Monograf Hukum Agraria Membangun Pluralisme Hukum Dalam Kerangka Unifikasi Hukum Agraria.

Bab I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdebatan mengenai pluralisme hukum dan unifikasi hukum dalam
bidang hukum agraria, dari zaman penjajahan Belanda dahulu hingga saat
ini selalu menarik untuk didiskusikan karena fakta di lapangan
menunjukkan timbulnya beragam kasus sengketa/konflik pertanahan dan
agraria sedikit banyak disebabkan oleh masalah-masalah pluralisme hukum
dan unifikasi hukum. Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena berujung
pada munculnya ketidak-adilan agraria terutama dalam hal terhambatnya
akses (terutama) masyarakat hukum adat pada sumber daya alam.
Di era Reformasi, di mana prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan
keberlanjutan atas penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber daya
alam

dikedepankan

sesuai

dengan


amanat

Ketetapan

MPR

No.

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam, pada kenyataannya friksi antara pluralisme hukum dan unifikasi
hukum tetap mewarnai perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia yang
berbasis pada pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini seolah menyertai
berkembangnya isu-isu negara federal dan negara kesatuan, otonomi daerah
dan pemerintah pusat, statute law dan people law/volksrecht, yang
berkembang dalam pembangunan hukum di Indonesia1. Dengan kata lain,
dinamika pembangunan bidang ekonomi di Indonesia diwarnai dengan isuisu pluralisme hukum dan unifikasi hukum dalam hal pengaturannya.
Fakta di atas tidak terlepas dari perjalanan historis dari UUPA itu
sendiri, sebagai peraturan dasar/pokok-pokok keagrariaan yang lahir pada
tahun 1960 dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan

kesederhanaan hukum agraria, melalui unifikasi hukum agraria. Untuk itu,
dalam Penjelasan Umum UUPA ditegaskan bahwa salah satu tujuan
1

Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, 2013: hlm. 205

1

dibentuknya UUPA adalah untuk mengakhiri dualisme hukum agraria yang
berlaku saat itu, yaitu berlakunya peraturan-peraturan hukum adat di
samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat
(hukum kolonial penjajah)

2

. Namun dalam perjalanannya, UUPA

diimplementasikan dalam nuansa politik hukum yang berbeda-beda,
sehingga memberi makna yang berbeda-beda pula atas pemahaman
pluralisme hukum itu sendiri.

Apapun politik hukumnya, fakta yang terjadi di lapangan begitu
banyak kasus timbul yang disebabkan oleh perbedaan penggunaan dasar
hukum yang diterapkan

dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum

yang berkenaan dengan tanah, agraria dan sumber daya alam, antara
pemerintah/pengusaha di satu pihak dan masyarakat hukum adat di lain
pihak. Pemerintah dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang atau
pengusaha tentu mendasarkan pada hak-hak atas tanah yang diatur dalam
UUPA; atau dalam memberikan hak atau izin dalam pengelolaan sumber
daya alam (tambang, hutan dsb) pemerintah memberikan hak/izin dimaksud
sesuai yang ditentukan dalam ketentuan hukum nasionalnya (Undangundang Pertambangan atau Undang-undang Kehutanan). Sementara itu,
masyarakat hukum adat mendasarkan diri pada ketentuan-ketentuan hukum
adat yang berlaku bagi komunitasnya dalam mengelola dan memperlakukan
tanah dan sumber daya alam yang ada di wilayah ulayatnya.
Secara sederhana, pluralisme hukum terjadi manakala dalam suatu
ruang sosial berlaku lebih dari satu sistem hukum. Dalam hal ini, selain
berlaku sistem hukum nasional sebagai wujud unifikasi hukum, berlaku juga
sistem hukum lokal (adat) yang secara turun temurun “living” dalam

komunitas masyarakat hukum adat tersebut. Dalam perspektif pluralisme
hukum, sejatinya dua atau lebih sistem hukum itu bersinergi dalam suatu
sistem hukum nasional yang harmonis, bersinergi meskipun di sisi lain
terjadi antinomi atas nilai-nilai yang terkandung dalam kedua (atau lebih)
sistem hukum tersebut. Harmonisasi sistem hukum yang diharapkan
2

Lihat Penjelasan Umum UUPA

2