Masyarakat dalam Bingkai Perkembangan In

Masyarakat dalam Bingkai Perkembangan Intelektual dalam Lakon “Polisi”
dan “Bunga Dolly” Persembahan Teater Pelangi Malang Indonesia: Kajian
Sosiologi Sastra Auguste Comte
Oleh

Hidayatul Ilmiah
12020074044
PB 2012
Abstrak
Pertunjukan yang bertajuk “Pentas Musim Hujan” menghadirkan lakon “Polisi” yang
disutradarai Ahmad Fauzi dan “Bunga Dolly” yang disutradarai M. Leo Zainy dan
Ranu Kumbala pada 24-25 Februari 2015 di Gedung Sasana Budaya Universitas
Negeri Malang. Dua lakon yang dihadirkan oleh Teater Pelangi Malang Indonesia ini
sebenarnya merupakan dua lakon yang memiliki keterkaitan. “Polisi” diperankan oleh
Kelompok Bermain Kangkung Berseri (KBKB), sedangkan “Bunga Dolly” dimainkan
oleh komunitas Teater Pelangi Malang Indonesia. Lakon yang banyak mengangkat
permasalahan yang terjadi di Indonesia ini menyuguhkan konflik-konflik yang menarik.
Berdasarkan hal tersebut, pendekatan sosiologi sastra tepat digunakan untuk mengkaji
karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat. Perkembangan intelektual
masyarakat yang tercermin dalam lakon tersebut tepat dikritisi menggunakan sosiologi
sastra Auguste Comte. Teori perkembangan intelektual Auguste Comte menitikberatkan

pada tiga tahap, yakni tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif.
Kata Kunci: perkembangan intelektual, Auguste Comte, Polisi, Bunga Dolly

1

PENDAHULUAN
“Polisi”
“Bunga

dan

dan
Dolly”

Permasalahan

pertunjukan

yang


“Polisi”

merupakan

Pelangi

dari

Malang

refleksi

yang terjadi di dalam

Februari

kehidupan

2015


di

Gedung

Sasana

Budaya,

Universitas

Negeri

membawakan

adegan dengan lucu

yang

sehingga kesan polisi


“Pentas

yang menakutkan dan

Hujan”

ini

tegas

adalah produksi ke-21

dengan tingkah yang

komunitas

humoris

teater


tersebut.

“Polisi”

mengundang

oleh

Kelompok

Bermain

Kangkung

Berseri

“Polisi”,

Teater


(KBKB).

KBKB

Pelangi

Malang

Indonesia

drama

menampilkan

yang

sudah

cukup


lama
Secara

saja, lakon ini dirasa

umum

lakon

disutradarai
Ahmad

sekelompok

cukup

menarik.

oleh


Lakon

yang

ini

disutradarai oleh M.

tentang

Leo Zainy dan Ranu

polisi

Kumbala ini bercerita

Fauzi

berkisah


yang

yang tengah mencari

tentang

gagasan

satu

pokok

di

dalamnya. Keduanya
merupakan

lakon

yang


Erens Levian, Helmi

berkesinambungan

Nur

dan

FIkri,

Ekol

Pambudianto,

Aji
Yayan
Maslina

dan


sesuai

realitas

dengan

kehidupan

masyarakat

yang

sekarang

terjadi.

lain-

Berdasar hal tersebut,

Pementasan

lakon ini dapat dikaji

lakon “Bunga Dolly”

menjadi satu kesatuan

sangat

menggunakan

menarik.
dengan

teori

sosiologi

sastra

Auguste Comte.

diiringi musik yang
pas

menambah

keunikan dari lakon

TEORI

yang menembus 15

“Bunga

Dolly”. Dari judulnya

memiliki

seperti Sandro Tyas,

pertunjukan siluet dan

lakon

di

keberadaannya
Malang.

berjudul

Indonesia,

Diawali

Setelah lakon

merupakan kelompok

komunitas
Pelangi

lain.

penonton.

ditampilan

ini

beberapa

Indriana,

tawa

lain.

yang

oleh

Rahardian,

dan

dengan

dalam, kedua lakon

Wilindra,

digantikan

satu

Lakon ini dimainkan

Malang

tiap

keterkaitan

Jika dicermati lebih

Teater

KBKB

Malang.

Pertunjukan
bertajuk

masyarakat.

di

kesinambungan atau

dunia prostitusi ini.

anggota

permasalahan

Indonesia pada 24-25

yang

berkecimpung

yang

sebenarnya

digelar oleh Teater

bernama

“Bunga”

menangkap penjahat.
diangkat dalam lakon

merupakan

Musim

perempuan

berusaha

besar

Festamasio

Bandung ke-7.
Kedua
ini

kisah

hasil ciptaan manusia,
tidak bisa dilepaskan

lakon

sebenarnya

dari

kehidupan

masyarakat. Manusia

bukanlah dua lakon

yang

yang terpisah. Artinya

sosiologi

bahwa “Polisi” dan

adalah

“Bunga

sebagai individu yang

memiliki
2

Sastra sebagai

Dolly”

terkait

dikaji

dalam
sastra,
manusia
dengan

individu

lain,

di

dalam

kehidupan

bermasyarakat
(Faruk,

2012:

17).

sosiologi

sastra

menghasilkan

tahap teologis, tahap

tahap

metafisis

metafisik, dan tahap

(Faruk, 2012: 23—

pandangan

bahwa

positif. Tahapan ini

24).

Tahap-tahap

karya

adalah

muncul berawal dari

tersebut

menjadikan

manusia

sebagai

individu

yang

sastra

Secara

soiologis

ekspresi dan bagian

pengembangan

terdapat

hubungan

dari masyarakat, dan

pemikiran

yang erat antara karya

dengan

tentang filsafat positif

kemudian

sastra, sastrawan dan

memiliki

(Ritzer

menyatakan

masyarakat.

resiprokal

Dimana

demikian
keterkaitan
dengan

Comte
dan

diri

Goodman, 2014: 16).

sebagai masyarakat.
Tahap

sastrawan yang juga

jaringan-jaringan

Filsafat positif ini ia

berperan

sistem dan nilai dalam

cetuskan

masyarakat

masyarakat

melawan

teologis. Pada tahap

menghasilkan sebuah

Artinya

pandangannya sendiri

ini

karya

yang

nilai-nilai masyarakat

tentang

supernatural

dan

dari

yang terdapat dalam

negatif.

aspek-aspek

religius

kehidupan masyarakat

sebuah karya sastra.

Comte (Ritzer

itu

Bahkan biasanya nilai-

dan Goodman, 2014:

segalanya

nilai

16)

dalam

sebagai

sastra

bersumber
juga.

karya

Melalui
sastra,

sastrawan

dapat

tersebut.

bahwa

tersebut

dijadikan

mengungkapkan apa

media

yang terjadi di dalam

instropeksi diri.

masyarakat.

Maka

ada

bisa

untuk

filsafat

menyatakan

yang

pertama yaitu tahap
kekuatan

menjadi

dasar

(Comte

Ritzer

bahwa yang berproses

Goodman, 2014: 16).

untuk

bukan hanya dunia,

Artinya

tetapi juga kelompok

sesuatu yang absolut

manusia,

dijadikan

dasar
Faruk

Auguste

ilmu

bahwa

Comte adalah tokoh

pengetahuan,

pemikiran.

sastra, sastrawan, dan

sosiologi yang masih

individu, dan pikiran

(2012:

masyarakat memiliki

sangat mendasar dan

pun

mengemukakan

keterkaitan.

berhubungan dengan

tahapan yang

filsafat. Comte lahir

dikemukakan

sastra sendiri secara

di

olehnya.

sederhana

bertujuan

Januari

1798.

mencari

Menurut

Comte

untuk

dan

sebagai

dari itu, antara karya

Sosiologi

dari

Perancis,

19

melalui

ketiga
telah

berada

juga

bahwa dalam tahap
teologis,

Awalnya

masyarakat

24)

manusia

berusaha memperoleh
pengetahuan

absolut

pada tahap teologis,

mengenai awal dan

hubungan antara karya

(Faruk, 2012: 23) ada

lalu

berkembang

akhir. Tahap kedua

sastra, sastrawan, dan

tiga

menjadi tahap positif

yakni metafisik. Pada

masyarakat.

perkembangan

setelah melalui tahap

tahap

Penelitian-penelitian

masyarakat,

transisi yang berupa

masih

tahap
yaitu
3

ini,

manusia
mencari

pengetahuan

yang

tahap perkembangan

masyarakat

absolut, tetapi sudah

akal budi manusia,

perkembangan

tidak lagi berkaitan

sebagai sumber dari

telah

dengan

akal

tahap

kekuatan

supernatural,
melainkan

itu

jelas terlihat adanya

melalui

tiga

beberapa orang yang

seperti

yang

melayat ke makam

diuraikan oleh Comte.

dan

dengan

sosial.

Dilihat

dari

Pada tahap teologis,

terlihat

alam

ketiga

tahap

yang

pengetahuan

duduk

diperoleh

telah

diuraikan

melalui

pengamatan

sebelumnya,

(Faruk,

2012:

diketahui

Tahap

cakupan

Dari siluet tersebut,

yang lebih luas, yakni

hukum-hukum
yang

budi

dimana

24).

metafisik

dapat
bahwa

yang

seorang

anak

berduka
di

samping

absolut terlihat ketika

makam.

orang

Bunga

kematian orang tua

Semua

Bunga,

tua

meninggal.

Peristiwa
dapat

Comte berfokus pada

yang bernyawa pasti

dijadikan

bahwa

faktor

akan mati. Hidup dan

awal dari kehidupan

kekuatan alam yang

Comte

mati

adalah

kelam yang dijalani

bersifat abstrak dapat

Goodman, 2014: 17)

pengetahuan

absolut

Bunga.

menjelaskan

menjelaskan

yang

memandang

semuanya.

intelektual.
(Ritzer

dan

bahwa

selama

ini

Sejak

usia

delapan tahun, Bunga

Tahap

kekacauan intelektual

dipercaya

yang ketiga yitu tahap

merupakan penyebab

ketetapan yang tidak

berkecimpung dengan

positif.

dari kekacauan sosial.

bisa diubah. Kematian

dunia

itu

Terlihat dari kutipan

Tahap

ini

menitikberatkan pada
kelogisan.
sesuatu

Segala

yang

logis

HASIL

PEMBAHASAN

dan sesuai nalar lebih
diperhitungkan.
Comte

“Polisi”
“Bunga

(Ritzer

DAN
dan
Dolly”

memang

sebagai

sebagai

tidak

dijelaskan

dalam

dialog,

namun

dijelaskan

melalui

siluet pada awal lakon

dan

merupakan dua lakon

“Bunga

Goodman, 2014: 16)

yang berbeda namun

Terlihat dari gambar

menyatakan

memiliki

berikut:

bahwa

dalam tahap positif

kecenderungan untuk

manusia

menjadi satu lakon

lebih

menekankan

yang

kepercayaan terhadap

berkesinambungan.

ilmu pengetahuan.

Di

Tahap
teologis,

metafisik,

dan positif merupakan

saling
dalam

tersebut,

lakon
terjadi

perkembangan
intelektual
4

Dolly”.

memang

telah
“keras”.

berikut:
Bunga :
Namaku bunga.
Ya..
namaku
bunga.
Sejak
usia
delapan
tahun
aku
tumbuh
tidak
seperti
gadis
lainnya. Dengan
menggunakan
make up yang
menor,
memakai
rok
mini, dan gaya
hidup
selayaknya
orang dewasa.
Aku
pun
tumbuh
tidak
seperti
gadis

seusiaku. Sejak
usia
delapan
tahun pula, aku
mulai
berpacaran dan
melakukan
hubungan
seksual. Tidak
hanya dengan
seorang
pria
saja,
tapi
dengan lima pra
sekaligus dan
bahkan
aku
pernah
tidur
dengan seorang
penarik becak,
hanya dibayar
20rb .
Kutipan tersebut jelas
menggambarkan
betapa

sejak

keras dalam menjalani
hidupnya.
yang telah dilewati
oleh Bunga, berlanjut
ke tahap yang kedua,
yakni tahap metafisik.
metafisik

berupa hukum alam
yang bersifat abstrak.
tahap

ini,

“Polisi”

tugas-

tugas

untuk

polisi

Polisi
Gondrong
: Yang mesti
ditangkap
Polisi
Tebas
Kasur:
Siapa
yang
ditangkap?
Semua: Yang
mesti ditangkap
Polisi
Sedot
WC: Siapa?
Polisi Sapu Lidi
: Siapa?
Polisi Tongkat
Pel: Siapa?
Polisi
Gondrong
: Siapa?
Polisi
Tebas
Kasur: Siapa?
Polisi
Sedot
WC: Yang tidak
setia pada Raja
Muda
dan
Baginda Wali
Polisi
Sapu
Lidi: Yang tidak
patuh pada Raja
Muda
dan
Baginda Wali
Polisi Tongkat
Pel: Yang tidak
loyal pada Raja
Muda
dan
Baginda Wali
Polisi
Gondrong
: Yang tidak
senang
pada
Raja Muda dan
Baginda Wali.
Hahaha
Polisi
Tebas
Kasur:
Yang
tidak
hormat
pada
Raja
Muda
dan
Baginda Wali

menangkap penjahat.
Namun

konflik

muncul

ketika

banyak

ada

perdebatan

antarpolisi yang tidak
jelas.

Ada

banyak

versi penjahat bagi
mereka.

Pemikiran

tentang

konsep

penjahat

atau

seseorang

yang

dalam
polisi

ditangkap
diri

kelima
tersebut

berbeda. Terlihat dari
kutipan berikut:

Tahap teologis

Sebenarnya

memaparkan

harusnya
kecil,

Bunga telah berjuang

Tahap

di awal pertunjukan

pada
lakon
bisa

dihadirkan

dalam

kehidupan

Bunga.

Kelompok

“polisi”

dalam lakon “Polisi”

Polisi
Sedot
WC: Tangkap!
Polisi Sapu Lidi
: Tangkap!
Polisi Tongkat
Pel: Tangkap!
Polisi
Gondrong
: Tangkap!
Polisi
Tebas
Kasur:
Tangkap!
Polisi
Sedot
WC: Siapa yang
ditangkap?
Polisi Sapu Lidi
: Yang mesti
ditangkap
Polisi Tongkat
Pel: Siapa yang
mesti
ditangkap?

Polisi
Sedot
WC: Yang tidak
setia
berarti
pemberontak
Polisi Sapu Lidi
: Yang tidak
patuh
berarti
merusuh
Polisi Tongkat
Pel: Yang tidak
loyal
berarti
pecundang
Polisi
Gondrong
: Yang tidak
senang,
pembangkang
Polisi
Tebas
Kasur:
Yang
tidak
hormat
berarti
penghianat
Polisi
Sedot
WC: Teroris
Polisi Sapu Lidi
: Anarkis
Polisi Tongkat
Pel: Apatis
Polisi
Gondrong
: Ekstimis
Polisi
Tebas
Kasur:
Oportunis
Dari kutipan tersebut
tahap metafisik dapat
dilihat

dari

pemahaman

polisi

tentang

tugasnya

sebagai

polisi.

Pengetahuan
masih

abstrak

mengenai
ketidakjelasan

5

yang

siapa

yang

seharusnya

ditangkap oleh polisi.
Selain itu, perdebatan
yang berkepanjangan
juga bisa dilihat dari
kutipan berikut:
Polisi
Sedot
WC:
Bagaimana
kalau kita tidak
setia pada Raja
Muda
dan
Baginda
Wali….?
Polisi
Sapu
Lidi:
Bagaimana
kalau kita tidak
patuh pada Raja
Muda
dan
Baginda
Wali…?
Polisi Tongkat
Pel: Bagaimana
kalau kita tidak
loyal pada Raja
Muda
dan
Baginda
Wali…?
Polisi
Gondrong:
Bagaimana
kalau kita tidak
perlu
senang
pada
Raja
Muda
dan
Baginda
Wali…?
Polisi
Tebas
Kasur:
Bagaimana
kalau kita tidak
hormat
pada
Raja Muda dan
Baginda
Wali…?

Polisi
Sedot
WC:
Bagaimana
kalau kita jadi
pemberontak ?
Polisi
Sapu
Lidi:
Bagaimana
kalau kita jadi
perusuh?
Polisi Tongkat
Pel
:
Bagaimana
kalau kita jadi
pecundang?
Polisi
Gondrong:
Bagaimana
kalau
kita
menjadi
pembangkang?
Polisi
Tebas
Kasur:
Bagaimana kita
jadi
penghianat?
Polisi
Sedot
WC:
Jadi
teroris!
Polisi
Sapu
Lidi:
Jadi
anarkis!
Polisi
Gondrong: Jadi
estimis!
Polisi
Tebas
Kasur:
Jadi
oportunis!
Polisi
Sedot
WC:
Teroris!
(membidik
Tebas Kasur)
Tebas
Kasur:
Apatis
(membidik
Sapu Lidi)
(Semua polisi
saling
membidik satu
sama lain).

Kutipan

tersebut

kepada

menjelaskan

bahwa

lelaki hidung belang.

pengetahuan

polisi

Polisi sebagai aparat

yang masih abstrak,

keamanan

mengakibatkan

bertanggung

adanya sikap saling

untuk menyelesaikan

membidik, yang bisa

permasalahan

diartikas

tersebut. Oleh karena

sebagai

sikap

saling

menyalahkan.
Setelah
tahap

metafisis, berlanjut ke
tahap positif. Tahap
posistif menekankan
pada

sesuatu

yang

bisa dinalar atau logis.
Dalam

tahap

ini,

hubungan
lakon

antara

“Polisi”

dan

“Bunga Dolly” bisa
dilihat secara lebih
jelas. Secara logika,
kegiatan

prostitusi

merupakan
pelanggaran terhadap
hukum di Indonesia.
Prostitusi merupakan
bisnis

perdagangan

manusia.

Dimana

perempua

dijadikan

sebagai
dagangan

jawab

itu,

polisi

mengamankan

PSK,

dalam hal ini adalah

melalui

barang
yang

diperjual-belikan oleh
6

mucikari

Bunga. Bisa dilihat
dari kutipan berikut:
Baru
saja
kemarin
aku
dikejar-kejar
Bunga: petugas,
dipukul tilang
bokongku
dengan
pentungan.
Disana...disana.
.aku ditertawai
(tertawa).
Disana
aku
ditertawai, lalu
aku
kembali
pulang,
berusaha
mengeraskan
hatiku,
menguatkan
hatiku, kembali
pada
pilihan,
sebab jika tidak
begitu
meski
kemana
aku
membawa
hidup
ini...meski
kemana
aku
membawa
hidup ini. Kala
gelap
mulai

datang, aku pun
berdandan,
merebakan
diriku di gang
remang-remang
berharap
ada
pelanggan yang
datang, lalu aku
pun
mulai
melakukan
penawaran.
Sering
aku
kalah
dan
memang mesti
mengalah.
Kutipan
tersebut
memberi
bahwa

gambaran
polisi

bertindak

telah
untuk

menertibkan kegiatan
prostitusi. Meskipun
yang

dimaksud

petugas itu terdapat
dalam lakon “Bunga
Dolly”, namun dari
lakon

“Polisi”

terdapat

hal

yang

serupa.
Polisi
berusaha

mencari

penjahat yang harus
ditangkap.

Mereka

bersama-sama
bertindak

untuk

membidik

sasaran.

Terlihat

dalam

kutipan:
Polisi
WC:

Sedot
Kamu

ngintai
apa?
Heyy! Di sini
lho! Di sini!
Siap??
Hitungan ketiga
pasang! Satu,
dua,
tiga
pasang! Satu,
dua,
tiga
pasang! Mana
orang itu?
Polisi Tongkat
Pel: Mana?
Polisi
Sedot
WC: Ssssst
Polisi
Gondrong:
Orang itu!
Polisi Tongkat
Pel: Itu Orang!
Polisi
Sedot
WC:
Itu!
Perhatikan ya,
di situ orang
itu!
Polisi
Tebas
Kasur: Di situ
mana?
Polisi
Gondrong: Itu
orang!
Polisi
Sedot
WC:
Itu!
Perhatikan ya,
Nah! Orang itu
seseorang!
Polisi
Tebas
Kasur: Orang
itu seseorang?
Yang mana?
Polisi
Sapu
Lidi:
Tapi
namanya wajar
kalau orang
Polisi Tongkat
Pel: Asaib alias
biasa
Polisi
Tebas
Kasur:

Bagaimana
itu…
Polisi
Sedot
WC: Lho kamu
itu
melihat
seseorang apa?
Kutipan
tersebut

berhubungan dengan

menjelaskan

tahap

bahwa

polisi sebagai aparat
keamanan

fokus

kajian

yang

berupa perkembangan
intelektual
masyarakat

melalui
teologis,

metafisis, dan positif.

memang

Refleksi

harus bertindak untuk

tersebut bisa dilihat

menyelesaikan setiap

dari tempat prostitusi

pelanggaran

terbesar di Indonesia,

yang

terjadi.

yakni
Pengkajian

Gang

Dolly.

Beberapa waktu yang

“Polisi” dan “Bunga

lalu, prostitusi Dolly

Dolly” melalui kajian

telah

sosiologi sastra, tentu

Pemkot

Surabaya.

disertai

Namun

sepertinya

kegiatan

prostitusi

dengan

refleksi

di

dunia

ditutup

nyata.kehidupan

masih

bermasyarakat

meskipun

khususnya

di

saja

oleh

ada,
tidak

sebesar sebelumnya.

Indonesia tentu ada
konflik atau kasuskasus serupa seperti
dalam lakon “Polisi”
dan “Bunga Dolly”.
Ada

banyak

aspek

dalam lakon tersebut
yang

merupakan

refleksi

kehidupan

nyata.

Namun

ada

batasan yang harus
diberikan

karena

refleksi tersebut harus
7

SURABAYA,
KOMPAS.com

Sulastri,
seorang wanita
yang
kini
berumur
29
tahun, mengaku
memilih
menjadi
perempuan
bayaran di salah
satu wisma di
Gang
Dolly,
Surabaya,
setelah
diperkosa
bapaknya.

Kala itu, ayah
Sulastri
kesepian karena
ibunya
meninggal
dunia
akibat
kecelakaan.
Jadilah Sulastri
sebagai tempat
pelampiasan
nafsu bapaknya.
Masa depannya
pun hancur.
"Saya putuskan
nekat ke Dolly.
Saat itu, saya
baru lulus SMA
di
kampung.
Akibat bapak,
saya
hamil.
Terpaksa saya
gugurkan saat
masih
dua
bulan hamil,"
kata perempuan
asal
Tulungagung
itu.
Sejak
tahun
2004, Sulastri
tak
pernah
pulang
ke
kampung
halamannya. Ia
tidak tahu lagi
keberadaan
sanak
keluarganya di
kampung.
"Karenanya,
saya berharap
dan akan terus
berjuang,
bagaimana
(supaya) Dolly
tetap
buka,"
tekannya.
Sulastri adalah
salah satu PSK
di Gang Dolly

yang
aktif
mengikuti aksi
blokade jalan.
"Saya
dan
teman-teman
akan berjuang
mati-matian
bagaimana
(supaya) Dolly
dan Jarak tetap
buka,"
kata
Sulastri.
Ditanya
soal
besarnya uang
kompensasi dari
Pemerintah
Kota Surabaya
senilai
Rp
5.050.000 untuk
PSK dan Rp
5.000.000 untuk
mucikari,
Sulastri tegas
menolaknya.
"Kita menolak
ditutup kok, ya
harus tolak juga
uang
kompensasinya,
" kata Sulastri.
Sulastri
mengaku baru
akan berhenti
bekerja di Dolly
jika
sudah
menikah.
"Banyak
kok
calon yang akan
menikah
dengan
saya.
Tapi masih saya
persiapkan.
Saya
sudah
punya pacar,"
kata perempuan
yang mengaku
pernah diajak
salah
satu
kepala desa di

wilayah
Surabaya ini.
Selama bekerja
di Dolly, tarif
Sulastri
tergolong
mahal.
Per
jamnya
mencapai
Rp
300.000. "Tapi
uang itu masih
dibagi
tiga,
untuk mucikari,
dan
pemilik
wisma,"
kata
dia tanpa mau
menyebutkan
berapa persen
yang ia dapat
untuk
sekali
melayani tamu.
"Tak ada kata
lain selain tetap
tolak penutupan
Dolly.
Walau
sudah
dideklarasikan
oleh Wali Kota,
Dolly dan Jarak
ditutup,
kita
akan
tetap
beroperasi.
Yang
datang
terima
uang
kompensasi itu
mayoritas
bukan
PSK,
melainkan
anggota PKK,"
selorohnya.
(Kompas,
Kamis 19 Juni
2014).
Meskipun

kasus

tersebut tidak sama
persis, namun secara

tahap perkembangan,
Sulastri

apa yang dialami oleh
Bunga.

Sulastri

menjadi PSK berawal
dari

hilangnya

kehormatannya
sebagai

perempuan,

dalam hal ini adalah
keperawanannya.
Tindakan aparat di
sini

terletak

akan

ditutupnya

Gang

Dolly sebagai upaya
pemberantasan
kegiatan

yang

melanggar

hukum

tersebut.
SIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan
telah

yang
diuraikan

sebelumnya,

lakon

“Polisi” dan “Bunga
Dolly”
judul

adalah
lakon

dua
yang

sebenarnya memiliki
keterkaitan

satu

dengan yang lainnya.
Perkembangan
intelektual
masyarakat dilakukan
melalui

8

mengalami

tiga

tahap.

Tahap pertama adalah

modernisme.

tehap teologis. Dalam

Yogyakarta:

lakon

Pustaka Pelajar

ini

tahap

teologis terletak pada

Ritzer, George dan

kematian orang tua

Goodman,

Bunga.

Tahap

Douglas

berikutnya

adalah

2014.

J.

tahap metafisis. Tahap

Sociological

metafisis terletak pada

Theory.

ketidaktahuan

Nurhadi.

polisi

akan tugas dan orang

Bantul:

yang harus ditangkap

Wacana

sebagai

penjahat.

Pengetahuan

yang

Terj.
Kreasi

Yatimul, Ainun. 2015.
Sulastri

Jadi

dimiliki polisi masih

PSK di Dolly

abstrak. Tahap yang

Setelah

ketiga

Diperkosa

yaitu

tahap

positif. Tahap ini bisa

Ayahnya_____

dilihat dalam tindakan

(http://regional.

polisi yang berupaya

kompas.com/rea

meindaklanjuti

d/2014/06/19/14

prilaku atau kegiatan

19529/Sulastri.J

yang

adi.PSK.di.Doll

melanggar

hukum.

y.Setelah.Diper
kosa.Ayahnya,

DAFTAR

diakses pada 7

PUSTAKA

April

2015

pukul

17.00

Faruk.

2012.

Pengantar

WIB)

Sosiologi
Sastra:

dari

Strukturalisme
Genetik sampai
Post9