Gambaran Source Of Parenting Self-efficacy Pada Ibu Yang Memiliki Anak Autis.

GAMBARAN SOURCE OF PARENTING SELF-EFFICACY
PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

WAHYU SELFIANA HARTA

ABSTRAK

Memiliki anak autis merupakan suatu hal yang dapat membebani pikiran
orang tua khususnya ibu. Keterbatasan pada anak autis menyebabkan kurangnya
kepercayaan orang tua akan kemampuannya dalam mengasuh anak.
Subjek penelitian ini (N = 3) adalah ibu yang memiliki anak autis di
Kabupaten Bandung. Metode yang digunakan yaitu in-depth interview. Gambaran
source of self-efficacy yang dimiliki ibu ketika mengasuh anak autis yaitu ketiga
subjek mengandalkan pengalaman pribadinya (EME) dalam mengasuh anak autis
untuk mencari tahu cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya. Setiap subjek
mengalami ketergugahan emosi negatif (EA) selama mengasuh anak autis, akan tetapi
dampaknya terhadap sikap dalam pengasuhan anak berbeda-beda.
Dari tiga subjek, satu subjek mengatakan merasa memiliki self-efficacy yang
cukup memadai serta percaya kepada kemampuan yang dimiliki dalam mengasuh
anak autis. Dua subjek lainnya merasa tidak yakin akan kemampuannya untuk bisa
mengasuh anak autis dengan baik.

Kata kunci : Source of self-efficacy, Enactive Mastery Experience, Vicarious Experience,
Verbal Persuasion, Emotional Arousal.

PENDAHULUAN
Setiap anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada orang tua.
Memiliki anak yang sehat dan mampu berkembang dengan baik secara fisik maupun
mental adalah keinginan utama orang tua. Pada tumbuh kembangnya anak dapat
terjadi berbagai macam kendala, termasuk adanya gangguan perkembangan anak.
Gangguan ini mencakup perkembangan anak yang tidak sesuai dengan usianya dan
munculnya perilaku maladaptif pada anak. Salah satu gangguan yang banyak dialami
saat ini adalah autis.
Orang dengan gejala autis cenderung untuk jarang berkomunikasi dan
berespon ketika diajak berbicara, kurang mampu memahami interaksi nonverbal, dan
sangat sulit untuk membangun pertemanan dengan teman sebayanya. Penderita autis
juga memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain, kepekaan yang tinggi
terhadap perubahan lingkungan, serta secara intens sering memusatkan perhatian
pada objek yang tidak tepat (DSM V, American Psychiatric Association).
Anak yang menderita autis biasanya dikucilkan dan tidak mudah diterima oleh
lingkungannya. Anak dengan autis juga dipandang akan sulit beradaptasi serta
berinteraksi ketika nantinya ditempatkan ditengah-tengah masyarakat. Selain itu,

kondisi medis dan kecacatan lahir menyebabkan tingginya kunjungan ke rumah sakit,
dan stres finansial dapat mempengaruhi ketenangan dan kesejahteraan anggota
keluarga. Orang tua dengan anak yang didiagnosa disabilitas perkembangan,
kemungkinan akan mengalami perasaan shock, takut, sedih, dan kecewa ketika
pertama kali mendengar hal tersebut (Teti, O’Connell, & Reiner, 1996:240).
Melihat kondisi anak autis dengan segala keterbatasannya dapat menimbulkan
stres pada orang tua terutama ibu yang notabene bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak. Pada umumnya, ibu adalah individu yang paling banyak
berinteraksi dengan anak, baik dalam pengurusan rumah tangga dan pengasuhan
anak, dimana hal tersebut merupakan tugas utama para ibu (Perry-Jenkins, Seery dan
Crouter, 1992 dalam Shankmalian, 2005:7). Kebanyakan ibu memiliki impian
terhadap anaknya baik sebelum maupun setelah dilahirkan. Para ibu memiliki harapan
yang tinggi terhadap perkembangan kehidupan dan masa depan anaknya kelak.

Namun setelah menerima kenyataan bahwa anaknya menderita autis dan jauh berbeda
dari anak-anak normal, hal tersebut menjadi sesuatu hal yang sangat sulit untuk
diwujudkan.
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada 3 orang ibu yang
memiliki anak autis, sumber stres utama bagi orang tua yang memiliki anak autis
adalah kondisi anak yang mengharuskan orang tua untuk menjaga selama 24 jam

sehingga menimbulkan kelelahan fisik dan emosional. Selain itu, anak juga dapat
mengganggu aktifitas sehari-hari orang tua, seperti jadwal kerja dan waktu istirahat.
Disamping mengganggu aktifitas orang tua, kondisi anak yang memiliki kekurangan
membuat orang tua merasa malu. Karena hal tersebut, ada orang tua yang menitipkan
anak pada saudara lain, pengasuh, dan tempat penitipan anak berkebutuhan khusus.
Kekurangan yang dimiliki oleh anak autis cenderung memicu emosi orang
tua, dan pada akhirnya orang tua melakukan tindakan fisik kepada anak, seperti
mengurung anak, mengekang tubuh anak, memukul, mencubit, dan menyeret. Ibu
juga sering melampiaskan emosinya dengan menunjukkan kemarahan pada anggota
keluarga yang lain. Selain itu, ibu juga mencari sahabat sebagai tempat untuk berbagi
cerita serta keluhan yang dihadapi selama membesarkan anaknya yang mengalami
keterbatasan. Ada juga ibu yang sengaja mencari kesibukan diluar rumah, seperti
bekerja dan berkumpul dengan teman-teman untuk meminimalisir kontak langsung
dengan anaknya yang dinilai sebagai sumber stres.
Dalam menyikapi kekacauan emosional yang dialami oleh para ibu dengan
anak autis, Spielman dan Taubman-Ben-Ari (2009) mengatakan bahwa tingginya
kepercayaan diri dapat memotivasi seseorang untuk meraih tujuan dan mengatasi atau
menghadapi rintangan, dan hal ini merupakan perilaku adaptif yang berorientasi pada
tujuan. Bagaimana cara ibu dalam mangatasi permasalahan yang muncul baik dari
dalam diri seperti regulasi emosi dan tuntutan dari lingkungan sangat menentukan

apakah ibu dapat memberikan pola asuh yang berdampak positif bagi perkembangan
anak. Peran ibu dalam pengasuhan anak juga sangat ditentukan oleh cara pandang ibu
terhadap kemampuannya dalam mengasuh anak. Hal ini disebut dengan parenting
self-efficacy.

Parenting self-efficacy didefinisikan sebagai derajat keyakinan orang tua akan
kemampuannya secara efektif dan kompeten dapat berperan sebagai orang tua (Teti &
Gelfand, 1991) - definisi ini diturunkan dari teori self-efficacy secara umum
(Bandura, 1977). Self-efficacy mengacu pada keyakinan akan suatu kemampuan
untuk menampilkan tingkah laku dengan sukses (Bandura, 1977).
Self-efficacy menjadi hal yang dibutuhkan oleh orang tua dalam proses
pengasuhan dan pengembangan anak. Ketika orangtua merasa yakin atau percaya diri

pada kemampuan mereka menjadi orang tua, mereka cenderung akan mempraktekkan
pengasuhan yang lebih efektif, yang akan membantu perkembangan positif bagi
anaknya. Oleh karena itu parenting self-efficacy sangat penting untuk dimiliki oleh
ibu dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengasuh utama dan orang yang paling
dekat secara emosional dengan anak.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Al-Kandari dan Al-Qashan
(2009), menyebutkan bahwa orang tua terutama ibu yang memiliki anak autis

mengalami kehidupan yang lebih sulit dibandingkan dengan orang tua yang memiliki
anak normal. Ibu dengan anak autis memiliki level kontrol diri yang rendah dalam
mengasuh anak autis. Keharusan untuk menjaga anak setiap saat, menciptakan
lingkungan yang mendukung perkembangan anak, dan mengupayakan pengobatan
medis, membuat tingginya tingkat kejengkelan pada ibu dalam mengasuh anak autis.
Kondisi ini menyebabkan tingginya tingkat stres dan depresi pada ibu yang memiliki
anak autis. Hingga akhirnya mempengaruhi self-efficacy ibu dalam mengasuh anak
autis. Selain itu, kurangnya dukungan sosial dan pengetahuan ibu mengenai cara
mengasuh anak autis juga merupakan faktor yang menyebabkan self-efficacy ibu
menjadi

rendah.

Sehingga

hal

tersebut

mengurangi


keyakinan

ibu

akan

kompetensinya dalam mengasuh anak autis.
Pengambilan data awal peneliti lakukan terhadap 3 orang ibu yang memiliki
anak autis. Hasil wawancara tersebut mengungkapkan bahwa seringkali ibu merasa
tidak mampu membesarkan anaknya dan terkadang ingin menyerah dalam memenuhi
kebutuhan dan keperluan anaknya. Satu orang ibu mengatakan tidak yakin akan
kemampuannya dalam mengasuh anak autis dikarenakan tidak pernah memiliki anak

berkebutuhan khusus sebelumnya dan tidak memiliki pengalaman dalam mengasuh
anak autis. Dua orang ibu lainnya mengungkapkan bahwa ketidaksanggupan dalam
mengasuh anak autis disebabkan oleh kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat
seperti suami dan anggota keluarga lainnya, serta tidak ada orang yang bisa dicontoh
dalam mengasuh anak autis. Oleh karena itu pada penelitian ini ingin ditelusuri lebih
lanjut bagaimana kondisi self-efficacy ibu dalam mengasuh anak autis berdasarkan

sumber yang membentuk self-efficacy tersebut.
Berdasarkan kasus yang ditemui, penelitian ini ingin memfokuskan untuk
mengumpulkan data yang lebih mendalam mengenai gambaran sources of parenting
self-efficacy pada ibu yang memiliki anak autis di Kabupaten Bandung yang
merupakan tujuan dari diadakannya penelitian.

METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Pendekatan kualitatif dalam penelitian
ini dimaksudkan agar peneliti memahami responden secara personal. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu pencarian fakta dengan
interpretasi yang tepat (Whitney 1960; dalam Nazir 2005). Tujuannya adalah untuk
membuat deskripsi atau gambaran, secara faktual dan akurat mengenai source of
parenting self-efficacy pada ibu yang memiliki anak autis. Jenis penelitian deskriptif
yang digunakan adalah jenis studi kasus.

Partisipan
Subjek dari penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di daerah
Kabupaten Bandung. Diagnosa autis anak disampaikan oleh pihak profesional seperti
psikolog atau dokter ahli syaraf. Pengambilan sampel sebagai partisipan penelitian

didasarkan atas rancangan purposive sampling. Purposive sampling adalah sebuah
tipe non-probability sampling yang pemilihan unit sampelnya berdasarkan ciri-ciri
yang dimiliki subjek, karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang

akan dilakukan (Herdiansyah, 2010). Sampel yang diambil adalah tiga orang ibu dari
populasi yang memenuhi syarat dari karakteristik sampel penelitian

Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, metode pengumpulan data utama yang dipakai adalah
wawancara. Data diperoleh dari wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap
ibu yang memiliki anak autis. Digunakannya in-depth interview bertujuan agar
peneliti mendapatkan informasi yang detail tentang pemikiran dan tingkah laku ibu
dalam mengasuh anak autis. Pada penelitian ini, in-depth interview ini masuk
kedalam wawancara semi-struktur yaitu memiliki ciri-ciri seperti, pertanyaan terbuka
dengan batasan tema dan alur pembicaraan, kecepatan wawancara dapat diprediksi,
fleksibel namun terkontrol, ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam
alur serta urutan, dan penggunaan kata berupa topik pembicaraan mengenai sumber
yang membentuk self-efficacy ibu dalam mengasuh anak autis.

HASIL

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis pembahasan mengenai
“Gambaran Source of Sel-efficacy Pada Ibu yang memiliki Anak Autis” dapat diambil
beberapa simpulan, yaitu :
1. Dari tiga subjek, satu subjek mengatakan merasa memiliki self-efficacy yang
cukup memadai serta percaya kepada kemampuan yang dimiliki dalam
mengasuh anak autis. Dua subjek lainnya merasa tidak yakin akan
kemampuannya untuk bisa mengasuh anak autis dengan baik.
2. Ketiga subjek sama-sama didukung kuat oleh sumber yang berasal dari
pengalaman pribadi atau Enactive Mastery Experience (EME). Pengalaman
inilah yang menjadi sumber utama yang membentuk self-efficacy pada ketiga
subjek. Melalui pengalaman subjek mengetahui dan mampu menguasai skill
dalam mengasuh anak autis.

3. Perbedaan signifikan yang membentuk self-efficacy terletak pada persuasi
verbal yang dimiliki oleh subjek. Subjek yang yakin akan kemampuannya
dalam mengasuh anak autis didukung kuat oleh persuasi verbal dari orang lain
yang ada disekitar. Namun, pada subjek yang memperoleh sedikit persuasi
verbal dari orang lain, cenderung meragukan kemampuannya dalam
mengasuh anak autis. Hal ini membuktikan bahwa pada subjek yang diteliti,
social support berupa dukungan verbal sangat dibutuhkan. Faktor lingkungan

memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk keyakinan subjek untuk
dapat mengasuh anak autis dengan baik.
4. Vicarious Experience (VE) tidak mendukung self-efficacy dalam mengasuh
anak autis pada ketiga subjek. Kondisi ini disebabkan oleh pandangan subjek
yang menganggap tidak ada sosok orang tua yang memiliki kemampuan baik
dalam mengasuh anaknya yang autis. Selain itu, perbedaan kondisi subjek
dengan orang lain juga membuat subjek tidak yakin untuk dapat menirukan
pengasuhan yang dilakukan oleh orang lain.
5. Selama mengasuh anak autis, pada ketiga subjek memiliki ketergugahan
emosi negatif. Pada subjek 1 ketergugahan emosi mempengaruhi kondisi fisik
serta mood yang berdampak pada keyakinannya dalam mengasuh anak autis.
Pada subjek 3 memiliki ketergugahan emosi negatif yang berpengaruh pada
mood dan keyakinan dalam mengasuh anak autis, namun tidak pada kondisi
fisiknya. Sementara subjek 2 memiliki ketergugahan emosi negatif, akan
tetapi dapat diregulasi dengan baik sehingga tidak mempengaruhi fisik, mood,
dan keyakinan subjek dalam mengasuh anak autis.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kandari, Hayfaa & Humoud Al-Qashan. 2009. Maternal self-efficacy of mothers

of children with intellectual developmental disabilities, down syndrome, and
autism in kuwait. Journal of Child Adolescent Social Work by Department of
Social Work, Social Science College, Kuwait University Vol 27, 21-39, DOI:
10.1007/s10560-009-0189-6.
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder IV-TR Edition. USA : American Psychiatric Publishing.
Chaplin, J.P. 1981. Dictionary of Psychology. New York : Dell Publishing Co., Inc.
Colin, G Pottie & Kathleen M. Ingram. 2008. Daily Stress, Coping, and Well Being in
Parents of Children With Autism: A Multilevel Modeling Approach. Journal of
Family Psychology by the American Psychological Association Vol. 22, No.
6, 855–864, DOI: 10.1037/a0013604.
Taylor E, Shelley. 2012. Health Psychology Eight Edition. New York : Mc Graw
Hill.

Skripsi dan Thesis
Hanifah.2009. Hubungan Antara Tipe Strategi Penanggulangan Stres dengan
Adaptational Outcome pada Ibu dari Anak Autis.Skripsi. Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran.
Ilsanti S, Dessy. 2012. Intervensi Dengan Pendekatan Solution-focused Untuk
Meningkatkan Parental Self-efficacy Pada Orang tua Dengan Anak Autistic
Spectrum Disorder. Thesis.Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kelsey M, Lindsey. 2009. Parenting Self-efiicacy and Stress in Mothers and Fathers
of Children with Down Syndrome. Thesis.Faculty of Education Simon Fraser
University.

Larasati, Dewinta. 2014. Studi Kasus Mengenai Gambaran Persepsi Ibu yang
Memiliki

Anak

Autis

Terhadap

Dukungan

Sosial

yang

Diberikan

Suami.Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
Tesi, Diba. 2006. Hubungan Antara Self-efficacy dan Strategi Penanggulangan
Stres.Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Sumber dari internet
http://cirianakautis.com/ (diakses 22 Maret 2014, pukul 13:11)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26802/4/Chapter%20II.pdf (diakses 1
April 2014, pukul 15:46)
http://www.autism.org.uk/working-with/health/information-for-generalpractitioners/recognising-autism-spectrum-disorder.aspx (diakses 22 Maret
2014, pukul 13:40)
http://www.parentingscience.com/attachment-parenting.html (diakses 22 Maret 2014,
pukul 12:32)
http://www.webmd.com/brain/autism/autism-spectrum-disorders (diakses 22 Maret 2014,
pukul 15:27)