Membentuk KPK Daerah.

h~:"~~Pil[iran
o Se/Jsa o Rabu

4
Oleb

6

5
20

21

7
22

o Mar o Apr (JMei

Membentuk

.


Rakyat

8
23

ASCAPENANGKAPAN direktur PT Istana
Sarana Raya, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan
mobil pemadam kebakaran
(damkar) di sejumlah daerah di
Indonesia 19 Juni, membuka
rezim baru pemberantasan korupsi di'daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seakan
mendapat "amunisi" baru dan
siap menciduk para kepala daerah, yang terindikasi kuatterlibat kasus itu. Dalam beberapa
bulan terakhir, KPK telah memeriksa sejumlah kepala daerah yang pernah membeli mobi! damkar milik Hengky.
Kenyataan itu sejalan dengan
publikasi data statistik Pukat
(Pusat Kajian Antikorupsi) Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, dalam laporan korupsi triwulan III 20P9 yang
memaparkan kerugian negara

akibat maraknya korupsi di
daerah mencapai ratusan miliar
rupiah. Modus korupsinya paling tinggi penyalahgunaan anggaran.

P

"Akar" korupsi
Fenomena korupsi massal
yang terjadi khususnya di era
desentralisasi, sebenarnya tak
bisa dilepaskan dari model birokrasi di Indonesia. Richard
Robinson (1986) sebagaimana
dikutiP Anang Arief Susanto
menyebutkan, jenis birokrasi di
.Indonesia adalah birokrasi patrimonial, sehingga praktik korupsi ~ang dililkukan aparat bi-

10

9
24


OJlln

12

11
25

26

8 Jill OAgs

o Minggu

Sabtu

14

13
27


OSep

28

OOkt

15
29

ONov

16
3C'

31

ODes ,

KPI{ Daerah


Oleh SUHARIZAL

.

o Jumat o

Karnis

rokrasi sulit dikendalikan.
Praktik korupsi yang kian
menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor, menggambarkan ironi desentralisasi
sebagaimana digambarkan tadi. Dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), mulai
Jalluari hingga Desember 2004
atau pada saat tahun pertama
pemberlakuan UU 32/2004,
terdapat 239 kasus korupsi di
berbagai daerah dengan bermacam aktor, modus, dan tingkat 'kerugian yang diderita negara. Yang mengkhawatirkan,
sebagian besar pmktik korupsi
terjadi pada era desentralisasi,

justru dilakukan anggota parlemen (DPRD) yang notabenenya secara fungsional merupakan lembaga kontrol dan seharusnya merepresentasikan kehendak publik. Setidaknya sudah ada 102 kasus korupsi.
Bila dirinci lebih jauh dari
konteks administrasi pemerintahan daerah, korupsi tumbuh
dan berkembang dapat dilihat
dari tiga persoalan penting.
Pertama, sadar atau tidak,
program otonomi daerah yang
digulirkan pemerintah hanya
terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan, dan administrasi clari pemerintah pusat
ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Program otonomi
daerah tidak diikuti dengan
program demokratisasi yang
membuka ~luang k~rl!ba.tan

masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Oleh karena itu,
program desentralisasi inihanya memberi peluang kepada
elite lokal, untuk mengakses
sumber-sumber ekonomi dan
politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol

secara efektif penyimpangan
wewenang di daerah. Program
otonomi daerah telah memotong struktur hierarki pemerintahan, sehingga tidak efektiflagi kontrol pemerintah pusat ke
daerah, karena tidak ada lagi
hubungan struktural secara
langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah ~epada pemerintah pusat. Kepala
daerah, baik gubernur, bupati,
maupun wali kota, tidak lagi ditentukan pemerintah pusat,
melainkan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD
dan bertanggung
jawab ke
DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya
fungsional, yailu kekuasaan
untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
Ketiga, legislatif gagal dalam
menjalankan fungsinya sebagai
lembaga kontrol. Sebaliknya,
terjadi kolusi yang erat antara
pemerintah daerah dan DPRD
sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan

derah tidak terjadi, sementara
kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digarisbawahi, adanya lembaga.
kontrol seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi
kebijakan pemerintah daerah,

tidakberarti kemungkinail akan
adanya penyelewengan Cfankarupsi menjadi hilang. Juslru ketika kolusi terjadi antara ~ekutif dengan legislatif, sangat sulit
bagi masyarakat untuk nfelakukan kontrol atas kedua lembaga
tersebut oleh karena ownomi
masyarakat tidak diwujuQlahkan
menghilangkan) prakti~raktik korupsi di daerah. Mf.idahmudahan. ***
Penulis, mahasiswa,Program Doktor (8-3) Huk4tn Ketatanegaraan Universitqs PacJJ2c1J~'anBandung.

Kliping
----

Humos

Unpod
------


2009--