SKENARIO PROYEKSI KONSUMSI IKAN PER KAPI

SKENARIO PROYEKSI KONSUMSI IKAN PER KAPITA DI INDONESIA
Oleh
Fitria Virgantari
Universitas Pakuan
Email: fitriav12@gmail.com

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis proyeksi konsumsi ikan di Indonesia beberapa tahun yang
akan datang berdasarkan nilai elastisitas yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Konsumsi awal
yang digunakan adalah konsumsi tahun 2008 sebesar 28 kg/kapita/tahun. Pertumbuhan harga dan
pertumbuhan pendapatan yang digunakan pada model proyeksi didasarkan pada angka indeks BPS
dengan melihat beberapa kombinasi nilai. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa nilai proyeksi
permintaan berdasarkan kondisi riil dengan laju pertumbuhan pendapatan 5 persen dan laju
pertumbuhan harga 3 persen merupakan skenario terbaik karena menghasilkan persentase kesalahan
relatif (MAPE), akar kuadrat tengah galat (RMSE) dan persentase akar kuadrat tengah galat (RMSPE)
yang paling kecil. Pada skenario ini terlihat tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia
akan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata sekitar 4.3 persen per tahun dengan tingkat konsumsi
per kapita pada tahun 2014 sebesar 36 kilogram. Jika hasil proyeksi ini dikaitkan dikaitkan dengan
program pemerintah yang mentargetkan tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014
tampaknya hal tersebut belum dapat dicapai. Masih diperlukan upaya lebih dari pemerintah untuk

meningkatkan konsumsi ikan tersebut. Dengan asumsi elastisitas harga dan elastisitas pendapatan
tetap, maka target tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 dapat dicapai dengan
upaya menekan laju pertumbuhan harga. Mengingat bahwa sebagian besar golongan penduduk
berpendapatan rendah memiliki respon yang kuat terhadap perubahan pendapatan maupun harga
komoditas ikan, maka prioritas strategi dan kebijakan peningkatan konsumsi ikan perlu lebih
difokuskan pada kelompok tersebut namun dibarengi dengan strategi dan kebijakan sosialisasi dan
peningkatan pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan melalui penyuluhan, pendidikan,
dan iklan layanan masyarakat. Selain itu, distribusi konsumsi dan produksi ikan yang tidak merata
mengindikasikan bahwa intervensi kebijakan yang berhubungan dengan pemasaran juga diperlukan.
Kata kunci : konsumsi ikan per kapita, proyeksi konsumsi, strategi dan kebijakan

Pendahuluan
Ikan merupakan salah satu produk pangan hewani yang mempunyai kontribusi cukup besar
dalam konsumsi protein penduduk di Indonesia. Dari tahun ke tahun tingkat konsumsi ikan terus
meningkat. Berdasarkan data Susenas, tahun 1997 tingkat konsumsi ikan adalah 18 kg per kapita per
tahun. Tahun 2000 meningkat menjadi 22 kg per kapita per tahun, dan tahun 2006 tingkat konsumsi
tersebut baru mencapai 24 kg per kapita per tahun, belum mencapai target pemerintah sebesar 26 kg.
Pada tahun 2010 tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia sudah mulai memenuhi standar FAO,
yaitu 30.48 kg/kapita per tahun, namun tingkat konsumsi ikan tersebut masih tergolong rendah
diantara beberapa negara di dunia. Sebagai perbandingan, konsumsi ikan per kapita di Jepang pada

tahun 2006 menurut catatan FAO adalah 110 kg, Korea Selatan 85 kg, Amerika Serikat 80 kg,
Singapura 80 kg, Hongkong 85 kg, Malaysia 45 kg, Thailand 35 kg, dan Filipina 24 kg (Daud, 2006).

Rendahnya konsumsi ikan masyarakat Indonesia dapat dikaitkan dengan berbagai faktor yaitu
:1) pengetahuan mengenai gizi dan teknik pengolahan ikan yang masih terbatas, 2) kendala
mendapatkan ikan yang bervariasi, 3) harga ikan (misalnya udang, cumi, kakap merah) yang dinilai
cukup mahal dibandingkan daya beli masyarakat pada umumnya, 4) tingkat preferensi/kesukaan ikan
belum berkembang, 5) citra/image/gengsi ikan sebagai makanan acara khusus belum berkembang, 6)
masih terdapatnya nilai budaya, tabu, mitos, dan pantangan sekelompok masyarakat mengenai
dampak negatif konsumsi ikan, dan 7) promosi konsumsi ikan yang belum optimal (Sulistyo et al.,
2004). Selain itu, konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar gizi dan kesehatan.
Faktor-faktor produksi, pemasaran, teknologi dan perhubungan sangat mempengaruhi konsumsi ikan
secara makro (tingkat nasional dan regional), sedangkan faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya
mempengaruhi secara mikro (tingkat keluarga dan individu).
Di sisi lain, pertumbuhan total produksi perikanan periode 2002-2009 terus mengalami
peningkatan, dari 5.5 juta ton pada tahun 2005 menjadi 9.5 juta ton pada tahun 2009. Pada periode
2002-2005 pertumbuhannya sekitar 6% per tahun, namun periode 2005-2009 pertumbuhannya
mencapai sekitar 10% per tahun. Produksi ikan hasil penangkapan di laut sektor ini merupakan
penyumbang terbesar produksi perikanan Indonesia dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir,
yaitu mencapai 75.89% dari total produksi, jauh di atas kontribusi perairan umum (7.36%) dan

budidaya (16.75%) per tahun. Kecenderungan tersebut menggambarkan bahwa pasokan ikan yang
dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri (selain untuk kebutuhan
ekspor) sesungguhnya tersedia dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa potensi
sumberdaya perikanan dapat diharapkan untuk membangun kemandirian pangan di sektor perikanan,
yakni kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Untuk melihat sejauh mana
prospek produk perikanan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya, perlu dilakukan
analisis proyeksi konsumsi penduduk Indonesia terhadap produk perikanan.
Dalam jangka panjang, perubahan tingkat konsumsi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain perubahan harga, pendapatan, perubahan selera, dan lain-lain. Dalam jangka pendek dapat
dianggap bahwa faktor-faktor sosial ekonomi selain harga dan pendapatan tidak berubah (Kuntjoro,
1984). Beberapa peneliti pernah melakukan proyeksi permintaan ikan, dan semua menyadari banyak
asumsi yang harus dipenuhi. Delgado dan McKenna (1997) melakukan peramalan pertumbuhan
permintaan ikan di Afrika, namun karena faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan seperti
elastisitas pendapatan dan harga tidak tersedia, maka proyeksi dilakukan dengan cara regresi
berdasarkan data konsumsi ikan dari FAO sejak tahun 1960. Ye (1999) mengungkapkan bahwa
dalam perhitungan permintaan ikan di masa yang akan datang variabel pendapatan dan harga
merupakan determinan penting.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis menganalisis proyeksi konsumsi ikan di Indonesia
beberapa tahun yang akan datang berdasarkan nilai elastisitas yang diperoleh dari penelitian


sebelumnya. Diharapkan dari hasil analisis ini dapat digunakan sebagai basis informasi bagi pihak
terkait untuk menentukan kebijakan yang diambil.

Metodologi
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Susenas tahun 2008 yang telah diolah
dan menghasilkan parameter elastisitas harga dan elastisitas pendapatan berdasarkan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Virgantari dkk (2011). Selain itu, juga digunakan data indikator
sosial/ekonomi yang telah dipublikasi.
Metode Analisis
Dalam tulisan ini, model proyeksi permintaan produk perikanan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Qt+n = Qt {1 + (y x Ey) + (p x Ep) }n .......................................................................................(1)
dimana : Qt+n
Qt
y

= Konsumsi per kapita pada n tahun yang akan datang
= Konsumsi per kapita pada tahun sekarang
= persentase pertumbuhan pendapatan


Ey

= elastisitas pendapatan

p

= persentase perubahan harga

Ep

= elastisitas harga

Konsumsi awal yang digunakan adalah konsumsi tahun 2008 sebesar 28 kg/kap/tahun. Pertumbuhan
harga (p) dan pertumbuhan pendapatan (y) yang digunakan pada proyeksi didasarkan pada angka
indeks BPS dengan melihat beberapa alternatif kombinasi p sebesar 2 dan 3 persen serta y sebesar 5
dan 6 persen, yaitu:
1. p=2 persen dan y=5 persen
2. p=2 persen dan y=6 persen
3. p=3 persen dan y=5 persen

4. p=3 persen dan y=6 persen
Kriteria kelayakan peramalan dilakukan dengan melihat:
1. MAPE (Mean Absolute Percent Error):



MAPE= 1
n

n

Yi − Y

i =1

Yi

x100%

.........................................................................(2)


2. RMSE (Root Mean Square Error) :

1 n ∧
RMSE=
Yi − Yi
n i =1

2

.................................................................................(3)

3. RMSPE (Root Mean Square Percent Error) :
2


1 n
RMSPE=
n i=1


Yi − Yi
Yi

................................................................................(4)

dengan n : banyaknya pengamatan


Yi : nilai ramalan (prediksi)
Y : nilai aktual (nilai pengamatan)

Hasil dan Pembahasan
Proyeksi Konsumsi/Permintaan
Analisis permintaan sering didasarkan pada data konsumsi dan fungsi permintaan diturunkan
dari konsumsi yang teramati. Pendekatan ini penting karena data permintaan tidak tersedia meskipun
sebenarnya konsumsi dan permintaan tersebut berbeda karena konsumsi merupakan fungsi dari
permintaan dan penawaran. Beberapa literatur menyatakan bahwa model dan analisis permintaan dan
penawaran produk ikan masih sangat terbatas. Pada umumnya analisis sistem permintaan lengkap
didasarkan pada asumsi bahwa penawaran bersifat elastis sempurna.


Hasil penelitian Virgantari dkk (2011) menunjukkan bahwa nilai elastisitas
pengeluaran ikan terhadap total pengeluaran pangan untuk semua kelompok pendapatan lebih
besar dari dari satu (elastis) dengan kisaran 1.7 sampai 3.9; nilainya semakin kecil dengan
semakin meningkatnya pendapatan. Elastisitas pengeluaran semua kelompok ikan terhadap
total pengeluaran ikan bernilai positif, menunjukkan bahwa keempat kelompok ikan tersebut
merupakan barang normal. Elastisitas pengeluaran kelompok ikan segar bernilai 0.4 sampai
0.5 menunjukkan bahwa ikan segar merupakan barang kebutuhan bagi rumahtangga di
Indonesia.

Pada uncompensated own-price elasticity, kelompok ikan segar mempunyai

elastisitas yang lebih kecil dari satu dengan nilai berkisar dari -0.3 sampai -0.9; menunjukkan
bahwa komoditas tersebut tidak elastis terhadap perubahan harga. Udang/hewan air lain yang

diawetkan nilai elastisitasnya adalah -1 yang artinya bahwa perubahan harga dalam
persentase tertentu akan diikuti oleh perubahan jumlah yang diminta dalam persentase yang
sama dengan arah yang berlawanan. Pada compensated own-price elasticity, kelompok ikan
awetan mempunyai nilai elastisitas yang kurang dari satu, yang menunjukkan bahwa ikan
awetan tidak responsif terhadap perubahan harga. Berdasarkan nilai elastisitas harga dan
pendapatan tersebut, dilakukan proyeksi permintaan ikan per kapita di Indonesia berdasarkan

persamaan (1) dengan berbagai skenario. Angka proyeksi konsumsi ikan tahun 2009 sampai
tahun 2014 berdasarkan skenario seperti tersebut di atas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Proyeksi Rata-rata Konsumsi Ikan Tahun 2009-2014 pada Berbagai Laju Pertumbuhan
Pendapatan (y) dan Laju Pertumbuhan Harga (p)
Tahun
Proyeksi

Nilai
Aktual

Skenario 1
p=2%, y=5%

Skenario 2
p=2%, y=6%

Skenario 3
p=3%, y=5%


Skenario 4
p=3%, =6%

2009
2010
2011
2012
2013
2014

29.90
30.47

29.45
31.00
32.67
34.44
36.35
38.39

29.85
31.86
34.04
36.42
39.00
41.82

29.19
30.44
31.78
33.21
34.72
36.33

29.58
31.29
33.13
35.12
37.28
39.61

5.20

6.58

4.28

5.72

1.63

2.36

1.24

1.87

0.50

0.62

1.82

4.65

Rata-rata Laju
Pertumbuhan
Konsumsi Ikan (%)

Persentase Kesalahan
Relatif (MAPE)
Akar Kuadrat Tengah
Galat (RMSE)
Persentase Akar
Kuadrat Tengah Galat
(RMSPE)

0.98
0.50
3.69

6.54

Dengan membandingkan nilai hasil proyeksi dengan nilai aktual, terlihat bahwa skenario ke-3
dengan laju pertumbuhan pendapatan y=5 persen dan laju pertumbuhan harga p=3 persen (yang riil
terjadi pada saat ini) merupakan skenario terbaik karena menghasilkan persentase kesalahan relatif
(MAPE), akar kuadrat tengah galat (RMSE) maupun persentase akar kuadrat tengah galat (RMSPE)
yang paling kecil, yaitu berturut-turut sebesar 2.5 persen, 0.50, dan 1.82 persen. Pada skenario ini
terlihat tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia akan mengalami kenaikan dengan laju
rata-rata sekitar 4.3 persen per tahun. Jika hasil proyeksi ini dikaitkan dikaitkan dengan program

pemerintah yang mentargetkan tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014
tampaknya hal tersebut belum dapat dicapai atau masih di bawah target, karena nilai proyeksi
menunjukkan tingkat konsumsi tahun 2014 baru sekitar 36.3 kg/kap, jadi terdapat kesenjangan

sebesar 1.7 kg/kapita. Bila diasumsikan jumlah penduduk Indonesia adalah 240 juta jiwa, maka KKP
perlu menyediakan kekurangan produksi minimal sebesar 4 juta ton ikan pada tahun 2014 nanti. Bila
laju pertumbuhan harga tetap 3 persen namun dengan laju pertumbuhan pendapatan naik menjadi 6
persen (skenario 4), terlihat bahwa MAPE meningkat menjadi 1.87 persen, RMSPE menjadi 4.65
persen, dan RMSE menjadi 0.62. Pada skenario ini diperkirakan tingkat konsumsi ikan akan naik
dengan laju sekitar 5.7 persen per tahun, dan pada tahun 2014 tingkat konsumsinya adalah sebesar
39.6 kg/kapita, artinya bahwa target pemerintah dapat terlampui.
Bila laju pertumbuhan harga (p) turun menjadi 2 persen sedangkan laju pertumbuhan
pendapatan tetap 5 persen (skenario 1), terlihat hasil proyeksi yang diperoleh lebih baik daripada
skenario 6, seperti terlihat dari nilai MAPE menjadi 1.63 persen, RMSE 0.5, dan RMSPE menjadi
3.69 persen. Pada skenario ini terlihat bahwa tingkat konsumsi ikan akan terpacu naik dengan laju
sekitar 5.2 persen per tahun, dan pada tahun 2014 tingkat konsumsinya sebesar sekitar 38.39 kg/kapita
atau target tingkat konsumsi sebesar 38 kg/kap dapat dicapai. Sedangkan bila laju pertumbuhan harga
tetap 2 persen namun dengan laju pertumbuhan pendapatan naik menjadi 6 persen (skenario 2), hasil
yang didapat terlihat overestimated dibandingkan nilai aktual dengan MAPE yang lebih besar yaitu
2.36 persen, RMSPE menjadi 6.54 persen, dan RMSE menjadi 0.98. Pada skenario ini diperkirakan
tingkat konsumsi ikan akan naik dengan laju sekitar 6.58 persen per tahun, dan pada tahun 2014
tingkat konsumsinya adalah sebesar 41.82 kg/kapita.
Berdasarkan hasil proyeksi pada enam skenario di atas dapat disimpulkan bahwa upaya
menekan laju pertumbuhan harga akan mendapatkan hasil yang lebih baik daripada upaya memacu
peningkatan pertumbuhan pendapatan. Dari bab sebelumnya diketahui bahwa konsumsi ikan
penduduk Indonesia didominasi oleh konsumsi ikan segar, namun hasil perhitungan elastisitas
menunjukkan bahwa ikan segar tidak elastis terhadap perubahan harga maupun pendapatan,
sedangkan produksi ikan segar sangat melimpah. Berdasarkan teori ekonomi hal tersebut tentunya
akan menyebabkan harga ikan segar turun namun kenaikan permintaan lebih lambat, sehingga target
peningkatan konsumsi tahun 2014 tidak tercapai. Dengan asumsi elastisitas harga dan pendapatan
tetap, maka target tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 harus diikuti dengan
upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi sekitar 2 persen.

Potensi Produksi
Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan sekitar
80 persen dari potensi lestari. Dari sisi diversitas, dari sekitar 28 000 jenis ikan yang ada di dunia,
yang sudah ditemukan di Indonesia lebih dari 25 000 jenis. Selain untuk memenuhi permintaan
ekspor dan kebutuhan bahan baku industri, produk perikanan juga ditujukan untuk menyediakan
kebutuhan pangan berupa protein hewani di mana lebih dari 50 persen kebutuhan protein hewani
penduduk Indonesia bersumber dari produk perikanan. Pasar domestik memiliki potensi yang besar
untuk menyerap hasil perikanan nasional. Hal dapat juga diperkirakan dari peningkatan jumlah

penduduk Indonesia yang pada tahun 2008 lalu sudah lebih dari 230 juta jiwa. Bila tingkat konsumsi
pada tahun 2008 tersebut 28 kilogram per kapita, maka jumlah produk perikanan yang diserap di
pasar nasional mencapai sekitar 6.4 juta ton.
Berdasarkan data Statistik Perikanan tahun 2008, kebutuhan konsumsi ikan nasional sebesar
6.4 juta ton telah dapat dipenuhi dari total produksi yang mencapai 8.5 juta ton. Potensi produksi ikan
segar, ikan awetan, udang segar dan perikanan budidaya sangat bervariasi diantara wilayah-wilayah di
Indonesia. Produksi hasil penangkapan terbesar secara keseluruhan adalah wilayah Sumatera Utara,
Jawa Timur dan Maluku dengan volume mencapai 300 sampai 400 ribu ton dalam setahun, sedangkan
produksi hasil budidaya terbesar adalah Sulawesi Selatan (lebih dari 700 ribu ton) dan Nusa Tenggara
Timur (lebih dari 500 ribu ton). Sedangkan produksi terendah adalah DIY untuk perikanan tangkap
(kurang dari 3 000 ton) serta Bangka Belitung dan Papua untuk perikanan budidaya dengan volume
kurang dari 1000 ton.
Produksi ikan segar (dari laut) yang paling besar adalah wilayah Sulawesi Selatan, Kepulauan
Riau, Sumatera Utara dan Maluku dengan produksi lebih dari 200 ribu ton. Produksi terendah adalah
DIY dengan volume hanya sekitar 2 500 ton. Produksi udang segar paling besar adalah wilayah
Sumatera Utara (lebih dari 40 ribu ton), Jawa Barat dan Kalimantan Selatan (lebih dari 20 ribu ton),
sedangkan produksi terendah adalah wilayah Gorontalo, DIY, dan Maluku Utara dengan produksi
kurang dari 100 ton. Produksi ikan awetan terbesar adalah wilayah Jawa Timur dengan produksi
lebih dari 200 ribu ton, selanjutnya adalah wilayah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah Jawa
Barat, Maluku dan Papua dengan produksi lebih dari 100 ribu ton. Sedangkan produksi perikanan
dari hasil budidaya yang sangat besar terdapat di wilayah Sulawesi Selatan (lebih dari 700 ribu ton),
Nusa Tenggara Timur (lebih dari 500 ribu ton) serta Jawa Barat (sekitar 400 ribu ton). Di wilayah
lain produksinya berkisar puluhan sampai ratusan ribu ton, kecuali di Papua dan Bangka Belitung
yang produksinya kurang dari 1000 ton.
Bila angka produksi tersebut dikonversikan menjadi kilogram per kapita, dapat dikatakan
bahwa secara umum total produksi sektor perikanan sebesar 69.53 kilogram/kapita sangat
berkelebihan dan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya yang hanya sebesar 28
kilogram/kapita. Dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi rumahtangga, maka kebutuhan konsumsi
ikan segar sebesar 22.8 kilogram/kapita telah dapat dipenuhi dari produksi ikan segar yaitu 50.96
kilogram/kapita. Demikian pula dengan kebutuhan konsumsi ikan awetan sebesar 2.5 kilogram/kapita
telah dapat dipenuhi dari produksi ikan awetan sebesar 14.54 kilogram/kapita

serta kebutuhan

konsumsi udang segar sebesar 2.6 kilogram/kapita dapat dipenuhi dari produksi sebesar 4.03
kilogram/kapita. Hal ini menunjukkan bahwa secara nasional, potensi produksi produk perikanan
tersedia dalam jumlah yang sangat berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri,
meskipun produksi tersebut terlihat tidak merata di setiap propinsi di Indonesia.

Data menunjukkan bahwa produksi jenis ikan tersebut tidak merata diantara wilayah di
Indonesia. Produksi total ikan segar yang sangat besar tersedia di Maluku (148 kg/kapita), Kepulauan
Riau (137 kg/kapita). Beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara serta Bangka Belitung juga mampu memenuhi kebutuhan konsumsi ikan
sampai di atas 100 kg/kapita.

Di sisi lain, beberapa wilayah terlihat sangat rendah potensi

produksinya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduknya, seperti di seluruh wilayah Pulau
Jawa dan Lampung (kurang dari 10 kg/kapita). Bila dilihat selisih antara produksi dan konsumsinya
memang terlihat bahwa di seluruh wilayah Pulau Jawa bernilai negatif, artinya bahwa produksi ikan
segar yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan konsumsi penduduknya. Hal serupa terjadi di Jambi,
Lampung, Kalimantan Barat dan Papua (Gambar 1).
Produksi ikan awetan yang sangat besar terlihat di seluruh wilayah Maluku dan Papua (lebih
dari 50 kg/kapita), Sulawesi Utara (40 kg/kapita), serta Sulawesi Tenggara (lebih dari 20 kg/kapita).
Produksi ikan awetan yang rendah terlihat di sebagian besar wilayah di Indonesia, bahkan di DIY dan
Kep. Riau tidak tersedia. Bila dilihat selisih produksi dan konsumsinya, wilayah (Kep. Riau, DIY,
Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Aceh) terlihat kekurangan produksi ikan awetan dibandingkan
dengan kebutuhan konsumsinya, meskipun tidak terlalu besar.
Produksi udang segar yang cukup besar terdapat di Lampung (lebih dari 20 kg/kapita),
kemudian Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Papua Barat (lebih dari 10 kg/kapita). Produksi
yang sangat rendah (kurang dari 1 kg/kapita) terdapat di wilayah DIY, Jawa Tengah, Bali, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara).

Sedangkan bila dilihat dari

kesenjangan antara produksi dan konsumsinya, wilayah Aceh, Pulau Jawa (kecuali DKI dan Jawa
Barat), NTT, Gorontalo, dan Maluku Utara bernilai negatif, yang berarti bahwa produksi udang segar
yang tersedia belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsinya.

250.00
200.00
150.00
100.00
50.00

Produksi/kap
Konsumsi/kap

0.00

Gambar 1. Kesenjangan prodiksi dan konsumsi total produk ikan tahun 2008

Besarnya peranan ikan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani di Indonesia
dengan distribusi yang tidak merata mengindikasikan bahwa intervensi kebijakan di bidang
perikanan tetap diperlukan. Peran Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dibentuk pada
tahun 1999 menjadi semakin penting sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan.
Dalam Rencana Strategis Kementrian Kelautan Perikanan disebutkan bahwa tujuan, sasaran dan
program yang ingin dicapai salah satu direktoratnya adalah meningkatkan konsumsi ikan yang
bermutu dan aman. Secara spesifik disebutkan bahwa salah satu sasarannya adalah meningkatkan
konsumsi ikan dalam negeri dari 28 kg/kapita pada tahun 2008 menjadi 30.47 kg/kapita pada tahun
2010 dan 38 kg/kapita pada tahun 2014. Bila dibandingkan dengan angka konsumsi aktual tahun
2008, 2009 dan 2010, maka target sampai tahun 2010 tersebut telah dicapai dengan baik.
Berdasarkan hasil proyeksi pada beberapa skenario di atas dapat disimpulkan bahwa upaya
menekan laju pertumbuhan harga akan mendapatkan hasil yang lebih baik daripada upaya memacu
peningkatan pertumbuhan pendapatan. Data menunjukkan bahwa konsumsi ikan penduduk Indonesia
didominasi oleh konsumsi ikan segar, namun hasil perhitungan elastisitas menunjukkan bahwa ikan
segar tidak elastis terhadap perubahan harga maupun pendapatan, sedangkan produksi ikan segar
sangat melimpah. Berdasarkan teori ekonomi hal tersebut tentunya akan menyebabkan harga ikan
segar turun namun kenaikan permintaan lebih lambat, sehingga target peningkatan konsumsi tahun
2014 tidak tercapai. Dengan asumsi elastisitas harga dan pendapatan tetap, maka target tingkat
konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 harus diikuti dengan upaya menekan laju
pertumbuhan harga menjadi sekitar 2 persen.
Banyak kendala untuk mewujudkan hal tersebut, hal ini dikarenakan jumlah penduduk
Indonesia yang cukup besar dan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sedangkan
kapasitas dan kualitas sumberdaya perikanan bisa menurun akibat kerusakan lingkungan dan over
fishing. Kondisi tersebut dapat berakibat pada ketersediaan produk perikanan yang tidak mencukupi
untuk kebutuhan domestik walaupun pasokan untuk dalam negeri dapat terpenuhi namun dalam
jangka panjang upaya tersebut kemungkinan besar sangat sulit tercapai.
Bila melihat kembali potensi produksi perikanan yang tersedia dengan sangat melimpah,
maka berdasarkan skenario ke-3 target pemerintah bisa saja tercapai. Selain kampanye Gemarikan
perlu terus dilakukan, kegiatan lain untuk memacu wilayah-wilayah dengan tingkat konsumsi ikan
yang sangat rendah dalam rangka mendukung pencapaian peningkatan konsumsi ikan antara lain yang
dilakukan adalah 1) Memfasilitasi kegiatan promosi produk perikanan di seluruh wilayah Indonesia,
2) Pengembangan jaringan dan distribusi pemasaran hasil perikanan dalam bingkai sistem logistik
nasional, 3) Inisiasi dan fasilitasi kerjasama pemasaran hasil perikanan dengan cara mempertemukan
produsen dengan konsumen besar, 4) Memfasilitasi pemasaran hasil perikanan berbasis web, 5)
Optimasi dan pengembangan sarana dan prasarana pemasaran hasil perikanan hingga ke sentra-sentra
konsumen untuk mendukung ketersediaan ikan dan produk perikanan secara saniter dan higienis, 6)

Penguatan dan pengembangan kelembagaan pemasaran hasil perikanan di pasar dalam negeri dalam
bentuk fasilitasi pertemuan dan pembinaan serta pembimbingan melalui kunjungan kerja maupun
kunjungan lapangan, serta 7) Memperkuat data, analisa dan sistem informasi pemasaran hasil
perikanan di pasar dalam negeri melalui analisa komoditas perikanan utama, penyusunan Harga
Patokan Ikan (HPI) untuk penentuan besaran Pungutan Hasil Perikanan (PHP), pengembangan data
dan informasi melalui penerbitan Warta Pasar Ikan cetak dan elektronik, diseminasi harga ikan di
radio dan pertemuan petugas informasi pasar.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Nilai proyeksi permintaan dengan mengambil laju pertumbuhan pendapatan 5 persen dan laju
pertumbuhan harga 3 persen merupakan skenario terbaik karena menghasilkan persentase kesalahan
relatif paling kecil, yaitu sekitar 2.5 persen. Pada skenario ini terlihat tingkat konsumsi ikan per kapita
penduduk Indonesia akan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata sekitar 4.3 persen per tahun. Jika
hasil proyeksi ini dikaitkan dikaitkan dengan program pemerintah yang mentargetkan tingkat
konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 tampaknya hal tersebut belum dapat dicapai,
karena nilai proyeksi berdasarkan skenario ini adalah 36.3 kg/kapita. Dengan asumsi elastisitas harga
dan pendapatan tetap, maka target tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 harus
diikuti dengan upaya memacu laju pertumbuhan harga dan pendapatan, yaitu sebesar 5 persen dan 7
persen per tahun. Untuk mencapai target peningkatan konsumsi ikan pada tahun 2014 sebesar 38
kg/kapita, maka laju pertumbuhan harga dan pendapatan perlu ditingkatkan, yaitu sebesar 5 persen
dan 7 persen per tahun. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan kebijakan harga (meningkatkan
harga ikan) untuk golongan menengah ke atas dan kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan
bagi golongan menengah ke bawah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Data dan Informasi dan
Direktorat Jenderal P2HP Kementrian Kelautan dan Perikanan serta kepada Bapak Dr. Sonny
Koeshendrajana, MSc.

yang telah membantu membuka akses pada data dan informasi

yang

diperlukan dalam penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009.
Jakarta.

Perikanan dan Kelautan dalam Angka.

Departemen Kelautan dan Perikanan.

[BPS]. 2008. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia Buku I, II, dan III. Jakarta: Badan
Pusat Statistik.
Anonim. 2003. Strategi Kebijakan Pemenuhan Protein Ikan dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Nasional. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Soekirman, et al. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. LIPI. Jakarta.
Virgantari, F., A. Daryanto, Harianto, S. U. Kuntjoro. Analisis Permintaan Ikan di Indonesia:
Pendekatan Model QUAIDS. Jurnal Riset dan Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan
Perikanan Volume 6 No. 2: - .