Mencari Bentuk Akademi Komunitas di Indo (1)
Richardus Eko Indrajit
Community College
Kajian Profil dan Strategi Pengembangannya di Indonesia
Prof. Richardus Eko Indrajit (Tim Community College - Kementrian Pendidikan Nasional)
Versi 2.0 – Jakarta, Mei 2011
Pertanyaan:
“Apa kesamaan yang dimiliki antara Clint Eastwood, Tom Hanks, George
Lucas, Sylvester Stallone, Robin Williams, Venus Williams, Walt Disney, Calvin Klein, Ross Perot, dan Arnold Schwarzeegger?”
Jawaban:
“Semuanya adalah alumni dari Community College di Amerika !”
A. Pendahuluan
A.1 Kebutuhan Tenaga Kerja Terampil
Kemampuan sebuah bangsa dalam berinovasi demi menghasilkan beragam produk dan jasa merupakan kunci utama keberhasilan negara tersebut dalam meningkatkan daya saingnya di era global serta pasar bebas dan terbuka. Dalam konteks ini, pergerakan roda pertumbuhan negara berkembang seperti Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakatnya dalam mengembangkan sektor ekonomi riil-nya, seperti: pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, pariwisata, perdagangan, manufaktur, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah benua kepulauan terbesar di dunia, dengan karakteristik masyarakat dan kebudayaan yang sangat heterogen, dibutuhkan profil tenaga kerja nasional dengan latar belakang kompetensi, keahlian, dan keterampilan yang beragam, agar seluruh potensi kekayaan fisik maupun non- fisik yang terkandung di bumi pertiwi ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan bangsa dan negara. Keberadaan sumber daya manusia yang handal merupakan kata kunci keberhasilan pembangunan nasional.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Statistik Nasional, paling tidak pada akhir tahun 2010 terdapat 119,4 juta usia manusia produktif di Indonesia, dimana lebih dari 8,32 juta manusia disinyalir tidak melakukan aktivitas
produksi yang berarti (baca: pengangguran terbuka) 1 , dengan perincian latar belakang pendidikan terakhir sebagai berikut:
• Tidak/Belum Pernah Sekolah/Belum Tamat SD : 750,000 orang • Sekolah Dasar
: 1,4 juta orang • SLTP
: 1,7 juta orang • SLTA (Umum dan Kejuruan)
: 3,3 juta orang • Diploma I/II/III/Akademi
: 440,000 orang • Universitas
: 710,000 orang
Hal ini sungguh merupakan suatu ironi mengingat masih begitu banyaknya lahan produksi di seantero nusantara yang belum tergarap sama sekali. Berbagai data yang dikeluarkan oleh beragam kementrian memperlihatkan begitu besarnya potensi kekayaan alam yang sama sekali belum tersentuh oleh tangan manusia. Salah satu alasan yang kerap dikemukakan terkait dengan fenomena tersebut adalah tidak tersedianya sumber daya manusia yang memadai, baik dinilai secara kualitatif maupun kualitatif (dalam berbagai tingkatan dan model pekerjaan), yang sanggup mengeksplorasi dan mengeksploitasi berbagai kesempatan dimaksud. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika begitu banyaknya sumber daya strategis yang dimiliki bangsa dan negara ini, secara
‘terpaksa’ diserahkan ke pihak luar 2 untuk mengelolanya. Gap antara kebutuhan dan ketersediaan ini merupakan persoalan yang sangat serius, karena kalau Indonesia gagal memenuhinya, maka secara otomatis dalam kerangka perdagangan bebas atau terbuka (misalnya: AFTA maupun CAFTA).
1 Diambil dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada bulan Februari 2011.
2 Diserahkan ke pihak asing, yang dikerjakan oleh SDM dari berbagai negara tetangga atau negara maju.
A.2 Strategi Pembangunan Nasional berbasis Otonomi Daerah
Salah satu perubahan strategi sesuai dengan amanat agenda reformasi adalah melakukan desentralisasi terhadap sistem pembangunan nasional melalui pendekatan otonomi daerah. Sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, setiap kabupaten/kota memiliki hak, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan pembangunan sesuai dengan profil dan karakteristiknya masing-masing. Seperti diketahui bersama, sistem pembangunan sentralistik selama 30 tahun lebih di masa lalu telah melahirkan kondisi pembangunan yang tidak merata, karena lebih banyak dipusatkan di Pulau Jawa. Hal ini berakibat menumpuknya sumber daya berkualitas di Pulau Jawa yang terdiri dari 5 provinsi, sementara ke-28 provinsi lainnya mengalami kekurangan sumber daya manusia dengan berbagai latar belakang ilmu serta kompetensinya, baik dipandang dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Persoalan di lapangan yang sedang dihadapi sekarang adalah bahwa pendekatan pembangunan yang sentralistik menuju desentralistik ini masih dalam tahap transformasi (baca: ‘on the making’), sehingga masih sering ditemukan berbagai tantangan dalam pelaksanaannya, seperti: inkonsistensi kebijakan, perubahan peraturan, ketidakadaan standar, ketidakjelasan visi, dan lain-lain). Hal ini secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada “gamangnya” pemerintah, industri, dan masyarakat di suatu daerah dalam proses mengembangkan potensi yang dimilikinya karena takut salah atau keliru dalam Persoalan di lapangan yang sedang dihadapi sekarang adalah bahwa pendekatan pembangunan yang sentralistik menuju desentralistik ini masih dalam tahap transformasi (baca: ‘on the making’), sehingga masih sering ditemukan berbagai tantangan dalam pelaksanaannya, seperti: inkonsistensi kebijakan, perubahan peraturan, ketidakadaan standar, ketidakjelasan visi, dan lain-lain). Hal ini secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada “gamangnya” pemerintah, industri, dan masyarakat di suatu daerah dalam proses mengembangkan potensi yang dimilikinya karena takut salah atau keliru dalam
A.3 Pendekatan Penyiapan Sumber Daya Manusia
Berbicara mengenai kualitas SDM sebuah negara, indikator yang paling banyak diadopsi negara-negara di dunia adalah HDI (Human Development Index) yang dipergunakan oleh UNHDR, dimana Indonesia ditempatkan pada ranking 108
dari 169 negara pada tahun 2010 4 , di tengah-tengah GDP (PPP) per kapita sebesar US$4,394 atau GDP (nominal) per kapita sebesar US$3,015 5 , yaitu ranking 122 dari 153 negara. Kenyataan ini tentu saja merupakan sebuah “wake up call” dan tantangan besar bagi bangsa dan negara untuk meningkatkan daya saing bangsa-nya di tengah-tengah arus globalisasi yang sedemikian cepat dan dinamis. Apalagi jika dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN yang memiliki akselerasi peningkatan kualitas SDM dan daya saing bangsa yang cukup mencengangkan sehingga dapat melampaui Indonesia hanya dalam waktu yang relatif singkat.
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia disusun dan dikembangkan untuk menghadapi tantangan tersebut, terutama dalam menjawab kebutuhan riil SDM di lapangan. Sesuai dengan postur Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan berbagai keberagaman yang ada, maka seyogiyanya model pengembangan dan pemberdayaan manusia yang diberlakukan disesuaikan dengan kondisi tersebut.
SDM terdidik dan terlatih dicoba diciptakan oleh negara dan masyarakat melalui beragam pendekatan, baik yang bersifat formal, non formal, maupun informal – mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga pendidikan setingkat Doktor, baik dalan jalur akademik, vokasi, maupun profesi. Untuk dapat memetakan antara beragam jenis dan jalur pendidikan yang ada dengan
3 Walaupun dalam tataran UU terkait dengan otonomi daerah sangat jelas dipaparkan mengenai
hak, wewenang, dan tanggung jawab pusat dan daerah – namun dalam kenyataan lapangan, begitu banyak interpretasi yang timbul sehingga cukup membingungkan banyak pihak yang ingin melangkah menerapkan suatu inisiatif tertentu.
4 Jauh di bawah Singapore (ranking 27), Brunei (ranking 37), Malaysia (ranking 57), Thailand (ranking 92), dan Filipina (ranking 97).
5 Data perkiraan ini dikeluarkan dalam laporan International Monetary Fund (IMF) di awal tahun 2011.
kebutuhan riil industri, maka dikembangkanlah sebuah kerangka yang
diberinama KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) 6 .
Keberadaan kerangka ini sangat membantu dan dapat dijadikan sebagai jembatan penghubung dalam menentukan kebutuhan tenaga terdidik dan terlatih dengan spesifikasi yang ditentukan oleh industri (lapangan pekerjaan) dengan yang perlu disediakan oleh sistem pendidikan tinggi di Indonesia, baik dari segi kuantitaif maupun kualitatif.
Sumber daya manusia yang unggul hanya dapat tercipta jika yang bersangkutan dapat memperoleh kesempatan untuk menikmati dan mengenyam pendidikan
tinggi yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat yang ada 7 . Oleh karena itulah maka perlu dikembangkan sebuah lansekap pendidikan nasional yang memungkinkan terbukanya akses sebesar-besarnya kepada setiap individu dalam kebutuhannya untuk menikmati pendidikan tinggi yang bermutu. Agar terjadi “link and match” antara kebutuhan dan ketersediaan, ada baiknya dilakukan pemetaan terlebih dahulu dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
A.4 Kebutuhan dan Ketersediaan SDM yang Relevan
KKNI yang dimiliki dan diadopsi oleh Indonesia terdiri dari 9 (sembilan) tingkat atau level, dimana masing-masing tingkatan merepresentasikan kualitas kualifikasi seseorang dalam kaitannya dengan kompetensi pengetahuan,
6 Disusun dan dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional, pada tahun 2010-2011
7 Dikatakan demikian karena pada dasarnya pendidikan dasar dan menengah (K-12) sudah
menjadi standar minimal latar belakang pendidikan SDM di negara lain, sehingga daya saing hanya dapat diciptakan melalui studi lanjut pada pendidikan yang lebih tinggi (baca: higher education) menjadi standar minimal latar belakang pendidikan SDM di negara lain, sehingga daya saing hanya dapat diciptakan melalui studi lanjut pada pendidikan yang lebih tinggi (baca: higher education)
Terlepas dari benar tidaknya asumsi bentuk piramida SDM maupun proporsi jenis pendidikan dimaksud, paling tidak yang perlu diperhatikan adalah “pintu gerbang” memasuki jenjang pendidikan tinggi yang dalam KKNI dinyatakan dalam tingkat 3. Secara prinsip, ada 4 jejak jalan (pathways) dalam memasuki “tingkatan pendidikan tinggi” ini, yaitu:
1. Jejak Jalan Pendidikan (berbasis gelar);
2. Jejak Jalan Industri (berbasis fungsi jabatan kerja);
3. Jejak Jalan Profesi (berbasis sertifikat dan lisensi); dan
4. Jejak Jalan Otodidak (berbasis pengalaman dan keahlian khusus).
Dimana sebenarnya keempat jenis jejak jalan tersebut juga secara tidak sadar dan sengaja telah dijalani oleh setiap individu semenjak yang bersangkutan lahir hingga menyelesaikan tingkat pendidikan menengahnya.
A.5 Institusi Pendidikan Tinggi Berbasis Komunitas
Postur Indonesia sebagai sebuah negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau, dengan beraneka ragam suku bangsa dan kondisi alam yang berbeda, secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemicu terbentuknya bermacam- macam komunitas atau kelompok individual dengan ciri khas dan karakteristiknya masing-masing, seperti:
• Kumpulan masyarakat berbasis pekerjaan atau profesi yang berkumpul pada lokasi geografis tertentu, seperti komunitas nelayan di pesisir pantai, komunitas petani di daerah persawahan, komunitas pedagang di sentra-sentra pasar, komunitas pekebun di daerah pegunungan, komunitas peternak di daerah padang rumput, komunitas pengrajin di pusat pariwisata, dan lain sebagainya; • Kumpulan masyarakat berbasis industri dimana yang bersangkutan bekerja menghasilkan beragam produk dan jasa untuk diperjualbelikan, seperti komunitas warnet, komunitas perhotelan, komunitas seni tari, komunitas musik, komunitas perfileman, komunitas olah raga, komunitas pedagang retail, dan lain sebagainya; • Kumpulan masyarakat berbasis kegemaran atau hobi tertentu yang memiliki nilai tambah dalam masyarakat, seperti komunitas mobil klasik, komunitas filateli, komunitas pemelihara ikan hias, komunitas pecinta batik dan keris, komunitas kuliner, dan lain sebagainya; serta • Kumpulan masyarakat berbasis status dan/atau struktur yang ada dalam konteks kemasyarakatan maupun organisasi, seperti komunitas guru, komunitas lurah, komunitas bupati/walikota, komunitas remaja, komunitas pemuda, komunitas ibu-ibu PKK, komunitas manula, dan lain sebagainya.
Dengan berpegang pada prinsip belajar sepanjang hayat (baca: “long life learning”) maka berbagai komunitas yang ada ini senantiasa diharapkan terus meningkatkan pengetahuan, kompetensi, keahlian, dan keterampilannya dari waktu ke waktu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya – agar dari waktu ke waktu dapat menjadi lebih baik. Karena sifatnya yang khusus dan heterogen, maka dibutuhkan pula sebuah model pendidikan tinggi yang dapat memenuhi kebutuhan beragam komunitas tersebut, yang biasa disebut sebagai “Community College” (atau: Kolese Komunitas).
Ciri khas dari Community College dibandingkan dengan model pendidikan tinggi lainnya adalah sebagai berikut:
• Struktur dari program yang ditawarkan sangatlah beraneka ragam, tergantung dari kebutuhan komunitas yang dilayaninya, dimana dari waktu ke waktu dapat secara dinamis berubah-ubah; • Ukuran ‘kampus’-nya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi yang ada, sehingga dapat hanya terdiri dari sebuah ruangan kecil atau lokasi sederhana di bawah pohon hingga gedung megah yang menempati tanah beberapa hektar; • Sifat penyelenggaraannya merupakan kombinasi antara pendidikan formal, informal, dan non-formal dengan berbasis pada kemampuan belajar sambil bekerja (baca: “learning by doing”); • Instruktur atau fasilitator dapat berasal dari berbagai pihak, baik mereka yang memiliki latar belakang pendidikan khusus, hingga para praktisi, dan pelaku industri; • Materi dan konten dikumpulkan, disusun, dan dikembangkan dari hasil pembelajaran dan pengalaman terdahulu, sehingga kontekstual dan mampu ditularkan dalam bentuk kompetensi, keahlian, dan keterampilan kepada para siswanya; • Lama studi formalnya biasanya 1-2 tahun (jika ingin mendapatkan pengakuan formal tertentu), dimana masing-masing mata ajar dapat diberikan per modul yang panjangnya 1 hingga 3 bulan; • Sumber pendapatannya dapat beraneka ragam, seperti dari uang belajar siswa, dana bantuan dari pemerintah pusat, dana khusus dari pemerintah daerah, urunan komunitas yang bersangkutan, hibah dari pihak ketiga, bantuan dari sponsor, maupun kerjasama dengan sentra bisnis dan industri.
B. Profil dan Karakteristik Community College
B.1 Profil Termutakhir Community College di Dunia
Definisi dan ruang lingkup Community College berbeda-beda antar satu negara dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan karena bentuk dan karakteristik Community College akan sangat tergantung dari struktur dan budaya masyarakat setempat dari negara yang bersangkutan. Berikut adalah beberapa konsep mengenai Community College dari berbagai negara yang ada.
B1.1 Amerika Serikat
Community College merupakan institusi pendidikan tinggi yang biasa pula disebut sebagai ‘junior college’ atau ‘technical college’ atau ‘city college’ yang menyediakan beragam program berdurasi dua tahun untuk memperoleh sertifikat, diploma, atau gelar ‘associate’. Biasanya setelah lulus dari lembaga ini, peserta didik dapat melanjutkan studi formalnya melalui proses transfer ke universitas untuk menyelesaikan studi sarjananya (bachelor degree) selama kurang lebih dua hingga tiga tahun.
B1.2 Australia
Community College merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional berbasis vokasi dimana menyelenggarakan program pelatihan berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh komunitas sekitar. Community College ini bersama-sama dengan TAFE (Technical And Further Education) dikelola dengan mengacu pada sejumlah standar/kerangka, masing-masing adalah National Training System, the Australian System for Vocational Education and Training (VET), dan Australian Qualithy Training Framework (AQTF). Sejarahnya, keberadaan Community College di negara ini adalah untuk meneruskan budaya atau tradisi pembelajaran bagi orang dewasa (baca: “adult education”) yang telah berkembang semenjak pertengahan abad ke-19. Walaupun lokasinya berada di mana-mana, mulai dari kota besar hingga daerah terpencil, kebanyakan Community College beroperasi bukan untuk mencari keuntungan finansial (baca: “not for profit organisation”), karena fungsinya lebih pada melayani kebutuhan pendidikan tinggi bagi masyarakat atau komunitas tertentu.
B1.3 Malaysia
Community College merupakan jejaring dari institusi perguruan tinggi dimana pendidikan vokasi dan pelaithan berbasis keahlian teknis diajarkan ke peserta didik sebelum yang bersangkutan masuk ke bursa tenaga kerja. Jejaring Community College ini menyediakan pula infrastruktur pendidikan bagi mereka yang kurang mampu dan menjadi jembatan akses ke post-secondary education dengan berpegang pada Malaysian Qualifications Framework (MQF). Saat ini, kebanyakan Community College di negara ini dapat memberikan sertifikasi setingkat MQF tingkat 3, walaupun mulai banyak Community College yang mulai beroperasi untuk memberikan sertifikasi setara dengn tingkat 4 (dua tingkat di bawah tingkat 6, yang setara dengan sarjana atau “bachelor”), sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah melajutkan ke perguruan tinggi atau politeknik.
B1.4 Filipina
Community College merupakan lembaga pendidikan vokasi yang didirikan dari, oleh, dan untuk komunitas di bawah bimbingan dan pendampingan Ministry of Education, Culture, and Sports (MECS). Kebanyakan Community College di FIlipina diselenggarakan pada malam hari, agar para karyawan dapat mengikuti dan berpartisipasi dalam pendidikan tinggi tersebut. Community College di negara ini diusahakan beroperasi sedemikian rupa sehingga tidak membebani peserta didik dengan biaya pendidikan yang tinggi.
B1.5 Inggris
CC merupakan institusi pendidikan dimana para siswanya dapat memperoleh tingkatan A-levels, Scottish Higher, atau kualifikasi vokasi lainnnya (seperti GNVQ dan HND) yang diperlukan sebagai syarat untuk melamar atau memasuki perguruan tinggi semacam universitas – diluar sertifikat GCSE yang biasa dipergunakan dan diakui dalam sistem pendidikan Inggris.
B.2 Fungsi dan Peranan Komprehensif Community College
Dilihat dari berbagai jenis Community College yang ada di berbagai belahan dunia, paling tidak terdapat 6 (enam) jenis fungsi yang diemban, dengan masing- masing penjelasan sebagai berikut.
B2.1 Transfer Education
Community College berperan sebagai jembatan menuju universitas, dimana kredit yang diambil pada saat mengikuti program di Community College dapat ditransfer dan diakui oleh perguruan tinggi formal pada jenjang yang lebih tinggi, baik yang berjenis pendidikan akademik maupun berbasis vokasi. Untuk memastikan bahwa kredit yang diambil dapat ditransfer, Community College yang bersangkutan harus mengikuti sejumlah aturan dan standar tertentu yang ditentukan (biasanya dengan menggunakan kerangka pemetaan kualifikasi yang berlaku di negara bersangkutan). Berikut adalah contoh program yang ditawarkan sejumlah Community College berbagai negara untuk kebutuhan transfer kredit:
Jenis Pendidikan Akademik
• Associate of Arts Degree, melingkupi: o Social Sciences: economics, sociology, anthropology, psychology,
geography, dan political science; o Humanities: literature, history, art, music, theater, dan
communications; dan o Foreign Languages: Spanish, French, Chinese, Korean, Hawaiian,
Japanese, dan Italian. • Associate of Science Degree, melingkupi: o Natural Sciences: biology, physics, chemistry, geology, dan environmental studies; dan o Mathematics.
Jenis Pendidikan Vokasi
• Associate of Applied Science Degree, meliputi: o Computer Assisted Drafting, Nursing, Office Administration and
Technology, Paralegal Studies, Automotive Technology, Respiratory Care, Graphic Design, Dental Hygiene, Aviation Support, Millwright Technology, Occupational Studies, Nuclear Medicine Technology, Law Enforcement Administration, Fire Science,
Ornamental Horticulture, Surgical Technology,
Pharmaceutical Manufacturing, Agricultural Business Technology, Hospitality Management, Radiologic Technology, Marketing, Electrical-Mechanical Systems and Maintenance, dan lain sebagainya.
• Associate of Applied Arts Degree, meliputi: o Gallery Management, Studo Arts, Commercial Music, Fine Arts,
Interior Design, Stage Technology, dan lain sebagainya.
B2.2 Career Education
Community College menyediakan program untuk meningkatkan kompetensi, keahlian, dan keterampilan peserta didik pada bidang tertentu sebagai bekal untuk meningkatkan kinerja karir yang bersangkutan (seperti: nelayan, petani, peternak, montir, pengrajin, dan lain sebagainya). Dengan mengikuti beberapa modul pelatihan, maka diharapkan peserta didik dapat meningkatkan kualitas atau mutu pekerjaannya dimanapun yang bersangkutan berada dan berkarya. Biasanya yang akan mereka peroleh adalah sejumlah sertifikasi yang diakui oleh komunitas dan masyarakat industri di negara yang bersangkutan, seperti contohnya dalam berbagai bidang sebagai berikut:
• Technical Certification, meliputi: o Computer Aided Drafting, Internet Literacy, Clinical Healthcare,
Landscape and Horticulture, Dental Assisting, Legal Drafting, Handicrafting, dan lain sebagainya.
• Management Certification, meliputi: o Entrepreneurship, Supervisory Skills, Personal Financial
Management, Business Proposal Development, Marketing and Sales Engagement, Warehousing Management, Hospitality Management, dan lain sebagainya.
• Special Skills Certification, meliputi: o Family Violence Intervention, Culinary Arts, Hypnotherapy, Spa
Therapy, dan lain sebagainya.
B2.3 Personal Developmental Education
Community College tipe ini menawarkan sejumlah modul pelatihan untuk tujuan pengembangan diri para individu pembelajar agar lebih “berdaya” dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Aspek pengembangan “soft skills”, pembentukan karakter, dan pengembangan pribadi adalah contoh dari program yang ditawarkan dan dapat diikuti oleh berbagai komunitas, seperti:
• Soft Skills Development Program, meliputi: o Presentation Skills, Negotiation Skills, Team Building, Conflict
Management, Negotiation, Leadership, Communication Skills, Change Management, dan lain sebagainya.
• Character Building Development Program, meliputi: o Time Management, Work Ethics, Anger Management, Table
Manner, Interpersonal Relationship, Personal Assertiveness, Multi- Cultural Communication, Social Responsibility, dan lain sebagainya.
B2.4 Continuing Education
Community College menjadi salah satu pilar pembelajaran seumur hidup atau sepanjang hayat, karena ditawarkannya berbagai jenis kelas yang dapat diikuti oleh siapa saja tanpa memandang usia, status sosial, dan latar belakang apapun. Program-program yang bersifat budaya, humaniora, dan sosial biasanya merupakan tulang punggung dari Community College yang berada dalam domain fungsi ini (terutama “adult education”), seperti:
• Budaya dan Humaniora dengan modul pembelajaran meliputi: o Middle-East Literature Study, Yoga and Music, Ancient History,
Traditional Dance, Food and Culture, Human Communication, Movie Critics, The Art of War, Shakespeare Masterpiece, Broadway and Hollywood Phenomena, Media and Entertainment, Parents Education, dan lain sebagainya.
• Sosial dan Ekonomi dengan modul pembalajaran seperti: o American History, Politics in Asia, Bubble Economy, Millenium
Development Goals, War and Peace, Cash Flow Management, Social Conflict, Insurance and Investment,
B2.5 Industrial-Based Education
Community College sering pula menjadi “agen perpanjangan tangan” atau “mitra khusus” dari industri spesifik yang ada dalam sebuah komunitas, sehingga program yang ditawarkan berhubungan langsung dengan kebutuhan profil SDM pada sektor industri yang bersangkutan, misalnya adalah sebagai berikut:
• Agriculture Industry: Harvest Management, Weather Forecasting, Pesticide Selection, Pricing Strategy, dan lain sebagainya. • Mining Industry: Work Safety Management, Trucking System, Shipping Management, dan lain sebagainya. • Manufacturing Industry: Machine Maintenance, Quality Management System, Product Packaging Standard, dan lain sebagainya. • Utility Industry: Electricity Optimisation, Micro-Hydro Development System, Solar Energy Utilisation, dan lain sebagainya. • Tourism Industry: Hotel Management, Ticketing System, Multi-Cultural Communication, dan lain sebagainya. • Construction Industry: Fire Estinguisher Standard, Apartment Time Sharing System, Asset Management, dan lain sebagainya. • Commerce Industry: Internet Business (E-Commerce), Retail and Merchant Management, International Market System dan lain sebagainya. • Transportation Industry: Routing Management, Ground Handling, Rapid Transportation System, dan lain sebagainya. • Creative Industry: Cartoon Animation, Movie/Video Making Technique, Handicraft Promotion Management, Performing Arts Management, dan lain sebagainya. • Retail and Distribution Industry: Suply Chain Management, Warehousing System, Franchising Model, dan lain sebagainya. • Bank and Finance Industry: Credit Scoring System, Loan Management, Financial Reporting, dan lain sebagainya.
B2.6 Non-Matriculated Practical Skills Education
Community College juga kerap menawarkan program-program atau modul- modul praktis sederhana yang tidak membutuhkan persyaratan tertentu, alias siapa saja dapat memanfaatkannya untuk membangun keterampilan tertentu, seperti yang dicontohkan berikut ini.
• Personal Skills meliputi hal-hal seperti: o How to Write Resume (baca: Curriculum Vitae), How to Talk in
Front of Public, How to Think Positive, How to Motivate Yourself, How to Build Personal Image, dan lain sebagainya.
• Social Skills meliputi hal-hal semacam: o How to Start Business, How to Attain Work License, How to Sell Product Effectively, How to Manage Conflict, How to Influence
People, How to Delegate, dan lain sebagainya.
C. Perkembangan Community College di Indonesia
C.1 Ragam Jenis Community College
Pada dasarnya, secara “de facto” dan “de jure” lembaga Community College sudah berdiri dan menjamur semenjak lama di tanah air. Misalnya adalah Akademi Perbankan yang telah didirikan semenjak tahun 1969 atau Lembaga Pendidikan Komputer yang telah berkembang di awal tahun 1980-an. Program satu atau dua tahun ini pada dasarnya diselenggarakan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendidikan formal (Diploma-1 dan Diploma-2) atau melalui jenis pendidikan non-formal seperti pelatihan/training (sertifikat keahlian). Paling tidak semenjak masa Orde Baru, berkembang berbagai bentuk dan aktivitas “Community College” yang tersebar di seantero nusantara dengan bentuk dan karakteristiknya masing-masing, seperti yang dipaparkan dalam penjelasan berikut ini.
C1.1 Akademi
Merupakan lembaga pendidikan formal yang didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah, swasta, atau masyarakat di bidang tertentu, dengan durasi program
antara 1-2 tahun. Misalnya program yang ditawarkan misalnya: keperawatan, komputer, musik, animasi, memasak, bertanam, dan lain sebagainya. Peserta didik selain akan memperoleh surat tamat belajar Diploma-1 atau Diploma-2, dengan gelar akademik Ahli Pratama dan Ahli Muda. Contohnya adalah Akademi Farmasi, Akademi Sekretaris, Akademi Wushu, Akademi Maritim, Akademi Pariwisata, dan lain sebagainya.
C1.2 Badan Pengembangan SDM (BPS)
Merupakan institusi yang berada di dalam wilayah kementrian pemerintahan di Indonesia yang bertujuan untuk mempersiapkan dan meningkatkan tenaga- tenaga handal dalam sektor industri tertentu agar memiliki kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan masyarakat. Namun demikian, banyak pula ditemukan BLK yang didirikan dan dimiliki oleh individu atau pihak swasta. Mayoritas BLK yang ada di Indonesia bertujuan untuk mempersiapkan individu agar dapat terserap atau disalurkan ke bursa tenaga kerja. Contohnya adalah: BPS
Pertanian, BPS Perhubungan, BPS Kelautan dan Perikanan, BPS Pendidikan, dan lain sebagainya.
C1.3 Balai Latihan Kerja (BLK)
Merupakan suatu tempat semacam bengkel (workshop), laboratorium, atau kelas-kelas kecil yang kebanyakan didirikan oleh berbagai kalangan, pemerintah maupun swasta, sebagai “laboratorium hidup” bagi para individu yang ingin mengasah keterampilannya. Model pembelajarannya pun biasanya “hands-on” karena berupa praktek kerja yang langsung dapat diterapkan dan diimplementasikan oleh peserta didik. Contohnya adalah: BLK Industri Serang, BLK Condet, BLK Luar Negeri, BLK Daerah Jakarta, BPK Perawat, dan lain sebagainya.
C1.4 Usaha Waralaba (Franchise)
Merupakan unit usaha yang telah memiliki merek (brand) atau rekam jejak internasional yang manajemen dan implementasi penyelenggaraan program pendidikan yang ada diadopsi sepenuhnya untuk ditawarkan pada pasar lokal Indonesia. Usaha waralaba ini sesuai dengan namanya biasanya berorientasi pada keuntungan (profit) sehingga biasanya program sertifikasi atau lisensi yang ditawarkan dikenal atau diakui secara internasional. Contohnya adalah Waralaba Kursus Bahasa, Waralaba Pelatihan Musik, Waralaba Kursus Mengemudi, Waralaba Pendidikan, Waralaba Industri Kecantikan dan Estetika, dan lain sebagainya.
C1.5 Lembaga Kursus dan Pelatihan SDM
Merupakan sebuah institusi berbasis komersial maupun non-profit yang kebanyakan diselenggarakan oleh swasta dan masyarakat untuk meningkatkan kompetensi, keahlian, dan keterampilan peserta didik. “Training Course” ini biasanya menawarkan program untuk mendapatkan sertifikat, baik yang bersifat lokal (dari lembaga yang bersangkutan) maupun yang dikenal luas sebagai standar (regional maupun internasional). Contohnya adalah Kursus Musik, Kursus Kemahiran Komputer, Kursus Tari, Kursus Jurnalistik, Kursus Sulap, dan lain sebagainya.
Community College di Indonesia dalam Berbagai Bentuk Penyelenggaraan
Penyelenggara
No Propinsi Total
SMK
Univ/PT
BL
1 Aceh
- 5 2 Sumatera Utara
6 1 2 9 3 Riau
- 6 4 Jambi
- 2 5 Sumatera Barat
8 2 - 10 6 Sumatera Selatan
1 11 7 Lampung
- 5 8 DKI Jakarta
1 10 9 Jawa Barat
23 5 2 30 10 Banten
- 2 11 Jawa Tengah
33 8 1 42 12 DI Yogyakarta
9 1 1 11 13 Jawa Timur
30 4 2 36 14 Kalimantan Barat
7 1 - 8 15 Kalimantan Tengah
- 1 16 Kalimantan Timur
1 - 1 17 Kalimantan Selatan
- 2 18 Sulawesi Utara
- 1 19 Gorontalo
- 2 20 Sulawesi Tengah
- 6 21 Sulawesi Tenggara
- 1 22 Sulawesi Selatan
- 2 26 Papua dan Papua Barat
C1.6 Pusat Pemberdayaan SDM Organisasi
Merupakan unit atau divisi dalam sebuah organisasi – seperti perusahaan asing atau nasional, organisasi massa, perkumpulan/perhimpunan, asosiasi, atau institusi pemerintahan – yang memiliki fungsi khusus untuk memberdayakan dan mengembangkan kemampuan SDM atau karyawan yang ada di dalam lingkungan organisasi dimaksud. Di luar jam kerja, biasanya unit atau divisi ini menyediakan dan menawarkan pula program-program bagi masyarakat atau komunitas sekitar.
C1.7 Yayasan Pendidikan (Sosial)
Merupakan badan hukum sosial atau nirlaba yang memiliki misi khusus untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui pemberdayaan individu- individu yang lemah. Yayasan sosial ini biasanya menyelenggarakan program yang berisi aktivitas untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dengan berbagai visi dan misi khusus, seperti: (i) membentuk wiraswastawan/wati; (ii) mempersiapkan individu agar terserap ke dunia kerja; (iii) meningkatkan kompetensi, keahlian, dan keterampilan individu; (iv) membekali individu dengan pengetahuan tambahan sebagai penunjang karir; dan lain sebagainya.
C1.8 Program CSR Industri
Merupakan sebuah program atau proyek berbasis CSR (Corporate Social Responsibility) yang diselenggarakan oleh perusahaan atau sektor industri tertentu sebagai keperdulian mereka terhadap masyarakat dan komunitas sekitar dimana yang bersangkutan menjalankan usaha bisnisnya. Biasanya perusahaan yang melaksanakan aktivitas CSR adalah mereka yang telah “mengambil” sesuatu dari masyarakat, sehingga sebagai kompensasinya, mereka berkomitmen untuk “mengembalikan” atau “membalas budi” terhadap masyarakat terkait. Contohnya adalah pada sektor industri pertambangan seperti minyak, gas bumi, batu bara, timah, dan lain sebagainya. Mendirikan sekolah, akademi, pusat pelatihan dan pengembangan SDM, dan sentra-sentra pendidikan merupakan salah satu fokus program CSR yang dikembangkan.
C1.9 Sentra Pengabdian Masyarakat PT
Merupakan bagian dari unit perguruan tinggi yang diperuntukkan untuk menjalankan darma pengabdian masyarakat yang diembannya; dimana pada jam-jam di luar perkuliahan, biasanya malam hari, sejumlah divisi atau fasilitas perguruan tinggi dapat dipergunakan oleh komunitas dan masyarakat sekitar melalui pelaksanaan berbagai bentuk pembelajaran yang fleksibel dan terjangkau biayanya. Sentra-sentra ini menjadi semacam tempat bagi komunitas dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktisnya.
C.2 Permasalahan dan Isu Strategis
Pada kenyataannya, perkembangan Community College di Indonesia berjalan secara sporadis dan tidak terstruktur, terbukti dari belum adanya data yang lengkap dan komprehensif mengenai keberadaannya di seluruh pelosok nusantara. Namun demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa telah cukup banyak kontribusi yang diberikannya selama ini – dimana dalam sejarah mencapai puncaknya ketika Indonesia berhasil mencapai tingkat “swa sembada” di sejumlah sektor industri andalan. Pasca era reformasi, keberadaan sentra- sentra Community College mulai banyak dipertanyakan, terbukti dari mulai pudarnya identitas (baca: “brand” atau merek) terkemuka mereka yang sudah tidak terdengar lagi di telinga masyarakat. Di tengah-tengah berkembangnya Community College di negara lain, ada sejumlah isu dan permasalahan yang mengemuka di Indonesia, seperti yang dipaparkan secara ringkas berikut ini.
C2.1 Dominasi Pendidikan Formal
Selama ini, masyarakat di Indonesia lebih mengutamakan pendidikan di jalur formal, sehingga untuk Community College, yang lebih dikenal adalah dalam konteks keberadaan sejumlah akademi formal seperti Akademi Sekretaris, Akademi Perbankan, Akademi Komputer, Akademi Keperawatan, dan lain sebagainya. Dari masa ke masa, kebanyakan akademi yang berada pada jalur pendidikan formal ini bermetamorfosis menjadi Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas dimana lebih banyak didominasi oleh pendidikan berbasis akademik, yaitu untuk menciptakan para sarjana sebagai kumpulan individu pemikir. Belum lagi ditambah dengan kesalahan anggapan yang berkembang di masyarakat yang bermuara pada termajinalisasinya program D-1 dan D-2 yang Selama ini, masyarakat di Indonesia lebih mengutamakan pendidikan di jalur formal, sehingga untuk Community College, yang lebih dikenal adalah dalam konteks keberadaan sejumlah akademi formal seperti Akademi Sekretaris, Akademi Perbankan, Akademi Komputer, Akademi Keperawatan, dan lain sebagainya. Dari masa ke masa, kebanyakan akademi yang berada pada jalur pendidikan formal ini bermetamorfosis menjadi Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas dimana lebih banyak didominasi oleh pendidikan berbasis akademik, yaitu untuk menciptakan para sarjana sebagai kumpulan individu pemikir. Belum lagi ditambah dengan kesalahan anggapan yang berkembang di masyarakat yang bermuara pada termajinalisasinya program D-1 dan D-2 yang
C2.2 Struktur Kelembagaan
Pada kenyataannya, tidak semua Community College yang secara ‘de facto’ beroperasi di Indonesia berada dalam wilayah pembinaan dan/atau pengawasan Kementrian Pendidikan Nasional. Contohnya adalah perguruan tinggi kedinasan atau pusat-pusat pendidikan dan pelatihan seperti Balai Latihan Kerja atau Badan Pengembagnan SDM yang berada di bawah institusi Kementrian lain semacam Kementrian Pertambangan, Kementrian Pertahanan, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kelautan, Kementrian Tenaga Kerja, dan lain sebagainya. Perbedaan binaan dan administrasi ini pada tataran lapangan sering menyebabkan terjadinya isu terkait dengan aspek kompatabilitas konten, kualitas lulusan, dan “learning outcome” yang dihasilkan. Keberadaan KKNI tentu saja menjadi salah satu solusi yang dapat mengatasi permasalahan ini; namun pada tataran penerapan atau implementasi, dibutuhkan koordinasi lintas sektoral/kementrian yang efektif dan intensif. Hal ini bertujuan agar para alumni Community College benar-benar mendapatkan manfaat atau “value” yang dijanjikan atau mereka harapkan sebelumnya. Jika kerjasama ini tidak terjalin dengan baik, maka nilai keberadaan Community College di masyarakat akan menjadi rendah dibandingkan dengan institusi pendidikan lainnya.
C2.3 Model Pendanaan dan Sustainabilitas
Aspek pendanaan merupakan hal yang krusial bagi sebuah Community College untuk dapat bertahan dan berkembang dari masa ke masa (baca: “sustainable”).
Dalam konteks untuk menjaga kebersinambungan operasional yang ada, Community College perlu memiliki “financial model” yang efektif dan langgeng. Seperti telah disampaikan sebelumnya, model pendanaan Community College bisa beranekaragam, antara lain: biaya kuliah, anggaran pemerintah daerah, dana sumbangan masyarakat/komunitas, kerjasama kemitraan industri, hibah dalam dan luar negeri, dan lain-lain. Intinya adalah bahwa Community College harus kreatif dan pintar-pintar mengelola arus kasnya agar dari waktu ke waktu senantiasa tersedia dana yang mencukupi untuk menjalankan aktivitas operasionalnya. Telah menjadi rahasia umum bahwa cukup banyak Community College yang terpaksa gulung tikar karena kekurangan dana.
C2.4 Profil Instruktur dan Pengajar
Sesuai dengan karakteristiknya, Community College membutuhkan dukungan SDM instruktur dan pengajar yang berlatar belakang praktisi aktif atau yang berpengalaman menciptakan manusia terlatih. Sayangnya, kebanyakan dari mereka ini belum atau tidak memiliki latar belakang pendidikan formal yang “mencukupi” atau memenuhi syarat secara administratif atau legal formal. Dalam konteks ini, mekanisme “recognition of prior learning” harus benar-benar diimplementasikan agar banyak pihak yang dapat dilibatkan sebagai instruktur maupun pengajar yang handal. Jika tidak, maka akan sulit menemukan dosen yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan, serta memiliki kapabilitas
8 Lulusan akademi sering dianggap sebagai warga negara “kelas dua” karena dianggap kalah “status” dengan mereka yang bergelar Sarjana atau bahkan Diploma-3.
sebagaimana dipersyaratkan oleh berbagai standar yang dikembangkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional.
SWOT Analysis Community College di Indonesia
Strength
Weakness
• Ada Sisdiknas 2003 dan beberapa
• Terminologi CC belum ada
turunan perundangan
dalam Sisdiknas 2003
− Sistem pendidikan terbuka
• CC yang ada:
− KKNI
− Struktur pendidikannya :
• Political will untuk:
input, proses, output dan
S dan
− Menyelaraskan pendidikan
outcome belum jelas
dengan dunia kerja
− Lembaga penyelenggara
− Meningkatkan Pendidikan
beragam
vokasi
• Posisi CC dalam Sisdiknas
• CC sudah ada sebagai post
belum jelas
O dan
secondary education sejak 2002
• UU Otda:Linkage CC dengan
Pemda • Ada partisipasi industri dan pendidikan swasta dalam pengembangan CC
• CC merupakan jenis pendidikan
Memposisikan CC dalam yang segera menjawab masalah
Menumbuh kembangkan CC secara
Sisdiknas: ketenaga kerjaan
nasional
• Pengakuan dan • Jenis Pendidikan yang langsung
• Mengoptimalkan CC yang ada:
penempatan CC yang sudah masuk ke mainstream ekonomi
− Standarisasi kompetensi
ada dalam Sisdiknas daerah/nasional meningkatkan
lulusan menurut KKNI
• Pengakuan dan daya saing bangsa karena
− Inventarisasi, klasifikasi dan
penyetaraan kompetensi menghasilkan:
akreditasi CC yang ada
• Membangun CC baru
− Tenaga terampil − Produk berkualitas
• Meningkatkan partisipasi lulusan SMTA masuk Dikti: − Meningkatkan APK Dikti − Meningkatkan tenaga kerja
berpendidikan tinggi
• CC tidak menarik lulusan SMTA
CC sebagai unsur Sisdiknas karena posisi yang tidak jelas dalam
CC sebagai salah satu unsur
strategis dalam pembangunan Sisdiknas
pendidikan sepanjang hayat dengan
biaya pendidikan terjangkau
daerah
• Unsustainability CC yang ada
• Clustering lembaga terkait: karena kurang dukungan
masyarakat:
− PT setempat masyarakat
− Komitmen Pemda
− Pemda • Daya beli masyarakat untuk
− Komitmen Industri
− Industri pendidikan rendah
− CSR
− Masyarakat • Penyediaan sarana/prasarana CC mahal
C2.5 Relevansi Konten dan Sistem Pembelajaran
Membuat kurikulum dan konten yang sesuai dengan kebutuhan dinamis para peserta didik merupakan tantangan tersendiri yang dihadapi oleh penyelenggara Community College. Sistem pembelajaran yang dikembangkan dan diadopsi pun sangat berbeda dengan kebanyakan model pendidikan formal lainnya, karena Membuat kurikulum dan konten yang sesuai dengan kebutuhan dinamis para peserta didik merupakan tantangan tersendiri yang dihadapi oleh penyelenggara Community College. Sistem pembelajaran yang dikembangkan dan diadopsi pun sangat berbeda dengan kebanyakan model pendidikan formal lainnya, karena
C2.6 Ketersediaan Fasilitas dan Sarana Prasarana
Banyak persepsi praktisi maupun pelaku pendidikan yang beranggapan bahwa sebuah Community College tidak memerlukan fasilitas serta sarana prasarana yang berkualitas dan mahal. Justru sebaliknya, dalam arti kata bahwa untuk dapat menciptakan SDM yang handal dalam kurun waktu tidak lebih dari dua tahun, dibutuhkan fasilitas dan sarana prasarana yang memadai – terutama dalam mendukung siswa peserta didik mengembangkan kemampuannya berdasarkan model dan cara belajarnya masing-masing (independen dan mandiri). Sering kali hal ini kurang menjadi perhatian, alias cukup banyak penyelenggara Community College yang membangun fasilitas serta sarana prasarana seadanya. Tentu saja hal ini tidak berlaku untuk semua jenis Community College, karena ada juga yang hanya membutuhkan alat-alat atau piranti sederhana sesuai dengan program atau modul pembelajaran yang ditawarkan ke komunitas.
C.3 Tantangan Community College di Masa Mendatang
Salah satu tren yang mencirikan komunitas moderen adalah terbentuknya masyarakat madani, dalam arti kata terbentuknya beraneka ragam komunitas basis yang sangat mandiri dan independen dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam konteks ini, tentu saja peranan Community College di masa depan akan sangat krusial dalam meningkatkan akses serta kualitas pendidikan di tanah air. Tingkat daya saing sebuah Community College pun akan menjadi naik sejalan dengan inisiatif diintegrasikannya beragam institusi pendidikan di tanah air melalui jaringan
teknologi informasi dan komunikasi semacam INHERENT atau JARDIKNAS 9 . Yang pasti adalah bahwa postur dan profil Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat heterogen ini membutuhkan beraneka ragam modul pendidikan dan pembelajaran bagi masyarakatnya. Dengan tingginya dinamika perubahan yang terjadi dalam era globalisasi ini, maka keberadaan Community College sebagai jawaban terhadap kebutuhan pendidikan formal dalam konteks pembelajaran sepanjang hayat akan menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Untuk itulah diperlukan strategi yang tepat dalam mengembangkan sistem Community College yang relevan dengan kebutuhan serta situasi kondisi masyarakat nusantara.
9 Indonesia Higher Education Network dan Jaringan Pendidikan Nasional yang dikelola oleh PUSTEKOM (Pusat Teknologi Komputer) di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional.
D. Strategi Pengembangan Community College
D.1 Prinsip Pengembangan Community College
Mengingat bahwa pada dasarnya secara “de facto” telah tumbuh Community College di seluruh wilayah nusantara dengan model dan karakteristiknya
masing-masing 10 – dimana sebagian besar bukan merupakan bagian dari sistem pendidikan formal – dan keberadaan mereka telah mendapatkan pengakuan masyarakat karena berhasil memberikan manfaat dan nilai tambah bagi peningkatan pengetahuan, kompetensi, keahlian, dan keterampilan masyarakat, maka disarankan dipegangnya sejumlah prinsip pengembangan Community College di tanah air sebagai berikut:
1. Pemerintah atau masyarakat tidak perlu bersusah payah mencoba membangun institusi-institusi baru berlabel “Community College”, tapi cukup memberikan pengakuan atau label “Community College” terhadap lembaga atau sentra pendidikan formal, non-formal, maupun informal yang telah berdiri dan berjalan baik hingga saat ini, dan berkeinginan untuk berkembang sebagai lembaga pendidikan/pembelajaran berbasis komunitas;
2. Untuk dapat memenuhi syarat sebagai sebuah “Community College” yang diakui oleh pemerintah, perlu disusun sejumlah kriteria yang akan dijadikan sebagai standar pegangan dalam menyeleksi ribuan sentra- sentra pendidikan dan pembelajaran yang tumbuh subur di tanah air;
3. Adanya kerangka yang secara jelas memposisikan peran “Community College” dan status alumninya dalam kerangka sistem pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, sehingga keberadaannya merupakan bagian yang terintegrasi dan tak terpisahkan dari struktur pendidikan yang ada di tanah air; dan
4. Dikembangkannya sejumlah kebijakan dan peraturan yang berpihak pada pembentukan
bagi pembangunan dan pengembangan Community College di Indonesia.
lingkungan kondusif
D.2 Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Community College
Adapun usulan tahapan implementasi pengembangan yang diusulkan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikemukakan sebelumnya dapat dibagi menjadi 6 (enam) tahapan utama, masing-masing dengan penjelasan sebagai berikut.
D2.1 Tahap Pencatatan
Tahap ini meliputi aktivitas untuk mencari, mengenali, mendeteksi, serta menginventarisasi seluruh Community College berbagai tipe yang selama ini telah beroperasi di seluruh wilayah tanah air. Pencarian dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu “menjemput bola” atau “menunggu bola”. Strategi menjemput bola adalah secara aktif pemerintah dengan jajaran dan jejaring yang dimilikinya mengunjungi tempat-tempat yang dianggap memiliki cukup banyak pusat-pusat pembelajaran berbasis komunitas; sementara menunggu bola mengandung arti
10 Namun demikian secara “de jure” tidak dianggap sebagai Community College karena tidak
berada dalam wilayah Kementrian Pendidikan Nasional dan berada pada jalur pendidikan non-
formal atau bahkan informal.
bahwa pemerintah membuka pendaftaran bagi siapa saja pemilik institusi pembelajaran yang ingin “melamar” menjadi Community College yang diakui oleh negara.
D2.2 Tahap Penyusunan Kriteria
Tahap ini merupakan proses dimana pemerintah menyusun kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sebuah lembaga yang telah operasional untuk menjadikannya sebagai Community College. Kriteria atau indikator yang dimaksud haruslah yang selaras dan sesuai dengan karakteristik dan tantangan yang dimiliki oleh sebuah Community College, misalnya terkait dengan telah berapa lama lembaga yang bersangkutan beroperasi, bagaimana model kurikulum dan kontennya, seperti apa struktur permodalan dan keuangannya, siapa saja pemiliknya dan pemangku kepentingan utama, strategi operasional seperti apa yang diadopsi, fasilitas dan sarana prasarana apa yang dimilikinya, profil instruktur dan dosen semacam apa yang selama ini terlibat, dan lain sebagainya.
D2.3 Tahap Penilaian