KONTROVERSI PILKADA TIDAK LANGSUNG KAREN

KONTROVERSI PILKADA “TIDAK LANGSUNG”
KARENA MENODAI AMANAT REFORMASI

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (AR1112B)
Dosen Pengampu Wieky Rusmanto, S.Sos., M.Si.

disusun oleh:
Argi Cahyadi H

NPM 41155030150030

Aria Nurahman

NPM 41155030150062

Deagam Hendrawan

NPM 41155030150034


Deni Efendi

NPM 41155030150067

Egi Muhamad Soleh

NPM 41155030150004

Irfan Fathulloh

NPM 41155030150031

Rian Gilang N

NPM 41155030150003

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA

KOTA BANDUNG
2015

KONTROVERSI PILKADA “TIDAK LANGSUNG”
KARENA MENODAI AMANAT REFORMASI

Argi Cahyadi H, Aria Nurahman, Deagam Hendrawan, Deni Efendi
Egi Muhamad Soleh, Irfan Fathulloh, Rian Gilang N
Mahasiswa Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik
Universitas Langlangbuana
ABSTRAK
Aturan mendasar tentang mekanisme Pilkada terdapat dalam Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945 yang menyebutkan kepala daerah dipilih secara demokratis. Frasa
“demokratis” inilah yang kemudian ditafsirkan oleh MK sebagai opened legal
policy di DPR, di mana Pilkada dapat dilakukan baik secara langsung oleh rakyat
maupun oleh DPRD. Namun demikian, pembuat kebijakan politik sejatinya harus
mampu dan secara bijak menerjemahkan kebijakan terbuka tersebut berdasarkan
takaran dan prinsip-prinsip demokrasi yang lebih besar di antara pemilihan
langsung atau tidak langsung.

Takaran bobot demokratis semacam ini sebenarnya telah dituangkan di
dalam Naskah Akademis (NA) dari Pemerintah saat mengusulkan RUU Pilkada
ke DPR. Dalam NA tersebut ditegaskan bahwa dalam konteks demokrasi,
pemilihan bupati dan walikota seharusnya dilakukan secara langsung oleh rakyat
(direct democracy). Namun ternyata, NA yang disusun oleh para kelompok
akademisi dan peneliti tesebut dikesampingkan oleh mayoritas anggota DPR.
I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Adanya keinginan untuk mengembalikan mekanisme Pilkada melalui

DPRD setidaknya disandarkan pada beberapa argumentasi pokok, yaitu
penghematan biaya Pilkada, menghindari terjadinya konflik sosial, mencegah
lahirnya kepala daerah yang koruptif, dan perbandingan negara lain. Akan tetapi,
landasan argumentasi tersebut tidaklah berdiri secara kokoh.
Pertama, besarnya biaya Pilkada langsung sebenarnya dapat dihemat

hingga 44% dengan cara menyelenggarakan Pilkada secara serentak minimal
untuk setiap provinsi (FITRA, 2014). Skema Pilkada serentak ini sebenarnya juga
telah dirancang secara bertahap oleh Pemerintah bekerjasama dengan KPU dan
Bawaslu hingga tahun 2020.

1

2

Kedua, munculnya ketegangan dan kerawanan sosial dalam Pilkada
langsung sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari bagaimana para calon kepala
daerah ataupun elit partai politik bersikap dan memberi tauladan kepada para
pendukungnya. Oleh karena itu, memvonis bahwa rakyat pemilih tidak siap
mengikuti Pilkada langsung merupakan tuduhan yang salah alamat. Para elite
partai politik seyogianya menunjuk hidungnya telebih dahulu untuk memperbaiki
sikap atas tindak-tanduknya yang seringkali memprovokasi masa pendukung
ataupun mengintervensi jajaran birokrat.
Ketiga, alasan bahwa Pilkada langsung melahirkan kepala daerah yang
koruptif juga tidak sepenuhnya tepat. Mengutip hasil kajian dan data resmi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 81% korupsi yang melibatkan

kepala daerah dan ditangani KPK merupakan perbuatan melawan hukum dan
penyalahgunaan wewenang yang tidak dapat dilepaskan dari konsekuensi
pelaksanaan sistem desentralisasi. Artinya, mengembalikan Pilkada melalui
DPRD juga tidak menjamin bahwa korupsi kepala daerah akan berkurang.
Sebaliknya, hasil studi menunjukan bahwa mekanisme Pilkada melalui DPRD
akan menyuburkan potensi terjadinya korupsi struktual dan kolusi antara kepala
daerah dengan anggota DPRD (P2EB FEB UGM, 2014). Sebab, nasib
keterpilihan kepala daerah akan beralih dari rakyat sebagai pemilih ke dalam
genggaman tangan para anggota DPRD sepenuhnya.
Keempat, membandingkan penerapan Pilkada di luar negeri melalui
DPRD, seperti Australia, Inggris, atau Amerika Serikat, merupakan argumentasi
yang dipaksakan. Tidak bisa simplifikasi perbandingan dilakukan antara Indonesia
dengan negara-negara maju tersebut. Adanya perbedaan sistem kepartaian dengan
two-party system, perbedaan beberapa sistem parlementer, perbedaan konsep dan
kewewenangan

negara

federal,


dan

faktor-faktor

lainnya,

menjadikan

perbandingan sistem Pilkada kedua negara ibarat membandingkan jeruk dengan
apel. Apalagi sebagian wilayah di negara-negara tersebut

juga menerapkan

Pilkada langsung (directly elected mayor). Inggris misalnya, apabila terdapat
perubahan sistem Pilkada maka harus diawali melalui local referendum dari,
untuk, dan oleh warga lokalnya masing-masing (Local Government Act 2000).

Untuk konteks Australia, setiap warga negaranya bahkan diwajibkan untuk
menggunakan suaranya dalam Pemilu, jika tidak maka akan dikenakan denda.
Salah satu alasannya agar terdapat legitimasi bagi kepala daerah atau anggota

DPRD yang terpilih. Oleh sebab itu, di beberapa negara bagian Australia yang
menerapkan Pilkada langsung seperti Queensland, kandidat kepala daerah tidak
harus berasal dari anggota Parpol, namun juga dapat berasal dari seorang individu
sebagai calon independen, atau bahkan cukup anggota dari komunitas tertentu
(Local Government Electoral Act 2011).
B.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan diatas, masalah

yang diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana Polemik Pilkada di Indonesia?

2.

Bagaimana kontroversi UU Nomor 22 Tahun 2014?

3.


Apakah Pilkada tidak langsung dapat menodai amanat reformasi?

4.

Bagaimana sudut pandang mengenai Pilkada tidak langsung?

C.

Tujuan Penulisan

1.

Mengenal Pilkada tidak langsung;

2.

Mengetahui sejarah Pilkada di Indonesia;

3.


Mengetahui Kontroversi Pilkada tidak langsung di Indonesia.

II.

PEMBAHASAN
Pilkada tidak langsung merupakan seluruh rakyat memilih perwakilan

mereka untuk menyampaikan pendapat dan sebagai pengambil keputusan bagi
mereka. Pilkada tidak langsung intinya semua rakyatnya memiliki hak dan daulat,
namun kedaulatannya tersebut diwakilkan melalui perwakilan sehingga disebut
dengan tidak langsung.
A.

Polemik Pilkada di Indonesia
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

atau disingkat Pilkada.
3

4

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu,
sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang
diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara
pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam
undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota.
Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait
pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DPRI RI pada tanggal
24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan
secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala
daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi
Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang,
dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini
dinilai sebagai langkah mundur di bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga
masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke
MK. Bagi sebagian pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung
dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun
dalam pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan
rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih
rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD
mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika
Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD
(sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada.
B.

Kontroversi Keputusan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
Di penghujung akhir masa jabatannya, DPR bersama Presiden membuat

kesepakatan bersama yang menyentak publik luas. Berdasarkan kewenangannya,

5

Presiden SBY akhirnya mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang mengakibatkan
terjadinya perubahan mekanisme Pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi
tidak langsung melalui DPRD. Syahdan, kontroversi menyeruak di berbagai
kalangan, mulai dari akademisi, praktisi, hingga masyarakat umum.
Atas desakan dan kritik yang begitu masif terhadap keputusan tersebut,
Presiden SBY akhirnya mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 yang pada
intinya mencabut UU Pilkada yang baru disahkannya sendiri sekaligus
mengembalikan mekanisme Pilkada menjadi secara langsung.
Akan tetapi, walaupun daya ikat Perpu berlaku seketika itu juga, namun
sifat keberlakuannya hanyalah sementara. Artinya, Perpu masih harus melewati
proses persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya di awal tahun 2014. Dalam
sidang nanti, DPR akan memutuskan apakah Perpu akan diterima dan disahkan
menjadi UU atau ditolak. Dengan demikian, kemungkinan untuk mengubah
mekanisme Pilkada menjadi melalui DPRD lagi sebenarnya masih terbuka luas.
Apabila kita telisik lebih jauh, pandangan Parpol di DPR terkait dengan
Pilkada yang selalu berubah-ubah tidak dapat dilepaskan dari adanya
pengkristalan kekuatan partai politik pasca hasil Pilpres 2014. Dari kacamata
pragmatis kepentingan politik, pengalihan Pilkada langsung menjadi tidak
langsung diprediksi dapat membawa keuntungan tersendiri bagi siapapun Parpol
ataupun koalisi parpol yang memegang suara mayoritas di DPRD.
Masalahnya, Pilkada melalui DPRD akan menghilangkan partisipasi dan
hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam memilih kepala
daerahnya sendiri. Sekelompok elit partai politik akan mendominasi keterpilihan
kepala daerah di DPRD. Padahal, berbagai hasil Pilkada membuktikan bahwa
calon kepala daerah yang didukung oleh mayoritas partai politik belum tentu
dapat terpilih dalam Pilkada langsung. Dengan demikian, pilihan rakyat
sebenarnya tidaklah selalu sejalan dengan pilihan partai politik di DPRD dalam
menentukan kepala daerahnya.

6

C.

Pilkada Tidak Langsung Dapat Menodai Amanat Reformasi
Reformasi adalah masa keempat dari transisi demokrasi di Indonesia.

Sebelumnya, demokrasi yang pertama kali yang dianut oleh bangsa ini adalah
Demokrasi Konstitusional, dari tahun 1945 hingga 1959 yang sangat menonjolkan
peranan parlemen serta partai politik. Selanjutnya, Indonesia memasuki Masa keII pada tahun 1959 hingga 1965 yang dikenal sebagai masa Demokrasi Terpimpin.
Tahun 1969 hingga 1998, Indonesia kembali mengalami perubahan dalam hal
demokrasi. Kali ini Demokrasi yang dianut adalah Demokrasi Pancasila yang
dimana merupakan demokrasi konstitusional dengan menonjolkan sistem
presidensial. Dan terakhir, tahun 1998 hingga sekarang, yang dikenal dengan
nama Masa Reformasi. Masa yang diharapkan mampu melahirkan sistem
demokrasi yang ideal sebagai bentuk perbaikan dari tiga masa yang telah lalu.
Pada masa ini, muncul berbagai kebijakan baru yang tentunya sangat
berbeda dari masa sebelumnya. Salah satu terobosan besar reformasi adalah
tegaknya demokrasi yang ditandai dengan kebebasan rakyat yang nyata. Bebas
dalam hal menyampaikan aspirasi berupa dukungan, kritikan, atau bahkan keluhan
terhadap pemerintah negara. Bebas dalam hal memilih pemimpin yang diinginkan,
mulai dari tingkat daerah, hingga tingkat Pusat.
Layaknya seorang ilmuan yang masih kebingungan menemukan bahan
yang tepat dalam eksperimen yang sedang ia lakukan, satu persatu bahan yang ada
diuji tingkat keberhasilannya. Kurang lebih seperti itulah demokrasi negara ini,
tidak lain hanyalah objek percobaan. Percobaan yang sudah dilakukan sejak lama,
tepatnya setelah negara ini resmi menyatakan dirinya sebagai negara yang
merdeka. Sampai sekarang, perkembangan demokrasi yang sudah menginjak
masa keempat, sejak 16 tahun yang lalu tak kunjung menampakkan suatu
keberhasilan yang signifikan. Lalu apa yang salah dari bangsa ini?
Jika mengulas kembali ke awal reformasi, ada sebuah tekad kuat yang
merupakan misi besar sekaligus menjadi tujuan dari terbentuknya reformasi,
yakni keinginan akan tegaknya demokrasi. Tegak, dalam arti sebagai bentuk
introspeksi diri bangsa ini terhadap praktik politik yang terjadi pada masa
Indonesia ketiga, dimana demokrasi konstitusional yang sangat menonjolkan

7

sistem presidensial. Sebagai presiden pertama yang menjabat pada era baru ini,
presiden BJ Habibie berupaya keras untuk mewujudkan demokrasi yang ideal.
Begitu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan pada masa orde baru,
seperti upaya pembentukan pemerintahan yang transparan, dengan adanya
kebijakan yang mengatur pemberian hak terhadap rakyat untuk menyuarakan
segala aspirasinya sehingga mulai bermunculan partai-partai politik baru pada saat
itu yang mencapai 48 partai. Sedangkan untuk terobosan lain yang bisa dikatakan
sangat penting karena membawa pengaruh yang cukup besar dalam lingkungan
politik adalah pembentukan 3 UU pokok yang demokratis, yang terdiri dari UU
Politik, UU pemilu, serta UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, serta DPRD
yang resmi disahkan pada awal tahun 1999.
Upaya keras dalam

pembentukan UU demokratis ini ternyata

membawakan hasil, yaitu berupa respon baik dari kalangan masyarakat Indonesia
sendiri, serta respon baik dari masyarakat dunia yang mengakui bahwa pemilu
Indonesia 1999 menjadi pemilu yang demokratis. Langkah selanjutnya yang
dilakukan dalam proses demokratisasi Habibie adalah perubahan yang dilakukan
terhadap UUD 1945, seperti peranan DPR yang diperkuat, semua anggota DPR
dipilih melalui pemilu, pengawasan terhadap hak presiden diperketat, dan hak
asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat.
Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pertama kalinya pemilihan
umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, serta
pemilihan kepala daerah yang diatur dalam undang- undang no.32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah. Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa kepala
daerah diseluruh Indonesia dipilih melalui pilkada, mulai pertengahan 2005.
Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya
harus dipilih melalui pilkada, yang pada hakekatnya ditujukan untuk menjadikan
pemerintah daerah lebih demokratis. Tentu saja pilkada ini berbeda dengan
pilkada sebelumnya yang dilakukan oleh DPRD, tanpa campur tangan rakyat
sedikitpun. Seperti yang dikatakan oleh Miriam Budiardjo dalam bukunya DasarDasar Ilmu Politik (2008:135): “Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan
presiden pada tahun 2004 menjadi tonggak sejarah politik yang penting dalam

8

sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya anggota-anggota DPR,
DPD, dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga
politik di Indonesia”.
Namun demokratisasi dengan pemilihan langsung kepala daerah tidak
serta merta menjadikan Indonesia menjadi Negara yang pure demokrasi.
Nyatanya, pilkada secara langsung ternyata membawa permasalahan baru di rana
politik Indonesia. KKN (Korupsi, Kolusi, dan nepotisme) yang umumnya terjadi
diantara sesama elit politik seperti masa orde baru, telah menyebar dan menjadi
marak terjadi di kalangan masyarakat biasa.
Peraturan komisi pemilihan umum no.69 tahun 2009 pasal 1 nomor 11
tentang pedoman teknis kampanye yang mengatakan: “. . . kampanye adalah
penyampaian pesan-pesan oleh pasangan calon kepada masyarakat melalui
media cetak dan elektronik secara berulang-ulang berbentuk tulisan, gambar,
animasi, promosi, suara, peragaan, sandiwara, debat, dan bentuk lainnya yang
berisi ajakan, himbauan untuk memberikan dukungan kepada pasangan calon”,
hanya dipandang sebagai sebuah formalitas tertulis semata. Pada praktiknya,
bukan hanya pesan atau himbauan yang menyebar, tapi para calon pasangan
pilkada mulai menggunakan cara yang berbeda seperti pembagian beras, daging,
dan hal-hal lainnya yang menjurus ke arah KKN.
Dampaknya, sangat jelas terlihat pada jumlah kepala daerah yang terlibat
sekaligus menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Tahun 2010 saja, tercatat ada
448 kasus korupsi yang ditangani oleh kepolisian dan komisi pemberantas korupsi
(KPK). Meski sempat mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 436 kasus,
kemudian turun lagi menjadi 402 kasus, namun menginjak tahun 2013, hal
sebaliknya terjadi, yaitu peningkatan signifikan yang sangat tinggi mencapai 560
kasus. Sementara tahun 2014, jumlah kasus 629 kasus, jumlah tersangka 1328
orang dan kerugian negara sebesar Rp5,29 triliun.
Terlepas dari permasalahan korupsi oleh oknum-oknum yang berada di
pemerintah daerah, permasalahan politik di tanah air dari hari ke hari semakin
terkesan “berantakan”.

9

Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah pilkada tidak langsung
sama dengan menodai amanat Reformasi ? Jawabannya adalah iya. Karena seperti
yang sudah kami bahas dalam bab ini, salah satu yang menjadi amanat reformasi
adalah kebebasan rakyat yang nyata. Salah satunya dengan bebas memilih
pemimpin yang diinginkan. Lalu karena menodai, apakah kemudian hal itu
menjadi hal yang salah ? Belum tentu.
Pada dasarnya, kebebasan nyata memang merupakan salah satu hal yang
diharapkan terwujud oleh reformasi. Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa
segala hal selalu memiliki sisi positif dan negatif, termasuk kebebasan dalam
pilkada langsung. Disatu sisi, dengan pilkada langsung yang dilakukan oleh
rakyat, negara telah memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih
pemimpin yang diinginkan dan diyakini mampu membangun dan membawa
perubahan yang positif guna terwujud kesejahteraan bersama. Namun apa jadinya
jika pemimpin yang menjadi pilihan rakyat tidak seperti yang diharapkan?
Seperti yang persis terjadi saat ini, dengan ratusan kasus korupsi oleh
lembaga pemerintah daerah. Hal itulah yang sebenarnya menjadi faktor kuat yang
melatarbelakangi Dewan Perwakilan Rakyat memilih agar pilkada dilakukan
secara tidak langsung pada saat sidang UU pilkada akhir September tahun lalu.
Dewan Perwakilan Rakyat melihat bahwa selama ini pemilihan umum yang
dilakukan masih belum sesuai dengan asas langsung, rahasia, umum, jujur, dan
juga adil, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945.
Peraturan baru tersebut diharapkan dapat meminimalisir sekaligus menjadi
introspeksi diri kecurangan politik oleh pemerintah daerah yang telah terjadi
sebelumnya. Mengingat bahwa orang-orang yang akan memimpin merupakan
pilihan DPRD yang tentunya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa peraturan baru tersebut akan
membawa dampak negatif yang sama, atau mungkin lebih parah. Apabila hal itu
terjadi, maka ada kemungkinan lagi bahwa pilkada akan kembali dilakukan secara
langsung atau mungkin dengan solusi lainnya. Seperti yang kami katakan diawal,
segala proses ini tidak lain seperti percobaan seorang ilmuan, yang dilakukan agar

10

menemukan bahan yang tepat untuk menjadi sebuah produk yang pada akhirnya
dapat bermanfaat.
D.

Sudut Pandang Mengenai UU Pilkada “Tidak Langsung”
Mengenai UU Pilkada Nomor 22 Tahun 2014, yang berisikan bahwa

pemilihan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, menurut kami kurang sesuai untuk
diterapkan. Hal tersebut kami tinjau dari beberapa landasan tentang tujuan
pemilihan, dasar demokrasi dan kepentingan umum, antara lain:
1.

Mengambil Kedaulatan Rakyat
Setiap warga negara mempunyai hak pilih dalam demokrasi politik, salah

satunya adalah dalam memilih Kepala Daerah, sehingga jika pemilihan Kepala
Daerah dilakukan oleh DPRD maka secara tidak langsung juga mengambil hak
pilih masyarakat. Hal tersebut juga terkesan bahwa masyarakat hanya akan
menerima apa hasil keputusan tanpa mengeluarkan pendapat mereka dan
pemimpin yang dipilih bukanlah pemimpin yang diinginkan masyarakat.
2.

Tidak Mengurangi Tingkat Adanya Money Politik
Perubahan UU Pilkada tidak sepenuhnya mengatasi money politik pada

pilkada, sehingga perubahan tersebut tidaklah efektif. Menurut kami hal yang
perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran seluruh pihak yang terkait dalam
pemilihan agar menghindari adanya money politik.
3.

Biaya Untuk Kepentingan Rakyat
Biaya pada pilkada secara langsung memanglah tidak sedikit, akan tetapi

untuk menjaring seluruh suara rakyat hal tersebut harus dilaksanakan, mengingat
bahwa Kepala Daerah adalah pemimpin bagi masyarakat itu sendiri. Jadi
pemimpin yang terpilih haruslah pilihan rakyat. Dengan adanya perubahan UU
Pilkada memang akan meminimalkan biaya, akan tetapi apakah akan
menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat? Belum tentu.
4.

Ketelitian Pemilihan
Pilkada secara langsung membutuhkan waktu yang lama, sehingga seleksi

para calon pemimpin akan lebih terperinci dan jelas, sehingga dapat melihat calon

yang benar benar tepat sebagai Kepala Daerah. Sedangkan jika dipilih oleh DPRD
akan bersifat kurang terbuka, sehingga masyarakat kurang mengenal para calon
Kepala Daerah.
5.

Unsur Kepentingan Pribadi
UU Pilkada baru, pemilihannya dilakukan oleh DPRD bukan rakyat,

sehingga para calon Kepala Daerah tidak lagi membutuhkan suara rakyat,
melainkan suara anggota DPRD. Sehingga akan ada unsur kepentingan pribadi
antara calon Kepala Daerah dengan anggota DPRD yang tidak diketahui
masyarakat umum. Maka tingkat kecurangan dalam pemilihan akan semakin
besar.
III.

PENUTUP

A.

Kesimpulan
Pilkada tidak langsung dapat menodai amanat reformasi dan Perubahan

UU Pilkada tidaklah menyelesaikan masalah yang terjadi pada penerapan pilkada
secara langsung, akan tetapi hanya akan menghilangkan masalah lama dan
mengganti dengan masalah yang baru.
B.

Saran
Sebaiknya pemerintah bukan merubah aturan yang telah diberlakukan,

akan tetapi meningkatkan daya kerja dan kejujuran dalam pelaksanaan pilkada itu
sendiri.
Perbaikan bukan Pengembalian, Penyelenggaraan Pilkada langsung
oleh rakyat selama ini telah menempatkan demokrasi bekerja dan dapat dirasakan
hingga ke kalangan akar rumput. Namun demikian, harus pula diakui bahwa
Pilkada langsung belumlah sempurna. Banyak catatan yang perlu dievaluasi, baik
dari sisi pelaksanaan pemilu, akuntabilitas keuangan partai politik, hingga
pendidikan politik warga pemilih. Akan tetapi, catatan-catatan tersebut sepatutnya
dijadikan dasar untuk memperbaiki sistem yang ada saat ini, bukan kemudian
secara serta-merta mengganti sistem Pilkada kepada sistem lama melalui DPRD
yang telah terbukti melahirkan oligarki partai politik.

11

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo,Miriam.2008.Dasar-dasar ilmu politik.Gramedia:Jakarta.
Surbakti, Ramlan.1992.Memahami ilmu politik.Gramedia: Jakarta.
Hidajat,Imam.2012.Teori-teori politik.Setara Pers: Malang.
http://nasional.kompas.com/read/2014/08/18/10085091/Tren.Korupsi.Naik.Lagi
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/pkpu_15_2013_kampanye.pdf
Silahuddin, Edah Jubaedah, dan Wawan Dharma S, Evaluasi Pelaksanaan Pemilihan
Kepala Daerah Langsung, 2007, hlm iii
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala
Prasojo, eko. Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan. Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural.
Depok: DIA FISIP UI. 2006.
Prasojo, eko. Teguh Kurniawan, dan Defny Holidin. Reformasi dan Inovasi

12