GEOMORFOLOGI daerah Pringkuku Pacitan docx
BAB II
GEOMORFOLOGI
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk lahan atau bentang alam,
proses-proses yang mempengaruhinya, asal mula pembentukannya, dan kaitannya
dengan lingkungannya dalam ruang dan waktu (Hidartan dan Handayan, 1994).
Ilmu ini berguna untuk menggambarkan seberapa jauh data geomorfologi
dapat membantu dalam penafsiran kondisi stratigrafi, struktur geologi, penilaian
sumber daya alam dan potensi bencana alam pada daerah pemetaan.
Aspek geomorfologi yang akan dibahas dalam bab ini adalah dengan
melakukan pembagian daerah pemetaan menjadi beberapa satuan geomorfologi pada
daerah pemetaan berdasarkan pada tiga aspek yaitu relief, litologi, dan genetik.
2.1
Fisiografi Regional
Gambar 2.1 Fisiografi regional Pulau Jawa menurut van Bemmelen (1949)
Secara umum fisiografi Pulau Jawa dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
Jawa Barat (Barat Cirebon), Jawa Tengah (Antara Cirebon dan Semarang), Jawa
Timur (Antara Semarang dan Surabaya), Tepi Jawa Timur dan Pulau Madura. Dan
daerah pemetaan terletak pada fisiografi Jawa Timur.
Berdasarkan fisiografi van Bemmelen (1949) daerah pemetaan masuk ke dalam
Zona Pegunungan Selatan. (Gambar 2.1). Zona Pegunungan Selatan merupakan hasil
pelipatan pada Miosen dan berlanjut ke arah Timur yaitu ke Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur (Umbgrove di dalam Van Bemmelen, 1949). Zona Pegunungan
Selatan dibatasi oleh 2 zona, disebelah utara dibatasi oleh Zona Depresi Sentral Jawa
8
dan Zona Randublatang, disebelah barat dibatasi oleh Zona Pegunungan Serayu
Selatan, sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali, dan sebelah selatan dibatasi oleh
Samudra Hindia.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang
cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan
Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan
Pacitan merupakan tipe karst (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung
Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).
Kabupaten Pacitan memiliki topografi datar hingga bergunung, dengan
elevasi tertinggi 1.200m di atas permukaan air laut (Kecamatan Bandar, Gunung
Gembes). Wilayah Kabupaten Pacitan dengan kondisi topografi bergunung terutama
terletak di bagian utara DAS Grindulu, meliputi Kecamatan Nawangan, Bandar,
Tegalombo dan sebagian Kecamatan Arjosari (Kabupaten Pacitan).
Topografi berbukit mencakup wilayah bagian tengah sebagian Kecamatan
Tegalombo, Arjosari dan wilayah barat di kecamatan Donorojo, Punung dan
Pringkuku serta di wilayah timur Kecamatan Tulakan, Ngadirojo dan Sudimoro.
Sedangkan daerah dengan topografi datar terdapat di sebagian sekitar Kota Pacitan,
Arjosari dan Kebonagung.
Kabupaten Pacitan didominasi oleh lahan dengan kondisi topografi berbukit
dengan kemiringan 31 – 50% seluas 722.73 km2 (52%), bergelombang dengan
kemiringan 11 – 30% seluas 333.57 km2 (24%). Sisanya merupakan daerah
bergunung dengan kemiringan lahan lebih dari 51% (10%), daerah berombak dengan
kemiringan lahan 6-10% seluas 138.99 km2 (10%) dan daerah dataran dengan
kemiringan 0 – 5% seluas 55.59km2 (4%). (Kabupaten Pacitan Dalam Angka 2009).
Daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng antara 25 –
40%, dan mencakup hampir 70% dari Kabupaten Pacitan. Bagian timur laut
Kecamatan Donorojo, bagian utara Kecamatan Punung, Pringkuku, Pacitan, dan
Arjosari, sebagian besar Kecamatan Kebonagung dan Tulakan, bagian utara
Kecamatan Ngadirojo dan Sudimoro, serta seluruh wilayah Kecamatan Nawangan,
Bandar dan Tegalombo.
Satuan Perbukitan Kars ini tersebar di bagian selatan, sekitar 25% dari luas
Kabupaten Pacitan, meliputi hamper seluruh wilayah Kecamatan Donorojo, Punung
bagian barat daya, Pringkuku bagian selatan, Pacitan sebelah barat dan tenggara,
Kebonagung bagian utara, barat daya dan tenggara, Tulakan bagian utara dan selatan,
Ngadirojo bagian selatan, Sudimoro bagian selatan. Daerah perbukitan tersebut
mempunyai kemiringan 20 – 400, tersebar di daerah terra rosa (lempung yang
berwarna coklat kemerahan) sebagai sisa hasil pelapukan batugamping. Gejala
tersebut menunjukkan stadia erosi dewasa.
9
Satuan Dataran Aluvial berkembang di daerah aliran Sungai Grindulu, Asem
Gandok di Kecamatan Arjosari dan Pacitan, serta pantai Pacitan, sungai dan panatai
Pagotan Kecamatan Ngadirojo, Sungai Lorog serta pantai di teluk Damas Kecamatan
Ngadirojo. Stadia erosinya termasuk dewasa, dengan adanya dataran banjir yang luas
dan sungai yang dangkal, serta pola sungai bermeander.
Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur di bagi menjadi 6 zona fisiografi
dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1):
Dataran Aluvial Jawa Utara
Antiklinorium Rembang,
Zona Depresi Randublatung,
Antiklinorium Kendeng (Pegunungan Kendeng),
Zona Pusat Depresi Jawa (Zona Solo, Subzona Ngawi),
Busur Vulkanik Kuarter, dan
Pegunungan Selatan
Berdasarkan fisiografi van Bemmelen (1949) daerah pemetaan masuk ke
dalam Zona Pegunungan Selatan. (Gambar 2.1). Zona Pegunungan Selatan
merupakan hasil pelipatan pada Miosen dan berlanjut ke arah Timur yaitu ke Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh 2
zona, disebelah utara dibatasi oleh Zona Depresi Sentral Jawa dan Zona
Randublatang, disebelah barat dibatasi oleh Zona Pegunungan Serayu Selatan,
sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali, dan sebelah selatan dibatasi oleh Samudra
Hindia.
Berdasarkan peta fisiografi Jawa Timur menurut van Bemmelen (1949)
diatas, daerah penelitian termasuk zona Pegunungan selatan.
Fisografi Jawa Timur dapat dibedakan menjadi 7 zona dari selatan ke utara yaitu
sebagai berikut:
2.1.1 Zona Pegunungan Selatan
Pada zona ini batuan pembentuknya terdiri atas siliklastik, volkaniklastik,
volkanik , dan batuan karbonat. Antara sebelah timur parangtritis sampai teluk
popoh, pegunungan selatan di bagi menjadi 3 bagian yaitu:
Gunung sewu (sebelah selatan),terdiri dari batu gamping berumur miosen
tengah. Maka perkembangan topografi karst dengan kenampakan permukaan
berupa dolina-dolina yang dipisahkan oleh bukit-bukit yang terlihat dari jauh
agak membulat yang disebut kubah kapur, dan sungai bawah permukaan.
Basin wonosari dan baturetno (tengah), basin wonosari diduga dahulu
merupakan laguna yang terisi dengan endapan gamping, dolomit, dan bahan
vulkanis. Di sebelah timur basin wonosari terdapat basin baturetno.Pada
mulanya aliran sungai di baturetno mengarah ke selatan, tetapi pada pleistosen
10
akhir terjadi pelengkungan kebawah membentuk basin beturetno menyababkan
aliran tidak menuju ke selatan lagi melainkan menerobos kebarat dan selanjutnya
ke utara menjadi hulu sungai bengawan solo.
Pengunungan baturagung, panggung, popoh range (utara), merupakan
pegunungan terjal yang sisi utaranya berupa escarpment. Terdapat pula patahan
di baturagung sebelah utara parangtritis.Sebelah timur teluk popoh, escarpment
yang membatasi pegunungan selatan dengan zone solo.
2.1.2
Zona Solo
Zona solo merupakan depresi yang ditumbuhi oleh vulkan-vulkan kuarter.
Pada zona solo terbagi menjadi 3 zona yaitu sub-zone blitar yang dimana sub-zone
ini membatasi pegunungan selatan dengan vulkan-vulkan di depresi tengah, solo
sensu stricto yang merupakan zona vulkan-vulkan kuarter, sub-zone ngawi yang
merupakan depresi yang membetasi vulkan-vulkan di depresi tengah dengan
pegunungan kendeng.
2.1.3
Zona Kendeng Ridge
Jalur Kendeng batuan pembentuknya terdiri atas Sekuen dari volkanogenik
dan sedimen pelagik.
Satuan ini nyaris secara keseluruhan disusun oleh litologi napal abu-abu.
Satuan morfologi perbukitan terjal, yang merupakan inti Pegunungan Kendeng
dengan ketinggian rata-rata 350 meter diatas permukaan laut, tipe genetik
sungainya adalah tipe konsekuen, subsekuen, dan insekuen. Litologi yang
menyusun satuan ini, sebagian besar adalah batu gamping dan batu pasir.
Satuan morfologi dataran rendah, yang disusun oleh endapan aluvial yang
terdapat di ngawi (Bengawan Solo) dan dataran sungai brantas di timur.
Kendeng ridge dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu:
(1) Kendeng barat/awal (ungaran-lembah transversal sebelah utara ngawi): (2)
Kendeng tengah (utara ngawi-jombang): (3) Kendeng timur (jombang-mendekati
surabaya).
Berdasarkan penelitian Van Bemmelen disimpulkan bahwa pegunungan kendeng
telah mengalami pelipatan dan pengangkatan sebanyak tiga kali, yaitu pelipatan yang
berkaitan dengan collapse yang dialami geantiklin jawa, vulkan-vulkan di zona solo,
dan pengangkatan karena dorongan magma dari dalam.
2.1.4
Zona Depresi Randublatung
Zona ini merupakan depresi yang memisahkan kendeng ridge dan perbukitan
rembang.Di sebelah timur depresi randublatung terdapat lipatan, lipatan yang terjadi
dikarenakan tekanan dari perbukitan rembang atau dari kendeng ridge.
11
2.1.5
Zona Perbukitan Rembang
Zona yang dapat diteruskan ke pulau Madurabatuan pembentuknya terdiri
atas endapan laut dangkal , sedimen klastik , dan batuan karbonat. Pada zona ini juga
terdapat patahan yang dinamakan Rembang High dan banyak lipatan yang berarah
timur-barat. Pada plio-pleistosen menghasilkan gaya kompresif ke utara sehingga di
beberapa tempat pelipatan di sebelah selatan rembang menunjukkan arah pelipatan
keutara.
2.1.6
Zona Depresi Semarang-Rembang
Perbukitan rembang dibatasi kearah barat laut oleh suatu depresi yang
membentang dari semarang ke rembang. Depresi ini telah ada sejak neogen, yang
kemudian pada akhir kuarter depresi ini berubah menjadi selat yang memisahkan
gunung muris dari pulau jawa.Endapan-endapan depresi ini masih muda, baru abad
15 menjadi daratan.
2.1.7
Kompleks Gunung Muria
Gunung muria berumur pleistosen awal yang sekarang telah padam dan
puncaknya pecah-pecah membentuk sektor graben. Kuiper telah mengumpulkan
beberapa sampel batuan di kawah rahtawu, ternyata ada batuan sedimen berupa liat,
marl dan limestone. Kondisi demikian menunjukkan bahwa dasar dari gunung muria
terdiri dari lapisan sedimen klastis berumur neogen.
Di kaki tenggara kompleks gunung muria dijumpai suatu dome yang dikenal dengan
nama gunung patihayan. Batuan inti dome ini telah tersingkap sedimen marine yang
kemudian tertutup dengan breksi yang mengandung leusite setebal 300m dan
selanjutnya tertutup lagi oleh lahar dari gunung muria.
2.2
Geomorfologi Daerah Pemetaan
Penamaan satuan geomorfologi daerah pemetaan berdasarkan atas parameter
deskriptif, litologi, dan proses genetik baik secara endogen maupun eksogen yang
terjadi di daerah pemetaan tersebut. Pembahasan geomorfologi bermaksud untuk
mengelompokkan bentang alam secara sistematis berdasarkan kenampakan bentukbetuk relief di lapangan, kemiringan lereng, beda tinggi serta variasi litologi, pola
aliran sungai, genetik sungai dan struktur geologi yang mengontrolnya.
Klasifikasi secara deskriptif yang berpanduan pada parameter relief yang
disusun oleh Zuidam (1983) untuk menentukan satuan geomorfologi, namun
klasifikasi relief bukan termasuk dalam satuan geomorfologi secara umurn dan tidak
semua relief di setiap daerah dapat sesuai dengan perhitungan deskriptif pada
klasifikasi yang dibuat oleh Zuidam (1983) (Tabel 2.1), sehingga satuan
12
geomorfologi dapat dimodifikasi agar sesuai dengan klasifikasi relief tersebut.
Secara umum daerah Pringkuku dan sekitarnya memperlihatkan bergelombang
miring, berbukit bergelombang, dan bergelombang tersayat tajam.Namun
pengklasifikasian bentang alam ini, dilakukan dengan mengacu pada parameterparameter relief menurut Zuidam (1983). Sedangkan pewarnaan peta geomorfologi
mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI).
No.
1
Tabel 2.1 Klasifikasi Relief Zuidam (1983)
Satuan Relief
Kelerengan
Beda Tinggi
(Secara Deskriptif)
(%)
(m)
Datar – Hampir Datar
0-2
140
> 1000
Berdasarkan satuan genesa, satuan geomorfologi diklasifikasikan menurut
Hidartan dan Handayana (1994) (Tabel 2.2), bahwa bentuk bentang alam dapat
dibedakan berdasarkan dominasi gaya-gaya yang terjadi selama pembentukannya,
dibagi menjadi dua gaya yaitu, gaya endogen dan gaya eksogen. Bentuk bentang
alam yang diakibatkan oleh gaya endogen, yaitu:
1. Bentuk Asal Struktural
Bentuk lahan struktural yang terbentuk akibat adanya gaya endogen atau
proses tektonik yang berupa pengangkatan, perlipatan dan patahan. Gaya tektonik
bersifat konstruktif atau membentuk.
2. Bentuk Asal Vulkanik
Bentuk lahan yang terjadi karena pengaruh aktifitas vulkanisme berupa kepundan,
kerucut semburan, medan lava, medan lahar, dan lainnya yang terjadi pada wilayah
gunung api.
Sedangkan bentang alam yang diakibatkan gaya eksogen, yaitu :
1) Bentuk Lahan Asal Fluvial
Bentuk lahan ini berkaitan erat dengan aktifitas sungai dan air permukaan yang
berupa pengikisan pengangkutan, dan penimbunan pada daerah rendah seperti
lembah, ledok, dan daratan aluvial.
13
2) Bentuk Asal Marin
Aktifitas marine yang utama adalah abrasi, sedimentasi, danpasang surut. Bentuk
lahan yang dihasilkan oleh aktifitas marine berada di kawasan pesisir yang melapar
sejajar garis pantai.
3) Bentuk Lahan Asal Pelarutan (karst)
Bentuk lahan karst dihasilkan oleh pelarutan pada batuan yang mudah larut,
seperti gamping. Mempunyai karakteristik relief dan drainase yang khas, yang
disebabkan oleh tingkat peralutan batuan yang tinggi.
4) Bentuk lahan asal aeolian (Angin)
Bentukan ini dipengaruhi oleh udara dan angin yang dapat membentuk medan
yang khas dan berbeda bentuknya dari daerah lain. Endapan angin terbentuk oleh
pengikisan, pengangkatan, dan pengendapan material lepas oleh angin yang
umumnya dibedakan menjadi gumuk pasir dan endapan debu (loes).
5) Bentuk Lahan Es/Glasial
Bentuk ini tidak berkembang di Indonesia yang beriklim tropis kecuali sedikit
di puncak gunung Jaya Wijaya. Bentukan ini dihasilkan oleh aktifitas / gletser.
6) Bentuk Lahan Asal Denudasional
Proses denudasional ( penelanjangan) merupakan kesatuan dari proses pelapukan,
pergerakan tanah, erosi dan diakhiri dengan proses pengendapan. Pada bentuk lahan
denudasional, maka efek litologi menjadi sangat penting. Untuk batuan yang
mempunyai resistensi tinggi akan memberikan relief yang lebih menonjol
dibandingkan dengan batuan yang mempunyai resistensi rendah.
Tabel 2.2 Klasifikasi Bentuk Lahan Secara Genetik menurut Hidartan dan Handayan
(1994)
Bentuk Lahan Asal
Proses
Bentuk asal struktural
Endogen
Bentuk asal volkanik
Endogen
Bentuk asal fluvial
Eksogen
Bentuk asal marine
Eksogen
Bentuk asal karst
Eksogen
Bentuk asal aeolian
Eksogen
Bentuk asal denudasional
Eksogen
14
Berdasarkan penggabungan antara klasifikasi geomorfologi secara deskriptif
(Zuidam, 1983) dan secara genetis (Hidartan dan Handayan, 1994), maka sebagai
dasar penentuan satuan geomorfologi daerah Pringkuku dan Sekitarnya dapat dibagi
menjadi tiga satuan(Gambar 2.2), yaitu :
1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Tajam Karst
2. Satuan Geomorfologi BerbukitBergelombangKarst
3. Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional
Gambar 2.2 Peta Geomorfologi Daerah Pemetaan
15
Relief
-
-
-
Tabel 2.3. Tabel Satuan Geomorfologi Daerah Pringkuku dan Sekitarnya
16
Stadia
Daerah
Tata
L
Dewasa
- Tua
Pers
Perl
,
Pem
Dewasa
- Tua
Pers
Perl
Pem
Perl
Tua
Membulat
Pelarutan
Dewasa - Tua
Sejajar
Membulat
Dewasa -Tua
Sejajar
Membulat
Stadia
Sungai
dan
Berpotongan
Sub-dendritik
Pelarutan
Antiklin
dan
sesar
Sejajar
Sub-dendritik
812,5
Endogen
Sub-dendritik
68,
75
14 20
Eksogen
Pola
Aliran
33
1,2
540
0
13
3,3
5
Bentuk
U
29
3,7
542
7,1
21 50
Pola
Penyebaran
V-U
30
2,3
5
(%)
V-U
7
14
3,7
544
6,1
Slope
Pola Aliran Sungai
Bentuk
Penampan
g
26
∆h
(m)
Batugamping
Satuan
Geomorfologi
Bergelombang
Miring
Denudasional
67
h
(m)
Batugamping
Satuan
Geomorfologi
BerbukitBerge
lombang Karst
%
Batugamping
Satuan
Geomorfologi
Berbukit
Tersayat
Tajam Karst
Luas
Litologi
Penyusun
(dominan)
Warna
Pembagian
Satuan
Geomrfologi
Proses
Tua
dan
2.2.1
Satuan Geomorfologi Berbukit Tersayat Tajam Karst
Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Tajam Karst mendominasi daerah
pemetaan, yaitu lebih kurang 67% dengan ketinggian kontur 143,75-446,1. Satuan
geomorfologi ini memiliki pola penyebaran hampir seluruh dari daerah pemetaan di
sebelah barat daerah pemetaan berkontur sejajar hingga berpotongan dan bentuk
membulat. Satuan geomorfologi ini terletak di beberapa desa diantaranya, Desa
Sooko, Desa Sobo, Desa Jlubang dan Sekitarnya.
Satuan geomorfologi ini disusun oleh dominasi berbukit tersayat tajam Karst.
Terbentuk atas gaya eksogen yang berupa pelarutan yang terjadi karna iklim atau
curah hujan yang cukup tinggi. Tata guna lahan dalam satuan geomorfologi ini
digunakan sebagai kawasan perkebunan dan perladangan.
Bentuk bentang alam daerah penelitian ini dipengaruhi litologi penyusun
yang memiliki resistensi tinggi terdiri batu gampingsehingga membentuk suatu
bentang alam seperti sekarang.
Parameter pada daerah pemetaan menunjukkan bentuk penampang V–U
kecepatan aliran sungai rendah, juga tidak ada dataran banjir disekitar aliran sungai,
bentuk/pola aliran sungai meander hingga kompleks. Berdasarkan parameter yang
telah disebutkan sebelumnya, maka stadia sungai pada satuan geomorfologi
perbukitan tersayat tajam struktural adalah dewasa hingga tua
T
B
Foto 2.1 Satuan Geomorfologi Berbukit Tersayat Tajam Karst
17
2.2.2
Satuan Geomorfologi Berbukit Bergelombang Karst
Satuan Geomorfologi Perbukitan Bergelombang Karst mencakup 26% dari
daerah Pringkuku dan Sekitarnya, dengan ketinggian kontur 293,75 – 427,1 meter
dengan nilai kemiringan 14 – 20. Satuan geomorfologi ini memliki pola penyebaran
pada bagian tengah daerah pemetaan berkontur sejajar dan bentuk membulat. Satuan
geomorfologi ini terletak di Desa Pringkuku dan Sekitarnya.
Bentuk bentang alam ini, terbentuk akibat gaya eksogen berupa pelarutan
yaitu dengan kenampakan bukit-bukit gamping dan goa. Proses erosi mempengaruhi
daerah ini cukup tinggi dengan didukung oleh litologi penyusun yang memiliki
resistensi rendah, yaitu Batugamping klastik. Tata guna lahan dalam satuan
geomorfologi ini digunakan sebagai kawasan persawahan, perkebunan dan
pemukiman. Stadia sungai dan stadia daerah pada satuan geomorfologi ini adalah
stadia dewasa hingga tua (Nugroho, 2004) yang dicirikan dengan tidak adanya
slope/gradient, kecepatan aliran yang rendah, bentuk/pola aliran sungai bermeander
dan kompleks, bentuk penampang berbentuk huruf U dan V.
B
T
F
oto 2.2 Satuan Geomorfologi Berbukit Bergelombang Karst
2.2.3
Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional
Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional mencakup 7%
dari daerah penelitian dengan ketinggian kontur 331,25-400 meter dengan nilai
kemiringan 8-12,5%. Satuan geomorfologi ini berkontur membulat hingga
menunjam dan berpola sejajar. Penyebaran berada pada daerah Ngadirejan, Dusun
Blimbing, Dusun Bulu, Dusun Salam dan Sekitarnya.
18
Bentuk bentang alam ini, terbentuk akibat gaya eksogen berupa denudasional
yaitu serangkaian proses perlipatan yang telah tererosi serta proses tektonisme,
pelapukan, dan pergerakan tanah yang diakhiri oleh proses pengendapan. Litologi
penyusun terdiri dari Batu gamping. Tata guna lahan dalam satuan geomorfologi ini
digunakan sebagai kawasan peladangan dan pemukiman. Stadia sungai dan stadia
daerah pada satuan geomorfologi ini adalah stadia dewasa hingga tua (Hidartan &
Nugroho, 2004) yang dicirikan dengan tidak adanya slope/gradient, kecepatan aliran
yang rendah, bentuk/pola aliran sungai bermeander dan kompleks, bentuk
penampang berbentuk huruf U
T
BL
Foto 2.3 Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional
2.3
Genetik dan Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis peta topografi dengan
skala 1:12.500 berdasarkan klasifikasi Howard (1967) dalam Van Bemmelen (1949)
(Gambar 2.3) menunjukkan pola aliran sungai daerah pemetaan termasuk dalam
pola aliran sungai sub-dendritik.
Sungai adalah bagian bumi yang menjadi tempat berakumulasi air yang
mengalir dari tempat tinggi menuju tempat yang lebih rendah.
Pola aliran sungai pada suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain kontrol struktur, jenis dan variasi kekerasan batuan, landai lereng asal, sejarah
geologi, dan sejarah geomorfologi daerah tersebut (Thornburry, 1969).
Secara genetik aliran sungai (Loebeck, 1989) dibagi berdasarkan tingkat
erosinya dan daerah pemetaan dapat dibagi menjadi tiga pola, yaitu : Konsekuen,
merupakan sungai yang memiliki arah aliran yang sesuai dengan kemiringan lapisan,
meliputi daerah Gondang dan Salam; Subsekuen, merupakan sungai yang alirannya
searah dengan jurus perlapisan batuan, meliputi Kali Kladen, Mudal, dan Kali
19
Sebrok; dan Obsekuen, merupakan sungai yang mengalir berlawanan arah dengan
kemiringan lapisan, meliputi Pagutan, Pindul, dan Melian.
Gambar 2.3 Klasifikasi menurut Howard (1967) dalam Van Bemmelen (1949)
2.4
Stadia Sungai Daerah Pemetaan
Stadia sungai adalah klasifikasi sungai berdasarkan beberapa parameter
tertentu seperti kelerengan, kecepatan aliran, jenis-jenis aliran dan erosi, proses
pembentuk sungai, bentuk penampang sungai, kerapatan anak sungai, dan ciri-ciri
umum dari sungai pada stadia tertentu. Pengenalan stadia sungai dilakukan
berdasarkan beberapa parameter yang dikemukakan Hidartan dan Nugroho (2004).
S
U
Foto2.4Kenamp
akan sungai berbentuk U dari daerah Pringkuku LP 22
20
B
TG
Foto 2.5 Kenampakan sungai berbentuk V dari daerah Pringkuku LP 38
Foto 2.6 Jenis sungai rectangular pada LP 13
Gambar 2.4 Peta Pola Aliran Sungai Regional Pacitan
21
Yang Menunjukan Pola Rectangular.
22
Gambar 2.5 Peta Pola Aliran Sungai Daerah Pringkuku dan Sekitarnya
Yang Menunjukan Pola Subdendritik
23
Tabel 2.4Klasifikasi Stadia Sungai menurut Hidartan dan Nugroho (2004)
Parameter
Stadia Sungai
Muda
Dewasa
Tua
Slope Gradient
Besar
Relatif Kecil
Tidak ada
Kecepatan Aliran
Tinggi
Sedang
Rendah
Jenis aliran air
Turbulance
Laminer
Jenis Erosi
Vertikal
Proses yang
bekerja
Bentuk/Pola aliran
sungai
Bentuk Penampang
Erosi
TrubulanceLaminer
VertikalHorisontal
Erosi dan
deposisi
Lurus dan
bermeander
V –U
Kerapatan anak
sungai
Kenampakan lain
Lurus
V
Kecil/Jarang
Banyak air
terjun, tidak
ada dataran
Banjir,
mengalir di
atas batuan
induk
Sedang/Mulai
banyak
Air terjun
sedikit, mulai
terbentuk
dataran banjir,
mulai ada
endapan
sungai
Horisontal
Deposisi
Bermeander dan
Kompleks
U sampai datar
Besar/ banyak
Tak ada air terjun
dataran banjir
luas, Mulai ada
oxbow lake.
Dari pengamatan yang dilakukan terhadap daerah pemetaan secara langsung
dan menggunakan peta topografi 1:12.500, diketahui bahwa sungai-sungai di daerah
pemetaan seperti Kali Kladen menunjukkan kecepatan aliran yang sedang dan tidak
memiliki endapan sungai melainkan singkapan batuan terendapkan pada sungai
tersebut,berukuran relatif besar dan memiliki bentuk aliran cenderung regular
meander, penampang sungai berbentuk U hingga V, bentuk aliran yang ada pada anak
sungai Kali Sebrok memiliki aliran yang lurus hingga regular meander, penampang
berbentuk V-U. Pada daerah pemetaan ini terdapat anak-anak sungai dengan jenis
pola aliran berupa rectangular karena adanya kekar-kekar pada sungai tersebut (Foto
2.6), namun pola aliran sungai rectangular ini tidak mendominasi daerah pemetaan
atau jumlahnya yang sangat sedikit yaitu hanya 2 anak sungai yang memiliki ciri-ciri
rectangular, dibanding anak-anak sungai yang menunjukan ciri berpola aliran sub-
24
dendritik. Berdasarkan parameternya maka daerah pemetaan disimpulkan adalah
stadia dewasa hingga tua dengan pola aliran sub-dendritik.
2.5
Stadia Daerah Daerah Pemetaan
Klasifikasi stadia suatu daerah berdasarkan parameter tertentu seperti stadia
sungai, relief, bentuk penampang lembah dan kenampakan lain yang mencirikan
suatu stadia daerah. Dalam Penentuan Stadia Daerah Lokasi Pemetaan mengacu pada
pembagian stadia daerah oleh Bani Nugroho (2004) (Tabel 2.5)
Tabel 2.5 Klasifikasi Stadia Daerah menurut Bani Nugroho (2000)
Dari pengamatan yang dilakukan terhadap daerah pemetaan secara langsung
dan menggunakan peta topografi 1:12.500, diketahui bahwa secara umum
karakteristik sungai pada daerah penelitian memiliki stadia sungai dewasa-tua.
Pengenalan stadia sungai dilakukan berdasarkan beberapa parameter menurut Bani
Nugroho (2000), yang meliputi slope gradient, kecepatan aliran, jenis erosi, bentuk
penampang (Tabel 2.5). Untuk parameter relief dapat dilihat dari morfologi umum
dan satuan geomorfologi yang ada pada daerah pemetaan yang termasuk dalam
25
perbukitan hingga bergelombang. Untuk bentuk penampang lembah, pada daerah
pemetaan memiliki bentuk penampang “V - U” serta “U - Hampir datar” yang
terlihat di lembah atau berstadia sungai dewasa hingga tua.
Berdasarkan parameter yang dicirikan pada daerah pemetaan, dan seperti
yang telah dijelaskan pada subbab stadia sungai, maka dapat disimpulkan stadia
daerah pemetaan adalah stadia dewasa hingga tua.
26
GEOMORFOLOGI
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk lahan atau bentang alam,
proses-proses yang mempengaruhinya, asal mula pembentukannya, dan kaitannya
dengan lingkungannya dalam ruang dan waktu (Hidartan dan Handayan, 1994).
Ilmu ini berguna untuk menggambarkan seberapa jauh data geomorfologi
dapat membantu dalam penafsiran kondisi stratigrafi, struktur geologi, penilaian
sumber daya alam dan potensi bencana alam pada daerah pemetaan.
Aspek geomorfologi yang akan dibahas dalam bab ini adalah dengan
melakukan pembagian daerah pemetaan menjadi beberapa satuan geomorfologi pada
daerah pemetaan berdasarkan pada tiga aspek yaitu relief, litologi, dan genetik.
2.1
Fisiografi Regional
Gambar 2.1 Fisiografi regional Pulau Jawa menurut van Bemmelen (1949)
Secara umum fisiografi Pulau Jawa dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
Jawa Barat (Barat Cirebon), Jawa Tengah (Antara Cirebon dan Semarang), Jawa
Timur (Antara Semarang dan Surabaya), Tepi Jawa Timur dan Pulau Madura. Dan
daerah pemetaan terletak pada fisiografi Jawa Timur.
Berdasarkan fisiografi van Bemmelen (1949) daerah pemetaan masuk ke dalam
Zona Pegunungan Selatan. (Gambar 2.1). Zona Pegunungan Selatan merupakan hasil
pelipatan pada Miosen dan berlanjut ke arah Timur yaitu ke Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur (Umbgrove di dalam Van Bemmelen, 1949). Zona Pegunungan
Selatan dibatasi oleh 2 zona, disebelah utara dibatasi oleh Zona Depresi Sentral Jawa
8
dan Zona Randublatang, disebelah barat dibatasi oleh Zona Pegunungan Serayu
Selatan, sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali, dan sebelah selatan dibatasi oleh
Samudra Hindia.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang
cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan
Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan
Pacitan merupakan tipe karst (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung
Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).
Kabupaten Pacitan memiliki topografi datar hingga bergunung, dengan
elevasi tertinggi 1.200m di atas permukaan air laut (Kecamatan Bandar, Gunung
Gembes). Wilayah Kabupaten Pacitan dengan kondisi topografi bergunung terutama
terletak di bagian utara DAS Grindulu, meliputi Kecamatan Nawangan, Bandar,
Tegalombo dan sebagian Kecamatan Arjosari (Kabupaten Pacitan).
Topografi berbukit mencakup wilayah bagian tengah sebagian Kecamatan
Tegalombo, Arjosari dan wilayah barat di kecamatan Donorojo, Punung dan
Pringkuku serta di wilayah timur Kecamatan Tulakan, Ngadirojo dan Sudimoro.
Sedangkan daerah dengan topografi datar terdapat di sebagian sekitar Kota Pacitan,
Arjosari dan Kebonagung.
Kabupaten Pacitan didominasi oleh lahan dengan kondisi topografi berbukit
dengan kemiringan 31 – 50% seluas 722.73 km2 (52%), bergelombang dengan
kemiringan 11 – 30% seluas 333.57 km2 (24%). Sisanya merupakan daerah
bergunung dengan kemiringan lahan lebih dari 51% (10%), daerah berombak dengan
kemiringan lahan 6-10% seluas 138.99 km2 (10%) dan daerah dataran dengan
kemiringan 0 – 5% seluas 55.59km2 (4%). (Kabupaten Pacitan Dalam Angka 2009).
Daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng antara 25 –
40%, dan mencakup hampir 70% dari Kabupaten Pacitan. Bagian timur laut
Kecamatan Donorojo, bagian utara Kecamatan Punung, Pringkuku, Pacitan, dan
Arjosari, sebagian besar Kecamatan Kebonagung dan Tulakan, bagian utara
Kecamatan Ngadirojo dan Sudimoro, serta seluruh wilayah Kecamatan Nawangan,
Bandar dan Tegalombo.
Satuan Perbukitan Kars ini tersebar di bagian selatan, sekitar 25% dari luas
Kabupaten Pacitan, meliputi hamper seluruh wilayah Kecamatan Donorojo, Punung
bagian barat daya, Pringkuku bagian selatan, Pacitan sebelah barat dan tenggara,
Kebonagung bagian utara, barat daya dan tenggara, Tulakan bagian utara dan selatan,
Ngadirojo bagian selatan, Sudimoro bagian selatan. Daerah perbukitan tersebut
mempunyai kemiringan 20 – 400, tersebar di daerah terra rosa (lempung yang
berwarna coklat kemerahan) sebagai sisa hasil pelapukan batugamping. Gejala
tersebut menunjukkan stadia erosi dewasa.
9
Satuan Dataran Aluvial berkembang di daerah aliran Sungai Grindulu, Asem
Gandok di Kecamatan Arjosari dan Pacitan, serta pantai Pacitan, sungai dan panatai
Pagotan Kecamatan Ngadirojo, Sungai Lorog serta pantai di teluk Damas Kecamatan
Ngadirojo. Stadia erosinya termasuk dewasa, dengan adanya dataran banjir yang luas
dan sungai yang dangkal, serta pola sungai bermeander.
Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur di bagi menjadi 6 zona fisiografi
dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1):
Dataran Aluvial Jawa Utara
Antiklinorium Rembang,
Zona Depresi Randublatung,
Antiklinorium Kendeng (Pegunungan Kendeng),
Zona Pusat Depresi Jawa (Zona Solo, Subzona Ngawi),
Busur Vulkanik Kuarter, dan
Pegunungan Selatan
Berdasarkan fisiografi van Bemmelen (1949) daerah pemetaan masuk ke
dalam Zona Pegunungan Selatan. (Gambar 2.1). Zona Pegunungan Selatan
merupakan hasil pelipatan pada Miosen dan berlanjut ke arah Timur yaitu ke Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh 2
zona, disebelah utara dibatasi oleh Zona Depresi Sentral Jawa dan Zona
Randublatang, disebelah barat dibatasi oleh Zona Pegunungan Serayu Selatan,
sebelah timur dibatasi oleh Selat Bali, dan sebelah selatan dibatasi oleh Samudra
Hindia.
Berdasarkan peta fisiografi Jawa Timur menurut van Bemmelen (1949)
diatas, daerah penelitian termasuk zona Pegunungan selatan.
Fisografi Jawa Timur dapat dibedakan menjadi 7 zona dari selatan ke utara yaitu
sebagai berikut:
2.1.1 Zona Pegunungan Selatan
Pada zona ini batuan pembentuknya terdiri atas siliklastik, volkaniklastik,
volkanik , dan batuan karbonat. Antara sebelah timur parangtritis sampai teluk
popoh, pegunungan selatan di bagi menjadi 3 bagian yaitu:
Gunung sewu (sebelah selatan),terdiri dari batu gamping berumur miosen
tengah. Maka perkembangan topografi karst dengan kenampakan permukaan
berupa dolina-dolina yang dipisahkan oleh bukit-bukit yang terlihat dari jauh
agak membulat yang disebut kubah kapur, dan sungai bawah permukaan.
Basin wonosari dan baturetno (tengah), basin wonosari diduga dahulu
merupakan laguna yang terisi dengan endapan gamping, dolomit, dan bahan
vulkanis. Di sebelah timur basin wonosari terdapat basin baturetno.Pada
mulanya aliran sungai di baturetno mengarah ke selatan, tetapi pada pleistosen
10
akhir terjadi pelengkungan kebawah membentuk basin beturetno menyababkan
aliran tidak menuju ke selatan lagi melainkan menerobos kebarat dan selanjutnya
ke utara menjadi hulu sungai bengawan solo.
Pengunungan baturagung, panggung, popoh range (utara), merupakan
pegunungan terjal yang sisi utaranya berupa escarpment. Terdapat pula patahan
di baturagung sebelah utara parangtritis.Sebelah timur teluk popoh, escarpment
yang membatasi pegunungan selatan dengan zone solo.
2.1.2
Zona Solo
Zona solo merupakan depresi yang ditumbuhi oleh vulkan-vulkan kuarter.
Pada zona solo terbagi menjadi 3 zona yaitu sub-zone blitar yang dimana sub-zone
ini membatasi pegunungan selatan dengan vulkan-vulkan di depresi tengah, solo
sensu stricto yang merupakan zona vulkan-vulkan kuarter, sub-zone ngawi yang
merupakan depresi yang membetasi vulkan-vulkan di depresi tengah dengan
pegunungan kendeng.
2.1.3
Zona Kendeng Ridge
Jalur Kendeng batuan pembentuknya terdiri atas Sekuen dari volkanogenik
dan sedimen pelagik.
Satuan ini nyaris secara keseluruhan disusun oleh litologi napal abu-abu.
Satuan morfologi perbukitan terjal, yang merupakan inti Pegunungan Kendeng
dengan ketinggian rata-rata 350 meter diatas permukaan laut, tipe genetik
sungainya adalah tipe konsekuen, subsekuen, dan insekuen. Litologi yang
menyusun satuan ini, sebagian besar adalah batu gamping dan batu pasir.
Satuan morfologi dataran rendah, yang disusun oleh endapan aluvial yang
terdapat di ngawi (Bengawan Solo) dan dataran sungai brantas di timur.
Kendeng ridge dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu:
(1) Kendeng barat/awal (ungaran-lembah transversal sebelah utara ngawi): (2)
Kendeng tengah (utara ngawi-jombang): (3) Kendeng timur (jombang-mendekati
surabaya).
Berdasarkan penelitian Van Bemmelen disimpulkan bahwa pegunungan kendeng
telah mengalami pelipatan dan pengangkatan sebanyak tiga kali, yaitu pelipatan yang
berkaitan dengan collapse yang dialami geantiklin jawa, vulkan-vulkan di zona solo,
dan pengangkatan karena dorongan magma dari dalam.
2.1.4
Zona Depresi Randublatung
Zona ini merupakan depresi yang memisahkan kendeng ridge dan perbukitan
rembang.Di sebelah timur depresi randublatung terdapat lipatan, lipatan yang terjadi
dikarenakan tekanan dari perbukitan rembang atau dari kendeng ridge.
11
2.1.5
Zona Perbukitan Rembang
Zona yang dapat diteruskan ke pulau Madurabatuan pembentuknya terdiri
atas endapan laut dangkal , sedimen klastik , dan batuan karbonat. Pada zona ini juga
terdapat patahan yang dinamakan Rembang High dan banyak lipatan yang berarah
timur-barat. Pada plio-pleistosen menghasilkan gaya kompresif ke utara sehingga di
beberapa tempat pelipatan di sebelah selatan rembang menunjukkan arah pelipatan
keutara.
2.1.6
Zona Depresi Semarang-Rembang
Perbukitan rembang dibatasi kearah barat laut oleh suatu depresi yang
membentang dari semarang ke rembang. Depresi ini telah ada sejak neogen, yang
kemudian pada akhir kuarter depresi ini berubah menjadi selat yang memisahkan
gunung muris dari pulau jawa.Endapan-endapan depresi ini masih muda, baru abad
15 menjadi daratan.
2.1.7
Kompleks Gunung Muria
Gunung muria berumur pleistosen awal yang sekarang telah padam dan
puncaknya pecah-pecah membentuk sektor graben. Kuiper telah mengumpulkan
beberapa sampel batuan di kawah rahtawu, ternyata ada batuan sedimen berupa liat,
marl dan limestone. Kondisi demikian menunjukkan bahwa dasar dari gunung muria
terdiri dari lapisan sedimen klastis berumur neogen.
Di kaki tenggara kompleks gunung muria dijumpai suatu dome yang dikenal dengan
nama gunung patihayan. Batuan inti dome ini telah tersingkap sedimen marine yang
kemudian tertutup dengan breksi yang mengandung leusite setebal 300m dan
selanjutnya tertutup lagi oleh lahar dari gunung muria.
2.2
Geomorfologi Daerah Pemetaan
Penamaan satuan geomorfologi daerah pemetaan berdasarkan atas parameter
deskriptif, litologi, dan proses genetik baik secara endogen maupun eksogen yang
terjadi di daerah pemetaan tersebut. Pembahasan geomorfologi bermaksud untuk
mengelompokkan bentang alam secara sistematis berdasarkan kenampakan bentukbetuk relief di lapangan, kemiringan lereng, beda tinggi serta variasi litologi, pola
aliran sungai, genetik sungai dan struktur geologi yang mengontrolnya.
Klasifikasi secara deskriptif yang berpanduan pada parameter relief yang
disusun oleh Zuidam (1983) untuk menentukan satuan geomorfologi, namun
klasifikasi relief bukan termasuk dalam satuan geomorfologi secara umurn dan tidak
semua relief di setiap daerah dapat sesuai dengan perhitungan deskriptif pada
klasifikasi yang dibuat oleh Zuidam (1983) (Tabel 2.1), sehingga satuan
12
geomorfologi dapat dimodifikasi agar sesuai dengan klasifikasi relief tersebut.
Secara umum daerah Pringkuku dan sekitarnya memperlihatkan bergelombang
miring, berbukit bergelombang, dan bergelombang tersayat tajam.Namun
pengklasifikasian bentang alam ini, dilakukan dengan mengacu pada parameterparameter relief menurut Zuidam (1983). Sedangkan pewarnaan peta geomorfologi
mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI).
No.
1
Tabel 2.1 Klasifikasi Relief Zuidam (1983)
Satuan Relief
Kelerengan
Beda Tinggi
(Secara Deskriptif)
(%)
(m)
Datar – Hampir Datar
0-2
140
> 1000
Berdasarkan satuan genesa, satuan geomorfologi diklasifikasikan menurut
Hidartan dan Handayana (1994) (Tabel 2.2), bahwa bentuk bentang alam dapat
dibedakan berdasarkan dominasi gaya-gaya yang terjadi selama pembentukannya,
dibagi menjadi dua gaya yaitu, gaya endogen dan gaya eksogen. Bentuk bentang
alam yang diakibatkan oleh gaya endogen, yaitu:
1. Bentuk Asal Struktural
Bentuk lahan struktural yang terbentuk akibat adanya gaya endogen atau
proses tektonik yang berupa pengangkatan, perlipatan dan patahan. Gaya tektonik
bersifat konstruktif atau membentuk.
2. Bentuk Asal Vulkanik
Bentuk lahan yang terjadi karena pengaruh aktifitas vulkanisme berupa kepundan,
kerucut semburan, medan lava, medan lahar, dan lainnya yang terjadi pada wilayah
gunung api.
Sedangkan bentang alam yang diakibatkan gaya eksogen, yaitu :
1) Bentuk Lahan Asal Fluvial
Bentuk lahan ini berkaitan erat dengan aktifitas sungai dan air permukaan yang
berupa pengikisan pengangkutan, dan penimbunan pada daerah rendah seperti
lembah, ledok, dan daratan aluvial.
13
2) Bentuk Asal Marin
Aktifitas marine yang utama adalah abrasi, sedimentasi, danpasang surut. Bentuk
lahan yang dihasilkan oleh aktifitas marine berada di kawasan pesisir yang melapar
sejajar garis pantai.
3) Bentuk Lahan Asal Pelarutan (karst)
Bentuk lahan karst dihasilkan oleh pelarutan pada batuan yang mudah larut,
seperti gamping. Mempunyai karakteristik relief dan drainase yang khas, yang
disebabkan oleh tingkat peralutan batuan yang tinggi.
4) Bentuk lahan asal aeolian (Angin)
Bentukan ini dipengaruhi oleh udara dan angin yang dapat membentuk medan
yang khas dan berbeda bentuknya dari daerah lain. Endapan angin terbentuk oleh
pengikisan, pengangkatan, dan pengendapan material lepas oleh angin yang
umumnya dibedakan menjadi gumuk pasir dan endapan debu (loes).
5) Bentuk Lahan Es/Glasial
Bentuk ini tidak berkembang di Indonesia yang beriklim tropis kecuali sedikit
di puncak gunung Jaya Wijaya. Bentukan ini dihasilkan oleh aktifitas / gletser.
6) Bentuk Lahan Asal Denudasional
Proses denudasional ( penelanjangan) merupakan kesatuan dari proses pelapukan,
pergerakan tanah, erosi dan diakhiri dengan proses pengendapan. Pada bentuk lahan
denudasional, maka efek litologi menjadi sangat penting. Untuk batuan yang
mempunyai resistensi tinggi akan memberikan relief yang lebih menonjol
dibandingkan dengan batuan yang mempunyai resistensi rendah.
Tabel 2.2 Klasifikasi Bentuk Lahan Secara Genetik menurut Hidartan dan Handayan
(1994)
Bentuk Lahan Asal
Proses
Bentuk asal struktural
Endogen
Bentuk asal volkanik
Endogen
Bentuk asal fluvial
Eksogen
Bentuk asal marine
Eksogen
Bentuk asal karst
Eksogen
Bentuk asal aeolian
Eksogen
Bentuk asal denudasional
Eksogen
14
Berdasarkan penggabungan antara klasifikasi geomorfologi secara deskriptif
(Zuidam, 1983) dan secara genetis (Hidartan dan Handayan, 1994), maka sebagai
dasar penentuan satuan geomorfologi daerah Pringkuku dan Sekitarnya dapat dibagi
menjadi tiga satuan(Gambar 2.2), yaitu :
1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Tajam Karst
2. Satuan Geomorfologi BerbukitBergelombangKarst
3. Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional
Gambar 2.2 Peta Geomorfologi Daerah Pemetaan
15
Relief
-
-
-
Tabel 2.3. Tabel Satuan Geomorfologi Daerah Pringkuku dan Sekitarnya
16
Stadia
Daerah
Tata
L
Dewasa
- Tua
Pers
Perl
,
Pem
Dewasa
- Tua
Pers
Perl
Pem
Perl
Tua
Membulat
Pelarutan
Dewasa - Tua
Sejajar
Membulat
Dewasa -Tua
Sejajar
Membulat
Stadia
Sungai
dan
Berpotongan
Sub-dendritik
Pelarutan
Antiklin
dan
sesar
Sejajar
Sub-dendritik
812,5
Endogen
Sub-dendritik
68,
75
14 20
Eksogen
Pola
Aliran
33
1,2
540
0
13
3,3
5
Bentuk
U
29
3,7
542
7,1
21 50
Pola
Penyebaran
V-U
30
2,3
5
(%)
V-U
7
14
3,7
544
6,1
Slope
Pola Aliran Sungai
Bentuk
Penampan
g
26
∆h
(m)
Batugamping
Satuan
Geomorfologi
Bergelombang
Miring
Denudasional
67
h
(m)
Batugamping
Satuan
Geomorfologi
BerbukitBerge
lombang Karst
%
Batugamping
Satuan
Geomorfologi
Berbukit
Tersayat
Tajam Karst
Luas
Litologi
Penyusun
(dominan)
Warna
Pembagian
Satuan
Geomrfologi
Proses
Tua
dan
2.2.1
Satuan Geomorfologi Berbukit Tersayat Tajam Karst
Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Tajam Karst mendominasi daerah
pemetaan, yaitu lebih kurang 67% dengan ketinggian kontur 143,75-446,1. Satuan
geomorfologi ini memiliki pola penyebaran hampir seluruh dari daerah pemetaan di
sebelah barat daerah pemetaan berkontur sejajar hingga berpotongan dan bentuk
membulat. Satuan geomorfologi ini terletak di beberapa desa diantaranya, Desa
Sooko, Desa Sobo, Desa Jlubang dan Sekitarnya.
Satuan geomorfologi ini disusun oleh dominasi berbukit tersayat tajam Karst.
Terbentuk atas gaya eksogen yang berupa pelarutan yang terjadi karna iklim atau
curah hujan yang cukup tinggi. Tata guna lahan dalam satuan geomorfologi ini
digunakan sebagai kawasan perkebunan dan perladangan.
Bentuk bentang alam daerah penelitian ini dipengaruhi litologi penyusun
yang memiliki resistensi tinggi terdiri batu gampingsehingga membentuk suatu
bentang alam seperti sekarang.
Parameter pada daerah pemetaan menunjukkan bentuk penampang V–U
kecepatan aliran sungai rendah, juga tidak ada dataran banjir disekitar aliran sungai,
bentuk/pola aliran sungai meander hingga kompleks. Berdasarkan parameter yang
telah disebutkan sebelumnya, maka stadia sungai pada satuan geomorfologi
perbukitan tersayat tajam struktural adalah dewasa hingga tua
T
B
Foto 2.1 Satuan Geomorfologi Berbukit Tersayat Tajam Karst
17
2.2.2
Satuan Geomorfologi Berbukit Bergelombang Karst
Satuan Geomorfologi Perbukitan Bergelombang Karst mencakup 26% dari
daerah Pringkuku dan Sekitarnya, dengan ketinggian kontur 293,75 – 427,1 meter
dengan nilai kemiringan 14 – 20. Satuan geomorfologi ini memliki pola penyebaran
pada bagian tengah daerah pemetaan berkontur sejajar dan bentuk membulat. Satuan
geomorfologi ini terletak di Desa Pringkuku dan Sekitarnya.
Bentuk bentang alam ini, terbentuk akibat gaya eksogen berupa pelarutan
yaitu dengan kenampakan bukit-bukit gamping dan goa. Proses erosi mempengaruhi
daerah ini cukup tinggi dengan didukung oleh litologi penyusun yang memiliki
resistensi rendah, yaitu Batugamping klastik. Tata guna lahan dalam satuan
geomorfologi ini digunakan sebagai kawasan persawahan, perkebunan dan
pemukiman. Stadia sungai dan stadia daerah pada satuan geomorfologi ini adalah
stadia dewasa hingga tua (Nugroho, 2004) yang dicirikan dengan tidak adanya
slope/gradient, kecepatan aliran yang rendah, bentuk/pola aliran sungai bermeander
dan kompleks, bentuk penampang berbentuk huruf U dan V.
B
T
F
oto 2.2 Satuan Geomorfologi Berbukit Bergelombang Karst
2.2.3
Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional
Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional mencakup 7%
dari daerah penelitian dengan ketinggian kontur 331,25-400 meter dengan nilai
kemiringan 8-12,5%. Satuan geomorfologi ini berkontur membulat hingga
menunjam dan berpola sejajar. Penyebaran berada pada daerah Ngadirejan, Dusun
Blimbing, Dusun Bulu, Dusun Salam dan Sekitarnya.
18
Bentuk bentang alam ini, terbentuk akibat gaya eksogen berupa denudasional
yaitu serangkaian proses perlipatan yang telah tererosi serta proses tektonisme,
pelapukan, dan pergerakan tanah yang diakhiri oleh proses pengendapan. Litologi
penyusun terdiri dari Batu gamping. Tata guna lahan dalam satuan geomorfologi ini
digunakan sebagai kawasan peladangan dan pemukiman. Stadia sungai dan stadia
daerah pada satuan geomorfologi ini adalah stadia dewasa hingga tua (Hidartan &
Nugroho, 2004) yang dicirikan dengan tidak adanya slope/gradient, kecepatan aliran
yang rendah, bentuk/pola aliran sungai bermeander dan kompleks, bentuk
penampang berbentuk huruf U
T
BL
Foto 2.3 Satuan Geomorfologi Bergelombang Miring Denudasional
2.3
Genetik dan Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis peta topografi dengan
skala 1:12.500 berdasarkan klasifikasi Howard (1967) dalam Van Bemmelen (1949)
(Gambar 2.3) menunjukkan pola aliran sungai daerah pemetaan termasuk dalam
pola aliran sungai sub-dendritik.
Sungai adalah bagian bumi yang menjadi tempat berakumulasi air yang
mengalir dari tempat tinggi menuju tempat yang lebih rendah.
Pola aliran sungai pada suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain kontrol struktur, jenis dan variasi kekerasan batuan, landai lereng asal, sejarah
geologi, dan sejarah geomorfologi daerah tersebut (Thornburry, 1969).
Secara genetik aliran sungai (Loebeck, 1989) dibagi berdasarkan tingkat
erosinya dan daerah pemetaan dapat dibagi menjadi tiga pola, yaitu : Konsekuen,
merupakan sungai yang memiliki arah aliran yang sesuai dengan kemiringan lapisan,
meliputi daerah Gondang dan Salam; Subsekuen, merupakan sungai yang alirannya
searah dengan jurus perlapisan batuan, meliputi Kali Kladen, Mudal, dan Kali
19
Sebrok; dan Obsekuen, merupakan sungai yang mengalir berlawanan arah dengan
kemiringan lapisan, meliputi Pagutan, Pindul, dan Melian.
Gambar 2.3 Klasifikasi menurut Howard (1967) dalam Van Bemmelen (1949)
2.4
Stadia Sungai Daerah Pemetaan
Stadia sungai adalah klasifikasi sungai berdasarkan beberapa parameter
tertentu seperti kelerengan, kecepatan aliran, jenis-jenis aliran dan erosi, proses
pembentuk sungai, bentuk penampang sungai, kerapatan anak sungai, dan ciri-ciri
umum dari sungai pada stadia tertentu. Pengenalan stadia sungai dilakukan
berdasarkan beberapa parameter yang dikemukakan Hidartan dan Nugroho (2004).
S
U
Foto2.4Kenamp
akan sungai berbentuk U dari daerah Pringkuku LP 22
20
B
TG
Foto 2.5 Kenampakan sungai berbentuk V dari daerah Pringkuku LP 38
Foto 2.6 Jenis sungai rectangular pada LP 13
Gambar 2.4 Peta Pola Aliran Sungai Regional Pacitan
21
Yang Menunjukan Pola Rectangular.
22
Gambar 2.5 Peta Pola Aliran Sungai Daerah Pringkuku dan Sekitarnya
Yang Menunjukan Pola Subdendritik
23
Tabel 2.4Klasifikasi Stadia Sungai menurut Hidartan dan Nugroho (2004)
Parameter
Stadia Sungai
Muda
Dewasa
Tua
Slope Gradient
Besar
Relatif Kecil
Tidak ada
Kecepatan Aliran
Tinggi
Sedang
Rendah
Jenis aliran air
Turbulance
Laminer
Jenis Erosi
Vertikal
Proses yang
bekerja
Bentuk/Pola aliran
sungai
Bentuk Penampang
Erosi
TrubulanceLaminer
VertikalHorisontal
Erosi dan
deposisi
Lurus dan
bermeander
V –U
Kerapatan anak
sungai
Kenampakan lain
Lurus
V
Kecil/Jarang
Banyak air
terjun, tidak
ada dataran
Banjir,
mengalir di
atas batuan
induk
Sedang/Mulai
banyak
Air terjun
sedikit, mulai
terbentuk
dataran banjir,
mulai ada
endapan
sungai
Horisontal
Deposisi
Bermeander dan
Kompleks
U sampai datar
Besar/ banyak
Tak ada air terjun
dataran banjir
luas, Mulai ada
oxbow lake.
Dari pengamatan yang dilakukan terhadap daerah pemetaan secara langsung
dan menggunakan peta topografi 1:12.500, diketahui bahwa sungai-sungai di daerah
pemetaan seperti Kali Kladen menunjukkan kecepatan aliran yang sedang dan tidak
memiliki endapan sungai melainkan singkapan batuan terendapkan pada sungai
tersebut,berukuran relatif besar dan memiliki bentuk aliran cenderung regular
meander, penampang sungai berbentuk U hingga V, bentuk aliran yang ada pada anak
sungai Kali Sebrok memiliki aliran yang lurus hingga regular meander, penampang
berbentuk V-U. Pada daerah pemetaan ini terdapat anak-anak sungai dengan jenis
pola aliran berupa rectangular karena adanya kekar-kekar pada sungai tersebut (Foto
2.6), namun pola aliran sungai rectangular ini tidak mendominasi daerah pemetaan
atau jumlahnya yang sangat sedikit yaitu hanya 2 anak sungai yang memiliki ciri-ciri
rectangular, dibanding anak-anak sungai yang menunjukan ciri berpola aliran sub-
24
dendritik. Berdasarkan parameternya maka daerah pemetaan disimpulkan adalah
stadia dewasa hingga tua dengan pola aliran sub-dendritik.
2.5
Stadia Daerah Daerah Pemetaan
Klasifikasi stadia suatu daerah berdasarkan parameter tertentu seperti stadia
sungai, relief, bentuk penampang lembah dan kenampakan lain yang mencirikan
suatu stadia daerah. Dalam Penentuan Stadia Daerah Lokasi Pemetaan mengacu pada
pembagian stadia daerah oleh Bani Nugroho (2004) (Tabel 2.5)
Tabel 2.5 Klasifikasi Stadia Daerah menurut Bani Nugroho (2000)
Dari pengamatan yang dilakukan terhadap daerah pemetaan secara langsung
dan menggunakan peta topografi 1:12.500, diketahui bahwa secara umum
karakteristik sungai pada daerah penelitian memiliki stadia sungai dewasa-tua.
Pengenalan stadia sungai dilakukan berdasarkan beberapa parameter menurut Bani
Nugroho (2000), yang meliputi slope gradient, kecepatan aliran, jenis erosi, bentuk
penampang (Tabel 2.5). Untuk parameter relief dapat dilihat dari morfologi umum
dan satuan geomorfologi yang ada pada daerah pemetaan yang termasuk dalam
25
perbukitan hingga bergelombang. Untuk bentuk penampang lembah, pada daerah
pemetaan memiliki bentuk penampang “V - U” serta “U - Hampir datar” yang
terlihat di lembah atau berstadia sungai dewasa hingga tua.
Berdasarkan parameter yang dicirikan pada daerah pemetaan, dan seperti
yang telah dijelaskan pada subbab stadia sungai, maka dapat disimpulkan stadia
daerah pemetaan adalah stadia dewasa hingga tua.
26