Eksistensi Harry Potter Alliance Sebagai
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Eksistensi Harry Potter Alliance Sebagai Bentuk Nyata Konsep Virtual Culture di Era
Teknologi Informasi
Yunia Damayanti (NIM. 071311233066)
Departemen Hubungan Internasional, FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Meningkatnya komunitas penggemar atau dikenal dengan istilah fanbase menjadi fenomena
yang menarik. Buku, film, atau serial televisi telah banyak menarik perhatian individu yang
mana dari individu-individu tersebut, terbentuklah suatu kelompok yang berdasarkan atas
kesamaan hobi dan kesukaan. Namun, fenomena yang unik adalah bahwa kelompok-kelompok
tersebut terbentuk karena diwadahi oleh dunia yang disebut dengan istilah dunia virtual. Harry
Potter Alliance, merupakan salah satu komunitas yang penulis bahas dalam tulisan ini.
Kehadiran Harry Potter Alliance yang berawal dari hanya sebuah fanbase para pencinta buku
dan film Harry Potter di dalam dunia virtual, berlanjut ke dalam sebuah interaksi nyata. Penulis
berargumen bahwa dunia virtual dapat menciptakan sebuah keadaan yang dinamakan sebagai
virtual culture atau budaya virtual. Menggunakan konsep dari berbagai penulis seperti Manuel
Castells, Paul C. Adams, David Silver, Christopher Kelty, dan Federico Mazzini beberapa
pandangan penulis lainnya, tulisan ini akan membahas bentuk budaya virtual di era masyarakat
teknologi dan informasi saat ini.
Kata-kata kunci: Harry Potter Alliance, budaya virtual, masyarakat informasi dan teknologi
Increasing of fan community also known as the fanbase become an interesting phenomenon.
Books, movies, or television series (tv series) has attracted the attention of many people such as
the individuals or the community based on similarity of hobbies and preferences. However, that
unique phenomenon and the existence of these groups are formed and facilitated by place called
virtual world. Harry Potter Alliance, is one of the communities that will be discussed in this
paper. The presence of the Harry Potter Alliance, which began as a fanbase of Harry Potter as a
book series or film series in the virtual world, and continues into a real world interaction. The
author argues that the virtual world can create what they called as virtual culture or virtual
1
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
culture. Using concepts from various authors such as Manuel Castells, Paul C. Adams, David
Silver, Christopher Kelty, and Federico Mazzini, this paper will discuss a form of virtual culture
in the era of technology and information society today.
Keywords: Harry Potter Alliance, virtual culture, information and technology society
2
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Abad ke-21 merupakan sebuah era yang mana teknologi dan informasi menjadi penting bagi
setiap aspek kehidupan masyarakat. Kemunculan komputer dan internet menjadi alasan utama
titik balik berubahnya pola komunikasi yang terjadi. Interaksi individu, kelompok, dan
masyarakat sudah berubah yang awalnya hanya dapat berkomunikasi secara bertatap muka,
mengirim surat, dan saling bertelepon, pada era sekarang semuanya dapat secara efektif
dimudahkan oleh internet. Internet dapat menghubungkan individu dari belahan dunia utara ke
belahan dunia selatan, atau dari barat ke timur dalam satu waktu, internet dapat secara tepat
waktu dan cepat dalam memberikan informasi yang berasal dari negara lain, dan berbagai hal
lainnya. Pun selain internet telah mengubah pola interaksi dan komunikasi masyarakat di dalam
tatanan dunia saat ini, tentu terdapat dampak yang mengiringinya. Munculnya istilah virtual
community, virtual culture, dan berbagai macam perbedaan istilah yang merujuk pada hal yang
sama telah memberikan gambaran bahwa suatu jaringan internet dalam prosesnya dapat
membentuk suatu kumpulan individu yang tergabung di dalamnya. Bergabungnya para individu
di dalam sebuah dunia virtual dan membentuk suatu komunitas bukan tanpa alasan, di balik itu
semua ada sebuah bentuk nilai dan kepentingan (Castells 2010, 386).
Kenyataan bahwa terbentuknya komunitas virtual di era teknologi informasi didasarkan oleh
kepentingan, nilai, dan tidak jauh pula dari kegemaran. Sebagai contoh kecil kemunculan
komunitas penggemar atau lebih dikenal sebagai fanbase atau fandom, yang mana komunitas
tersebut erat kaitannya dengan hal-hal seperti film, buku, komik, dan serial televisi. Banyak
sekali fanbase yang dapat diketahui, seperti Star Trek fandom, The X-Files fandom, Star Wars
fandom, Twilight fandom, The Mortal Instruments fandom, The Lord of The Rings fandom, dan
masih banyak lainnya. Tidak terkecuali Harry Potter Alliance (HPA) yang mana merupakan
bentuk komunitas yang dibangun berdasarkan kumpulan-kumpulan individu yang menyukai seri
buku dan film Harry Potter. HPA muncul sebagai sesuatu fanbase yang berbeda dan masif, serta
para penggemar yang berpartisipasi di dalamnya memiliki berbagai cara untuk mengekspresikan
keinginan dari kegemaran masing-masing (Burt 2016). HPA dianggap sebagai bentuk dari
internet fandom dan menjadi pertama yang terbesar di dunia, dan perkembangan komunitas
penggemar tersebut telah membentuk sebuah wadah yang nyata serta bukan hanya sekadar
komunitas virtual di dunia maya.
3
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Semakin efektifnya komunikasi berbasis internet dan dibantu pula dengan kemunculan platform
media sosial seperti Facebook, Twitter, Tumblr, Ask.fm, Instagram, dan sebagainya telah
memberikan dampak tersendiri bagi terbentuknya sebuah komunitas virtual. HPA muncul
sebagai fandom dari Harry Potter yang mana telah terbentuk dan tumbuh sebagai istilah yang
disebut sebagai online culture. Selain terbentuknya sebuah komunitas bernama HPA, budaya
Harry Potter itu sendiri banyak dalam berbagai bentuk, seperti halnya fanfictions, liga olahraga,
konferensi, dan bahkan sebuah band (Slack 2014 dalam Earl et al. 2014, 273). Pun tulisan ini
merupakan upaya sebagai bentuk pengkajian terhadap komunitas HPA yang muncul sebagai
bentuk dari virtual culture yang menjadi fenomena dalam era teknologi informasi. Selain itu pula
berkaitan dengan pergerakan virtual culture yang dapat berpengaruh pada dunia nyata atau real
world yang tentu merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji.
Perdebatan Konsep Virtual Community atau Virtual Culture, Real or Not Real?
Konsep virtual culture atau digital life pertama kali dibahas oleh Manuel Castells di dalam
bukunya yang berjudul The Rise of the Network Society. Premis yang menjadi pengantar
pembahasan virtual culture adalah bahwa internet merupakan kekuatan dari adanya computermediated communication (CMC), yang mana merupakan penghubung dari hampir seluruh
jaringan komputer. Berdasarkan data yang ada, pada tahun 1999 sebanyak 63 juta internet telah
terkoneksi dari komputer, 3.6 juta web sites telah terbentuk, dan telah digunakan oleh 179 juta
orang dari 200 negara (Castells 2010, 375). Jumlah tersebut tentu sudah meningkat hingga saat
ini. Melihat fakta tersebut, era internet yang muncul pada tahun 1995 sampai sekarang telah
membantu terbentuknya komunitas baru, yang dikenal dengan virtual communities. Castells
(2010, 386) mengutip pendapat dari Howard Rheingold mengenai virtual communities yang
mana berarti, ”bringing people together on-line” dan saling berbagi nilai dan minat masingmasing. Selain itu, virtual communities juga dimengerti sebagai self-defined di dalam jaringan
elektronik yang di dalamnya terdapat komunikasi interaktif yang terorganisir dan saling berbagi
kepentingan dan minat. Sejak tahun 1990-an, ribuan virtual communities telah terbentuk dan
kebanyakan berbasis di Amerika Serikat. Namun sekarang eksistensi virtual communities telah
mencapai
lingkup
global.
Dijelaskan
juga
bahwa,
virtual
communities
cenderung
terspesialisasikan dan beragam karena para individu yang tergabung di dalam komunitas
4
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
tersebut, bergabung atas kepentingan dan nilai-nilai yang sama, atau individu yang memiliki
kepentingan multidimensi.
Paul C. Adams (1997, 155-157) berpendapat bahwa terdapat tiga bentuk metafora dalam virtualplace yang mana terjadi pada dunia komputer: (1) positional metaphor, (2) ontological
metaphor, dan (3) metaphorical associations. Individu ketika sudah berada pada posisi, “I’m online,” dapat diindikasikan bahwa hal tersebut adalah positional metaphor atau seorang individu
sudah terkoneksi di dalam sebuah dunia virtual yang berbeda dengan dunia nyata. Selain itu pula,
terdapat istilah cyberspace yang merupakan bentuk dari ontological metaphor, yang berarti
bahwa sebuah jaringan dapat berfungsi sebagai ruang agar adanya kesempatan interaksi dan
pergerakan dari individu dengan lainnya. Lalu, istilah chat room yang mana terbentuk dari
metaphorical associations yang di dalamnya terdapat struktur berisi pengalaman-pengalaman
sosial yang terjadi antar masing-masing personal.
Berbagai macam metafora di atas membentuk suatu keadaan yang dibagi ke dalam tiga bentuk,
yaitu virtual architecture, the electronic frontier, dan cyberspace. Pembahasan mengenai virtual
culture lebih fokus ke dalam bentuk cyberspace. Hal tersebut dikarenakan cyberspace berbicara
mengenai wujud, yang mana interaksi menjadi sebuah sistem yang bebas dan dapat bermacam
bentuk (Adams 1997, 164). Pada kenyataannya terkadang pergerakan individu dan komunitas
akan lebih aktif di dalam sebuah cyberspace, karena di dalam dunia virtual mereka mendapatkan
sebuah identitas yang tidak didapatkan di dunia nyata. Maka dari itu penulis berpendapat bahwa
eksistensi HPA yang merupakan bentuk dari internet fandom yang terbentuk dari metaforametafora yang telah dijelaskan di atas yang bermuara pada sebuah ruang yang disebut
cyberspace. Hal tersebut karena pada awalnya adalah dari kumpulan individu-individu yang online, lalu menemukan sebuah komunitas yang mana sesuai dengan kepentingannya. Pendapat
Paul C. Adams tidak jauh berbeda dengan pendapat dari David Silver (2004, 57), bahwa virtual
culture merupakan representatif dari studi internet pada saat ini, karena menyangkut tentang
aspek budaya, sosial, dan politik pada cyberspace. Secara keseluruhan Silver memetakan
beberapa pendapat dari berbagai penulis, yang bermuara pada pendapat bahwa virtual culture
lebih bertujuan untuk mempersatukan daripada memisahkan. Hal tersebut dikarenakan bahwa
virtual culture mengabaikan isu-isu tradisional seperti ras, gender, dan seksualitas.
5
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Namun, pendapat berbeda diungkapkan oleh Christopher Kelty (2010, 7-8) yang mana
terbentuknya interaksi manusia oleh komputer tidak memberikan dampak perubahan apa-apa
terhadap sosial dan budaya. Selain itu, label seperti “digital life”, “the anthropology of the
virtual, atau “online sociality” semestinya dapat lebih diklarifikasi. Memang pada kenyataannya,
teknologi informasi yang mencakup interaksi antar manusia dengan menggunakan internet telah
membawa perubahan tersendiri terhadap aspek fundamental dari kehidupan manusia. Namun,
tetap saja hal tersebut tidak mengubah apapun. Disebutkan bahwa budaya yang mana merupakan
sebuah konsep dan fitur dari pemikiran manusia tidak dapat serta-merta menghilang dan dapat
digantikan. Selain itu, Christopher Kelty (2010, 11-12) juga berpendapat bahwa terdapat tiga
pergeseran terkait peran budaya di dalam cyberspace. Pertama, cyberspace telah membuat
pergeseran yang melibatkan adanya pembentukan fenomena baru dan bertujuan untuk
membentuk budaya baru. Kedua, di dalam analisis online sebuah kehidupan kultur jaringan atau
networked cultural seakan-akan terjadi perubahan karena tidak adanya lagi sekat antara ruang
dan waktu. Tetapi, yang berubah bukanlah tidak adanya lagi perbedaan ruang dan waktu,
melainkan sifat interaksi yang terjadi antar manusia. Ketiga, poin terakhir ini menyebutkan
bahwa pergerakan interaksi antar manusia yang terjadi di dalam cyberspace bukan merupakan
bentuk dari budaya baru, melainkan hanya termasuk ke dalam bentuk “social imaginaries.”
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Christopher Kelty, Federico Mazzini (2014, 193)
berpendapat bahwa konsep yang dikembangkan oleh Manuel Castells merupakan bentuk dari
idealisme. Hal tersebut dikarenakan aktivisme digital lebih terlihat karena adanya komersialisasi
dari jaringan itu sendiri. Ide dari digital culture atau virtual culture merupakan sebuah
permasalahan karena budaya yang berusaha dijabarkan adalah budaya Western, yang mana
Amerika Serikat sebagai kiblatnya. Sehingga, pendapat Mazzini mengarah kepada bahwa virtual
culture lebih merepresentasikan budaya dari Amerika Serikat, sehingga kelompok yang berada di
luar tersebut berusaha mencoba mencerminkan atau lebih kepada memaksakan budaya tersebut.
Selain itu pula, dampak berkembangnya teknologi informasi adalah geografis tidak lagi menjadi
masalah, justru menjadi masalah ketika cyberspace yang membentuk digital culture membatasi
pentingnya asal geografis sehubungan dengan penggunaan sumber daya. Hal tersebut berarti
bahwa digital culture cenderung mengagregasi budaya lokal yang ada. Maka dari itu, walaupun
6
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
interaksi dalam bentuk komunitas online telah diakui keberadaannya, implikasi adanya digital
culture masih perlu diidentifikasi kembali.
7
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Relasi Virtual Culture dengan Budaya Masyarakat Tradisional Era Teknologi Informasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu masing-masing memiliki latar belakang budaya
yang berbeda. Budaya merupakan aspek yang fundamentalis yang ada di dalam kehidupan
masyarakat, dan tentu keberadaannya menjadi suatu hal yang mendasari pola pikir, adat dan
istiadat masing-masing individu. Perbedaan budaya suatu daerah dengan daerah lain tentu
berbeda, maka dari itu banyak keanekaragaman budaya lokal yang ada di dunia. Namun yang
menjadi perdebatan sekarang ini adalah eksistensi internet yang membentuk cyberspace telah
menggeser budaya tradisional. Penulis berpendapat bahwa eksistensi internet bukanlah untuk
menggeser budaya tradisional yang sudah menjadi nilai fundamental masing-masing individu.
Budaya terbentuk karena adanya proses komunikasi, dan segala bentuk komunikasi berbasis dari
adanya tanda akan kebutuhan produksi dan konsumsi (Castells 2010, 401). Sehingga tidak ada
perbedaan yang signifikan antara representasi budaya“reality” dan “symbolic.” Dari pendapat
tersebut, penulis berargumen bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara virtual culture
yang terbentuk dari adanya ruang lingkup bernama cyberspace, dengan real culture. Perdebatan
yang terjadi hanyalah “virtual” yang merujuk pada hal-hal yang praktis atau hanya sebuah nama,
dan “real” merujuk pada suatu yang benar-benar eksis.
Adanya perdebatan antara nyata atau tidak nyata virtual culture merupakan bentuk manifestasi
masing-masing individu. Menurut penulis, virtual culture merupakan bentuk yang nyata di era
teknologi informasi ini. Hal tersebut karena internet dapat mengakomodasi kebutuhan individu
untuk berinteraksi satu sama lain walaupun berbeda tempat dan waktu. Sehingga komunikasi
yang terjalin menjadi nyata, hanya saja bentuk komunikasinya berbeda. Seperti halnya pada era
sebelum internet muncul, manusia berinteraksi hanya pada lingkup sekeliling rumah saja,
mendapat informasi hanya dari koran dan/atau televisi. Yang mana kedua hal tersebut merupakan
bentuk interaksi satu arah, individu memang menonton televisi dan membaca koran, tapi tidak
bisa berkomunikasi langsung untuk menyatakan aspirasinya. Maka dari itu, internet hadir
sebagai bentuk dari berkembangnya komunikasi yang ada di dalam aspek kehidupan manusia.
Karakteristik yang muncul di dalam sistem baru dari komunikasi ini adalah berbasis digital,
integrasi jaringan, yang mana membentuk inklusivitas dan ekspresi dari budaya itu sendiri
(Castells 2010, 405).
8
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Salah satu hal yang menonjol dalam adanya era sistem komunikasi yang baru adalah waktu
menjadi hal yang tidak dipersoalkan lagi atau timeless time. Masa lalu, saat ini, dan saat yang
akan mendatang dapat terprogram dengan berinteraksi satu sama lain dalam satu pesan yang
sama. Selain itu pula, ruang yang mana perbedaan budaya, sejarah, dan geografis menjadi hal
yang tidak dipertimbangkan lagi dalam berinteraksi via internet (Castells 2010, 406). Istilah the
space of flows dan timeless time menjadi dua fondasi utama dari budaya baru yang disebut
sebagai virtual culture. Penulis sependapat dengan pernyataan tersebut, bahwa internet
membawa masyarakat kepada era yang lebih mengutamakan keefektifan dalam berkomunikasi
dan berinteraksi. Munculnya platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya telah
mendorong interaksi antar manusia ke arah yang lebih terintegrasi. Permasalahan yang muncul
adalah bahwa virtual culture erat kaitannya dengan budaya Western dan bentuknya hanyalah
social imaginaries. Penulis berpendapat bukanlah permasalahan nyata atau tidak nyata yang
berusaha dijelaskan oleh Manuel Castells, namun yang berusaha dijelaskan adalah bahwa pada
era internet masing-masing individu sudah terhubung secara otomatis dengan cyberspace,
individu tersebut sudah menjadi salah satu bagian dari masyarakat virtual culture, terlepas dari
latar belakang budaya, ras, dan gender apapun. Sehingga, adanya virtual culture merupakan hal
yang otomatis terjadi di dalam cyberspace yang mana di dalamnya individu-individu secara online terhubung satu sama lain secara timeless time dan space of flows.
Selain itu, virtual culture juga merupakan budaya yang muncul dari penggunaan jaringan
komputer sebagai komunikasi, entertainment atau hiburan, dan bisnis. Selain itu, virtual culture
juga dapat disebut sebagai fenomena yang mana berhubungan dengan internet, baik dalam
bentuk jaringan komunikasi seperti komunitas online, online multi-player gaming, dan bahkan
pesan singkat (Jones 1997). Informasi menjadi kekuatan yang jika dikuasai, maka lingkungan
fisik tidak lagi menjadi faktor dominan dalam mata pencaharian masing-masing individu. Stacy
Horn (1998) menyebutkan bahwa abad ke-21 merupakan Web 2.0, yang berarti bahwa internet
telah berkembang menjadi lebih canggih dan beraneka ragam platform komunikasi. Sebut saja
contohnya Facebook dan berbagai macam platform yang telah disebutkan di atas. Relasi antara
virtual culture dan budaya masyarakat tradisional adalah terletak pada, ketika masyarakat
tersebut menggunakan media sosial seperti Facebook, maka pada saat itu pula mereka
9
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
menyediakan informasi bagi diri sendiri. Tidak heran jika melalui media sosial, orang akan
menemukan sekelompok atau komunitas yang sesuai dengan minat dan kepentingannya.
Elaborasi Kasus Konsep Virtual Culture dengan Harry Potter Alliance
Pembahasan mengenai virtual culture atau digital life dan/atau istilah lainnya yang telah penulis
sebutkan di atas dapat dicontohkan dalam kasus perkembangan online culture, yaitu Harry Potter
Alliance (HPA). Pembahasan mengenai HPA di awali dengan latar belakang terbentuknya
komunitas on-line berbasis fanbase tersebut, lalu dilanjutkan dengan eksistensi HPA yang
menjadi bentuk nyata dari istilah virtual culture dan relasinya dengan aktivitas-aktivitas
masyarakat dunia di era teknologi informasi saat ini. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa HPA
merupakan organisasi non-profit yang dibentuk oleh para penggemar seri buku dan film Harry
Potter. Terbentuk pada tahun 2005 di Amerika Serikat oleh Andrew Slack, tujuan awal HPA
adalah untuk menarik perhatian atas isu kekerasan terhadap hak asasi manusia di Sudan (Snyder
2007). Melalui situs yang berdomain www.thehpalliance.org, HPA memiliki visi yaitu, “A
creative and collaborative culture that solves the world’s problem.” Era teknologi informasi telah
menjadikan suatu hal yang kecil, bahkan tidak terpikir sebelumnya, menjadi suatu hal yang
berdampak besar bagi masyarakat. HPA hanya berawal dari kumpulan penggemar Harry Potter,
yang mana mereka terintegrasi berdasarkan kepentingan dan kemauan masing-masing. HPA terus
berkembang menjadi suatu organisasi non-profit yang berbasis online, dan memiliki beberapa
cabang atau chapters yang tersebar ke seluruh dunia, yaitu: (1) Oceania yang terdiri dari
Australia, dan Selandia Baru, (2) Asia yang terdiri dari India, Iran, Israel, Pakistan, Filipina,
Singapura, Vietnam, Korea Selatan, dan Thailand, (3) Eropa yang terdiri dari Belgia, Belanda,
Prancis, Jerman, Irlandia, Rusia, dan Britania Raya, (4) Afrika yang terdiri dari Burundi, Liberia,
Afrika Selatan, Uganda, dan (5) Amerika Selatan yang terdiri dari Argentina, Brasil, Cili,
Guyana, dan Uruguay (The Harry Potter Alliance 2015). Seperti halnya argumen yang dikatakan
oleh Manuel Castells bahwa sistem komunikasi baru yang muncul di era teknologi informasi
membuat ruang dan waktu bukan menjadi permasalahan. Tersebarnya beberapa cabang HPA
telah membuktikan bahwa lokasi geografis yang berbeda tidak membuat para penggemar dan
pihak yang ingin bergabung menjadi terhalang oleh aspek tersebut.
HPA menjadi sebuah komunitas fanbase yang berbasis seri buku terbesar yang pernah terbentuk
dalam cyberspace. Fokus utama dari komunitas ini adalah hak asasi manusia, pendidikan, amal
10
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
atau charity, dan gerakan melek huruf. Beberapa bantuan dan capaian yang telah diraih oleh HPA
adalah penggalangan dana untuk Partners In Health dan berhasil meraih 123.000 dolar AS, yang
mana uang tersebut digunakan untuk menyewa lima pesawat pengantar kebutuhan bagi korban di
Haiti. Lalu, mendonasi 250,000 buku ke seluruh dunia dengan program HPA’s Accio Books, dan
masih banyak pencapaian yang diraih oleh HPA ini. Karena berbasis amal, organisasi HPA ini
mendapatkan pendanaan dari pendonor di seluruh dunia. Pada tahun 2012, program
penggalangan dana yang diberi nama Equality for the Win atau Equality FTW telah mendapatkan
uang sebesar 94.803 dolar AS, dari jumlah 2.289 pendonor dana (Indiegogo 2013). HPA menjadi
organisasi non-profit salah satunya karena J.K. Rowling yang mana penulis Harry Potter pernah
bekerja di Amnesti Internasional. Pendiri HPA terinspirasi dari nilai-nilai yang diajarkan oleh
cerita Harry Potter. Sehingga, HPA muncul sebagai fanbase dari Harry Potter dan pertama kali
dikenal di dalam cyberspace telah memberikan dampak yang cukup signifikan di dalam
masyarakat.
Media sosial secara signifikan telah menggeser kebutuhan individu, yang mana sebelumnya
segala informasi milik bersama, maka saat ini informasi menjadi milik pribadi. Masing-masing
individu mengakses dan mencari informasi untuk dirinya sendiri, dan pada saat itu pula otomatis
mereka masuk ke dalam virtual culture yang mengutamakan kebutuhan dan kepentingan masingmasing. Lisa Galarneau (2011) mengungkapkan sepuluh cara bagaimana media sosial telah
mengubah dunia sebagai berikut: (1) challenging status quo, yang berarti bahwa sebelum adanya
internet dan media sosial, sulit mendapatkan informasi secara real time dari negara dan bahkan
benua lain. Media sosial membentuk suatu tantangan terhadap status quo, dapat menghubungkan
antar satu sama lain, dan self-organizing menjadi isu yang penting, (2) changed by exposure to
diversity, yang mana media sosial telah membentuk suatu perilaku saling berbagi sukacita, cerita
tentang latar belakang masing-masing. Hal tersebut membuat individu merasa terkoneksi, dan
keberagaman kehidupan yang terekspos pun tidak menjadi masalah dikarenakan mereka secara
suka rela membaginya, (3) support is now visible, ketika membuka situs seperti Digg dan Reddit
maka terdapat masing-masing individu saling mendukung apa yang menjadi kesukaan mereka,
(4) learn more from each other, terlihat jelas bahwa media sosial dapat membantu individu dalam
hal apapun, mulai dari pendidikan formal, cara memasak, tata rias, dan banyak hal lainnya, (5)
crowd sourced wisdom, di dalam media sosial setiap orang berhak untuk berbagi pengetahuan,
11
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
kearifan, dan pengalaman. Hal tersebut dikarenakan media sosial telah membentuk suatu budaya
yang mana setiap individu berhak menerima dan membagi informasi secara bebas, (6) creativity
and inspiration is unleashed, jika sebelumnya setiap orang berhak untuk berbagi pengetahuan,
media sosial juga tempat setiap orang berhak berbagi kreativitas dan inspirasinya, (7) increased
appreciation of the unique and handmade, masih terdapat korelasi antara poin 5,6, dan 7 karena
poin tersebut bermuara pada meningkatnya apresiasi antar individu, yang mana berawal dari
saling berbagi tadi, (8) truth is exposed, penggunaan media sosial dapat berfungsi sebagai
pencari dukungan, karena media sosial menjadi alat yang penting untuk menggalang kekuatan
dari berbagai pihak, (9) we are more authentic, para individu di media sosial berusaha untuk
meminimalkan fenomena yang disebut sebagai junk information, dan mencoba meluruskan
falsifikasi informasi yang beredar, dan (10) anyone can contribute, pada poin terakhir ini
merupakan cara paling dasar bergabung di dalam media sosial. Tidak peduli ras, gender, agama,
latar belakang kehidupan, setiap individu dapat terhubung langsung di dalam media sosial.
Sepuluh poin cara media sosial mengubah kehidupan individu tersebut memang tidak mutlak,
hanya saja menurut penulis poin-poin tersebut secara umum memang mencirikan bahwa
kehidupan media sosial telah sedikit banyak mengubah pola pikir dan perbuatan masing-masing
individu. Media sosial dapat dianggap sebagai virtual culture, karena keberadaannya sebagai
fenomena yang berhubungan dengan internet dan dapat membentuk suatu komunitas tertentu.
Internet tidak dapat dipungkiri dapat menjadi suatu wadah untuk menemukan jati diri masingmasing individu. Tidak sedikit individu yang di dunia nyata tidak memiliki kesempatan untuk
berbicara, atau sekadar menyampaikan idenya karena takut ketika orang lain menganggap idenya
terlalu naif dan dangkal. HPA juga dibentuk untuk mewadahi kondisi seperti itu, ketika
nerdfighters dianggap seorang yang aneh di lingkungannya karena selalu berperilaku dan
terkadang berbicara sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari setelah membaca buku dan
menonton Harry Potter. Maka, HPA hadir sebagai tempat mereka untuk bersosialisasi dan
menemukan passion mereka untuk meluapkan segala ide, kreativitas, dan pengalaman.
Eksistensi HPA yang tadinya hanya merupakan sebuah komunitas para penggemar Harry Potter
yang mewadahi segala aktivitas humanisme, menjadi organisasi non-negara (NGO) merupakan
pencapaian yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Penulis berargumen bahwa fenomena
virtual culture tidak hanya sebatas aktivitas yang ada di dunia maya, virtual culture dapat
12
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
terealisasikan di dunia nyata. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan esensi dari kata
“virtual” itu sendiri, namun dapat dilihat bahwa aspek-aspek yang terdapat dalam cyberspace
secara otomatis membentuk suatu budaya, yang telah disebutkan sebagai virtual culture.
Segala aktivitas humanisme yang dilakukan oleh HPA adalah berdasarkan dari organisasi
aktivitas “Dumbledore’s Army,” yang mana di dalam buku Harry Potter merupakan organisasi
yang dibentuk oleh para murid Hogwarts yang bertujuan untuk melawan kejahatan pasukan Lord
Voldemort. Budaya yang dibawa oleh HPA tidak hanya virtual culture yang merupakan asal mula
dibentuknya komunitas tersebut. Namun, HPA menjadi salah satu contoh organisasi Parcipatory
Culture Civics (PCC), yang mana menjembatani antara budaya dan partisipasi politik (Jenkins
2006). Pada awal HPA terbentuk memang secara eksklusif bagi penggemar Harry Potter saja,
namun setelah berkembangnya organisasi ini, yang bergabung dalam HPA tidak mengkhususkan
hanya sebatas penggemar Harry Potter saja. Namun, anggota-anggotanya adalah individu yang
memiliki kepentingan untuk membantu sesama melawan ketidakadilan. Penulis membahas HPA
sebagai salah satu bentuk dari konsep virtual culture dikarenakan bahwa HPA merupakan
komunitas yang terbuka, dan berdasarkan partisipasi jaringan internet. Para penggemar diundang
untuk berpartisipasi secara online sebagai pegawai sukarela (Connected Learning Alliance 2016).
Tidak ada batasan yang menyulitkan para anggota baru untuk bergabung, para partisipan akan
dengan mudah untuk bergabung dan melaksanakan tanggung jawab. Aktivitas yang dilakukan
oleh HPA adalah kampanye dan diskusi secara online, dan semuanya telah terkoordinasi dengan
baik karena setiap anggota memiliki perannya masing-masing. Salah satu syarat menjadi anggota
HPA adalah aktif secara online, dan minimal memiliki akun Facebook. Media sosial menjadi
wadah penting untuk menggerakkan organisasi HPA ini, seperti Facebook, Tumblr, Twitter, dan
YouTube untuk mengunggah vlog atau video blog. Ketika HPA mengadakan sebuah acara seperti
contohnya LeakyCon, HPA menggunakan platform LiveStream untuk menayangkan acara
mereka.
HPA selain sebagai komunitas online juga sebagai organisasi non-profit yang sudah memiliki
chapters hampir di seluruh dunia memiliki beberapa kunci dalam menjalankan organisasinya,
yaitu: (1) distributed action, selain para anggota online, HPA juga memiliki sekitar 90 cabang
offline di seluruh dunia. Salah satu aktivitas tahunan adalah ketika menyambut rilisnya film
Harry Potter, yang mana setiap chapters HPA di seluruh dunia juga ikut menyambutnya, (2)
13
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
know your cultural terrain, yaitu prinsip yang dipegang oleh HPA bahwa, “meet people where
they’re at, not where you want them to be.” Penggemar Harry Potter yang tersebar di seluruh
dunia tentu memiliki latar belakang budaya, sosial, politik, dan bahasa yang berbeda. Namun,
HPA menjadi wadah bagi para nerds untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi, (3) think
narratively, yang dibagi atas tiga level, yaitu personal, kolektif, dan mitological. Maksudnya
adalah bahwa di dalam berinteraksi, anggota yang tergabung dalam HPA dapat mengorganisir
masing-masing cerita yang dapat dibagi dengan anggota lain, dan (4) create online-offline
synergy, bahwa terkadang individu di dalam dunia online sangat berbeda jauh ketika mereka
berada di dalam dunia nyata. Maka dari itu, HPA membantu agar para anggotanya menjadi lebih
percaya diri, agar peran mereka ketika online dan ketika offline tidak jauh berbeda (Slack 2005).
Kesimpulan
Pembahasan mengenai virtual culture memang tidak dapat terlepas dari konsep yang dijelaskan
oleh Manuel Castells. Penulis berpendapat bahwa virtual culture merupakan salah satu fenomena
yang otomatis terjadi di dalam cyberspace. Sejak internet pertama kali digunakan pada tahun
1990-an, dapat dikatakan bahwa budaya masyarakat dunia bergeser. Kebutuhan yang dicari
bukanlah kebutuhan fisik saja, namun kebutuhan akan informasi lebih penting pada era
berkembangnya internet. Komunikasi dan interaksi antar sesama tidak perlu lagi secara face-toface, namun dapat dilakukan dengan tidak memikirkan letak geografis dan waktu. Berkirim surat
elektronik dan mengirim pesan singkat merupakan salah satu bentuk dari berkembangnya era
teknologi informasi. Seiring berkembangnya era tersebut, tentu masyarakat sekarang ini tidak
asing dengan istilah media sosial atau social media, seperti halnya Facebook, Twitter, YouTube,
Tumblr, Instagram, dan lainnya. Media sosial menjadi aspek yang penting dalam terbentuknya
virtual culture, hal tersebut dikarenakan dengan menggunakan media sosial ini, individu akan
mudah menemukan komunitas yang sesuai dengan kepentingan dan minatnya. Seperti yang
sudah dijelaskan bahwa di era teknologi informasi membuat informasi sebagai hal yang penting
dan dikonsumsi sendiri oleh masing-masing individu.
Pada kasus komunitas Harry Potter Alliance (HPA) yang selain itu pula menjadi organisasi nonprofit yang bergerak dalam bidang humanitarian, penulis menganggap bahwa HPA merupakan
representasi yang sesuai dengan konsep virtual culture yang telah dibahas sebelumnya. Hal
tersebut dikarenakan, aktivitas yang dilakukan oleh komunitas HPA berawal dari cyberspace.
14
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Interaksi yang berawal dari kesamaan minat dan kegemaran, berlanjut ke tahap di mana individu
bergabung di dalam suatu komunitas. Salah satu ciri dari virtual culture adalah bahwa jika sudah
bergabung atau online, latar belakang kehidupan, gender, ras, dan agama tidak menjadi hal yang
penting. Yang terpenting adalah ketika individu sudah tergabung dalam internet atau online,
berarti otomatis sudah menjadi bagian dari cyberspace. Penulis tidak sependapat apabila
dikatakan bahwa virtual culture adalah imajinasi sosial atau social imaginaries, atau dapat
dikatakan virtual culture hanyalah mitos. Penulis berpendapat bahwa virtual culture merupakan
hal yang nyata, karena hampir seluruh lapisan masyarakat saat ini sudah terkoneksi dengan
jaringan internet. Memang level koneksi pada jaringan internet masing-masing berbeda, namun
tetap saja bahwa kita sebagai masyarakat sudah merasakan dampak adanya virtual culture. HPA
membuktikan bahwa komunitas yang awalnya merupakan komunitas online, dapat langsung
berpartisipasi di dalam kehidupan masyarakat secara nyata. Selain itu pula, pendapat mengenai
bahwa virtual culture hanya berbentuk budaya Western. Penulis tidak setuju karena virtual
culture bagi penulis tidak ada sangkut pautnya dengan menghilangnya rasa kebudayaan
tradisional. Budaya tradisional tidak dengan mudah diganti atau dihapus, namun penulis
beranggapan budaya tradisional hanya dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman yang
sedang berlangsung. HPA sendiri tidak mempermasalahkan latar belakang ras para anggotanya,
justru mereka melawan segala bentuk inequality yang dialami oleh masyarakat sekitar.
Jumlah kata: 4.101
15
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Daftar Pustaka
Buku
Castells, Manuel. 1996. The Rise of the Network Society: A Cross-cultural Perspective. Oxford:
Blackwell Publisher.
____________. 1996. “The Culture of Real Virtuality: the Integration of Electronic
Communication, the End of the Mass Audience, and the Rise of Interactive Networks,”
dalam The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell Publisher, hal 327-375.
Earl, Esther, et.al., 2014. This Star Won’t Go Out. USA: Penguin Books.
Horn, Stacy. 1998. Cyberville: Clicks, Culture, and the Creation of an Online Town. New York:
Warner Books.
Jones, Steven. 1997. Virtual Culture: Identity and Comunnication in Cybersociety. London: Sage
Publications.
Artikel Jurnal/Jurnal Online
Adams, Paul C. 1997. “Cyberspace And Virtual Places,” dalam Geographical Review. Research
Library, hal. 155.
Jenkins, Henry. 2006. “Cultural acupuncture: Fan activism and the Harry Potter Alliance” dalam
Transformative
Works
and
Cultures.
Vol.
10.
[online]
dalam
http://journal.transformativeworks.org/index.php/twc/article/view/305/259 [diakses pada
25 Desember 2016]
Kelty, Christopher. 2010. “Introduction: Culture In, Culture Out,” dalam Anthropological
Perspectives on Knowledge in the Digital Age. Los Angeles: University of California.
Mazzini, Federico. 2014. “Cyber-Cultural History: Some Initial Steps toward a Cultural History
of Digital Networking,” dalam Humanities, vol. 3, hal. 185-209.
Silver, David. 2004. “Internet Cyberculture, Digital Culture, New Media, Fill in the Blank
Studies”, dalam New Media & Society, Vol.6 (1), hal. 55-64. SAGE Publications.
16
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Artikel Online
Burt, Kaytl. 2016. “How Harry Potter Shaped Modern Internet Fandom” [online]. dalam
http://www.denofgeek.com/us/books-comics/harry-potter/260201/how-harry-pottershaped-modern-internet-fandom [diakses 12 Desember 2016]
Galarneau, Lisa. 2011. “10 Ways Social Media is Transforming Our World” [online]. dalam
http://www.jeffbullas.com/2012/02/06/10-ways-social-media-is-transforming-our-world/
[diakses pada 24 Desember 2016]
Slack,
Andrew.
2005.
“Case
Study:
Harry
Potter
Alliance”
[online].
dalam
http://beautifultrouble.org/case/harry-potter-alliance/ [diakses pada 25 Desember 2016]
Snyder,
Chris.
2007.
“Harry
Potter
as
a
political
force”
[online].
http://www.politico.com/story/2007/07/harry-potter-as-a-political-force-005039
dalam
[diakses
pada 24 Desember 2016]
The
Harry
Potter
Alliance.
2016.
“Chapters”
[online].
dalam
http://www.thehpalliance.org/chapters [diakses pada 24 Desember 2016]
Media Massa Online
Connected Learning Alliance. 2016. “The Harry Potter Alliance: Connecting Fan Interest and
Civic Action” [online] dalam http://clalliance.org/resources/the-harry-potter-allianceconnecting-fan-interests-and-civic-action/ [diakses pada 25 Desember 2016]
Indiegogo.
2013.
“Equality
FTW
2013”
[online]
dalam
https://www.indiegogo.com/projects/equality-ftw-2013#/ [diakses pada 24 Desember 2016]
17
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Eksistensi Harry Potter Alliance Sebagai Bentuk Nyata Konsep Virtual Culture di Era
Teknologi Informasi
Yunia Damayanti (NIM. 071311233066)
Departemen Hubungan Internasional, FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Meningkatnya komunitas penggemar atau dikenal dengan istilah fanbase menjadi fenomena
yang menarik. Buku, film, atau serial televisi telah banyak menarik perhatian individu yang
mana dari individu-individu tersebut, terbentuklah suatu kelompok yang berdasarkan atas
kesamaan hobi dan kesukaan. Namun, fenomena yang unik adalah bahwa kelompok-kelompok
tersebut terbentuk karena diwadahi oleh dunia yang disebut dengan istilah dunia virtual. Harry
Potter Alliance, merupakan salah satu komunitas yang penulis bahas dalam tulisan ini.
Kehadiran Harry Potter Alliance yang berawal dari hanya sebuah fanbase para pencinta buku
dan film Harry Potter di dalam dunia virtual, berlanjut ke dalam sebuah interaksi nyata. Penulis
berargumen bahwa dunia virtual dapat menciptakan sebuah keadaan yang dinamakan sebagai
virtual culture atau budaya virtual. Menggunakan konsep dari berbagai penulis seperti Manuel
Castells, Paul C. Adams, David Silver, Christopher Kelty, dan Federico Mazzini beberapa
pandangan penulis lainnya, tulisan ini akan membahas bentuk budaya virtual di era masyarakat
teknologi dan informasi saat ini.
Kata-kata kunci: Harry Potter Alliance, budaya virtual, masyarakat informasi dan teknologi
Increasing of fan community also known as the fanbase become an interesting phenomenon.
Books, movies, or television series (tv series) has attracted the attention of many people such as
the individuals or the community based on similarity of hobbies and preferences. However, that
unique phenomenon and the existence of these groups are formed and facilitated by place called
virtual world. Harry Potter Alliance, is one of the communities that will be discussed in this
paper. The presence of the Harry Potter Alliance, which began as a fanbase of Harry Potter as a
book series or film series in the virtual world, and continues into a real world interaction. The
author argues that the virtual world can create what they called as virtual culture or virtual
1
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
culture. Using concepts from various authors such as Manuel Castells, Paul C. Adams, David
Silver, Christopher Kelty, and Federico Mazzini, this paper will discuss a form of virtual culture
in the era of technology and information society today.
Keywords: Harry Potter Alliance, virtual culture, information and technology society
2
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Abad ke-21 merupakan sebuah era yang mana teknologi dan informasi menjadi penting bagi
setiap aspek kehidupan masyarakat. Kemunculan komputer dan internet menjadi alasan utama
titik balik berubahnya pola komunikasi yang terjadi. Interaksi individu, kelompok, dan
masyarakat sudah berubah yang awalnya hanya dapat berkomunikasi secara bertatap muka,
mengirim surat, dan saling bertelepon, pada era sekarang semuanya dapat secara efektif
dimudahkan oleh internet. Internet dapat menghubungkan individu dari belahan dunia utara ke
belahan dunia selatan, atau dari barat ke timur dalam satu waktu, internet dapat secara tepat
waktu dan cepat dalam memberikan informasi yang berasal dari negara lain, dan berbagai hal
lainnya. Pun selain internet telah mengubah pola interaksi dan komunikasi masyarakat di dalam
tatanan dunia saat ini, tentu terdapat dampak yang mengiringinya. Munculnya istilah virtual
community, virtual culture, dan berbagai macam perbedaan istilah yang merujuk pada hal yang
sama telah memberikan gambaran bahwa suatu jaringan internet dalam prosesnya dapat
membentuk suatu kumpulan individu yang tergabung di dalamnya. Bergabungnya para individu
di dalam sebuah dunia virtual dan membentuk suatu komunitas bukan tanpa alasan, di balik itu
semua ada sebuah bentuk nilai dan kepentingan (Castells 2010, 386).
Kenyataan bahwa terbentuknya komunitas virtual di era teknologi informasi didasarkan oleh
kepentingan, nilai, dan tidak jauh pula dari kegemaran. Sebagai contoh kecil kemunculan
komunitas penggemar atau lebih dikenal sebagai fanbase atau fandom, yang mana komunitas
tersebut erat kaitannya dengan hal-hal seperti film, buku, komik, dan serial televisi. Banyak
sekali fanbase yang dapat diketahui, seperti Star Trek fandom, The X-Files fandom, Star Wars
fandom, Twilight fandom, The Mortal Instruments fandom, The Lord of The Rings fandom, dan
masih banyak lainnya. Tidak terkecuali Harry Potter Alliance (HPA) yang mana merupakan
bentuk komunitas yang dibangun berdasarkan kumpulan-kumpulan individu yang menyukai seri
buku dan film Harry Potter. HPA muncul sebagai sesuatu fanbase yang berbeda dan masif, serta
para penggemar yang berpartisipasi di dalamnya memiliki berbagai cara untuk mengekspresikan
keinginan dari kegemaran masing-masing (Burt 2016). HPA dianggap sebagai bentuk dari
internet fandom dan menjadi pertama yang terbesar di dunia, dan perkembangan komunitas
penggemar tersebut telah membentuk sebuah wadah yang nyata serta bukan hanya sekadar
komunitas virtual di dunia maya.
3
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Semakin efektifnya komunikasi berbasis internet dan dibantu pula dengan kemunculan platform
media sosial seperti Facebook, Twitter, Tumblr, Ask.fm, Instagram, dan sebagainya telah
memberikan dampak tersendiri bagi terbentuknya sebuah komunitas virtual. HPA muncul
sebagai fandom dari Harry Potter yang mana telah terbentuk dan tumbuh sebagai istilah yang
disebut sebagai online culture. Selain terbentuknya sebuah komunitas bernama HPA, budaya
Harry Potter itu sendiri banyak dalam berbagai bentuk, seperti halnya fanfictions, liga olahraga,
konferensi, dan bahkan sebuah band (Slack 2014 dalam Earl et al. 2014, 273). Pun tulisan ini
merupakan upaya sebagai bentuk pengkajian terhadap komunitas HPA yang muncul sebagai
bentuk dari virtual culture yang menjadi fenomena dalam era teknologi informasi. Selain itu pula
berkaitan dengan pergerakan virtual culture yang dapat berpengaruh pada dunia nyata atau real
world yang tentu merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji.
Perdebatan Konsep Virtual Community atau Virtual Culture, Real or Not Real?
Konsep virtual culture atau digital life pertama kali dibahas oleh Manuel Castells di dalam
bukunya yang berjudul The Rise of the Network Society. Premis yang menjadi pengantar
pembahasan virtual culture adalah bahwa internet merupakan kekuatan dari adanya computermediated communication (CMC), yang mana merupakan penghubung dari hampir seluruh
jaringan komputer. Berdasarkan data yang ada, pada tahun 1999 sebanyak 63 juta internet telah
terkoneksi dari komputer, 3.6 juta web sites telah terbentuk, dan telah digunakan oleh 179 juta
orang dari 200 negara (Castells 2010, 375). Jumlah tersebut tentu sudah meningkat hingga saat
ini. Melihat fakta tersebut, era internet yang muncul pada tahun 1995 sampai sekarang telah
membantu terbentuknya komunitas baru, yang dikenal dengan virtual communities. Castells
(2010, 386) mengutip pendapat dari Howard Rheingold mengenai virtual communities yang
mana berarti, ”bringing people together on-line” dan saling berbagi nilai dan minat masingmasing. Selain itu, virtual communities juga dimengerti sebagai self-defined di dalam jaringan
elektronik yang di dalamnya terdapat komunikasi interaktif yang terorganisir dan saling berbagi
kepentingan dan minat. Sejak tahun 1990-an, ribuan virtual communities telah terbentuk dan
kebanyakan berbasis di Amerika Serikat. Namun sekarang eksistensi virtual communities telah
mencapai
lingkup
global.
Dijelaskan
juga
bahwa,
virtual
communities
cenderung
terspesialisasikan dan beragam karena para individu yang tergabung di dalam komunitas
4
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
tersebut, bergabung atas kepentingan dan nilai-nilai yang sama, atau individu yang memiliki
kepentingan multidimensi.
Paul C. Adams (1997, 155-157) berpendapat bahwa terdapat tiga bentuk metafora dalam virtualplace yang mana terjadi pada dunia komputer: (1) positional metaphor, (2) ontological
metaphor, dan (3) metaphorical associations. Individu ketika sudah berada pada posisi, “I’m online,” dapat diindikasikan bahwa hal tersebut adalah positional metaphor atau seorang individu
sudah terkoneksi di dalam sebuah dunia virtual yang berbeda dengan dunia nyata. Selain itu pula,
terdapat istilah cyberspace yang merupakan bentuk dari ontological metaphor, yang berarti
bahwa sebuah jaringan dapat berfungsi sebagai ruang agar adanya kesempatan interaksi dan
pergerakan dari individu dengan lainnya. Lalu, istilah chat room yang mana terbentuk dari
metaphorical associations yang di dalamnya terdapat struktur berisi pengalaman-pengalaman
sosial yang terjadi antar masing-masing personal.
Berbagai macam metafora di atas membentuk suatu keadaan yang dibagi ke dalam tiga bentuk,
yaitu virtual architecture, the electronic frontier, dan cyberspace. Pembahasan mengenai virtual
culture lebih fokus ke dalam bentuk cyberspace. Hal tersebut dikarenakan cyberspace berbicara
mengenai wujud, yang mana interaksi menjadi sebuah sistem yang bebas dan dapat bermacam
bentuk (Adams 1997, 164). Pada kenyataannya terkadang pergerakan individu dan komunitas
akan lebih aktif di dalam sebuah cyberspace, karena di dalam dunia virtual mereka mendapatkan
sebuah identitas yang tidak didapatkan di dunia nyata. Maka dari itu penulis berpendapat bahwa
eksistensi HPA yang merupakan bentuk dari internet fandom yang terbentuk dari metaforametafora yang telah dijelaskan di atas yang bermuara pada sebuah ruang yang disebut
cyberspace. Hal tersebut karena pada awalnya adalah dari kumpulan individu-individu yang online, lalu menemukan sebuah komunitas yang mana sesuai dengan kepentingannya. Pendapat
Paul C. Adams tidak jauh berbeda dengan pendapat dari David Silver (2004, 57), bahwa virtual
culture merupakan representatif dari studi internet pada saat ini, karena menyangkut tentang
aspek budaya, sosial, dan politik pada cyberspace. Secara keseluruhan Silver memetakan
beberapa pendapat dari berbagai penulis, yang bermuara pada pendapat bahwa virtual culture
lebih bertujuan untuk mempersatukan daripada memisahkan. Hal tersebut dikarenakan bahwa
virtual culture mengabaikan isu-isu tradisional seperti ras, gender, dan seksualitas.
5
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Namun, pendapat berbeda diungkapkan oleh Christopher Kelty (2010, 7-8) yang mana
terbentuknya interaksi manusia oleh komputer tidak memberikan dampak perubahan apa-apa
terhadap sosial dan budaya. Selain itu, label seperti “digital life”, “the anthropology of the
virtual, atau “online sociality” semestinya dapat lebih diklarifikasi. Memang pada kenyataannya,
teknologi informasi yang mencakup interaksi antar manusia dengan menggunakan internet telah
membawa perubahan tersendiri terhadap aspek fundamental dari kehidupan manusia. Namun,
tetap saja hal tersebut tidak mengubah apapun. Disebutkan bahwa budaya yang mana merupakan
sebuah konsep dan fitur dari pemikiran manusia tidak dapat serta-merta menghilang dan dapat
digantikan. Selain itu, Christopher Kelty (2010, 11-12) juga berpendapat bahwa terdapat tiga
pergeseran terkait peran budaya di dalam cyberspace. Pertama, cyberspace telah membuat
pergeseran yang melibatkan adanya pembentukan fenomena baru dan bertujuan untuk
membentuk budaya baru. Kedua, di dalam analisis online sebuah kehidupan kultur jaringan atau
networked cultural seakan-akan terjadi perubahan karena tidak adanya lagi sekat antara ruang
dan waktu. Tetapi, yang berubah bukanlah tidak adanya lagi perbedaan ruang dan waktu,
melainkan sifat interaksi yang terjadi antar manusia. Ketiga, poin terakhir ini menyebutkan
bahwa pergerakan interaksi antar manusia yang terjadi di dalam cyberspace bukan merupakan
bentuk dari budaya baru, melainkan hanya termasuk ke dalam bentuk “social imaginaries.”
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Christopher Kelty, Federico Mazzini (2014, 193)
berpendapat bahwa konsep yang dikembangkan oleh Manuel Castells merupakan bentuk dari
idealisme. Hal tersebut dikarenakan aktivisme digital lebih terlihat karena adanya komersialisasi
dari jaringan itu sendiri. Ide dari digital culture atau virtual culture merupakan sebuah
permasalahan karena budaya yang berusaha dijabarkan adalah budaya Western, yang mana
Amerika Serikat sebagai kiblatnya. Sehingga, pendapat Mazzini mengarah kepada bahwa virtual
culture lebih merepresentasikan budaya dari Amerika Serikat, sehingga kelompok yang berada di
luar tersebut berusaha mencoba mencerminkan atau lebih kepada memaksakan budaya tersebut.
Selain itu pula, dampak berkembangnya teknologi informasi adalah geografis tidak lagi menjadi
masalah, justru menjadi masalah ketika cyberspace yang membentuk digital culture membatasi
pentingnya asal geografis sehubungan dengan penggunaan sumber daya. Hal tersebut berarti
bahwa digital culture cenderung mengagregasi budaya lokal yang ada. Maka dari itu, walaupun
6
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
interaksi dalam bentuk komunitas online telah diakui keberadaannya, implikasi adanya digital
culture masih perlu diidentifikasi kembali.
7
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Relasi Virtual Culture dengan Budaya Masyarakat Tradisional Era Teknologi Informasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu masing-masing memiliki latar belakang budaya
yang berbeda. Budaya merupakan aspek yang fundamentalis yang ada di dalam kehidupan
masyarakat, dan tentu keberadaannya menjadi suatu hal yang mendasari pola pikir, adat dan
istiadat masing-masing individu. Perbedaan budaya suatu daerah dengan daerah lain tentu
berbeda, maka dari itu banyak keanekaragaman budaya lokal yang ada di dunia. Namun yang
menjadi perdebatan sekarang ini adalah eksistensi internet yang membentuk cyberspace telah
menggeser budaya tradisional. Penulis berpendapat bahwa eksistensi internet bukanlah untuk
menggeser budaya tradisional yang sudah menjadi nilai fundamental masing-masing individu.
Budaya terbentuk karena adanya proses komunikasi, dan segala bentuk komunikasi berbasis dari
adanya tanda akan kebutuhan produksi dan konsumsi (Castells 2010, 401). Sehingga tidak ada
perbedaan yang signifikan antara representasi budaya“reality” dan “symbolic.” Dari pendapat
tersebut, penulis berargumen bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara virtual culture
yang terbentuk dari adanya ruang lingkup bernama cyberspace, dengan real culture. Perdebatan
yang terjadi hanyalah “virtual” yang merujuk pada hal-hal yang praktis atau hanya sebuah nama,
dan “real” merujuk pada suatu yang benar-benar eksis.
Adanya perdebatan antara nyata atau tidak nyata virtual culture merupakan bentuk manifestasi
masing-masing individu. Menurut penulis, virtual culture merupakan bentuk yang nyata di era
teknologi informasi ini. Hal tersebut karena internet dapat mengakomodasi kebutuhan individu
untuk berinteraksi satu sama lain walaupun berbeda tempat dan waktu. Sehingga komunikasi
yang terjalin menjadi nyata, hanya saja bentuk komunikasinya berbeda. Seperti halnya pada era
sebelum internet muncul, manusia berinteraksi hanya pada lingkup sekeliling rumah saja,
mendapat informasi hanya dari koran dan/atau televisi. Yang mana kedua hal tersebut merupakan
bentuk interaksi satu arah, individu memang menonton televisi dan membaca koran, tapi tidak
bisa berkomunikasi langsung untuk menyatakan aspirasinya. Maka dari itu, internet hadir
sebagai bentuk dari berkembangnya komunikasi yang ada di dalam aspek kehidupan manusia.
Karakteristik yang muncul di dalam sistem baru dari komunikasi ini adalah berbasis digital,
integrasi jaringan, yang mana membentuk inklusivitas dan ekspresi dari budaya itu sendiri
(Castells 2010, 405).
8
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Salah satu hal yang menonjol dalam adanya era sistem komunikasi yang baru adalah waktu
menjadi hal yang tidak dipersoalkan lagi atau timeless time. Masa lalu, saat ini, dan saat yang
akan mendatang dapat terprogram dengan berinteraksi satu sama lain dalam satu pesan yang
sama. Selain itu pula, ruang yang mana perbedaan budaya, sejarah, dan geografis menjadi hal
yang tidak dipertimbangkan lagi dalam berinteraksi via internet (Castells 2010, 406). Istilah the
space of flows dan timeless time menjadi dua fondasi utama dari budaya baru yang disebut
sebagai virtual culture. Penulis sependapat dengan pernyataan tersebut, bahwa internet
membawa masyarakat kepada era yang lebih mengutamakan keefektifan dalam berkomunikasi
dan berinteraksi. Munculnya platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya telah
mendorong interaksi antar manusia ke arah yang lebih terintegrasi. Permasalahan yang muncul
adalah bahwa virtual culture erat kaitannya dengan budaya Western dan bentuknya hanyalah
social imaginaries. Penulis berpendapat bukanlah permasalahan nyata atau tidak nyata yang
berusaha dijelaskan oleh Manuel Castells, namun yang berusaha dijelaskan adalah bahwa pada
era internet masing-masing individu sudah terhubung secara otomatis dengan cyberspace,
individu tersebut sudah menjadi salah satu bagian dari masyarakat virtual culture, terlepas dari
latar belakang budaya, ras, dan gender apapun. Sehingga, adanya virtual culture merupakan hal
yang otomatis terjadi di dalam cyberspace yang mana di dalamnya individu-individu secara online terhubung satu sama lain secara timeless time dan space of flows.
Selain itu, virtual culture juga merupakan budaya yang muncul dari penggunaan jaringan
komputer sebagai komunikasi, entertainment atau hiburan, dan bisnis. Selain itu, virtual culture
juga dapat disebut sebagai fenomena yang mana berhubungan dengan internet, baik dalam
bentuk jaringan komunikasi seperti komunitas online, online multi-player gaming, dan bahkan
pesan singkat (Jones 1997). Informasi menjadi kekuatan yang jika dikuasai, maka lingkungan
fisik tidak lagi menjadi faktor dominan dalam mata pencaharian masing-masing individu. Stacy
Horn (1998) menyebutkan bahwa abad ke-21 merupakan Web 2.0, yang berarti bahwa internet
telah berkembang menjadi lebih canggih dan beraneka ragam platform komunikasi. Sebut saja
contohnya Facebook dan berbagai macam platform yang telah disebutkan di atas. Relasi antara
virtual culture dan budaya masyarakat tradisional adalah terletak pada, ketika masyarakat
tersebut menggunakan media sosial seperti Facebook, maka pada saat itu pula mereka
9
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
menyediakan informasi bagi diri sendiri. Tidak heran jika melalui media sosial, orang akan
menemukan sekelompok atau komunitas yang sesuai dengan minat dan kepentingannya.
Elaborasi Kasus Konsep Virtual Culture dengan Harry Potter Alliance
Pembahasan mengenai virtual culture atau digital life dan/atau istilah lainnya yang telah penulis
sebutkan di atas dapat dicontohkan dalam kasus perkembangan online culture, yaitu Harry Potter
Alliance (HPA). Pembahasan mengenai HPA di awali dengan latar belakang terbentuknya
komunitas on-line berbasis fanbase tersebut, lalu dilanjutkan dengan eksistensi HPA yang
menjadi bentuk nyata dari istilah virtual culture dan relasinya dengan aktivitas-aktivitas
masyarakat dunia di era teknologi informasi saat ini. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa HPA
merupakan organisasi non-profit yang dibentuk oleh para penggemar seri buku dan film Harry
Potter. Terbentuk pada tahun 2005 di Amerika Serikat oleh Andrew Slack, tujuan awal HPA
adalah untuk menarik perhatian atas isu kekerasan terhadap hak asasi manusia di Sudan (Snyder
2007). Melalui situs yang berdomain www.thehpalliance.org, HPA memiliki visi yaitu, “A
creative and collaborative culture that solves the world’s problem.” Era teknologi informasi telah
menjadikan suatu hal yang kecil, bahkan tidak terpikir sebelumnya, menjadi suatu hal yang
berdampak besar bagi masyarakat. HPA hanya berawal dari kumpulan penggemar Harry Potter,
yang mana mereka terintegrasi berdasarkan kepentingan dan kemauan masing-masing. HPA terus
berkembang menjadi suatu organisasi non-profit yang berbasis online, dan memiliki beberapa
cabang atau chapters yang tersebar ke seluruh dunia, yaitu: (1) Oceania yang terdiri dari
Australia, dan Selandia Baru, (2) Asia yang terdiri dari India, Iran, Israel, Pakistan, Filipina,
Singapura, Vietnam, Korea Selatan, dan Thailand, (3) Eropa yang terdiri dari Belgia, Belanda,
Prancis, Jerman, Irlandia, Rusia, dan Britania Raya, (4) Afrika yang terdiri dari Burundi, Liberia,
Afrika Selatan, Uganda, dan (5) Amerika Selatan yang terdiri dari Argentina, Brasil, Cili,
Guyana, dan Uruguay (The Harry Potter Alliance 2015). Seperti halnya argumen yang dikatakan
oleh Manuel Castells bahwa sistem komunikasi baru yang muncul di era teknologi informasi
membuat ruang dan waktu bukan menjadi permasalahan. Tersebarnya beberapa cabang HPA
telah membuktikan bahwa lokasi geografis yang berbeda tidak membuat para penggemar dan
pihak yang ingin bergabung menjadi terhalang oleh aspek tersebut.
HPA menjadi sebuah komunitas fanbase yang berbasis seri buku terbesar yang pernah terbentuk
dalam cyberspace. Fokus utama dari komunitas ini adalah hak asasi manusia, pendidikan, amal
10
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
atau charity, dan gerakan melek huruf. Beberapa bantuan dan capaian yang telah diraih oleh HPA
adalah penggalangan dana untuk Partners In Health dan berhasil meraih 123.000 dolar AS, yang
mana uang tersebut digunakan untuk menyewa lima pesawat pengantar kebutuhan bagi korban di
Haiti. Lalu, mendonasi 250,000 buku ke seluruh dunia dengan program HPA’s Accio Books, dan
masih banyak pencapaian yang diraih oleh HPA ini. Karena berbasis amal, organisasi HPA ini
mendapatkan pendanaan dari pendonor di seluruh dunia. Pada tahun 2012, program
penggalangan dana yang diberi nama Equality for the Win atau Equality FTW telah mendapatkan
uang sebesar 94.803 dolar AS, dari jumlah 2.289 pendonor dana (Indiegogo 2013). HPA menjadi
organisasi non-profit salah satunya karena J.K. Rowling yang mana penulis Harry Potter pernah
bekerja di Amnesti Internasional. Pendiri HPA terinspirasi dari nilai-nilai yang diajarkan oleh
cerita Harry Potter. Sehingga, HPA muncul sebagai fanbase dari Harry Potter dan pertama kali
dikenal di dalam cyberspace telah memberikan dampak yang cukup signifikan di dalam
masyarakat.
Media sosial secara signifikan telah menggeser kebutuhan individu, yang mana sebelumnya
segala informasi milik bersama, maka saat ini informasi menjadi milik pribadi. Masing-masing
individu mengakses dan mencari informasi untuk dirinya sendiri, dan pada saat itu pula otomatis
mereka masuk ke dalam virtual culture yang mengutamakan kebutuhan dan kepentingan masingmasing. Lisa Galarneau (2011) mengungkapkan sepuluh cara bagaimana media sosial telah
mengubah dunia sebagai berikut: (1) challenging status quo, yang berarti bahwa sebelum adanya
internet dan media sosial, sulit mendapatkan informasi secara real time dari negara dan bahkan
benua lain. Media sosial membentuk suatu tantangan terhadap status quo, dapat menghubungkan
antar satu sama lain, dan self-organizing menjadi isu yang penting, (2) changed by exposure to
diversity, yang mana media sosial telah membentuk suatu perilaku saling berbagi sukacita, cerita
tentang latar belakang masing-masing. Hal tersebut membuat individu merasa terkoneksi, dan
keberagaman kehidupan yang terekspos pun tidak menjadi masalah dikarenakan mereka secara
suka rela membaginya, (3) support is now visible, ketika membuka situs seperti Digg dan Reddit
maka terdapat masing-masing individu saling mendukung apa yang menjadi kesukaan mereka,
(4) learn more from each other, terlihat jelas bahwa media sosial dapat membantu individu dalam
hal apapun, mulai dari pendidikan formal, cara memasak, tata rias, dan banyak hal lainnya, (5)
crowd sourced wisdom, di dalam media sosial setiap orang berhak untuk berbagi pengetahuan,
11
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
kearifan, dan pengalaman. Hal tersebut dikarenakan media sosial telah membentuk suatu budaya
yang mana setiap individu berhak menerima dan membagi informasi secara bebas, (6) creativity
and inspiration is unleashed, jika sebelumnya setiap orang berhak untuk berbagi pengetahuan,
media sosial juga tempat setiap orang berhak berbagi kreativitas dan inspirasinya, (7) increased
appreciation of the unique and handmade, masih terdapat korelasi antara poin 5,6, dan 7 karena
poin tersebut bermuara pada meningkatnya apresiasi antar individu, yang mana berawal dari
saling berbagi tadi, (8) truth is exposed, penggunaan media sosial dapat berfungsi sebagai
pencari dukungan, karena media sosial menjadi alat yang penting untuk menggalang kekuatan
dari berbagai pihak, (9) we are more authentic, para individu di media sosial berusaha untuk
meminimalkan fenomena yang disebut sebagai junk information, dan mencoba meluruskan
falsifikasi informasi yang beredar, dan (10) anyone can contribute, pada poin terakhir ini
merupakan cara paling dasar bergabung di dalam media sosial. Tidak peduli ras, gender, agama,
latar belakang kehidupan, setiap individu dapat terhubung langsung di dalam media sosial.
Sepuluh poin cara media sosial mengubah kehidupan individu tersebut memang tidak mutlak,
hanya saja menurut penulis poin-poin tersebut secara umum memang mencirikan bahwa
kehidupan media sosial telah sedikit banyak mengubah pola pikir dan perbuatan masing-masing
individu. Media sosial dapat dianggap sebagai virtual culture, karena keberadaannya sebagai
fenomena yang berhubungan dengan internet dan dapat membentuk suatu komunitas tertentu.
Internet tidak dapat dipungkiri dapat menjadi suatu wadah untuk menemukan jati diri masingmasing individu. Tidak sedikit individu yang di dunia nyata tidak memiliki kesempatan untuk
berbicara, atau sekadar menyampaikan idenya karena takut ketika orang lain menganggap idenya
terlalu naif dan dangkal. HPA juga dibentuk untuk mewadahi kondisi seperti itu, ketika
nerdfighters dianggap seorang yang aneh di lingkungannya karena selalu berperilaku dan
terkadang berbicara sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari setelah membaca buku dan
menonton Harry Potter. Maka, HPA hadir sebagai tempat mereka untuk bersosialisasi dan
menemukan passion mereka untuk meluapkan segala ide, kreativitas, dan pengalaman.
Eksistensi HPA yang tadinya hanya merupakan sebuah komunitas para penggemar Harry Potter
yang mewadahi segala aktivitas humanisme, menjadi organisasi non-negara (NGO) merupakan
pencapaian yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Penulis berargumen bahwa fenomena
virtual culture tidak hanya sebatas aktivitas yang ada di dunia maya, virtual culture dapat
12
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
terealisasikan di dunia nyata. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan esensi dari kata
“virtual” itu sendiri, namun dapat dilihat bahwa aspek-aspek yang terdapat dalam cyberspace
secara otomatis membentuk suatu budaya, yang telah disebutkan sebagai virtual culture.
Segala aktivitas humanisme yang dilakukan oleh HPA adalah berdasarkan dari organisasi
aktivitas “Dumbledore’s Army,” yang mana di dalam buku Harry Potter merupakan organisasi
yang dibentuk oleh para murid Hogwarts yang bertujuan untuk melawan kejahatan pasukan Lord
Voldemort. Budaya yang dibawa oleh HPA tidak hanya virtual culture yang merupakan asal mula
dibentuknya komunitas tersebut. Namun, HPA menjadi salah satu contoh organisasi Parcipatory
Culture Civics (PCC), yang mana menjembatani antara budaya dan partisipasi politik (Jenkins
2006). Pada awal HPA terbentuk memang secara eksklusif bagi penggemar Harry Potter saja,
namun setelah berkembangnya organisasi ini, yang bergabung dalam HPA tidak mengkhususkan
hanya sebatas penggemar Harry Potter saja. Namun, anggota-anggotanya adalah individu yang
memiliki kepentingan untuk membantu sesama melawan ketidakadilan. Penulis membahas HPA
sebagai salah satu bentuk dari konsep virtual culture dikarenakan bahwa HPA merupakan
komunitas yang terbuka, dan berdasarkan partisipasi jaringan internet. Para penggemar diundang
untuk berpartisipasi secara online sebagai pegawai sukarela (Connected Learning Alliance 2016).
Tidak ada batasan yang menyulitkan para anggota baru untuk bergabung, para partisipan akan
dengan mudah untuk bergabung dan melaksanakan tanggung jawab. Aktivitas yang dilakukan
oleh HPA adalah kampanye dan diskusi secara online, dan semuanya telah terkoordinasi dengan
baik karena setiap anggota memiliki perannya masing-masing. Salah satu syarat menjadi anggota
HPA adalah aktif secara online, dan minimal memiliki akun Facebook. Media sosial menjadi
wadah penting untuk menggerakkan organisasi HPA ini, seperti Facebook, Tumblr, Twitter, dan
YouTube untuk mengunggah vlog atau video blog. Ketika HPA mengadakan sebuah acara seperti
contohnya LeakyCon, HPA menggunakan platform LiveStream untuk menayangkan acara
mereka.
HPA selain sebagai komunitas online juga sebagai organisasi non-profit yang sudah memiliki
chapters hampir di seluruh dunia memiliki beberapa kunci dalam menjalankan organisasinya,
yaitu: (1) distributed action, selain para anggota online, HPA juga memiliki sekitar 90 cabang
offline di seluruh dunia. Salah satu aktivitas tahunan adalah ketika menyambut rilisnya film
Harry Potter, yang mana setiap chapters HPA di seluruh dunia juga ikut menyambutnya, (2)
13
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
know your cultural terrain, yaitu prinsip yang dipegang oleh HPA bahwa, “meet people where
they’re at, not where you want them to be.” Penggemar Harry Potter yang tersebar di seluruh
dunia tentu memiliki latar belakang budaya, sosial, politik, dan bahasa yang berbeda. Namun,
HPA menjadi wadah bagi para nerds untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi, (3) think
narratively, yang dibagi atas tiga level, yaitu personal, kolektif, dan mitological. Maksudnya
adalah bahwa di dalam berinteraksi, anggota yang tergabung dalam HPA dapat mengorganisir
masing-masing cerita yang dapat dibagi dengan anggota lain, dan (4) create online-offline
synergy, bahwa terkadang individu di dalam dunia online sangat berbeda jauh ketika mereka
berada di dalam dunia nyata. Maka dari itu, HPA membantu agar para anggotanya menjadi lebih
percaya diri, agar peran mereka ketika online dan ketika offline tidak jauh berbeda (Slack 2005).
Kesimpulan
Pembahasan mengenai virtual culture memang tidak dapat terlepas dari konsep yang dijelaskan
oleh Manuel Castells. Penulis berpendapat bahwa virtual culture merupakan salah satu fenomena
yang otomatis terjadi di dalam cyberspace. Sejak internet pertama kali digunakan pada tahun
1990-an, dapat dikatakan bahwa budaya masyarakat dunia bergeser. Kebutuhan yang dicari
bukanlah kebutuhan fisik saja, namun kebutuhan akan informasi lebih penting pada era
berkembangnya internet. Komunikasi dan interaksi antar sesama tidak perlu lagi secara face-toface, namun dapat dilakukan dengan tidak memikirkan letak geografis dan waktu. Berkirim surat
elektronik dan mengirim pesan singkat merupakan salah satu bentuk dari berkembangnya era
teknologi informasi. Seiring berkembangnya era tersebut, tentu masyarakat sekarang ini tidak
asing dengan istilah media sosial atau social media, seperti halnya Facebook, Twitter, YouTube,
Tumblr, Instagram, dan lainnya. Media sosial menjadi aspek yang penting dalam terbentuknya
virtual culture, hal tersebut dikarenakan dengan menggunakan media sosial ini, individu akan
mudah menemukan komunitas yang sesuai dengan kepentingan dan minatnya. Seperti yang
sudah dijelaskan bahwa di era teknologi informasi membuat informasi sebagai hal yang penting
dan dikonsumsi sendiri oleh masing-masing individu.
Pada kasus komunitas Harry Potter Alliance (HPA) yang selain itu pula menjadi organisasi nonprofit yang bergerak dalam bidang humanitarian, penulis menganggap bahwa HPA merupakan
representasi yang sesuai dengan konsep virtual culture yang telah dibahas sebelumnya. Hal
tersebut dikarenakan, aktivitas yang dilakukan oleh komunitas HPA berawal dari cyberspace.
14
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Interaksi yang berawal dari kesamaan minat dan kegemaran, berlanjut ke tahap di mana individu
bergabung di dalam suatu komunitas. Salah satu ciri dari virtual culture adalah bahwa jika sudah
bergabung atau online, latar belakang kehidupan, gender, ras, dan agama tidak menjadi hal yang
penting. Yang terpenting adalah ketika individu sudah tergabung dalam internet atau online,
berarti otomatis sudah menjadi bagian dari cyberspace. Penulis tidak sependapat apabila
dikatakan bahwa virtual culture adalah imajinasi sosial atau social imaginaries, atau dapat
dikatakan virtual culture hanyalah mitos. Penulis berpendapat bahwa virtual culture merupakan
hal yang nyata, karena hampir seluruh lapisan masyarakat saat ini sudah terkoneksi dengan
jaringan internet. Memang level koneksi pada jaringan internet masing-masing berbeda, namun
tetap saja bahwa kita sebagai masyarakat sudah merasakan dampak adanya virtual culture. HPA
membuktikan bahwa komunitas yang awalnya merupakan komunitas online, dapat langsung
berpartisipasi di dalam kehidupan masyarakat secara nyata. Selain itu pula, pendapat mengenai
bahwa virtual culture hanya berbentuk budaya Western. Penulis tidak setuju karena virtual
culture bagi penulis tidak ada sangkut pautnya dengan menghilangnya rasa kebudayaan
tradisional. Budaya tradisional tidak dengan mudah diganti atau dihapus, namun penulis
beranggapan budaya tradisional hanya dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman yang
sedang berlangsung. HPA sendiri tidak mempermasalahkan latar belakang ras para anggotanya,
justru mereka melawan segala bentuk inequality yang dialami oleh masyarakat sekitar.
Jumlah kata: 4.101
15
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Daftar Pustaka
Buku
Castells, Manuel. 1996. The Rise of the Network Society: A Cross-cultural Perspective. Oxford:
Blackwell Publisher.
____________. 1996. “The Culture of Real Virtuality: the Integration of Electronic
Communication, the End of the Mass Audience, and the Rise of Interactive Networks,”
dalam The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell Publisher, hal 327-375.
Earl, Esther, et.al., 2014. This Star Won’t Go Out. USA: Penguin Books.
Horn, Stacy. 1998. Cyberville: Clicks, Culture, and the Creation of an Online Town. New York:
Warner Books.
Jones, Steven. 1997. Virtual Culture: Identity and Comunnication in Cybersociety. London: Sage
Publications.
Artikel Jurnal/Jurnal Online
Adams, Paul C. 1997. “Cyberspace And Virtual Places,” dalam Geographical Review. Research
Library, hal. 155.
Jenkins, Henry. 2006. “Cultural acupuncture: Fan activism and the Harry Potter Alliance” dalam
Transformative
Works
and
Cultures.
Vol.
10.
[online]
dalam
http://journal.transformativeworks.org/index.php/twc/article/view/305/259 [diakses pada
25 Desember 2016]
Kelty, Christopher. 2010. “Introduction: Culture In, Culture Out,” dalam Anthropological
Perspectives on Knowledge in the Digital Age. Los Angeles: University of California.
Mazzini, Federico. 2014. “Cyber-Cultural History: Some Initial Steps toward a Cultural History
of Digital Networking,” dalam Humanities, vol. 3, hal. 185-209.
Silver, David. 2004. “Internet Cyberculture, Digital Culture, New Media, Fill in the Blank
Studies”, dalam New Media & Society, Vol.6 (1), hal. 55-64. SAGE Publications.
16
FINAL PAPER GLOBALISASI & MASYARAKAT INFORMASI
YUNIA DAMAYANTI (NIM. 071311233066)
Artikel Online
Burt, Kaytl. 2016. “How Harry Potter Shaped Modern Internet Fandom” [online]. dalam
http://www.denofgeek.com/us/books-comics/harry-potter/260201/how-harry-pottershaped-modern-internet-fandom [diakses 12 Desember 2016]
Galarneau, Lisa. 2011. “10 Ways Social Media is Transforming Our World” [online]. dalam
http://www.jeffbullas.com/2012/02/06/10-ways-social-media-is-transforming-our-world/
[diakses pada 24 Desember 2016]
Slack,
Andrew.
2005.
“Case
Study:
Harry
Potter
Alliance”
[online].
dalam
http://beautifultrouble.org/case/harry-potter-alliance/ [diakses pada 25 Desember 2016]
Snyder,
Chris.
2007.
“Harry
Potter
as
a
political
force”
[online].
http://www.politico.com/story/2007/07/harry-potter-as-a-political-force-005039
dalam
[diakses
pada 24 Desember 2016]
The
Harry
Potter
Alliance.
2016.
“Chapters”
[online].
dalam
http://www.thehpalliance.org/chapters [diakses pada 24 Desember 2016]
Media Massa Online
Connected Learning Alliance. 2016. “The Harry Potter Alliance: Connecting Fan Interest and
Civic Action” [online] dalam http://clalliance.org/resources/the-harry-potter-allianceconnecting-fan-interests-and-civic-action/ [diakses pada 25 Desember 2016]
Indiegogo.
2013.
“Equality
FTW
2013”
[online]
dalam
https://www.indiegogo.com/projects/equality-ftw-2013#/ [diakses pada 24 Desember 2016]
17