Hitungan Untuk mendapatkan Koordinat UTM

TUGAS
Dosen Pengampu : Dr. Ir. T. Aris Sunantyo, M.Sc.
MATAKULIAH SISTEM PENENTUAN POSISI DAN NAVIGASI

DISKUSI KELOMPOK

OLEH :
NURHADI BASHIT
ANINDYA SRICANDRA PRASIDYA

MAGISTER TEKNIK GEOMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA, FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

TUGAS
Dosen Pengampu : Dr. Ir. T. Aris Sunantyo, M.Sc.
MATAKULIAH SISTEM PENENTUAN POSISI DAN NAVIGASI

DISKUSI KELOMPOK


Yogyakarta, 24 September 2014

Problem : Bagaimana konsep menentukan posisi 3D di atas bidang proyeksi UTM
jika dengan mengamati satelit GNSS?
Jawabannya:
Secara teoritik dengan kemajuan teknologi receiver yang mampu mengamati
sinyal GPS dan GLONASS secara bersamaan, sehingga geometri satelit yang
teramati menjadi lebih baik dan lebih kuat. Berdasarkan hasil penelitian, kombinasi
sistem satelit GPS dan GLONASS dapat meningkatkan ketelitian posisi sampai orde
milimeter pada baseline pendek dan orde centimeter pada baseline panjang.

1. Menghitung koordinat posisi satelit dari Broadcast Empemeris
Parameter ephemeris menggambarkan orbit selama interval tertentu waktu
(setidaknya satu jam). Parameter ephemeris adalah parameter untuk perpanjangan
dari model orbital diprediksi oleh Kepler. Parameter-parameter BE dapat digunakan
untuk memperoleh koordinat-koordinat satelit yang mengirimkan sinyal-sinyalnya
(atau kode yang kemudian dapat dikonversikan ke dalam pseudo-range) dapat
diketahui waktu demi waktu. Koordinat satelit diketahui dari informasi orbit
(broadcast ephemeris atau broadcast orbit) yang terkandung dalam pesan navigasi

(navigation message). Parameter BE yang disiarkan oleh satelit dan tersedia setelah
diterima oleh receiver penerima.

Cara perhitungan koordinat satelit (kartesi 3 dimensi) dari data
Broadcast Ephemeris (Rizos, 1997)
Konstanta
Konstanta gravitasi universal bumi
Kecepatan rerata rotasi bumi
Perhitungan anomaly sejati
Waktu sesudah epoch referensi
Rerata gerakan terkoreksi
Rerata anomaly pada
Penyelesaian iterative untuk Ek
Anomali sejati vk

µ = 3986001,5 x 108 m3/det
Ω = 7,2λ2115147 x 10-5 rad/sec
π = 3,1415λ26535κλκ





(

)

Argumen lintang
Argumen lintang
Koreksi
Argumen lintang terkoreksi
Radius orbit terkoreksi
Radius
Posisi pada orbit
Posisi pada orbit

Inklinasi Terkoreksi

Ascending node terkoreksi

Koordinat WGS84

Earth-fixed coordinates

Di mana :
∆n

: perbedaan dari anomali menengah = 4.389112813.10-9 rad/det

e

: eksentrisitas = 2.8019920.10-3

ω

= 2.420534936 rad

toe

: time of ephemeris, epoch referensi dari efemeris

a


: sumbu panjang ellipsoid

M0

: anomali rata-rata pada waktu referensi

i

: kecepatan perubahan dari inklinasi

Ω

: kecepatan perubahan dari right ascension

Cuc,Cs : koefisien koreksi argument of perigee
Crc ,Crs : koefisien koreksi jarak geosentrik
Cic ,Cis : koefisien koreksi inklinasi
2. Menyusun


persamaan

jarak

antara

satelit

ke

antenna

dengan

menggunakan beda waktu / beda fase
Komponen penginformasi jarak (kode), didalamnya terdapat dua kode PseudoRandom Noise (PRN) yang dikirim oleh satelit dan digunakan sebagai penginformasi
jarak, yaitu kode-P (P = Precise atau Private) dan kode-C/A (C/A = Coarse
Acuisition). Kode-P(Y) dengan frekuensi 10.23 Mhz dan kode-C/A dengan frekuensi
1.023 Mhz. Kode ini terdiri dari rangakaian bilangan biner (1 dan 0) yang
mempunyai struktur yang unik dan berbeda untuk setiap satelit GPS, sehingga

receiver GPS dapat mengamati dan membedakan sinyal-sinyal yang datang dari
satelit yang berbeda. Dengan mengamati kode-P(Y) atau kode-C/A jarak dari
pengamat ke satelit dapat ditentukan. Prinsip pengukuran jarak yang digunakan
adalah dengan membandingkan kode yang diterima dari satelit dengan kode replika
yang diformulasikan di dalam receiver.

Gambar 1. Prinsip penentuan jarak dengan kode (Abidin, 2000)

3. Menentukan persamaan jarak
Secara matematis metode persamaan jarak pseudorange dapat digunakan rumus :

Dengan :
c
: kecepatan gelombang di dalam medium hampa
dt
: beda waktu antara gelombang satelit GNSS saat dipancarkan dan saat
diterima
(u,v,w)i : posisi koordinat satelit GNSS (earth fix coordinates) dalam sistem kartesi
3D
(u,v,w)k : posisi koordinat receiver dalam sistem koordinat kartesi 3D

: jarak antara satelit GNSS ke receiver
PiK
Adapun penentuan rumus untuk mendapatkan jarak melalui data fase adalah sebagai
berikut (Abidin, 2000 dalam Suharno, 2008) :
Dengan :
Li

=λi.ϕi : adalah jarak fase (carrier range) pada frekuensi fi (m), (I = 1,2),

Ρ

= jarak geometris antara satelit GNSS dengan receiver



= kesalahan jarak karena efek ephemeris (orbit)

dtrop = bias karena efek refraksi troposfer (m)
dioni = bias karena efek refraksi ionosfer (m)
i.


= panjang gelombang dari sinyal (m)

dt, dT = kesalahan dan offset antara jam receiver dan jam satelit (m)
MCi = efek dari multipath pada hasil pengamatan Li
Ni

= ambigiutas fase dari pengamatan fase sinyal - sinyal Li (dalam gelombang)

rCi

= noise hasil pengamatan Li

4. Membuat persamaan normal dari ranging

Formulasi di atas menunjukkan formulasi penentuan jarak dalam ruang dengan titik
Xi, Yi dan Zi sebagai parameter. Jika koordinat pendekatan yang akan dicari
digunakan titik Xi0, Yi0 , dan Zi0 maka jarak dapat diformulasikan dengan:

Dengan demikian koordinat (fungsi f{Xi, Yi, dan Zi}) yang menjadi parameter dapat

dihitung dengan :
Xi = Xi0 + ΔXi
Yi = Yi0 + ΔYi
Zi = Zi0 + ΔZi
Fungsi f(Xi , Yi , Zi) kemudian digantikan oleh fungsi yang setara f(Xi0+ ΔXi
,Yi0+ΔYi ,Zi0+ΔZi ).
Suatu deret Taylor yang digunakan untuk menyusun matrik dari persamaan normal
sebagai berikut:

parameter f( ΔXi , ΔYi , ΔZi) akan terlihat dalam bentuk tidak linear. Secara parsial
diperoleh bentuk persamaan:

Dan komponen-komponen vektor unit yang ditunjuk dari satelit ke arah titik
pendekatan.

yang ekuivalensi dari f(Xi , Yi , Zi) dengan ρji(t) telah digunakan untuk sisi kiri.
Persamaan diatas sekarang menjadi linear dengan memperhatikan parameter ΔXi ,
ΔYi ,ΔZi.

5. Menyusun dimensi matrik dari persamaan normal

Vektor matriks :
L + V = A X atau
V=AX–L
Jika L = Vektor Observasi
A = Matriks Desain
X = Vektor Parameter
Sehinggan pembentukan persamaan normalnya adalah :
ATPAX = ATP
Dengan penyelesaian matriks adalah :
X = (ATPA)-1 ATPL

6. Menyusun matrik A, P, L
L

= Vektor Observasi

A

= Matriks Desain

X

= Vektor Parameter

P

= Matriks Bobot

7. Menyusun persamaan penyelesaian matriks dengan inversi
Matriks yang telah disusun dari persamaan normal dapat dilakukan penyelesain
matriks seperti berikut:
X = (ATPA)-1 ATPL
Keterangan:
L

= Vektor Observasi

A

= Matriks Desain

X

= Vektor Parameter

P

= Matriks Bobot

8. Melakukan transformasi dari PZ-90 ke WGS 84

Gambar 2. Transformasi datum dari Pz-90 ke WGS 84

Keterangan gambar:
P = 45o
φP = 50o
h = 500 m
P = titik di atas permukaan bumi
1. Elemen datum PZ-90

2. Elemen datum WGS 84

X1 = sumbu X pada datum PZ-90

X2 = sumbu X pada datum WGS 84

Y1 = sumbu Y pada datum PZ-90

Y2 = sumbu Y pada datum WGS 84

Z1 = sumbu Z pada datum PZ-90

Z2 = sumbu Z pada datum WGS 84

ω = rotasi terhadap sumbu X
θ = rotasi terhadap sumbu Y
= rotasi terhadap sumbu Z
dx = - 1,08 ± 0,21 m
dy = -0,27 ± 0,21 m

dz = -0,90 ± 0,33 m
ds = -0,12 ± 0,06 m
ω=0
θ=0
= -0,16” ± 0,01 “
Rumus umum untuk transformasi datum PZ-90 ke datum WGS 84:
[ ]

[

]

[

9. Melakukan transformasi dari geodetik ke kartesi 3D
X = (N+h) cos ϕ cos
Y = (N+h) cos ϕ sin
Z = [N (1-e2) + h] sin ϕ
Jika :

Arti notasi yang digunakan:
h = tinggi diatas ellipsoid (tinggi geometric)
N = jari-jari kelengkungan prime vertical
Φ = lintang geodetik
= bujur geodetik
a = setengah sumbu panjang ellipsoid
b = setengah sumbu pendek ellipsoid
e = eksentrisitas pertama

]

10. Melakukan transformasi dari kartesi 3D ke bidang proyeksi UTM
Ciri Sistem Proyeksi UTM :
1. Silinder, transversal, secant, konform
2. Memotong bola bumi di 2 meridian standard, k = 1
3. Lebar zone 6 °, sehingga bumi dibagi dalam 60 zone
4. meridian tengah tiap zone k=0,9996
5. Elipsoid referensi GRS 67
6. Absis semu ( T ) : 500.000 m ± X
7. Ordinat semu ( U ) : 10.000.000 m - Y

Wilayah Indonesia tercakup dalam zone no. 46 s.d. 54 dengan bujur meridian
tengahnya (B) sebagai berikut :
zone2

B0

46

930

47

990

48

1050

49

1110

50

1170

51

1230

52

1290

53

1350

54
1410
Keterangan :
1. 9 wilayah (zone) dimulai dari 90° BT
2. Sampai dengan 144° BT, dengan batas paralel 10° LU dan 15° LS dengan 4
satuan daerah L, M, N, dan P.
3. Setiap zone berukuran 6° bujur x 8° lintang.
4. Setiap Zone UTM ber-overlap 40 km, sehingga setiap titik yang berada di daerah
overlap mempunyai 2 harga koordinat.

5. Setiap jalur selebar 8° lintang diberi kode huruf, dimulai dari 80° LS - 72° LS
diberi huruf C dan berakhir dengan huruf X padajalur 72° LU dan 84° LU (huruf
I dan O tidak digunakan). Pada jalur terakhir tersebut ukuran zone 6° bujur x 12°
lintang.
Utara ekuator
U = (I) + (II). p2 + (III).p4 + (A6).p6
Selatan Ekuator
U = 10.000.000 – (I) + (II).p2 + (III).p4 + (A6).p6
T’ = (IV).p + (V).p3 + (B5).p5
P = 0,0001 x db titik tersebut
Timur dari Meredian Tengah : T = 500.000 + T’
Barat dari Meredian Tengah : T = 500.000 – T’
Hitungan Konvergensi :
Konvergensi grid yaitu sudut antara utara grid dan utasa sebenarnya (US) :
Kg = (XII).p + (XIII).p3 + (C5).p5
Ketentuan tanda :
a. Di belahan utara bumi
-

Bila titik di sebelah timur Meredian Tengah, Kg positif

-

Bila titik di sebelah barat Meredian Tengah, Kg negatif

b. Di sebelah selatan bumi
-

Bila titik di sebelah timur Meredian Tengah, Kg negatif

-

Bila titik di sebelah barat Meredian Tengah, Kg positif

Asimuth grid : Ag = A – Kg

Angka perbesaran (faktor skala) : Angka perbesaran adalah salah satu besaran
pengali untuk mendapatkan jarak di Grid dari Jarak di Ellipsoid.

di titik tersebut

Gambar 3. Konvergensi meridian pada proyeksi UTM
Rumus Konvergensi Meridian Menggunakan Koordinat Geodetis (φ, ) :
γ"

= (XIII) p + (XIII) p³ + (C5) p

p

= 0.001 x ∆ ”

∆ ”= i – Bo (tandanya selalu positif).

Daftar Pustaka

Sunantyo T.A., 2000, Diktat Pengentar Survei Pengamatan Satelit GPS, Jurusan
Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rizos C., 1997, Principles And Practice Of GPS Surveying, School of Geomatic
Engineering.