Pengaruh kampanye negatif dalam pemilihan umum kepala daerah (PEMILUKADA) Tangerang Selatan (TANGSEL) 2011

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : S O P I A N NIM : 104045201530

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan ssuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Juni 2011


(5)

i

Dengan segala upaya dan usaha, penulis bersyukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat selesai. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah dan suri tauladan terbaik. Dengan ini pula, disampaikan terima kasih kepada seluruh dosen, rekan, serta sahabat karib, yang semuanya selalu memberikan masukan, saran, dan ilmu. Secara khusus penulis sampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Bapak

Afwan Faidzin, M.Ag selaku sekertaris Program Studi Siyasah syar’iyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dan melayani dalam penyelesaian skripsi dan melengkapi persyaratan administrasi

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Atep Abdurrofiq, M.Si selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, fikiran, dan tenaga untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

ii

5. Yang tercinta ayahanda H. Suhaeli dan ibunda Siti Romlah yang selalu memberikan do’a serta dukungan kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya karya tulisan ini.

6. Teruntuk kakanda, Drs. Samsudin Kohar, Saipul Anwar, SH. H. Muhammad, S. Pd. Bohari, S. Pd. Sukriyah. Safa’ah, SH. Soleha, S.Pd. Euis. yang telah member motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

7. Yang penulis banggakan aliansi SS 2004. Othink SHI, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai ketua eliansi tanpa sepengetahuan dari teman-temannya sendiri, termasuk penulis tidak tahu. H. Asef, SHI. Yang selalu memberi semangat, serta dorongan, sehingga penulis sampai pada tujuan dan melangkah untuk tujuan selanjutnya. Embah Riduan, SHI, nyang lagi berusaha mengejar target, berjuang terus, gapai targetmu. Ba’uks, Armando, Pray, Aleks, yang lagi ngejar-ngejar gelar, kejar terus kawan sampai dapat. Jendol, SHI, yang solid kaga solid. Djaqye, yang selalu sibuk dengan bandnya. Koko, SHI, yang pinter membulak balikkan fakta, mulut adalah harimaumu, Ipung, SHI, dia yang lagi kerja sambil mengaji buat hati. Atul, SHI, yang badanya makin membesar, walaupun begitu dia sberhasil nyomot S2, Wawa, SHI, sikecil manja, yang lagi semangat ngejar-ngejar S2, Ririn, SHI, yang nyengir terus kalaw di foto. Putri, si bawel, yang kalaw sms kga nyambung. Dira, yang lagi


(7)

iii

8. Yang penulis hormati kawan-kawan seperjuangan, Nurul el-Huda Baros Banten (Hamdi, Harun, Ombaks, Adit, maskur, berod, rikay, Aufa, Geveng, Nano, Satibi, Mohan, Jaenudin, Begeng, Hamdani, Idham) yang memberikan do’a nyang kaga putus-putus kepada penulis.

9. IRMAS Lkw , 79 Club Motor, Sepeda Club cacink 79, Sepeda S2DL, team tafakurin, terima kasih untuk kebersamaannya.

10. Malaikat penjaga kost san, bang Udin koeng, yang telah memfasilitasi penulis selama ada di kost san. Bang Tora, si penjaga Warnet, Rudi Copma, Oman, H. Suhad, Atin Tb, thanks dukunganya ok.

11. Semua rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan dorongannya, semoga Allah SWT memberi balasan yang setimpal.

Jakarta: 22 Juni 2011 M

Penulis


(8)

ii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D.Metode Penelitian ... 11

E.Tinjauan Pustaka ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAMPANYE NEGATIF A.Definisi Kampanye Negatif ... 15

B.Makna Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Di Negara Demokrasi ... 21

C.Dinamika Transformasi Politik di Indonesia ... 26

BAB III TINJAUAN YURIDIS PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH A. Landasan Konstitusional Pemilihan Kepala Daerah ... 37


(9)

iii

A.Permasalahan dalam Proses Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 69 B.Kampanye dan Kemenangan Pemilu ... 84

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 95 B.Saran-saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(10)

1

A. Latar Belakang

Klimaks tuntutan demokratisasi pemilihan Kepala Daerah setelah berakhirnya era pemerintahan sentralistik adalah disahkannya Undang-udang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jika UU Pemerintahan Daerah sebelumnya, yakni UU Nomor 22 Tahun 1999, masih mengatur pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD sebagai lembaga legislatif daerah, UU Pemerintahan Daerah yang baru mengamanatkan Pilkada dilaksanakan secara langsung. Pengaturan Pilkada langsung menunjukkan respon atas tiga hal tuntutan yang mendasar dan saling terkait. Pertama, respon terhadap keinginan melaksanakan demokratisasi hingga ke tingkat lokal. Kedua,respons legal formal,kebutuhan untuk melakukan penyesuaian dengan ketentuan ketentuan baru. Ketiga, respons praktikal, keinginan menemukan model sistem pemilihan (Pemilu) kepala daerah yang mampu menjadi solusi praktis bagi kelemahan-kelemahan sistem pemilihan kepala daerah sebelumnya yang dipenuhi berbagai macam praktek kecurangan.

Pelaksanaan Pilkada secara langsung ternyata menunjukkan dinamika yang tinggi. Selain kesuksesan menghadirkan pemimpin daerah, Pilkada secara langsung dibeberapa daerah dinodai oleh konflik sosial. Dinamika tersebut memunculkan penilaian kritis tentang makna Pilkada secara langsung dalam


(11)

penyelenggaraan pemerintahan. Respons terhadap perkembangan tersebut mendorong perlunya pencermatan terhadap aturan mengenai penyelenggaraan Pilkada. Pelbagai aspek perlu dikaji, mulai dari makna demokrasi yang bersifat filosofis sampai dengan hal-hal yang menyangkut teknis penyelenggaraan, seperti pendaftaran pemilih dan pencalonan. Studi tersebut disertai pula dengan telaah akademik mengenai dasardasar pelaksanaan pemerintahan dan melakukan komparasi dengan praktek pemerintahan daerah di negara lain.

Setiap event demokrasi langsung baik Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah, maupun Pemilihan Legislatif di sejumlah wilayah ditandai dengan kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign) oleh kandidat. Masing-masing kandidat bukan hanya menonjolkan diri sendiri tetapi juga membuat citra negatif kandidat lawan. Kampanye negatif ini ada yang dilakukan secara terang-terangan lewat kampanye terbuka, tetapi ada juga yang dilakukan secara tersembunyi misalnya melalui selebaran atau percakapan dari mulut ke mulut.

Kampanye negatif akhir-akhir ini kian populer dalam kosa kata politik di Indonesia. Kendati demikian pemahaman terhadap makna kampanye negatif nampak belum dilakukan secara maksimal selama masa demokrasi langsung pasca reformasi. Pertama, terkait pemahaman terhadap makna kampanye negatif. Baik publik, birokrasi, elit politik maupun para pelaku politik seringkali belum mampu memahami apa makna dari kampanye negatif yang sebenarnya. Pemahaman kampanye negatif seringkali dikaburkan atau disamakan dengan


(12)

kampanye hitam. Kedua istilah ini mirip tetapi pada dasarnya berbeda, tentu saja memiliki makna dan implikasi yang berbeda dalam perilaku dan budaya politik. Kedua, terkait dengan studi terhadap fenomena kampanye negatif juga nampak belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa kajian yang berkembang dalam ilmu komunikasi politik selama ini nampak hanya sebatas melakukan analisis terhadap strategi dan taktik kampanye baik dalam Pilkada maupun Pemilu Presiden. Kampanye politik cenderung hanya dilihat sebagai salah satu instrument dalam kontestasi politik. Sedangkan studi yang fokus pada pembahasan kampanye negatif masih cenderung absen dalam bidang kajian ilmu politik maupun ilmu komunikasi politik.

The American Heritage Dictionary of the English Language mendefinisikan kampanye negatif (negative campaign) sebagai sebuah kampanye yang berisi : “a statement or act indicating or expressing a contradiction, denial, or refusal”; a statement or act that is highly critical of another or of others. Kampanye negatif dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kampanye politik yang mengekspresikan, memuat atau di dalamnya terdapat negasi, atau penyangkalan terhadap kebenaran fakta.1 Cleveland Ferguson mendifinisikan kampanye negatif sebagai kampanye politik yang dilakukan oleh masing-masing kandidat dan partai politik untuk mendapatkan keuntuntungan dengan cara memberikan referensi atau mengalamatkan aspek-aspek negatif dari competitor baik kandidat

1

Cleveland Ferguson, The Politics of Ethics and Elections diakses dari http://www.law.fsu. edu/journals/lawreview/frames/ 242/fergfram.html


(13)

maupun partai. Aspek-aspek negative tersebut dapat berupa atribut, isu, atau kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan public. Aspek-aspek negatif tersebut disampaikan dengan cara yang beragam, mulai dengan membuat logika, hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan harapan mendapatkan keuntungan politik lebih. Fenomena dilapangan yang seringkali berkembang, kampanye negatif diwarnai dengan cara-cara dan trik yang kotor. Isu-isu negatif seringkali terus digunakan untuk mengundang daya tarik publikasi media. Bahkan kampanye negatif seringkali dilakukan dengan mengkobinasikan jaringan dan teknik dari kelompok-kelompok lobbying untuk melakukan serangan-serangan politik kepada lawan.2

Beberapa Pilkada di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara marak dengan menunjukkan informasi negatif mengenai calon (misalnya dugaan korupsi, penghinaan agama, sejarah masa lalu dan sebagainya) sangat menentukan preferensi pemilih pada calon. Mereka yang percaya dengan informasi negatif mengenai calon, cenderung untuk tidak memilih calon tersebut dalam Pilkada. Sebaliknya mereka yang tidak mempercayai informasi negatif itu, cenderung untuk tetap memilih calon. Hal ini menunjukkan gambaran pemilih yang pasif, statis dan tidak rasional, tidak selamanya benar. Pemilih ternyata memeriksa isu-su yang ada di seputar kandidat. Kepercayaan mereka terhadap

2

Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia, Kampanye Negatif Dalam Pilkada, Edisi 11 - Maret 2008, h. 1.


(14)

isu-isu itu sedikit banyak menentukan kandidat yang akan dipilih. Akan tetapi, besar kecilnya dampak dari informasi negatif calon itu sangat ditentukan oleh seberapa banyak orang yang tahu (pernah mendengar) mengenai informasi negatif. Jika informasi negatif mengenai calon itu hanya dikenal oleh sedikit pemilih, informasi itu hanya informasi elitis yang juga hanya berdampak pada sedikit pemilih saja.3

Cleveland Ferguson berpendapat bahwa iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) telah lama berkembang dalam tradisi demokrasi di Amerika sejak masa kemenangan John Adams terhadap Thomas Jefferson dalam Pemilu presiden Amerika tahun 1796. Ada beberapa definisi yang berkembang terkait dengan iklan kampanye negatif. Namun dari beragam definisi yang ada, nampak belum ada kesepakatan yang tetap tentang makna dari iklan kampanye negatif. Yang menjadi kesamaan dari kecenderungan definisi dari iklan kampanye negatif yang muncul adalah kesamaan tujuan yang ingin dicapai, yaitu meningkatkan pengaruh dan tingkat dukungan dalam arena pemilihan. Beberapa definisi tentang iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) misalnya dikemukakan oleh Terry Cooper. Ia mendefinisikan iklan kampanye negatif sebagai serangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat persuasif untuk menyerang kekuatan lawan dengan menunjukkan berbagai kelemahannya berdasarkan data dan fakta yang ada.4

3

Terry Cooper, “Negative Image”, Campaigns & Elections, September 1991, hal. 21

4

Cleveland Ferguson, The Politics of Etics and Election: Can negative Campaign Advertising Be Regulated in Florida?


(15)

Fenomena menarik dalam proses Pemilukada Tangerang Selatan, dari aspek strategi komunikasi para kandidat. Pemilihan Langsung Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) yang berjalan dua putaran, pada 13 November 2010 dan 27 Februari 2011, telah meninggalkan fenomena menarik. Tidak hanya dari sudut kalkulasi kekuatan politik serta konstelasinya, tetapi juga aspek komunikasi yang merupakan bagian penting dari proses Pilkada tersebut. Pilkada yang diikuti oleh empat pasangan calon Yayat – Norodom, Rodhiyah – Sulaeman, Arsyid – Andre, dan Airin – Benyamin tersebut, masing-masing memiliki gaya kampanye (campaign) yang berbeda. Hal itu dipengaruhi oleh latar belakang si calon, pengalaman, sumber daya, serta strategi kampanye.

Sengketa hasil pemilihan umum kepala dan wakil kepala daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi yang semula merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Pemindahan wewenang ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang memasukkan pilkada dalam pengertian “pemilu”. Didalan pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilu. Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penanganan Hasil pemilihan umum Daerah dialihkan dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).


(16)

2011, melalui Keputusan KPU Kota Tangerang Selatan Nomor 44/Kpts/KPU Tangerang Selatan/XI/2011 tentang Penetapan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Terpilih dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan Tahun 2011, memutuskan :

1. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang Selatan dengan Nomor urut 1 atas nama Drs. Yayat Sudrajat, MM,M.Si. dan H. Moch Norodom Sukarno, S.ip memperoleh sejumlah 22.640 suara

2. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang Selatan dengan Nomor urut 2 atas nama Hj.Rodhiyah Nasibah,S.Pd dan H.E Sulaiman Yasin memperoleh sejumlah 7518 suara

3. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang Selatan dengan Nomor urut 3 atas nama Drs. Arsid, M.Si. dan Andreas Taulany memperoleh sejumlah 187.778 suara

4. Pasangan calon walikota dan wakil walikota Pemilihan Kota Tangerang Selatan dengan Nomor urut 4 atas nama Hj. Airin Rachmy Diani,SH.MH dan Drs.H. Benyamin Davnie memperoleh sejumlah 188.893 suara

Terhadap putusan KPUD tersebut di atas, pasangan calon nomor urut 1 dan nomor urut 3 mengajukan permohonan keberatan. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum keputusan KPU Tangerang Selatan tersebut. Pemohonan yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan. Selain itu MK juga mengabulkan pemohonan pemohon berupa pemungutan suara ulang. Hal yang


(17)

menarik dari putusan ini ialah terkait objek yang diperkarakan berupa pelanggaran yang bukan merupakan hasil dari pemilihan umum dan putusan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang. Dalam hal ini MK mendasarkan pada yurisprudensinya yang telah dibangun dalam memberikan pandangan hukumnya. Putusan MK ini menarik untuk dianalisis karena telah kesekian kalinya MK dapat mengesampingkan aturan formalnya. Proses beracara dalam perkara ini dapat dianalisis dalam perspektif hukum acara MK.

Maka penulis mencoba melihat prespektif politik dalam lingkup kecamatan Serpong. Kecamatan Serpong merupakan suatu kawasan sub urban pingiran Jakarta yang masyarakatnya heterogen dan multi etnis di mana infra struktur politiknya sudah terbentuk secara matang dan tingkat kesadarannya cukup tinggi.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai kampanye negatif, sehinga penulis tertarik untuk menulis tugas akhir dengan judul “Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

a. Bagaiman pengaruh masyarakat terhadap Kampanye Negatif yang terjadi di Tangerang Selatan ?


(18)

Selatan?

c. Metode apasajakah yang diterapakan pada saat terjadi kampanye negatif di Tangerang Selatan?

d. Bagaimana pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?

e. Bagaiman Proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?

2. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi permasalahan, maka pembahasan dalam penulisan ini dibatasi pada:

a. Kampanye negatif sebagai informasi negatif mengenai kandidat

b. Sejauh mana pemilih mendengar dan percaya akan berbagai informasi negatif mengenai calon tersebut. Bagaimana pemilih menggunakan informasi negatif itu sebagai dasar untuk memilih kandidat dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan 2011.

3. Perumusan Masalah

Tulisan ini akan menyoroti sejauh mana Kampanye Negatif itu diketahui oleh pemilih pada umumnya, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?


(19)

(pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya :

1. Untuk mengetahui pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Tanerang Selatan (Tangsel) 2011.

2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011.

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai barikut :

1. Berdasarkan pendekatan political science diharapkan dapat memperkaya penelitian di bidang politik khususnya pada Kampanye Negatif di Tangerang Selatan.

2. Kegunaan praktis dari penelitian kuantitatif ini untuk memberi informasi, masukan dan pertimbangan bagi stake holder untuk memahami persoalan-persoalan politik.

3. Diharapkan dapat mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kampanye negatif daerah Tangerang Selatan terutama dengan pendekatan religio-politik yang jarang dilakukan.

4. Diharapkan dapat mengungkap fenomena kampanye negatif di Tangerang Selatan.


(20)

D. Metodologi Penelitian

1. Jenis penelitian menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu metode untuk memahami fenomena sosial yang diteliti. Data yang diperoleh berupa data sistematis, faktual, dan akurat. Serta menunjukkan data yang otentik.5

2. Teknik Pengumpulan Data

Metode penghimpunan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan menggunakan:

Studi Dokumentasi. Penulis mengumpulkan data-data yang akan digunakan untuk memperkaya skripsi diantaranya adalah bersumber dari buku, jurnal, dokumen hasil penelitian, literatur-literatur lain berupa, media elektronik.

3. Teknik Analisis Data.

Teknis analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif.6 Analisis deskriptif adalah untuk memperoleh gambaran tentang uraian dan informasi tentang Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011. Dengan kata lain analisis deskriptif7 adalah analisis untuk memperoleh gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta informasi tentang Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah

5Soerjono Soekamto dan Sri Mujdi, “Penelitian Hukum Normatif ; Suatu Tinjauan Singkat”,

(Jakarta : PT. Raja Grafindo 2006), hal. 24.

6

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Reserch dan Development, Bandung, Alfabeta, 2007, Cet. Ketiga, h. 8-9

7

Sumadi Suryabrta, Metode penelitian, Jakarta, Raja Gravindo Persada, 2000, Cet. Keduabelas, h. 1


(21)

(Pemilukada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2011.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk mendukung penelitian ini, penulis berupaya untuk mencari berbagai informasi dan tinjauan pustaka yang mendukung penelitian ini. Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya peneliti tersebut :

Clevelland Ferguson, 2000 dalam The Politics of Ethic and Election, Can Negativ, menjelaskan bahwa politik untuk mendapat keuntungan dengan cara memberikan refrensi atau menyelamatkan aspek-aspek negatif dari compotitor baik kandidat maupun partai melalui kampanye negatif. Aspek-aspek negatif tersbebut, dapat berupa atribut, isu atau kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik. Aspek-aspek negatif tersebut disampaikan dengan cara yang beragam mulai dengan membuat logika pembeda (contrast), hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan harapan mendapatkan keuntungan politik lebih. Fenomena di lapangan yang sering kali berkembang, kampanye negatif diwarnai dengan cara-cara dan trik yang kotor. Isu-isu negatif sering kali digunakan untuk mengundang daya tarik publikasi media. Bahkan kampanye negatif sering kali dilakukan dengan mengombinasikan jaringan dan teknik dari kelompok-kelompok lobbying untuk melakukan serangan-serangan politik kepada lawan.8

8

Cleveland Ferguson, The Politics of Etics and Election: Can negative Campaign Advertising Be Regulated in Florida?


(22)

Terry Cooper mndefinisikan iklan kampanye negatif sebagai serangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat persuasif untuk menyerang kekuatan lawan dengan menunjukan berbagai kelemahannya berdasarkan data dan fakta yang ada.9 Sedangkan Gina M. Garrmone mendefinisikan kampanye iklan negatif merupakan iklan politik yang berisi hal-hal yang bersifat menyerang (attacks) kepada personalitas kandidat lainnya atau partai politik dari kandidat tertentu dengan menggunakan isu tertentu.10

Bill Huey mendefinisikan iklan kampanye negatif sebagai sebuah iklan politik yang berisi segala sesuatu yang memuat informasi negatif untuk melemahkan kekuatan kandidat atau partai politik lainnya yang menjadi kompetitor.11

Data-data yang diperoleh di lapangan akan menjadi data primer dalam penulisan skripsi ini. Di samping itu, dalam penulisan ini penulis juga memuat tulisan-tulisan artikel dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan sebagai data sekunder dan penunjang yang mendukung dalam fokus pembahasan yang dipilih. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada judul skripsi yang khusus mengkaji tentang Pengaruh Pemilihan Umum Kepala Daerah Respon Tangerang Selatan terhadap Fakta Kampanye Negatif Dalam Pilkada 2011 yang dibahas rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum jurusan Siyasah

9

Terry Cooper, Negative Image, Campaigns and Elections, 1991, h. 21.

10

Gina M. Garrmone, Voter Respons to Negative political ADS, Jurnalism Quarterly, 1984, h. 251-253.

11


(23)

Syar‟iyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk itu penulis tertarik mengungkap dan mendeskrisikan Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Tangerang Selatan 2011.

F. Sistematika Penulisan

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II Menjelaskan konsep dasar atau teori Kampanye Negatif, Konsep Kampanye Negatif politik di negara demokrasi, Bentuk-bentuk Kampanye Negatif, Pengaruh Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum.

BAB III Menguraikan tinjauan Yuridis Pemilihan Umum Kepala Daerah di Tangerang Selatan.

BAB IV Berusaha menganalisis permasalahan terhadap Pemilihan Umum Kepala Daerah, faktor yang Mempengaruhi Terhadap Kampanye Negatif Tangerang Selatan.

BAB V Penutup akan menyimpulkan hasil-hasil penelitian yang telah dituangkan dalam bab-bab sebelumnya dan mengajukan saran atau rekomendasi sebagai implikasi teoretis maupun praktis penelitian ini.


(24)

15

A. Definisi Kampanye Negatif

Dalam terminology politik dan pemilu, ada yang disebut sebagai kampanye hitam atau black campaign. Istilah ini bukan berarti kampanye yang dilakukan malam hari, atau kampanye yang dilakukan oleh orang berkulit hitam. Black Campaign, memang istilah “prokem” atau istilah serapan dari bahasa asing (Inggris). Sebelum kita mengetahui apa definisi dari istilah black campaign atau kampanye hitam, secara sistematis kita harus mengetahui dahulu apa arti dari kampanye.

Menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang disebut sebagai kampanye adalah: kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu. Jadi berdasarkan pada definisi diatas, kampanye dalam perhelatan pemilu, apapun bentuk pemilu itu (Pemilu DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wapres, Bupati, Walikota, Kepala Desa, dan pemilihan lain dalam konteks pemberian suara oleh masyarakat), harus dilakukan dengan cara yang lurus, bersih dan terang.1

1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum,


(25)

Artinya, kampanye adalah sebuah propose to something. Kampanye adalah suatu perilaku dari seorang calon atau dari orang-orang atau partai atau kelompok yang mendukungnya, untuk meyakinkan orang-orang agar mau memilihnya, dengan menunjukkan dan menawarkan atau menjanjikan apa yang akan diperbuat, apa yang akan dilakukan, apa yang akan diperjuangkan, apabila orang-orang memilih calon tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi kampanye menurut Undang-Undang 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sebuah definisi yang positif.

Kampanye Negatif merupakan salah satu fenomena politik yang seringkali muncul dalam berbagai peristiwa Pemilu di berbagai negara demokrasi. Bahkan hampir dipastikan kontestasi Pemilu dalam sistem yang demokrasi tidak lepas dari munculnya kampanye politik negatif. Oleh karena itu, fenomena kampanye politik negatif dianggap menjadi perhatian utama dari banyak kalangan. Sebab, kampanye politik negatif dalam hal ini berkembang tidak hanya pada arena panggung kampanye formal yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara pemilu, namun juga dalam keseluruhan peristiwa Pemilu yang sedang berlangsung. Kampanye negatif di sini dapat berlangsung dalam media Televisi baik melalui pemberitaan dan iklan maupun di luar media dalam berbagai peristiwa politik yang bersifat terbuka yang dihadiri oleh publik.


(26)

Kampanye negative dalam hal ini dimaknai sebagai sebuah kampanye politik yang mengekspresikan, memuat atau di dalamnya terdapat negasi, atau penyangkalan terhadap kebenaran fakta.2 Cleveland Ferguson mendefinisikan kampanye negatif sebagai kampanye politik yang dilakukan oleh masing- masing kandidat dan partai politik untuk mendapatkan keuntuntungan dengan cara memberikan referensi atau mengalamatkan aspek-aspek negatif dari competitor baik kandidat maupun partai.

Aspek-aspek negatif tersebut dapat berupa atribut, isu, atau kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik. Aspek-aspek negatif tersebut disampaikan dengan cara yang beragam, mulai dengan membuat logika pembeda (contrast), hingga menyerang dan merusak karakter, personalitas dan kebijakan-kebijakan publik lawan dengan harapan mendapatkan keuntungan politik lebih. Fenomena di lapangan yang seringkali berkembang, kampanye negatif diwarnai dengan cara-cara dan trik yang kotor. Isu-isu negatif seringkali terus digunakan untuk mengundang daya tarik publikasi media. Bahkan kampanye negatif seringkali dilakukan dengan mengkobinasikan jaringan dan teknik dari kelompok-kelompok lobbying untuk melakukan serangan-serangan politik kepada lawan.3

2

Lihat The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition, 2000

3

Cleveland Ferguson, The Politics of Ethics and Elections : Can Negative Campaign Advertising Be Regulated in Florida?, diakses dari http://www.law.fsu.edu/journals/lawreview/ frames/ 242/fergfram.html.


(27)

Cleveland Ferguson berpendapat bahwa iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) telah lama berkembang dalam tradisi demokrasi di Amerika sejak masa kemenangan John Adams terhadap Thomas Jefferson dalam Pemilu presiden Amerika tahun 1796. Ada beberapa definisi yang berkembang terkait dengan iklan kampanye negatif. Namun dari beragam definisi yang ada, nampak belum ada kesepakatan yang tetap tentang makna dari iklan kampanye negatif. Yang menjadi kesamaan dari kecenderungan definisi dari iklan kampanye negatif yang muncul adalah kesamaan tujuan yang ingin dicapai, yaitu meningkatkan pengaruh dan tingkat dukungan dalam arena pemilihan.

Beberapa definisi tentang iklan kampanye negatif (negative campaign advertising) misalnya dikemukakan oleh Terry Cooper. Ia mendeinisikan iklan kampanye negatif sebagai serangkaian iklan yang berisi segala sesuatu yang bersifat persuasif untuk menyerang kekuatan lawan dengan menunjukkan berbagai kelemahannya berdasarkan data dan fakta yang ada.4 Sedangkan Gina M. Garromone mendiinisikan kampanye iklan negatif merupakan iklan politik yang berisi hal-hal yang bersifat menyerang (attacks) kepada personalitas kandidat lainnya atau partai politik dari kandidat tertentu dengan menggunakan isu tertentu.5 Bill Huey mendeinisikan iklan kampanye negatif sebagai sebuah iklan politik yang berisi segala sesuatu yang memuat informasi negatif (negative

4

Terry Cooper, “Negative Image”, Campaigns & Elections, September 1991, hal. 21

5 Gina M. Garromone, “Voter Response to Negative Political Ads”, Journalism Quarterly,


(28)

information) untuk melemahkan kekuatan kandidat atau partai politik lainnya yang menjadi kompetitor.6 Pakar lainnya, seperti Adam Goodman mendeisikan iklan kampanye negative sebagai sebuah iklan yang menggunakan metode pesan kampanye yang berisi pembeda (contrasting) terhadap kandidat dan parpol yang menjadi kompetitor dengan menggunakan pendekatan yang membangkitkan aspek-aspek emosi pemilih.7 Sedangkan Sharyne Merritt mendefinisikan iklan kampanye negatif adalah iklan politik yang memuat pesan-pesan politik yang dianggap mampu mendegradasi persepsi publik terhadap kandidat dan partai politik yang menjadi lawannya.8

Di Indonesia, adanya kampanye negatif termasuk iklan kampanye negatif dianggap akan meningkatkan rasionalitas pemilih berhadapan dengan elite politik. Kampanye negatif merupakan sarana efektif untuk menggeser paradigma masyarakat pemilih dalam kehidupan politik, yakni dari tendensi emosional menuju rasionalitas pemilih. Bangkitnya rasionalitas pemilih ditandai dengan semakin kritisnya mereka dalam menentukan siapa kandidat yang layak untuk menjadi pemimpin. Pilihan-pilihan itu terkait dengan penilaian visi dan misi, integritas kandidat, kualitas individu dan programnya, bukan pilihan-pilihan karena satu agama, satu suku, satu keluarga, dan satu kelompok. Melalui

6Bill Huey, “Where‟s the Beef?”,

Campaigns & Elections, Juni 1995, hal. 67.

7 Adam Goodman, “Going Negative! Producing TV: A Survival Guide”, Campaigns and

Elections, Juli 1995, hal. 22.

8 Sharyne Merritt, “Negative Political Advertising: Some Empirical Findings”, Journal of


(29)

kesadaran pemilih, sedikit demi sedikit para politikus korup yang selama ini memanfaatkan ikatan emosional masyarakat akan tergusur dari arena politik.9

Cleveland Ferguson membagi kampanye iklan (Negate Negatif Campaign Advertising) melalui media massa dalam tiga jenis. Pertama, Fair Negative Campaign Advertising. Kedua, False Negative Campaign Advertising Ketiga, Deceptive Negative Campaign Ddvertising. Pola pemilihan tema dan isi dari iklan kampanye negatif seringkali menggunakan salah satu atau beberapa strategi Pertama, Reinforcement Strategy. Kedua, Rationalization Strategy. Ketiga, Inducement Strategy. Keempat Confrontazion Strategy.10

Pilihan-pilihan strategi dalam menjalankan kampanye negatif juga terus mengalami modiikasi yang luar biasa karena kreatiitas masing-masing politisi dan konsultan politiknya. Di luar itu semua, teknik, metode dan strateg penggunaan kampanye negatif saat ini terus berkembang dengan pesar di berbagai negara demokrasi. Adakalanya kampanye negatif atau negative political advertising dapa dilakukan dengan cara dan tujuan yang etis dan positif, sesuai dengan derajat rasionalitas dan budaya politik masyarakat. Namun banyak juga yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak etis dan negatif.

Kampanye Politik, Negative Campaign, dan Black Campaign. Dalam arena Pemilu, baik kandidat maupun partai politik setidaknya dapat melakukan

9Adnan Topan Husodo, “Politisasi Korupsi dan Pemilihan Kepala Daerah”, Koran Tempo,

23 Februari 2005.

10Paul R. Baines, “Voter Segmentation and Candidate Positioning”,

dalam Bruce I Newman (eds), Handbook of Political Markerting,London, Sage Publications, 1999, hal. 407-408


(30)

tiga cara dalam proses kampanye politik.11 Pertama, dengan pola Public Relations, yaitu dengan serangkaian teknik dan metode Public Relations melalui daya dukung industri media masa cetak dan elektronik. Kedua, Personal Contact, yaitu melalui sejumlah kontak personal. Hal ini misalnya dapat dilakukan dengan berbagai pertemuan langsung dalam kampanye politik, safari politik dan kegiatan interaksi langsung lainnya dengan pemilih. Ketiga, Advertisements, yaitu dengan menggunakan sejumlah iklan-iklan politik baik iklan politik dalam media massa cetak dan elektronik maupun iklan media ruang.

B. Makna Kampanye Negatif dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Negara Demokrasi

Dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.12 Didalam Pasal 84 tersebut terdapat larangan terhadap kampanye pemilu yang tidak boleh dilakukan adalah: 1. Kampanye tidak boleh mempersoalkan Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945.

2. Kampanye tidak boleh dilakukan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

11Gunter Schweiger dan Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political

Parties”, dalam Bruce INewman (eds), Handbook of Political Markerting, London, Sage Publications, hal. 355.

12 Paul R. Baines, “Voter Segmentation and Candidate Positioning”,

dalam Bruce I Newman (eds), Handbook of Political Markerting, 407-408.


(31)

3. Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain.

4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. 5. Mengganggu ketertiban umum.

6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.

7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye Peserta Pemilu. 8. Menggunakan fasilitas pemerintah,tempat ibadah, dan tempat pendidikan. 9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari

tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan.

10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.

Kesepuluh larangan kampanye tersebut itulah yang bisa dikategorikan sebagai kampanye negatif. Larangan kampanye yang pertama dan kedua adalah karena hal tersebut adalah bentuk kampanye yang inskonstitusional atau melanggar UUD 1945. Larangan kampanye yang ketiga dan keempat inilah yang disebut sebagai black campaign. Larangan kampanye yang kelima, keenam dan ketujuh adalah karena hal tersebut adalah bentuk kampanye yang anarkhis dan chaos atau yang rawan menimbulkan huru hara dan kerusuhan. Larangan kampanye yang kedelapan dan kesembilan adalah karena hal tersebut adalah bentuk kampanye terselubung. Larangan kampanye yang kesepuluh, adalah


(32)

karena hal tersebut adalah bentuk kampanye money politics atau kampanye menggunakan kekuasaan uang.

Sehingga berdasarkan pada definisi Pasal 1 angka 26 dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dimaksud black campaign adalah suatu model atau perilaku atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politik atau pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya.

Kampanye terbuka untuk pemilu presiden baru dimulai 12 Juni 2009. Namun, perang kata-kata dan wacana di antara para kandidat dengan tim kampanyenya sudah dimulai berminggu- minggu lalu. Kampanye damai, etis, santun, dan tidak saling menyerang cuma ilusi? Nyatanya, ajakan untuk beretika dalam berpolitik selalu saja dibarengi dengan serangan-serangan terhadap para pesaing. Bahkan, ajakan tersebut merupakan bentuk serangan juga karena ada pesan implisit di baliknya yang ingin menunjukkan bahwa lawan politik tidak mengenal etika dan kesantunan dalam berpolitik. Ajakan ini sudah menjadi semacam mekanisme defensif dari para kandidat yang ”diserang”.

Di satu sisi, memang rakyat menginginkan kampanye damai dan bebas dari kekerasan. Di sisi lain, rakyat juga membutuhkan dan menginginkan kampanye yang mendidik sehingga mereka dapat menentukan pilihannya secara


(33)

bijak pada hari pencontrengan. Kampanye yang sekadar damai adalah kampanye yang jauh dari memuaskan. Kampanye perlu disertai dengan keterbukaan dan kejujuran sehingga kampanye dapat menjadi bentuk pendidikan politik untuk rakyat.13

Kritik terbuka terhadap pesaing sering kali divonis sebagai bentuk kampanye negatif dan kampanye negatif sering kali diidentikkan dengan sesuatu yang buruk. Sulit dilupakan ketika salah seorang calon presiden setelah ”diserang” oleh pesaingnya mengatakan bahwa tidaklah elok menjelek-jelekkan, tidaklah baik dan santun di mata rakyat. Tunggu dulu. Justru kampanye yang melulu serba positif dapat menyebabkan pembodohan publik karena memberikan gambaran realitas yang tidak lengkap.

Kenyataannya, kampanye negatif tidaklah selalu buruk. Bahkan kampanye negatif justru bisa dilihat sebagai bentuk pendidikan politik. Sangat salah kaprah jika kita menolak habis kampanye negatif, padahal lewat kampanye negatif rakyat bisa mengenal lebih jauh para kandidat yang berkompetisi. Kita semua ingin rakyat menentukan pilihannya pada hari pemilu bukan berdasarkan janji dan klaim sepihak. Tapi kita ingin rakyat memilih pemimpinnya untuk lima tahun mendatang dengan pengetahuan dan informasi yang selengkap-lengkapnya. Sayangnya, memang dalam demokrasi, meski ada kebebasan media yang relatif cukup baik, informasi masih relatif mahal dan tidak mudah diakses

13

Harian Kompas, Selasa 16 Juni 2009, Sunny Tanuwidjaja, Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS; Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University.


(34)

oleh kebanyakan rakyat jelata. Informasi yang tersedia, apalagi dalam musim kampanye, kebanyakan datang dari para elite politik yang bertarung.

Jika kampanye serba normatif dan serba positif, akan sangat sulit bagi rakyat untuk mengenal para kandidatnya secara lengkap, mengingat informasi yang tersedia hanya yang baik-baik. Kampanye negatif memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memperoleh informasi tentang para kandidat yang lebih lengkap. Paling tidak, ada penyeimbang terhadap wacana maupun informasi sepihak yang serba baik dan positif seorang calon.

Inilah indahnya demokrasi. Dalam demokrasi ada persaingan antarelite dan dalam persaingan antarelite inilah rakyat dapat meraup keuntungan yang optimal. Ketika ada kampanye negatif yang dilakukan para elite terhadap pesaingnya, rakyat sebagai pemilih dapat melihat sisi negatif para kandidat. Dengan kata lain, adanya kampanye negatif merupakan kesempatan bagi rakyat sebagai pemilih untuk bukan hanya tahu keunggulan dan keberhasilan para kandidat, tetapi juga kelemahan dan kegagalan mereka.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak para calon kandidat untuk memfitnah. Fitnah penuh dengan ketidakjujuran. Justru tulisan ini mengajak para kandidat untuk berkampanye secara jujur dan terbuka agar kampanye tidak hanya menjadi kesempatan tebar pesona, tapi juga kesempatan untuk mendidik rakyat.

Sepertinya perlu ada redefinisi kampanye negatif. Kampanye negatif janganlah diartikan sempit sebagai black campaign atau fitnah, melainkan


(35)

kampanye yang semata menunjukkan kelemahan lawan politik. Tentu ini sah-sah saja dalam berdemokrasi dan berkompetisi.

Para kandidat dan tim kampanyenya hendaknya memaknai etika dan kesantunan politik secara lebih substansial dan mendalam, bukan sekadar wacana indah yang semu. Memang ada yang aneh dengan standar kesantunan dan etika kita. Sebenarnya kesantunan dan etika yang sejati adalah kejujuran dan keterbukaan, terhadap lawan maupun terhadap rakyat. Kesantunan dan etika politik yang sejati adalah ketika para elite politik yang bersaing dapat berjabat tangan serta bekerja sama membangun bangsa setelah bersaing dalam pemilu dan saling mengkritik secara jujur dan terbuka.

C. Dinamika Transformasi Politik di Indonesia

Perilaku elit yang berorientasi kepada kekuasaan subyektif mengakibatkan setelah lebih satu dasa warsa transformasi politik, masyarakat belum banyak mencapai kemajuan. Pada hal bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil.14 Selama lebih dari satu dekade bangsa Indonesia telah mengalami suatu proses perubahan politik yang sangatsubtansial. Suatu perubahan politik dari sistem otoritarian ke demokrasi yang kalau dilihat dari tingkat akselerasi perubahan dapat dikategorikan sebagai sebuah revolusi demokrasi. Sebuah peristiwa yang bisa disebut contradictio in terminis, karena demokrasi tidak dapat dilakukan secara revolusioner. Sementara itu bangsa

14The country has all the ingredients for success: a stable democracy, a wealth of natural resources and a large consumer market. But Indonesia is not keeping pace with Asia’s booming economies”. (Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008.)


(36)

Indonesia dalam waktu yang sangat singkat telah terjadi perubahan yang luar biasa, mulai dari perubahan UUD 1945, pemilihan presiden secara langsung, dibentuknya parlemen bikameral, pembentukan Mahkamah Konstitusi, pemilihan kepala daerah langsung, dan lain sebagainya. Karakter revolusioner itulah yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak dapat menyusun konstitusi yang sempurna serta membangun lembaga dan kultur politik yang dapat segera menopang struktur kekuasaan demokrasi yang masih sangat muda. Oleh karena itu wajah perpolitikan di Indonesia selama lebih satu dasa warsa sepuluh tahun sarat dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin berkuasa, mempertahankanm kekuasan atau mereka yang ingin lebih berkuasa. Kiblat politik yang sangat didorong oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan arti politik sebagai perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Manuver politik didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik Indonesia sarat dengan intrik dan kompromi politik yang pragmatis dan oportunistik, politik uang, tebar pesona dan janji-jani sebagai alat merayu dukungan, perselingkuhan politik dan segala bentuk serta manifestasi keserakahan mengejar kenikmatan kekuasan. Bila disalahgunakan hal itu dapat menimbulkan konflik kekerasan, ataupun perang saudara yang sangat kejam.15

Selain beberapa faktor obyektif diatas, aspek utama yang menyebabkan transisi politik seakan–akan berjalan tanpa arah disebabkan pula oleh karena para elit politik tidak memahami konsep-konsep dasar politik dan tata negara untuk

15Gunter Schweiger dan Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political


(37)

menyusun tatatan kehidupan demokrasi kedepan. Sebagian besar elit lebih mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara retorik sekedar mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Kedangkalan memahami konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan Indonesia sebagai negara kesatuan dan hubungan dengan desetralisasi atau otonomi daerah. Kalau semangat dan komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan dipertahankan, maka prinsipprinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan pegangan dalam melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang penting adalah besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan ke daerah berasal dari pemerintah pusat.16 Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat mengemban kewenangan yang diberikan maka tidak dapat dilaksanakan secara bertanggungjawab atau terjadi krisis pemerintahan daerah, pemerintahan pusat harus mempunyai instrumen dan mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut. Pemicu krisis di daerah yang paling potensial adalah tiadanya jaminan hubungan kekuasaan yang simetris di tataran politik lokal. Lebih-lebih kalau calon independen untuk pemilihan kepada daerah telah menjadi keputusan politik. Asimetris hubungan kekuasaan antara kepala daerah dan parlemen lokal menjadi potensi konflik didaerah yang berlarut-larut.

Dalam hal intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan daerah, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan yang jelas, supervisi, evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup. Tetapi

16

Martin Aleida, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah, (Yogyakarta :Gramedia, 2003), hal .297


(38)

karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten, banyak sekali terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang berlarur larut. Misalnya, mengenai Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD).

Dalam mengantisipasi krisis, pemerintahan mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal, namun bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian (state), Presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur.17 Namun kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskreasi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua,Presiden harus harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memperhatikan laporan gubernur. Ketiga, pernyataan situasi dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung menolak, maka Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah (state) dapat berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak dan tetap dalam kerangka demokrasi. Pengalaman tersebut kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif.

17

Grabow, Karsten dan Riek.E, Christian (eds); Parties and Democracy, page 110- 111; Konrad- Adenauer- Stiftung e.V; Klingenhoferstabe 23, D-10907 Berlin, Germany.


(39)

Dengan demikan munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem kepartaian yang multi partai.

Makna penting yang dapat dipetik bahwa meskipun transisi politik dilakukan dengan sangat cepat, tetapi kontestasi politik yang dilakukan dalam skala yang masif dapat dilakukan dengan aman. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan untuk menjadi bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik komunal karena keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan primordial kesukuan, ras,bahasa, agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya ternyata tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat. Oleh sebab itu banyak kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan apresiasi terhadap keberhasilan pemilihan umum di Indonesia. Salah satunya adalah tajuk majalah The Ecomomist, tahun 2004.18

Naskah akademik ini ingin meletakkan RUU Pilkada dalam konteks makor politik dan perspektif politik politik Indonesia kedepan. Oleh sebab itu agenda perubahan sistem politik harus dilakukan pada tataran yang sangat

18The Economist, edisi Bulan 10-16 Juli, 2004 : “But perhaps there is a lesson in Indonesia’s experience not just for Islamic countries, but for one of Asia’s other giants too. The party men who run

China like to argue that democracy that democracy is unsuited to a poor, sprawling country that has

no experience of it : chaos is what China’s leaders say the fearabove all. But it does now seem that

Indonesia-a polyglot rag-bag of islands that emerged as anation only through the accident of having been collectively administered by the Dutch has given the world a powerful counter – example”. Selain itu artikel Prof Seth, S.P (Sydney), ; Indonesia as A Democraciy Model; The Jakarta Post, May

4,2009. When Soeharto, Indonesia’s long-serving dictator, fell in 1998 , the very integrity of the country seemedin doubt. In contrast, at present-day Indonsia seems almost a miracle. It is stable, largerly peaceful democracy with the resilient economy growing at a respectable lick. ( The Economist, 12th- 18th, 2009, p 16).


(40)

mendasar, yaitu amandemen Konstitusi yang kelima. Agar amandemen tidak dilakukan secara parsial maka sangat diperlukan proses yang disepakati bersama baik mengenai jadwal maupun substasi sehingnga akamendemen kelima menjadi amandemen yang dapat memperbaiki UUD 1945 secara komprehensif. Oleh sebab itu selain amandemen juga harus dilakukan berdasarkan paradigm yang jelas, harus dilakukan pula prinsip-prinsip konstitusionalisme, antara lain sebagai berikut : (1) pembatasan wilayah kekuasaan negara, (2) pengaturan cabang-cabang kekuasaan yang seimbang, (3) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, (4) prinsip-prinsip terkondiskannya suhu politik yang demokratis, (5) independensi lembaga peradilan, (6) kontrol sipil terhadap militer, (7) prinsip desentralisasi, (8) jaminan melakukan perubahan konstitusi serta (9) partisipasi/pelibatan masyarakat. Bebagai prinsip atau paradima tersebut harus dijabarkan lebih rinci melalui perdebatan yang mendalam, jernih dan komprehensif agar pasalpasal yang dituangkan dalam UUD yang baru.19

Sementara itu prosedur amandemen merupakan hal yang penting pula karena dimaksudkan agar proses amandemen tersebut dapat menghasilkan suatu kualitas perobahan sesuai dengan kehendak masyarakat. Beberapa tahapan yang mungkin dapat dipertimbangkan sebagai berikut: Pertama, MPR menetapkan Komisi Reformasi konstitusi yang yang bersifat independen dan diberi tugas untuk menyusun draft konstitusi dalam jangka waktu tertentu. Kedua, keanggotaan Komisi terdiri dari berbagai tokoh yang mempunyai berbagai

19


(41)

keahlian terutama ahli tata negara, ilmu politik, pemerintahan, administrasi dan ahli perumus (drafting) konstitusi serta perwakilan dari tokoh-tokoh di daerah. Tugas masing-masing anggota Komisi dari provinsi adalah menampung aspirasi daerah mengenai hal-hal yang ingin dimasukkan dalam konstitusi, dan memperdebatkan rancangan konstitusi. Ketiga, sebelum menyusun rancangan Komisi terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan mendasar sesuai dengan paradigma yang telah disetujui bersama. Keempat, setelah Komisi berhasil menyusun draft konstitusi, konstitusi tersebut disosialisasikan dan masyarakat diberikan kesempatan untuk memperdebatkan rancangan konstitusi. Kelima, hasil perdebatan masyarakat tersebut kemudian diakomodasi dalam rancangan konstitusi. Keenam, Komisi Konstitusi melaporkan hasil kerja draft final konstitusi kepada MPR. Oleh sebab itu kalau situasi sudah lebih memungkinkan, amandeman perlu dilakukan, namun tidak hanya melayani kepentingan parsial dan sesaat.

Namun diatas semua itu yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana bangsa Indonesia segera mulai juga membangun kultur politik yang demokratis. Bagaimana kesetaraan, pluralisme, toleransi menjadi bagian dari proses pendidikan politik rakyat yang mulai diajarkan sedini mukin terhadap generasi muda Indonesia. Akhirnya, menyusun konstitusi yang ideal (meskipun penting) hanya merupakan satu bagian (meskipun penting) dari serangkaian agenda dan proses mewujudkan sistem politik yang kompleks dan rumit, tatanan dan tertib politik yang demokratis.


(42)

Sementara itu partai politik sebagai pilar demokrasi juga harus dilakukan reformasi. Pertama-tama adalah dengan melakukan pengakaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk menghasilkan kader partai yang kapabel, akuntabel, mempunyai komitmen, kepakaan serta ketrampilan menterjemahkan ideologi kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai sampai dengan ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan lawan politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan melakukan kaderisasai dan pendidikan poltik secara reguler maka kapasitas partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni sosialisasi dan pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik dll juga akan ditingkatkan. Melalui proses pendidikan politik yang semacam itulah partai akan didorong melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang kredibel.

Kedua, mendorong kepemimpinan partai yang demokratis dengan melakukan seleksi kepemimpinan partai yang demokratis serta menegaskan kedaulatan anggota dan desentralisai kewenangan pengurus partai ditingkat pusat kedaerah sebagai upaya meningkatkan demokratisasi internal.

Ketiga, memperkuat basis dan struktur kepartaian, memperkuat basis dan struktur partai, termasuk menyertakan 30% perempuan. Basis sosial yang jelas dan berakar pada masyarakat akan menjadikan partai lebih kuat, melembaga sehingga akan memermudah menyerap aspirasi masyarakat. Basis dan struktur partai tidak didasarkan atas sentimen primordial. Hal ini berkaitan dengan


(43)

ideolog kebijakan yang akan menjadi discourse dari partai politik. Perdebatan publik tidak lagi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan keungguluan identitas primordial tetapi mengenai dasar-dasar kebijakan yang ditujukan utnuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keempat, mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partaipartai yang gagal mendapatkan Electoral Thershold (ET) di dtingjkat local berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan.

Kelima, mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumberdaya yang independen.

Keenam, larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Hal itu untuk mencegah konflik kepentingan (conflict of interest) dari pejabat yang bersangkutan. Konsekwensinya akan lebih besar lagi kalau birokrasi kemudian menjadi ajang pertarungan politik dari partai politik. Birokrasi yang berfungsi sebagai pelayan publik, akan menjadi sekedar intrumen partai politik.

Sejalan dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif, selain pembenahan partai politik, perlu pula dilakukan beberapa penegasan dalam prinsip sehingga sistem Pemilu harus semakin mengarah untuk untuk meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya. Oleh sebab itu prinsip one person, one vote, one value perlu diterapkan. Secara ideal, prinsip tersebut harus dilakukan dengan konsekwen, karena kesetaraan diantara warga negara adalah salah satu prinsip demokrasi. Kedua, demokratisasi mekanisme


(44)

pencalonan. Artinya pencalonan dilakukan dengan sistem dari bawah keatas (bottom-up). Artinya, setiap calon anggota lembaga perwakilan rakyat harus dipilih secara demokratis dan terbuka sehingga bobot pengaruh dan kualitas komitmen para anggota lembaga perwakilan rakyat diharapkan lebih baik bila dibandingkan dengan pemilihan calon yang dilakukan berdasarkan putusan pimpinan partainya. Ketiga, mempertegas sistem audit dan pengelolaan danadana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Selama ini tidak ada pengaturan dana politik yang menyangkut jenis sumbangan, batasan sumbangan, larangan menerima sumbangan dari sumber tertentu, pencatatan sumbangan, pelaporan, audit, akuntabilitas publik, dan sangsi apabilan melangggar.

Dalam kaitan tersebut diperlukan penguatan dan penegasan peran lembaga-lembaga perwakilan, antara lain memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat dilalakukan dengan merubah lembaga pimpinan MPR permanen menjadi fungsional, yaitu memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan kewenangan MPR membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang gabungan (joint session) serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan amandemen UUD 1945. Sehingga MPR kewenangannya tidak sebesar sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang saat ini berlaku.

Mencermati perkembangan tersebut, proses transisi politik memberikan makna bahwa meskipun masa-masa kritikal telah dilewati, namun reformasi politik harus segera dibenahi. Legimasi politik prosedural harus segera


(45)

ditingkatkan menjadi legitimasi politik yang bermartabat mendesak untuk dilakukan. Membiarkan demokrasi prosedural dimanipulasi oleh elit politik hanya akan memberikan pembenaran bagi yang merasa mendapat mandat rakyat untuk merusak tatanan demokrasi. Membiarkan demokrasi prosedural dijadikan alat legitimasi juga akan mengakibatkan bayi demokrasi tumbuh menjadi demokrasi kunthet.20 Perpolitikan semacam itu jelas lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Reformasi masih jauh dari pembentukan sikap dan perilaku yang santun, yakni mengutamakan kepentingan umum serta berpolitik yang didasarkan atas komitmen lahir batin untuk mewujudkan kehidupan bersama yang sejahtera.

20


(46)

37

A. Landasan Konstitusional Pemilihan Kepala Daerah

Ketentuan yang menegaskan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi terdapat pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Ketentuan tersebut menentukan syarat demokratis setiap pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dengan cara yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi.

Kata “demokratis” dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut juga harus dimaknai sebagai demokratisasi tahapan Pilkada secara keseluruhan. Semua proses Pilkada mulai dari penetapan daftar pemilih, penetapan calon, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil, bahkan terhadap perselisihan hasil semestinya dilaksanakan dalam kerangka demokratis yang diamanatkan oleh konstitusi. Pada proses pembahasan ketentuan ini di MPR dapat dicermati para pembentuk konstitusi memang sepakat bahwa pemilihan gubernur, bupati dan walikota dilakukan dengan demokratis, namun juga terdapat keinginan dari pembentuk kontitusi untuk memberikan kesempatan bagi para pembentuk undang-undang untuk mengatur pemilihan kepala daerah lebih lanjut sesuai dengan kondisi keragaman daerah dan situasi serta kondisi asalkan tidak


(47)

bertentangan dengan prinsip demokratis.1

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa dalam proses pembahasan perubahan UUD 1945 pilihan-pilihan mekanisme Pilkada juga telah diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR, baik pemilihan oleh rakyat secara langsung maupun pemilihan melalui mekanisme perwakilan oleh DPRD. Namun kedua mekanisme tersebut, secara eksplisit, tidak menjadi putusan MPR. Dengan memutuskan “dipilih secara demokratis” maka dimungkinkan pembentuk undang-undang mempertimbangkan mekanisme yang paling cocok untuk pemilihan kepala daerah.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 072/PUU-II/2004 juga dapat diketahui bahwa dalam pelaksanan Pemilu-Kada “secara demokratis” pembuat undang-undang harus memperhatikan penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antar daerah yang berbeda-beda, sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.“ Selain mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, ketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) ini juga memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan Pemilihan Kepala Daerah saja tanpa menyebut jabatan

1

Pembahasan ketentuan tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dapat dilihat dalam Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2 (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm, 168-182


(48)

wakil kepala daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan untuk kepala daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dengan demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk mengatur jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja gubernur, bupati dan walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Hal lain yang juga penting untuk ditegaskan kembali dari ketentuan konstitusi mengenai pemerintahan daerah bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah-daerah, tetap dalam kerangka implementasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan Undang-Undang.” Menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal.2 Seperti juga disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 naskah asli “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga”.3

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 072/PUU-II/2004 yang merupakan pengujian terhadap UU No. 32 tahun 2004.

2

Lihat Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002) hlm. 21

3


(49)

Hal di atas perlu ditegaskan untuk mengingatkan bahwa pemerintahan daerah yang terbentuk hasil Pemilu-Kada langsung betapapun mendapat legitimasi langsung dari rakyat harus tetap menyadari kedudukannya sebagai daerah yang merupakan bawahan pemerintah pusat dan harus menjalankan kebijakan pemerintah pusat.

Agar Pemilu demokratis, regulasi harus mampu menjadi alat yang menjamin terlaksananya asa-asas Pemilu yang demokratis. (1). Langsung, (2). Umum, (3). Bebas, (4). Rahasia, (5) Jujur, dan (6). Adil. Sedangkan secara substantif, harus dijamin asas sebagai berikut : (1). Partisipatif, dan (2). Kompetitif. Elaborasi berikut mencoba mencermati regulasi Pemilu-Kada mewujudkan pelaksanaan asas-asas tersebut.

Pemilhan Umum Kepala Daerah merupakan implemetasi konstitusi pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”.Pada tingkat regulasi yang lebih rendah, ditungkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.

Ketentuan pertama mengatur mengenai Pemilu-Kada langsung pasal 24 ayat (5) yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Kemudian masih ada cukup banyak pasal dalam Undang-Undang ini yang secara khusus mengatur tentang Pemilu-Kada


(50)

langsung, mulai pasal 56 s/d pasal 119. Undang-Undang 32/2004 64 pasal yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah.

Namun beberapa pasal dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan peraturan yang lain maupun bertentangan dengan prinsip demokrasi. Kontroversi itu meliputi pasal-pasal yang dinilai tidak demokratis karena menghalangi akses partaipartai kecil untuk berpartisipasi dalam Pemilu-Kada. Akibatnya, muncul aspirasi dari perbagai pihak, misalnya 21 KPUD, organisasi masyarakat sipil, dan partai politik untuk mengajukan judicial review Undang-Undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. karena dianggap kontradiktif dengan regulasi lain. judicial review terhadap 5 pasal Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah25;

1. Pasal 57 ayat (1) berbunyi : “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan KPUD bertanggung jawab kepada DPRD.” Keputusan MK KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD, sebab DPRD terdiri atas unsur-unsur parpol sebagai pelaku kompetisi sehingga dapat mempengaruhi independensi KPUD sebagai lembaga yang mandiri.

2. Pasal 66 ayat (3) huruf berbunyi : “tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah meminta pertanggung jawaban pelaksanaan tugas KPUD”. putusan MK menetapkan bahwa KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD tetapi bertanggungjawab kepada publik. Kepada DPRD, KPUD hanya berkewajiban untuk memberikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya.


(51)

3. Pasal 67 ayat (1) Huruf e tentang kewajiban KPUD menyatakan bahwa KPUD mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD”. putusan MK adalah KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan dana Pemilu-Kada kepada DPRD, karena dana bukan berasal dari APBD tetapi APBN.

4. Pasal 82 ayat (2) berbunyi “pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh DPRD”. Ketentuan ini mengakibatkan DPRD tidak dapat menjatuhkan sanksi pembatalan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

5. 59 ayat (1) yang berbunyi : “ partai politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD”. Serta ayat (2) yang berbunyi “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan suara sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi Untuk informasi lengkap mengenai putusan Mahkaman Konstitusi ini baca Putusan Perkara Nomor: 072- 073 /PUU-II/2004 58 DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. MK menyetujui permohonan judicial review terhadap pasal tersebut. Konsekuensinya, partai politik atau


(52)

gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD namun memiliki dukungan suara 15 persen dari akumulasi suara sah dalam Pemilu DPRD, boleh mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mahkamah Konsitusi juga mengabulkan calon-calon dari jalur independen memiliki kesempatan untuk bersaing dengan calon yang berasal dari partai politik.

B. Demografi Kotamadya Tangerang Selatan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Cisauk, dan Setu. Wilayah ini berpenduduk sekitar 966.037 jiwa. Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini masuk ke dalam Karesidenan Batavia dan mempertahankan karakteristik tiga etnis, yaitu Suku Sunda, Suku Betawi, dan Suku Tionghoa.

Pada 22 Januari 2007, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang menetapkan Kecamatan Ciputat sebagai pusat pemerintahan Tangerang Selatan. Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPRD Endang Sujana, Ciputat dipilih secara aklamasi. Jumlah penduduk di wilayah ini lebih dari satu juta jiwa. Pamulang dihuni 236.000 jiwa, sedang Ciputat dihuni 260.187 jiwa. Dari dua kecamatan ini, jumlah penduduk 500.000 jiwa. Jika ditambah dengan penduduk Serpong, Pondok Aren, dan Cisauk akan berjumlah lebih dari satu juta jiwa. Sehingga, memenuhi syarat untuk suatu daerah otonom.


(53)

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten mulai membahas berkas usulan pembentukan Kota Tangerang mulai 23 Maret 2007. Pembahasan dilakukan setelah berkas usulan dan persyaratan pembentukan kota diserahkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ke Dewan pada 22 Maret 2007.

Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang cukup signifikan, banyak dari mereka adalah campuran Cina Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh kolonial Belanda pada abad ke 18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi sebagai buruh dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di Tangerang: ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme yang kuat dan tetap menjaga tempat-tempat ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka tercampur, namun menyebut diri mereka sebagai Tionghoa. Banyak makam Tionghoa yang berlokasi di Tangerang, kebanyakan sekarang telah dikembangkan menjadi kawasan sub-urban seperti Lippo Village.

Kawasan pecinan Tangerang berlokasi di Pasar Lama, Benteng Makassar, Kapling dan Karawaci (bukan Lippo Village). Orang-orang dapat menemukan makanan dan barang-barang berkhas China. Lippo Village adalah lokasi permukiman baru. Kebanyakan penduduknya adalah pendatang, bukan asli Cina Benteng.4 Untuk mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota "Benteng",

4

Suhadi Ahmad, Makalah untuk keperluan sejarah kota Tangerang yang diselenggarakan di kampus UNIS tangerang


(54)

diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.

Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat Radin Sina Patij dan Keaij Daman sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.

Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.

Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang


(55)

Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I. Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: "Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni.

Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.


(1)

95 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemilu maupun Pilkada sebagaimana dipahami dalam ranah Politik, jauh lebih luas dari itu. Suatu aktifitas yang melalui rentetan pemikiran konsep, strategi, program sampai implementasinya dalam rangka pengenalan identitas dan pencitraan kandidat guna membangun kesadaran publik mengenai perlunya memilih sang calon. Maka dari itu penulis menyimpulkan tentang pilkada kaitannya dengan kampanye negatif adalah :

1. Pilkada Tangsel sebagai suatu proses transaksi political trading dalam jangka panjang dapat dikategorikan sebagai political investment. Sehingga tidak terjadi kolaborasi kohesif-negatif antara pemilih dengan kandidat setelah kemenangan dicapai yang akan syarat dengan politik balas budi (rewarding politics) dan berpotensi KKN, dibutuhkan adanya accountable politics, yakni etika politik yang diinstitusionalisasikan dengan kekuatan hukum positif bersanksi (law enforcement). Jika tidak terbangun moral politik yang baik dan benar, sukses pilkada hanya dalam pelaksanaan pilkada (3 bulan) akan tetapi tidak menghasilkan pemimpin yang sukses membangung pasca pilkada (5 tahun). Jadi pilkada bukan ditujukan hanya mendukung kondusifnya iklim politik jangka pendek dengan melihat Pilkada berjalan dengan aman.


(2)

96

2. Pasca pilkada yang perlu dibangun adalah “memagari” wali kota Tangsel terpilih dengan pagar hukum sehingga arah pembangunan sesuai dengan koridor hukum positif dan tujuan moral sosial. Kandidat terpilih diharapkan mampu membangun hubungan dengan konstituen dalam jangka panjang dengan jaringan berskala translokal. Sangat memungkinkan apabila sukses (memimpin dengan baik, dan mengelola administrasi dengan benar), akan mempermudah membangun political marketing.

B. Saran-saran

Paska Pilkada yang perlu dibangun adalah ”memagari” Walikota terpilih dengan pagar hukum sehingga arah pembangunan sesuai dengan koridor hukum positif dan tujuan moral sosial. Kandidat terpilih diharapkan mampu membangun hubungan dengan konstituan dalam jangka panjang dengan jaringan berskala trans-lokal. Sangat memungkinkan apabila sukses menjadi Walikota atas dukungan masyarakat dapat mempersiapkan diri untuk mengabdi di tugas-tugas lebih besar. Seorang Walikota/Bupati yang sukses (memimpin dengan baik, dan mengelola administrasi dengan benar) maka akan mempermudah membangun political marketing untuk masuk ke bursa balon Gubernur bahkan menjadi Menteri.

Ada kesan kuat bahwa demokrasi hanya terfokus pada pemilihan kepala daerah, sebuah perayaanakbar yang sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci maki,perdukunan, dan seterusnya.


(3)

97

Sekarang, perhatian publik habis terkuras untuk pemilihan umum kepala daerah, mulai dari kampanye, sampai dengan teka-teki walikota yang bakal dipilih lan. Ujung perhatian itu adalah siapa yang bakal tampil menjadi walikota. Dengan berbagai cara (polling, forum diskusi, analisis, spekulasi, dan lain-lain) publik menaruh perhatian secara serius terhadap calon-calon walikota yang tengah sibuk memoles wajahnya.

Kampanye Negatif adalah usaha memenangkan (pemilu) dengan mengedepankan aspek negatif dari lawan, bukan mengedepankan sisi positif dari dirinya sendiri. Dilihat secara lebih luas, ini bisa menyangkut kalimat kalimat retoris secara kontras, tapi juga termasuk usaha penghancuran karakter. Yang terpenting pada kampanye negatif adalah data dan fakta yang harus disampaikan haruslah akurat, bukan data-data fiktif. Black campaign adalah pernyataan yang tidak disertai bukti apapun untuk menjelaskan fakta yang dikemukakan, kalaupun ada, palsu dan direkayasa. Dalam karya ilmiah ini penulis menyampaikan kepada peneliti selanjutnya agar lebih baik lagi dalam mengkaji kajian kampanye negatif selanjutnya.


(4)

98

DAFTAR PUSRTAKA

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna : Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1999, Cet. I.

Adam Goodman, “Going Negative! Producing TV: A Survival Guide”, Campaigns

and Elections, Juli 1995.

Adnan Topan Husodo, Politisasi Korupsi dan Pemilihan Kepala Daerah, 2005. Almond, Gaabriel & G. Bingham Powell, Jr. Comparative politics: A Developmental

Approach, Boston: Little, Brown & Co., 1966

Amir, Fahrurrozi, Political Marketing Strategi Yogyakarta: FUSPAD, 2008 Arbi Sanit, Sistim Politik Indonesia Penghampiran dan Lingkungan, Jakarta 1980 Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi

Press, 2004. Adnan Topan Husodo, “Politisasi Korupsi dan Pemilihan

Kepala Daerah”, Koran Tempo, 23 Februari 2005

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Edisi revisi: Cet.1.

Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT GRAMEDIA,1985

Burhanudin, Transisi menuju Demokrasi atau Otoritarianisme Baru, Jakarta Serambi 2006.

Consuello G. Sevilla et. al. Pengantar Metodologi Penelitian Jakarta : UI Press, 1993).Lihat juga, Sri Sumantri (Ed.), Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1990

Cooper, Terry, Negative Image, Campaigns and Elections, 1991.

Djafar Assegaf, Jurnalistik Masa Kini , Jakarta : Lembaga Studi pembangunan 1985 Fatah, Eef Saaefullah , Masalah dan Prospek Demokrasi Indonesia, Jakarta, Ghalia


(5)

99

Ferguson, Cleveland, The Politics of Etics and Election: Can negative Campaign Advertising Be Regulated in Florida?

Garromone, Gina M., “Voter Response to Negative Political Ads”, Journalism Quarterly, 1984

Huey, Bill, Where’s The Beef, Campaign and Elections, Juni, 1995.

Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945; Antara Mitos Dan Pembongkaran, penerjemah: E. Setiyawati A Cet. 2, Jakarta: Mizan, 2007

MD, Mahfudz, Moh, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, Cet. 2.

Merritt, Sharyne, “Negative Political Advertising: Some Empirical Findings”, Journal of Advertising.

Muhtadi, Saeful, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, Jakarta: Logos 1999 Mujani, Syaiful, Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi

PolitikIndonesia Pasca Orde Baru Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),

cet. Ke-9

Nimo, Dann, Model-model Kampanye, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000

Nusantara, Abdul Hakim Garuda, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1988. Paul R. Baines, “Voter Segmentation and Candidate Positioning”,dalam Bruce I

Newman (eds), Handbook of Political Markerting,London, Sage Publications, 1999.

Sasono, Adi, et. Al, Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisise Dalam Orde Baru, Jakarta: CIDES, 1998

Schweiger, Gunter dan Michaela Adami, “The Nonverbal Image of Politicians and Political Parties”, dalam Bruce I Newman (eds), Handbook of Political Markerting, London, Sage Publications.

Soekamto, Soerjono dan Sri Mujdi, “Penelitian Hukum Normatif ; Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT Raja Grafindo 2006


(6)

100

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005).

Tanuwidjaja, Sunny, Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS; Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University Sumber: Harian Suara Pembaruan, 8 Juli 2009 Camat Serpong, Memori Serah Terima Jabatan Camat Serpong Tahun 2008

Ubaidillah (et.al), Pendidikan Kewarganegaraan : Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta, IAIN Press, 2000, Cet. 1.

Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia, Kampanye Negatif Dalam Pilkada, Edisi 11 Maret 2008

Undang-undang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Citra Umbara, Bandung

Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang Selatan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang Selatan Nomor 4 tahun 2011

Sumber Internet

http://www.tangselraya.com/component/content/article/47-home/1043-isu-dinasti-banten-dinilai-tak-relevan.html

http://www.tangerangnews.com

http://jptangsel.com/?p=323=news&id=5183

http://www.tangselraya.com/component/content/article/47-home/1043 http://www.law.fsu.edu/journals/lawreview/ frames/ 242/fergfram.html http://www.marimenatatangsel.com/berita/tangerang-selatan.html?start=15