sentralistik, mekanisme pendanaan oleh pemerintah, manajemen dan organisasi,
sumberdaya manusia, penelitian di perguruan tinggi, serta peran serta orang tua
dalam pendanaan pendidikan.

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian

kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu
kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat
penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi
kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut
menentukan proses pengembangan kurikulum. Ketiga pokok bahasan itu
dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.
Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama.
Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis.
Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian
kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu
kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para akhli sesuai dengan
pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang
kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.
Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh
terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian
sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum
adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para
pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula

menyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan
dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.
Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan
memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu
proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli
kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka
memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam
proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan
bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan kriteria
yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses
pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski
pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana
ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan
dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam
bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan
menentukan apa yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang
kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk
dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum.
Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang

seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari
keberhasilan pendidikan.
B. Kajian Teori
a. Pengertian Kurikulum
Dalam banyak literatur kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana
tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik
melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa
kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis.
Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang

harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut.
Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum
sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta
didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik,
kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam
bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses
pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para
pengambil keputusan yang digunakan sebagai dasar bagi pengembangan
kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum

sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan
berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang
diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun
sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Olivia (1997:12) mengatakan
“Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely
complex idea or set of ideas”.
Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan
berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk
kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para akhli didasarkan pada
isu berikut ini:
• filosofi kurikulum
• ruang lingkup komponen kurikulum
• polarisasi kurikulum – kegiatan belajar
• posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh
pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai “subject matter”, “content” atau
bahkan “transfer of culture”. Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai
“transfer of culture” adalah dalam pengertian kelompok akhli yang memiliki
pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104).

Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal
intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113)
keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk
mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner
(1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi
“cultivation of the rational powers: academic excellence” sedangkan essentialism
memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan “academic
excellence dan cultivation of intellect”. Perbedaan antara keduanya adalah
menurut pandangan perenialism “the cultivation of the intellectual virtues is
accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual
inheritance”. Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi
Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics.
Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah
mengembangkan “modern needs through the fundamental academic disciplines of
English, mathematics, science, history, and modern languages” (Tanner dan
Tanner, 1980:109)
Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam
definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah “statement of objectives”

(McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana

bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor,
Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah
dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru
untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi
negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang
menyatakan bahwa kurikulum adalah “seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu” (pasal 1 ayat 19).
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang
membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang
sesungguhnya terjadi di kelas (instruksi atau pengajaran). Memang banyak ahli
kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut
pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui
pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja
terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas
adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi
mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan.
Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara
kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pengajaran). Baik ahli kurikulum

mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar
belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Hilda Taba (1962) mengemukakan bahwa: “A curriculum usually contains a
statement of aims and of specific objectives; it indicates some selection and
organization of content; it either implies or manifests certain patterns of learning
and teaching, whether because the objectives demand them or because the content
organization requires them. Finally, it includes a program of evaluation of the
outcomes”. Pengertian kurikulum menurut Hilda Taba di atas menekankan pada
tujuan suatu pernyataan, tujuan-tujuan khusus, memilih dan mengorganisir suatu
isi, implikasi dalam pola pembelajaran dan adanya evaluasi.
Istilah dalam kurikulum seperti “planned activities”, “written document”,
“curriculum as intended”, “curriculum as observed”, “hidden
curriculum”,”curriculum as reality”, “school directed experiences”, “learner actual
experiences” menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa
yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh
(1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined
as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with
purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction.
Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program,
a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction

as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8)
termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan
pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the
experiences that the learner encounters under the direction of the school. Lebih
lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to
recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum
diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated

set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the
school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the
interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere
constitutes the curriculum that students actually experience.
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis
pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan
kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang
seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan.
Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk
mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum
untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:4751) menamakannya sebagai “the scientific curriculum” dan menyimpulkan
sebagai “clouded and myopic”.

Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang
ada sekarang dengan mengatakan:
Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable,
nonechange concept – for example, children following the pattern of their parents,
IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most
part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where –
trough focusing – knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what
our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teachinglearning process.
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu fokus pendidikan
yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan
berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai
subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus
mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh
orang tua mereka.
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol
dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai
disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati.
Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin
ilmu karena logik yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logika disiplin ilmu
dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah

dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai
kurikulum di Afrika. Hal ini amat dipahami jika kurikulum diartikan dari
pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas
segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan
istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme
dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli lainnya seperti Schubert (1986),
Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)
Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari
pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan
pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia
masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini
adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan
konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.

Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok “conservative”
(perenialism dan essentialism), kelompok “romanticism” (romantic naturalism),
“existentialism” mau pun “progressive” (experimentalism, reconstructionism)
hanya memusatkan perhatian pada fungsi “transfer” dari apa yang sudah terjadi
dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis
dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah
apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan
dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada
upaya untuk “shaping the future” dan bukan hanya “adjusting, mending or
reconstructing the existing conditions of the life of community”. Seperti
dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help
students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as
a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills
needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan
kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang
sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat
dikhawatirkan akan terganggu.
Pandangan rekonstruksi sosial di atas menyebabkan kurikulum haruslah
diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan
diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun
menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah
kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi.
Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan
velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah
dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan haruslah aktif membentuk dan
mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan
dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat
yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat
(dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan
mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya,
kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal
mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai
individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya,
masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi
kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
ayat (19) yang berbununyi: kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa
kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
 peningkatan iman dan takwa;
 peningkatan akhlak mulia;
 peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;

 keragaman potensi daerah dan lingkungan;
 tuntutan pembangunan daerah dan nasional; – tuntutan dunia kerja;
 perkembangan ilmu
 pengetahuan, teknologi, dan seni;
 agama;
 dinamika perkembangan global; dan
 persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta
didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa,
ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan
kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini
dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada
kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan.
b. Proses Kurikulum dalam Pendidikan
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan (Klein,
1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui
ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan
modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan
yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum.
Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit
pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan
kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik,
pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa
setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa
kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan
kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga
pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga
pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus
haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap
masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan “academic
accountability” dan “legal accountability” berupa kurikulum. Oleh karena itu jika
ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang
ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan
mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan
ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum
lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian “intrinsic” kependidikan maka kurikulum adalah jantung
pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah
didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah
kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum.
Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah
didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di

sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan
kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan
sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang
dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan
sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas
apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu
lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi
peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi
diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme.
Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam
kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai
masalah sosial yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum
menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh
keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini
tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan
masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Masalah
masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah
kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik
yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tantangan masyarakat ataukah
kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang
diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama
adalah kurikulum adalah “construct” yang dibangun untuk mentransfer apa yang
sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan,
diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan
filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama
kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk
menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi
ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan
filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun
kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai
rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk
mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam
tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan
pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar
pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar.
Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan
nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh
bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh
setiap warga negara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi,
tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang
dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi
kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah
Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
(SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini

memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan
SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam
pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI
berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas
mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri
peserta didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta
didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa,
ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan
kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini
dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada
kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan
(pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan
dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk
kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke
masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system
pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap
dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan
tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan
kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik
sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan
menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada
gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya
pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam
pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah
kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan
pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan
sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan
diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi
dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial,
PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang

dianggap kurang “penting”. Alokasi waktu ini adalah “construct” para
pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab
keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya
menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu
rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan
dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di
masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak
menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi
kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul
karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu
dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam
mengembangkan kehidupan sosial yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum
merupakan “construct” yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa
depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa.
Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan
masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya
menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan
kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi
kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia
Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas
minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3)
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi
kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus
mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah
mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi,
mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif,
kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras,
menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya
maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk
memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa
yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta
didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas
kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan
potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan
menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus
mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi
kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun
itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian
dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian
psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum
SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang
pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan

aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi
pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan
kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang
diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja.
Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak
juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang
seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas
kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan,
menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum
pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba
memberikan perhatian kepada aspek ini.
c. Macam-macam Kurikulum
Kita mengenal berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek:
 Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah
kurikulum sebagai berikut:
1) Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang
dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
2) Kurikulum aktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pengajaran
dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan
harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan
kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak
dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah direncanakan
yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang pengajaran merujuk
kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar mengajar.
3) Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi
pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu
itu bisa berupa pengaruh guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan
dari peserta didik itu sendiri. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar
di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan
berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.
 Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat
membedakan:
1) Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata
pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata
pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan
seterusnya.
2) Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya
diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari
beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya.
Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan
di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa
Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu.
3) Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya
dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain.

 Berdasarkan pengembangnya dan penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan
menjadi:
1) Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh
tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
2) Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun
oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di
Amerika Serikat.
3) Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh
satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk
melakukan diferensiasi dalam kurikulum.
C. Sejarah Kurikulum Indonesia
Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian
Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum
memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak
tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu
pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan
tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik,
sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan
secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu
Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan
pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan.
Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang
curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis:
dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan
ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah
kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum
1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam
pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947
mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran
bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian
sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran
Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu
mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas
periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD
Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau
Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya,
dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima

kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan
(keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada
pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3. Kurikulum 1968
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan
sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964.
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah:
bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan
akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan
pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral,
kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu
dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana
menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan
ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan
sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi
pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang
sehat dan kuat.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964
yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan
manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi
materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat
mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat
teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya
pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang
pendidikan.
Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya
berdasarkan hasil kajian mendalam terhadap pancasila dan Undang-undang Dasar
1945. Oleh karena itu, pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan
inovasi dan uji coba terhadap model desain pembelajaran yang pada akhirnya
terakumulasi dalam perwujudan kurikulum 1975.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan
efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen,
yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito,
Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu
rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi:
petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat

pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak
dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap
kegiatan pembelajaran.
Kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu mengakomodasi upaya
menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan
tiga aspek kognisi, afektif, dan psikomotor, maka dirancanglah kurikulum 1984
sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya yang menekankan pada Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA).
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan
pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering
disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai
subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau
Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R.
Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga
Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 19841992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolahsekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan
secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA.
Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di
sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model
berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
Seiring dengan perubahan situasi politik, tarik-menarik kepentingan pun sering
terjadi sehingga mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri
ini. Setelah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum
tahun 1984 terasa terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi
yang terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan
Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran
beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal.
Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing,
misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu
tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi
kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran
Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambah sejumlah
materi.
Dengan demikian, perubahan kurikulum terus berubah dengan lahirnya kurikulum
1994 sebagai penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang semakin
terpuruk hingga berada pada level ke-12 dari 12 negara di Asia seolah
mengindikasikan hanya dengan perubahan kurikulumlah sehingga keterpurukan

itu dapat didongkrat ke arah yang lebih baik, maka lahirlah kurikulum 2004 yang
dikenal dengan “kurikulum berbasis kompetensi”.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai
berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan
muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir
sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi
yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian
yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan
kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan.
Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan
pembuat kurikulum.
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses
pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah
banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol
adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai
dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini
disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar
kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap
satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi
pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian
merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan
supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
9. Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh
tahun sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak
ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologinya. Kurikulum yang pernah diberlakukan secara nasional di Indonesia
dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel Kronologis Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Tahun Kurikulum Keterangan
1947 Rencana Pelajaran 1947  Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama di
Indonesia setelah kemerdekaan.
 Istilah kurikulum masih belum digunakan. Sementara istilah yang digunakan
adalah Rencana Pelajaran
1954 Rencana Pelajaran 1954  Kurikulum ini masih sama dengan kurikulum
sebelumnya, yaitu Rencana Pelajaran 1947
1968 Kurikulum 1968  Kurikulum ini merupakan kurikulum terintegrasi
pertama di Indonesia. Beberapa masa pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan
beberapa cabang ilmu sosial mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial
(Social Studies). Beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan

sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPS) atau yang
sekarang sering disebut Sains.
1975 Kurikulum 1975  Kurikulum ini disusun dengan kolom-kolom yang sangat
rinci.
1984 Kurikulum 1984  Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1975
1994 Kurikulum 1994  Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1984
2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)  Kurikulum ini belum diterapkan
di seluruh sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah telah dijadikan uji coba dalam
rangka proses pengembangan kurikulum ini
2008 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)  KBK sering disebut
sebagai jiwa KTSP, karena KTSP sesungguhnya telah mengadopsi KBK.
Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional
Pendidikan).
D. Pendidikan Berbasis Kompetensi
Pembaharuan pendidikan dan pembelajaran selalu dilaksanakan dari waktu ke
waktu dan tak pernah berhenti. Pendidikan dan pembelajaran berbasis kompetensi
merupakan contoh hasil perubahan dimaksud dengan tujuan untuk meningkatkan
kulitas pendidikan dan pembelajaran.
Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus
dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi yang sering disebut
dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai
lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah “pernyataan yang
menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang
merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati
dan diukur”. Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk
bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan
sumber daya manusia. Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis
kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di
tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan
silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi.
Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum,
pembelajaran, dan penilaian, menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan
standar kompetensi. Kurikulum berisi bahan ajar yang diberikan kepada
siswa/mahasiswa melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilak