Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme

(1)

Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki

Anak Autisme

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

MARISHA SEMBIRING

051301091

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2010/2011


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi mana pun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2011

Marisha Sembiring

051301091


(4)

Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme

Marisha S dan Aprilia Fadjar Pertiwi Msi, Psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak autisme. Secara spesifik gambaran kebahagiaan dapat diketahui melalui aspek-aspek kebahagiaan, karakteristik kebahagiaan dan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai oleh individu tersebut. Kebahagiaan merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia, apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi maupun pendapatan yang lebih tinggi (Biswas, Diener & Dean, 2007). Kebahagiaan memiliki aspek seperti terjalinnya hubungan positif dengan orang lain, keterlibatan penuh, penemuan makna dalam keseharian, optimisme yang realistis dan resiliensi jika terdapat dalam diri individu akan membuat individu tersebut lebih rentan untuk mengalami kebahagiaan. Sementara ada 4 karakteristik yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan yakni, menghargai diri sendiri, optimis, terbuka, dan mampu mengendalikan diri. Berdasarkan faktornya, faktor yang mempengaruhi kebahagiaan terdiri dari budaya, kehidupan sosial, agama, pernikahan, usia, uang, kesehatan dan jenis kelamin.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Intepretasi atau analisa dilakukan terhadap data dari masing-masing responden penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ditinjau dari aspek-aspek kebahagiaan ketiga responden dari penelitian ini menunjukkan adanya keterlibatan penuh, penemuan makna dalam keseharian, optimisme yang realisitis dan resiliensi. Namun hanya dua responden yang menunjukkan terjalinnya hubungan positif dengan orang lain. Berdasarkan karakteristik orang yang bahagia maka ketiga responden dari penelitian ini dapat dikatakan sebagai pribadi yang menghargai diri sendiri, optimis dan terbuka. Namun hanya dua responden yang dapat dikatakan sebagai pribadi yang dapat mengendalikan diri. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan bahwa agama dan kehidupan sosial ditemukan berpengaruh terhadap kebahagiaan yang dirasakan oleh ibu yang memiliki anak autisme.


(5)

Happiness on Mother Child has Autism

Marisha Sembiring and Aprilia Fadjar Pertiwi Msi, Psikolog

ABSTRACT

This research is a descriptive qualitative study aimed to find out the picture of happiness on my mother who has a child with autism. Specifically picture of happiness can be known through the aspects of happiness, happiness characteristics and factors that affect happiness. Seligman (2005) explain the happiness is a concept that refers to positive emotions felt by individuals as well as positive activities favored by the individual. Happiness is the overall quality of human life, what makes a good life as a whole, such as better health, higher creativity and higher income (Biswas, Diener & Dean, 2007). Happiness has positive aspects such as relations with others, full engagement, discovery of meaning in everyday, realistic optimism and resilience if there is within the individual will make the individual more prone to experience happiness. While there are four characteristics that are always there in people who have the happiness that is, respect ourselves, optimistic, open, and able to control myself. Based on the factors, factors that affect happiness consists of cultural, social life, religion, marriage, age, money, health and gender.

Respondents in this study amounted to 3 people. Respondents making procedure is based on theory or research based on operational konstrak (theory-based / operational construct sampling). Data obtained by interview method using the interview guide. Interpretation or analysis conducted on data from each respondent research.

The results of this study indicate that the terms of the three aspects of happiness of respondents from this study indicate a full involvement, finding meaning in everyday life, unrealistic optimism and resilience. However, only two respondents who indicated positive relations with others. Based on the characteristics of happy people then a third of respondents from this study can be said as a person who respect ourselves, optimistic and open. However, only two respondents who can be said as a person who can control themselves. Based on the factors that affect happiness that religion and social life are found influence on the happiness felt by mothers who have children with autism.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah diberikan selama ini, sehingga penulis dapat menyusun penelitian yang berjudul “GAMBARAN KEBAHAGIAAN PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTISME”

Tiada gading yang tak retak, begitu juga penyusunan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar nantinya penelitian ini dapat memenuhi atau memdekati kesempurnaan sesuai dengan yang diharapkan.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas bimbingan dan saran yang telah diberikan, kepada:

1. Ibu Aprillia Fajar Pertiwi. Msi. Psikolog selaku dosen pembimbing saya yang dengan sabar telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan memberikan petunjuk, saran serta semangat selama proses penyusunan penelitian ini.

2. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ke jenjang program Sarjana.

3. Terkhusus kepada orang tua penulis Papa Sedar Sembiring, SH yang telah banyak memberikan suport kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, terima kasih banyak penulis ucapkan. Juga kepada Alm. Mama


(7)

Ir.Pintharia Pinem MMA , terima kasih untuk segalanya yang sudah diberikan kepada penulis. Penelitian ini dipersembahkan penulis untuk Alm. Mama. Juga terima kasih kepada teman dekat penulis Iptu Pol. Arfan Zulkan S, SH yang juga merupakan calon suami penulis atas dukungan dan kesabarannya selama ini yang diberikan kepada penulis.

4. Rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, khususnya buat Jimmi Prima P, Wahyuni yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dan juga stambuk 2005 lainnya. Juga para responden dan semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

Medan, Juni 2011 Penulis

Marisha Sembiring


(8)

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DALAM………... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

LEMBAR PERNYATAAN... iii

ABSTRAK... iv

ABSTRACT... v

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 8

C. Tujuan Penelitian ………... 8

D. Manfaat Penelitian ………... 8

1. Manfaat teoritis... 8

2. Manfaat praktis... 9

E. Sistematika Penulisan ………... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Kebahagiaan ………... 11

1. Definisi Kebahagiaan ………... 11

2. Aspek-aspek Kebahagiaan ………... 12

3. Karakteristik Kebahagiaan ... 13

4. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan... 15

B. Autisme ... 18

1. Definisi Autisme ... 18

2. Gejala Autisme ... 20


(9)

4. Kriteria Diagnostik Autisme ... 28

C. Kebahagiaan Orangtua yang Memiliki Anak Autisme.. 27

D. Paradigma penelitian... 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 32

B. Partisipan Penelitian ... 34

1. Karakteristik Partisipan ... 34

2. Jumlah Partisipan ... 34

3. Prosedur Pengambilan Data ... 34

4. Lokasi Penelitian ...35

C. Metode Pengambilan Data... 35

1. Wawancara ...35

2. Observasi ...37

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 37

1. Alat Perekam (tape recorder) ... 38

2. Pedoman Wawancara ... 38

E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian... 39

F. Prosedur Penelitian... 40

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 40

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 42

3. Tahap Pencatatan Data ... 42

G. Metode Analisa Data... 43

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI A. Analisa Data... 45

1. Responden I... 45

a. Identitas diri responden I... 45

b. Waktu wawancara responden I...46

c. Deskripsi data responden I...46


(10)

e. Data wawancara...51

2. Responden II... 58

a. Identitas diri responden II... 58

b. Waktu wawancara responden II...58

c. Deskripsi data responden II...59

d. Observasi umum responden II...59

e. Data wawancara... 62

3. Responden III... 70

a. Identitas diri responden III... 70

b. Waktu wawancara responden III... 70

c. Deskripsi data responden III... 71

d. Observasi umum responden III... 72

e. Data wawancara... 74

B. Pembahasan………. 91

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan... 99

B. Saran... 106

1. Saran metodologis... 106

2. Saran praktis ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Gambaran Umum Responden I... Tabel 2 Waktu Wawancara Responden I... Tabel 3 Gambaran Umum Responden II... Tabel 4 Waktu Wawancara Responden II...


(11)

Tabel 5 Gambaran Umum Responden III... Tabel 6 Waktu Wawancara Responden III... Tabel 7 Analisa Banding...

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Lembar Observasi


(12)

Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme

Marisha S dan Aprilia Fadjar Pertiwi Msi, Psikolog

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak autisme. Secara spesifik gambaran kebahagiaan dapat diketahui melalui aspek-aspek kebahagiaan, karakteristik kebahagiaan dan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai oleh individu tersebut. Kebahagiaan merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia, apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi maupun pendapatan yang lebih tinggi (Biswas, Diener & Dean, 2007). Kebahagiaan memiliki aspek seperti terjalinnya hubungan positif dengan orang lain, keterlibatan penuh, penemuan makna dalam keseharian, optimisme yang realistis dan resiliensi jika terdapat dalam diri individu akan membuat individu tersebut lebih rentan untuk mengalami kebahagiaan. Sementara ada 4 karakteristik yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan yakni, menghargai diri sendiri, optimis, terbuka, dan mampu mengendalikan diri. Berdasarkan faktornya, faktor yang mempengaruhi kebahagiaan terdiri dari budaya, kehidupan sosial, agama, pernikahan, usia, uang, kesehatan dan jenis kelamin.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara. Intepretasi atau analisa dilakukan terhadap data dari masing-masing responden penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ditinjau dari aspek-aspek kebahagiaan ketiga responden dari penelitian ini menunjukkan adanya keterlibatan penuh, penemuan makna dalam keseharian, optimisme yang realisitis dan resiliensi. Namun hanya dua responden yang menunjukkan terjalinnya hubungan positif dengan orang lain. Berdasarkan karakteristik orang yang bahagia maka ketiga responden dari penelitian ini dapat dikatakan sebagai pribadi yang menghargai diri sendiri, optimis dan terbuka. Namun hanya dua responden yang dapat dikatakan sebagai pribadi yang dapat mengendalikan diri. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan bahwa agama dan kehidupan sosial ditemukan berpengaruh terhadap kebahagiaan yang dirasakan oleh ibu yang memiliki anak autisme.


(13)

Happiness on Mother Child has Autism

Marisha Sembiring and Aprilia Fadjar Pertiwi Msi, Psikolog

ABSTRACT

This research is a descriptive qualitative study aimed to find out the picture of happiness on my mother who has a child with autism. Specifically picture of happiness can be known through the aspects of happiness, happiness characteristics and factors that affect happiness. Seligman (2005) explain the happiness is a concept that refers to positive emotions felt by individuals as well as positive activities favored by the individual. Happiness is the overall quality of human life, what makes a good life as a whole, such as better health, higher creativity and higher income (Biswas, Diener & Dean, 2007). Happiness has positive aspects such as relations with others, full engagement, discovery of meaning in everyday, realistic optimism and resilience if there is within the individual will make the individual more prone to experience happiness. While there are four characteristics that are always there in people who have the happiness that is, respect ourselves, optimistic, open, and able to control myself. Based on the factors, factors that affect happiness consists of cultural, social life, religion, marriage, age, money, health and gender.

Respondents in this study amounted to 3 people. Respondents making procedure is based on theory or research based on operational konstrak (theory-based / operational construct sampling). Data obtained by interview method using the interview guide. Interpretation or analysis conducted on data from each respondent research.

The results of this study indicate that the terms of the three aspects of happiness of respondents from this study indicate a full involvement, finding meaning in everyday life, unrealistic optimism and resilience. However, only two respondents who indicated positive relations with others. Based on the characteristics of happy people then a third of respondents from this study can be said as a person who respect ourselves, optimistic and open. However, only two respondents who can be said as a person who can control themselves. Based on the factors that affect happiness that religion and social life are found influence on the happiness felt by mothers who have children with autism.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umumnya setiap pasangan perkawinan menginginkan anak sebagai penerus keturunan. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi pasangan suami istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900 wanita di Texas menunjukkan bahwa 77% dari mereka memilih anak sebagai sumber kebahagiaan paling besar dalam kehidupan mereka. Carr (2004) juga mengemukakan hal yang tidak jauh berbeda bahwasannya kedekatan dengan anak membuat seseorang bahagia, selain itu anak adalah salah satu sumber dukungan sosial dari keluarga yang bisa meningkatkan subjective weel-being.

Setiap orangtua dalam keinginannya mempunyai anak memiliki suatu gambaran atau impian bahwa jika kelak anaknya lahir maka akan mempunyai kondisi fisik dan mental yang normal dan mempunyai kelebihan daripada anak-anak lainnya (Mangunsong, 1998). Seperti yang diungkapkan oleh Ashya (nama samaran) yang sedang hamil 7 bulan:

” Saya sangat bahagia saat pertama sekali saya tahu ada kehidupan didalam rahim saya. Saya sangat mengharapkan anak yang saya kandung ini adalah anak yang normal, tidak kekurangan sesuatu apapun, dan dapat menjadi kebahagiaan bagi saya dan suami saya, karna saya sangat menjaga


(15)

kandungan saya ini. Apalagi saya juga dari keturunan keluarga yang sehat”.

(Komunikasi Personal, 19 Mei 2010).

Meski setiap orangtua mengharapkan anaknya terlahir normal, namun tidak semua harapan tersebut terpenuhi. Adakalanya kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan harapan yang dibangun ketika anak terlahir dengan gangguan perkembangan (Musari, 2010). Salah satu gangguan perkembangan tersebut adalah autisme. Istilah autisme diperkenalkan pertama kali pada tahun 1943 oleh Dr. Leo Karner, seorang psikiater anak dari Universitas Jhon Hopkins. Menurut Karner, kegagalan anak mengartikan gerakan atau bahasa tubuh orangtuanya saat hendak dipeluk atau diangkat merupakan salah satu gejala autisme. Autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia (pengulangan kata), mutism (tidak mau bicara), pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya. Anak tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Safaria, 2005).

Selain ketidakmampuan dalam membangun interaksi sosial, ditemukan pula gejala seperti kegagalan membangun kemampuan berkomunikasi atau terjadinya keterbatasan dalam berbahasa menyebabkan bahasa yang tidak lazim (America Psychiatric Association, 1994). Dalam bermain terdapat preokupasi yang ditandai oleh aktivitas streotipe berulang yang menunjukkan adanya keterbatasan fungsi sosial kreatif. Ciri-ciri seperti membangun interaksi sosial,


(16)

bahasa yang tidak lazim, tingkah laku ritual serta penolakan terhadap perubahan, dikelompokkan sebagai gejala-gejala utama autisme (Karner, 1943)

Data menunjukkan bahwa jumlah penyandang autisme semakin hari semakin banyak. Menurut ASA (Autism Society of Amerika) Conference (dalam Sutadi, 2003) pada tahun 2000, jumlah penyandang autisme terus meningkat menjadi 60 per 10.000 kelahiran atau 1:250 anak, mencapai 1 diantara 150 penduduk menurut survey CDG di Amerika. Sehingga di Amerika autisme telah dinyatakan sebagai National Alarming (Sutadi, 2003).

Di Indonesia, walaupun belum ada data yang pasti, namun jelas terlihat adanya peningkatan yang mencolok pada jumlah penyandang autisme. Bedasarkan penelitian Melly (dalam Etty, 2001) psikiater anak dan Ketua Yayasan Autisme Indonesia, penderita autisme di Indonesia meningkat luar biasa. Penelitian menunjukan bahwa pada tahun 1987, ratio penderita autis 1:5000. angka ini meningkat tajam menjadi 1:500 pada tahun 1997, kemudian jadi 1:150 pada tahun 2000. Para ahli memperkirakan pada tahun 2010 mendatang penderita autis akan mencapai 60% dari keseluruhan populasi di dunia. Sekitar 80%, gejala autis terdapat pada anak laki-laki (Permatasari, 2009).

Memiliki anak dengan kelainan seperti autis bukan hal yang mudah untuk diterima. Banyak pikiran negatif yang muncul saat mengetahui hal tersebut, seperti rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan, stigma negatif dari masyarakat (Williams & Wright, 2004).

Ibu merupakan sosok yang banyak terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karna Ayah berperan sebagai pencari nafkah utama


(17)

sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari maka Ibu dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan anak (Cohen & Volkmar, 1997). Ibu yang lebih sering menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, seperti hubungan sosial anak yang terganggu, gangguan perkembangan dalam komunikasi dan lain sebagainya (Haditono, 1999). Bagi seorang ibu yang memiliki anak autis, dibutuhkan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang kerap muncul ketika merawat anak. Anak autis senantiasa membutuhkan banyak perhatian dan pengawasan dari orang-orang disekitarnya dibandingkan anak normal sehingga keterbatasan yang dimiliki anak autis mengakibatkan stress yang tinggi bagi Ibu yang mengasuhnya (Price, 2009).

Setelah melihat kelainan pada anaknya, tahap pertama Ibu akan mencari tahu mengenai keadaan anaknya dan mencoba memperoleh berbagai diagnosa dari dokter maupun terapis yang bisa memberikan prognosis lebih positif (Mangunsong, 1998). Setelah mengetahui jika anaknya benar menderita autis, Ibu akan memasuki tahap kedua yakni emosi negatif. Ibu merasa sedih, marah, kecewa, mengalami guncangan batin, terkejut dan bahkan menyalahkan Tuhan karena memberi anak yang tidak sempurna (Leo Martin, 2010).

Tahap ketiga adalah penerimaan diri. Penerimaan atas kehadiran anak yang terlahir dengan kondisi autis memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, dan Ibu mulai mencoba bisa menyesuaikan diri dengan keadaan anak tersebut (Mangunsong, 1998). Pernyataan ini diperkuat oleh ungkapkan Adriana (nama samaran), seorang ibu yang memiliki anak penderita autis :

” Sekarang saya sudah tidak sedih dan marah lagi dengan keadaan anak saya, walaupun dulu kemarahan dan kesedihan saya luar biasa, tapi


(18)

sekarang saya mencoba untuk mencari tau dan mempelajari cara penanganan bagi penyandang anak autis...dan sekarang saya sudah tau kalau anak autis itu memiliki potensi yang positif dan berbeda dari anak lainnya....”

(Komunikasi Personal, 17 Juni 2010)

Proses penerimaan diri seorang ibu terhadap kondisi anak nya yang autis seringkali mendatangkan kesedihan dan ketidakbahagiaan di dalam diri ibu (Mangunsong, 1998). John Stuart Mill (dalam Teuku Eddy Faisal, 2007) mengatakan ketidakbahagiaan adalah datangnya penderitaan dan berakhirnya kesenangan. Secara umum terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang jatuh kedalam lubang penderitaan yang sangat dalam, diantaranya adalah apabila individu tersebut memiliki sikap curiga (prejudice), sikap hidup yang pesimis dan selalu mengeluh di dalam hidupnya. Santoso (2007) kemudian menambahkan apabila seseorang selalu memikirkan ketakutan dan kekhawatiran maka semua ketakutan dan kekhawatiran akan tertarik masuk kedalam kehidupannya dan dia menjadi orang yang hidup dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Shinta:

”Kami selalu mengeluh karena tingkah pola Adit yang tak bisa diam dan mengenai perkembangan Adit kepada keluarga kami...karena saat Adit masuk TK, ia dikeluarkan oleh TK tempatnya bersekolah....dan para tetangga sekitar rumah juga merasa risih dan melarang anak-anak mereka bermain dengan Adit..”

(Komunikasi Personal, 10 Juni 2010)

Dwi seorang ibu yang memiliki anak autis juga mengakui bahwa adalah hal yang berat baginya untuk menerima keadaan anaknya:

”Sungguh begitu berat memiliki anak yang berbeda....apalagi sering mendapat perlakuan yang tidak layak dari lingkungan rumah, dan tentu saja keluarga yang paling dekat sekalipun....Yang kadang tidak mengerti dan tidak tahu situasi, langsung mengambil kesimpulan anak autis itu sama dengan orang yang sakit jiwa....setelah itu ada tetangga yang juga


(19)

mengatakan kalau memiliki anak autis itu adalah aib keluarga...hal ini sering kali mendatangkan kecemasan bagi kami apabila suatu saat nanti anak kami diperlakukan dengan tidak adil.”

(Komunikasi Personal, 2 Juni 2010)

Tidak jarang juga, setelah mengetahui bahwa anak autis sebagian ibu terus menolak kehadiran anaknya. Beberapa diantaranya berusaha menyembunyikan anaknya agar jangan sampai kelihatan atau diketahui tetangga, masyarakat dan di lingkungan keluarganya sendiri, bahkan ada yang sampai tega membunuh anaknya (Williams & Wright, 2004). Keadaan tersebut terjadi pada Saga Akhter, wanita berusia 30 tahun yang membunuh kedua anaknya dengan mencekik mereka. Saiga, sang Ibu menyatakan:

” ...mereka autistik. Saya tidak mau anak autistik!...” (dikutip dari Santoso, 2010. www.rakyat merdeka.co.id)

Emosi serta perasaan pada Ibu yang memiliki anak autis sangatlah penting dalam mengasuh anak autis. Sikap positif Ibu yang menerima anak autis akan memiliki kondisi psikologis yang sehat dan akan berdampak positif bagi perkembangan anak autis, dan sebaliknya sikap negatif akan memiliki kondisi psikologis yang tidak sehat dan akan berdampak negatif bagi perkembangan anak autis (Price, 2009). Bukan hanya berpengaruh kepada anak, kebahagiaan juga sangat berpengaruh bagi sang ibu. Penelitian menunjukkan individu dengan emosi positif memiliki weel-being yang baik, lebih kreatif dan produktif, optimisme dan harga diri yang tinggi serta memiliki umur yang lebih panjang rata-rata diatas 85 tahun dibanding dengan yang tidak bahagia (Easton, 2006) .

Menurut Myers (dalam Duffy dan Atwater, 2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang dijalani seseorang. Sejalan


(20)

dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat perasaan negatif dan di dalam diri manusia sendiri terdapat keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti semua proses hidup manusia seperti sekolah, bekerja dan menikah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Myers (2005) mengemukakan 5 hal yang menjadi kriteria orang yang bahagia yaitu, (a) menghargai diri sendiri, (b) terbuka, (c) mampu mengendalikan diri, (d) optimis.

Namun demikian, kekecewaan, kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang autis dapat menjadi penghalang seorang ibu untuk merasakan kebahagiaan yang seharusnya dapat ia peroleh jika ia melahirkan anak yang normal (Mangunsong, 1998). Menurut Rusydi (2007) hal-hal yang dapat menghambat kebahagiaan ialah jika memiliki sikap hidup yang pesimis dan bagi orang yang memiliki sikap hidup yang penuh dengan keluhan juga tidak akan pernah mendapatkan ketenangan hidup

Oleh karena itu seorang Ibu yang memliki anak penyandang autis harus merubah cara berpikir negatif dan pesimis menjadi cara berpikir yang positif dan optimis, sehingga dengan tidak normalnya fisik anaknya tidak akan membuat orangtua takut untuk membaur dan berinteraksi dengan orang lain (Cleghorn, dalam Lestari, 2002). Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Adriana yang menyadari bahwa anaknya yang merupakan penderita autis merupakan seorang bidadari di rumah mereka :

”Betapa bodohnya kami selama ini tidak menyadari bahwa kami memiliki seorang bidadari di rumah... kami belajar bahwa kebahagiaan terbesar tidak


(21)

datang dari kesempurnaan, tetapi justru karena kami mempunyai anak yang tidak sempurna...”

(Komunikasi Personal, 7 Juni 2010)

Melalui penjelasan dan beberapa komunikasi personal yang dilakukan oleh peneliti dapat dilihat bahwa kebahagiaan yang dimiliki oleh seorang ibu yang memiliki anak autis memiliki konsep yang subjektif karena setiap ibu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda yang bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya (Seligman, 2005). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kebahagiaan pada ibu yang memiliki anak penderita autis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini.

1. Bagaimanakah gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme ?

2. Apa saja sumber-sumber kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran kebahagiaan pada Ibu yang memiliki anak penyandang autisme.

D. Manfaat Penelitian


(22)

a. Untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya mengenai kebahagiaan pada orangtua yang memiliki anak penyandang autisme.

b. Menambah informasi sebagai bahan penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan topik gambaran kebahagiaan pada orangtua yang memiliki anak penyandang autisme.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi kepada para orangtua yang memiliki anak penyandang autisme, mengenai autisme sehingga orangtua lebih memahami apa yang seharusnya dilakukan agar tetap mendapatkan kebahagiaan meski mereka memiliki anak penyandang autisme.

b. Memberikan pandangan kepada profesional di bidang konseling dalam memahami orangtua yang memiliki anak autisme.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang kebahagiaan dan autisme.

BAB III : Metode Penelitian

Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, partisipan


(23)

penenlitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas (validitas penelitian), prosedur penelitian, dan metode analisa data.

BAB IV : Analisa data dan interpretasi berisi mengenai analisa data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran menjelaskan mengenai kesimpulan dari apa yang diperoleh di lapangan, diskusi yang merupakan pembahasan, dan perbandingan hasil penelitian dengan teori-teori atau hasil penenlitian sebelumnya serta saran untuk penyempurnaan penelitian berikutnya.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kebahagiaan


(24)

Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Sedangkan orang yang bahagia menurut Aristoteles (dalam Rusydi, 2007) adalah orang yang mempunyai good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good friends, good money and goodness.

Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai oleh individu tersebut. Seligman kemudian membagi emosi positif tersebut menjadi tiga macam yaitu emosi yang diarahkan atau datang dari masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Puas, bangga, dan tenang adalah emosi yang berorientasi pada masa lalu. Optimisme, harapan, kepercayaan, keyakinan dan kepercayaan diri adalah emosi yang berorientasi pada masa depan. Semangat, riang, gembira, ceria serta merujuk pada aktivitas yang disukai merupakan emosi positif yang berasal dari masa sekarang. . Sedangkan kebahagiaan menurut Biswas, Diener & Dean (2007) merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia – apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah suatu keadaan individu yang berada dalam aspek positif baik itu emosi positif maupun aktivitas yang disukai dan kualitas dari keseluruhan apa yang membuat kehidupan menjadi lebih baik.


(25)

2. Aspek-aspek Kebahagiaan

Menurut Seligman (2005) lima aspek utama yang dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati, yaitu :

1. Terjalinnya hubungan positif dengan orang lain

Hubungan positif atau positive relationship bukan sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun anak, tetapi dengan menjalin hubungan yang positif dengan individu yang ada disekitar. Status perkawinan dan kepemilikan anak tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang.

2. Keterlibatan Penuh

Keterlibatan penuh bukan hanya pada karir, tetapi juga dalam aktivitas lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Dengan melibatkan diri secara penuh, bukan hanya fisik yang beraktivitas, tetapi hati dan pikiran juga turut serta dalam aktivitas tersebut.

3. Penemuan makna dalam keseharian

Dalam keterlibatan penuh dan hubungan positif dengan orang lain tersirat satu cara lain untuk dapat bahagia, yakni menemukan makna dalam apapun yang dilakukan.

4. Optimisme yang realistis

Orang yang optimis ditemukan lebih berbahagia. Mereka tidak mudah cemas karena menjalani hidup dengan penuh harapan.


(26)

Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang dialami. Melainkan sejauh mana seseorang memiliki resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang tidak menyenangkan sekalipun.

3. Karakteristik Orang yang Bahagia

Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi tidak semua orang bisa memiliki kebahagiaan. Menurut David G, Myers (2005), ada empat karakteristik yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu :

a. Menghargai diri sendiri

Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka cenderung setuju dengan pernyataan seperti “Saya adalah orang yang menyenangkan”. Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti diatas.

b. Optimis

Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi). Orang


(27)

yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di area tertentu.

c. Terbuka

Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain serta membantu oranglain yang membutuhkan bantuannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan yang lebih besar. d. Mampu mengendalikan diri

Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada hidupnya. Mereka merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga biasanya mereka berhasil lebih baik di sekolah atau pekerjaan.

Sehingga kunci utama kebahagiaan adalah merasa bahagia yang ditandai dengan keempat karakteristik diatas.

4. Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan

Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang:


(28)

Triandis (dalam Carr, 2004) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang. Hasil penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi yang sehat dan stabil lebih daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan konflik militer (Carr, 2004). Carr juga mengatakan bahwa individu yang hidup dalam budaya dengan kesamaan sosial memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi, kebahagiaan juga lebih tinggi pada kebudayaan individualitas dibandingkan dengan kebudayaan kolektivistis, dan pada individu yang hidup di negara yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga dengan anggota birokrasi pemerintahan.

b. Kehidupan Sosial

Menurut Seligman (2005), orang yang sangat bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.

c. Agama atau Religiusitas

Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Selain itu keterlibatan seseorang dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Carr juga menambahkan bahwa keterlibatan dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik, yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam


(29)

perkawinan, perilaku social yang sehat, tidak berlebihan dalam makanan dan minuman, dan kemampuan untuk bekerja keras.

d. Pernikahan

Seligman (2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005).

e. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Wilson (dalam Seligman, 2005) mengungkapkan kemudaan dianggap mencerminkan keadaan yang lebih bahagia. Namun setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Sebuah penelitian otoratif atas 60.000 orang dewasa dari 40 bangsa membagi kebahgiaan dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif (Seligman, 2005). Kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan betambahnya usia, afek positif sedikit melemah dan afek negatif tidak berubah (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah ketika seseorang menua


(30)

adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai puncak dunia” dan “terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan bertambhanya umur dan pengalaman.

f. Uang

Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara kebahagiaan dan uang. Umumnya penelitian yang dilakukan dengan cara membandingkan kebahagiaan antara orang yang tinggal di negara kaya dengan orang yang tinggal di negara miskin. Perbandingan lintas-negara sulit untuk dijelaskan karena negara yang lebih kaya juga memiliki angka buta huruf yang lebih rendah, tingkat kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, kebebasan yang lebih luas dan barang materil yang lebih banyak (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan bahwa di negara yang sangat miskin, kaya berarti bisa lebih bahagia. Namun di negara yang lebih makmur dimana hampir semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahagiaan. Seligman menyimpulkan bahwa penilaian seseorang terhadap uang akan mempengaruhi kebahagiaannya lebih daripada uang itu sendiri.

g. Kesehatan

Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Menurut Seligman, yang penting adalah persepsi subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita. Berkat kemampuan beradapatasi terhadap penderitaan, seseorang bisa menilai kesehatannya secara positif bahkan ketika sedang sakit. Meskipun demikian, Seligman juga mengakui


(31)

bahwa ketika penyakit yang menyebabkan kelumpuhan sangat parah dan kronis, kebahagiaan dan kepuasan hidup memang menurun. Orang yang memiliki lima atau lebih masalah kesehatan, kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu.

h. Jenis Kelamin

Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan. Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria. Wanita lebih banyak mengalami emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Tingkat emosi rata-rat pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih bahagia dan lebih sedih daripada pria (Seligman, 2005).

B. Autisme

1. Definisi Autisme

Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim ( extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk perilaku anak dan lingkungannya. Dan ketiga yaitu mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan membalik kata gantinya sendiri, biasanya untuk memanggil dirinya sendiri dengan kata “kamu”.


(32)

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis individu.

Safaria (2005) mengatakan autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

. Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak-anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain, gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat atau kata, gangguan ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan kesamaan di dalam lingkungannya.


(33)

Menurut Acocella (1996) meskipun banyak tingkah laku yang tercakup dalam Isolasi Sosial

Banyak anak autisme yang menarik diri dari segala kontak sosial ke dalam suatu keadaan yang disebut “extreme autistic aloneness”. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dimana ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada.

a. Kelemahan Kognitif

Kurang lebih 70% anak autisme mengalami retardasi mental. Tetapi anak autisme sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autisme meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autisme terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari lingkungan sosial.

b. Kekurangan dalam hal bahasa

Lebih dari setengah anak autisme sama sekali tidak berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan echolalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autisme mengulang potongan lagu, iklan TV atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Menurut Wetherby & Wing (dalam Acocella, 1996) anak autisme hanya mampu berkomunikasi dengan cara terbatas. Beberapa menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh, menyebut diri mereka sebagai orang kedua ”kamu” atau orang ketiga ”dia”. Intinya anak autisme tidak dapat


(34)

berkomunikasi secara resiprok (dua arah), tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal.

c. Tingkah laku streotipe

Anak autisme sering melakuakan gerakan yang berulang-ulang secara terus-menerus tanpa tujuan yang jelas, seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain-lain. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini, disebabkan oleh adanya kerusakan fisiologis, karena adanya gangguan neurologis dalam diri individu tersebut. Anak autisme juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut, menggigit jari, walaupun selalu menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri. Dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autisme juga tertarik pada hanya bagian tertentu dari sebuah objek, misalnya pada roda mainan mobil-mobilan. Anak autisme juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton (tidak berubah), misalnya mainannya harus diletakkan pada satu tempat dan rak yang sama. Sarapannya juga harus diberikan secara berurutan, misalnya mulai dari makan telur lebih dahulu, dilanjutkan dengan vitamin dan terakhir minum. Jika anak autisme merasa ada urutan atau hal-hal yang berubah, maka anak tersebut akan marah.

3. Penyebab Autisme

Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area dibidang kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti (Marijani, 2003). Menurut Supratiknya (1995), autisme disebabkan faktor bawaan


(35)

tertentu atau pengalaman yang kurang mendukung. Misalnya dibesarkan oleh ibu yang tidak responsif atau pernah mengalami trauma dengan lingkungan sosialnya.

Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus dan sklerosis. Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001).

Menurut Acocella (1996), ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan autisme, yaitu:

1. Perspektif Psikodinamika

Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya penolakan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak responsif. Anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apapun di dunia, sehingga anak menciptakan ”benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan.


(36)

a. Pendekatan biologis

Folstein & Butter (1977) mengadakan penelitian di Great Britain, diantara 11 pasang monozygotic (MZ) kembar dan 10 pasang dyzygotic (DZ) kembar, ditemukan 1 pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok MZ, 4 dari 11 diantaranya adalah gen autis, sedangkan pada DZ tidak ada. Walaupun demikian, pada MZ kembar tidak didiagnosa sebagai autisme, hanya akan mengalami gangguan bahasa atau kognisi.

b. Pendekatan kromosom

Kromosom yang dapat menyebabkan autisme, yaitu sindrom fragile X dan kromosom XXY, namun kromosom XXT ini tidak menunjukkan hubungan yang sekuat sindrom fragile X.

c. Pendekatan biokimia

Anak-anak autisme memiliki kadar serotin dan dopamine yang sangat tinggi. Obat-obat yang dapat membantu menurunkan kadar dopamine, yaitu seperti phenothiazines yang dapat menurunkan gejala-gejala autisme.

d. Gangguan bawaan dan komplikasi

Ada 2 penyebab autisme, yaitu virus herps dan rubella. Autisme juga berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan . komplikasi pada saat melahirkan berhubungan dengan faktor genetik, contohnya penelitian Mednick’s (dalam Acocella, 1996) dimana seorang wanita yang memiliki gen schizophrenia mengalami kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan


(37)

dengan wanita yang normal, dan juga berat bayi yang dilahirkan sangat rendah.

e. Pendekatan neurological

Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gejala-gejala sebagai berikut :

a. Karakteristik anak autisme (seperti gangguan perkembangan bahasa, retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh, memiliki respon yang rendah atau bahkan Sangat tinggi terhadap stimulus sensori, menentang stimulus auditory dan visual) berhubungan dengan fungís sistem syaraf pusat.

b. Sistem saraf menunjukkan abnormalitas, seperti gangguan otot, alat koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif. c. Memiliki Electroencephalogram (EEG) yang abnormal.

Penelitian ERP menunjukkan tidak adanya respon memperhatikan objek atau stimulus bahasa.

d. Adanya keabnormalan pada bagian Cerebellum dan sistem Lymbic di otak, yang Sangay berpengaruh terhadap kognisi, memori, emosi dan tingkah laku. Sistem Lymbicnya lebih kecil dan bergumpal. Di beberapa area, bagian dendrit saraf anak autismo lebih pendek dan kurang lengkap.


(38)

3. Perspektif Kognitif

Teori-teori yang ada dalam perspektif ini adalah :

a. Ornitz (dalam Acocella, 1996) mengatakan bahwa gangguan pada anak autisme disebabkan karena adanya masalah dalam mengatur dan menyayukan input terhadap alat perasa. Contohnya memberi respon yang rendah atau bahkan Sangay tinggi terhadap suara.

b. M. Rutter (dalam Acocella, 1996) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu dimana anak autisme tidak memberi respon terhadap suara. Anak autisme juga mengalami gangguan bahasa, seperti Aplasia yaitu kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata yang disebabkan oleh kerusakan otak. Tetapi dalam perspektif ini menyatakan bahwa anak autisme tidak memberi respon disebabkan adanya masalah perseptual.

c. Lovaas, dkk (dalam Acocella,1996) mengatakan bahwa anak autismo Sangay overselektif dalam memperhatikan sesuatu. Anak autismo hanya dapat memproses dan merespon satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan perseptual.

d. Anak autisme tidak mampu mengolah sesuatu dalam fikiran, misalnya tidak dapat memperkirakan dan memahami tingkah laku yang mendasari statu objek.


(39)

4. Kriteria Diagnostik Autisme

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnostik gangguan autisme adalah :

a. Sejumlah enam hal atau lebih dari (1), (2) dan (3), paling sedikit dua dari (1) dan satu masing-masing dari (2) dan (3) :

1) Gangguan kualitatif dalam bidang interaksi social yang ditunjukkan paling sedikit dua dari yang berikut:

a.1) Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai dalam perilaku non verbal, seperti : pandangan mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi sosial.

b.1) Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat perkembangannya.

c.1) Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan dan tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

d.1) Kurang sosialisasi atau emosi yang timbal balik.

2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti yang ditunjukkan paling sedikit dari yang berikut :

a.2) Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak menyertai usaha untuk mengimbangi cara komunikasi alternatif seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru).

b.2) Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.


(40)

d.2) Cara bermain yang kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

3) Suatu pola yang dipertahankan dan berulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala berikut :

a.3) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan.

b.3) Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak fungsional.

c.3) gerakan yang aneh dan berulang seperti, memukul, memutar arah jari dan tangannya.

d.3) Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotipe.

b. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini, dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :

1) Interaksi sosial

2) Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial 3) Bermain simbol atau berkhayal

c. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi masa kanak-kanak.

.

C. Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda yang bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya. Anak adalah salah satu sumber kebahagiaan dalam keluarga (Wallis,


(41)

2005). Selain itu anak juga merupakan sumber dukungan sosial yang bisa membuat seseorang menjadi bahagia (Easton, 2006). Ketika seorang anak dilahirkan kemuka bumi kedua orangtua mereka menyambutnya dengan kebahagiaan. Namun ketika menyadari bahwa anaknya berbeda dengan anak-anak lainnya tidak sesuai dengan harapan mereka, dalam diri orangtua mulai timbul perasaan tidak percaya dan penyesalan terhadap keberadaan anak mereka tersebut (Nakita, Juli 2002).

Salah satu keadaan anak yang mengalami gangguan adalah anak penderita autisme. Safaria (2005) mengatakan bahwa autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dalam lingkungannya.

Menurut American Psychiatric Association (1994), kondisi autisme untuk sang anak begitu berat bagi keluarganya, karena keterbatasan yang diakibatkan oleh autisme adalah kesulitan untuk melakukan interaksi sosial, komunikasi dan perilaku repetitif, minat, tingkah laku dan aktivitas yang terbatas. Kondisi ini mempersulit pengasuhan anak tersebut, dalam kehidupan mengasuh anak autisme, orangtua khususnya ibu yang lebih sering berhadapan dengan anak, sering menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan. Situasi yang tidak menyenangkan ini seperti hubungan sosial anak yang terganggu, gangguan perkembangan dalam komunikasi dan lain sebagainya (Haditono, 1999).


(42)

Orang tua memiliki respon dan perasaan yang berbeda saat mengetahui anaknya mengalami gangguan perkembangan. Williams & Wright (2004) mengemukakan beberapa respon yang muncul pada orang tua ketika mengetahui anak mereka mengalami gangguan perkembangan, seperti perasaan lega, rasa bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan. Mangunsong (1998) menambahkan terdapat tiga tahap yang terjadi pada orang tua khusunya ibu yang memiliki anak autis. Tahap pertama, seorang ibu akan mencari tahu tahu mengenai keadaan anaknya dan mencoba memperoleh berbagai diagnosa dari dokter maupun terapis yang bisa memberikan prognosis lebih positif. Tahap kedua, seorang ibu akan mengalami emosi negatif. Ibu merasa sedih, marah, kecewa, mengalami guncangan batin, terkejut dan bahkan menyalahkan Tuhan karena memberi anak yang tidak sempurna (Leo Martin, 2010). Tahap ketiga adalah penerimaan diri. Penerimaan atas kehadiran anak yang terlahir dengan kondisi autis memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, dan Ibu mulai mencoba bisa menyesuaikan diri dengan keadaan anak tersebut (Mangunsong, 1998).

Orang tua khususnya Ibu mengalami dampak stress yang lebih berat dari Ayah karena Ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Biasanya Ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan Ibu lebih mudah terganggu secara emosional (Cohen & Volkmar, 1997). Tingkat stress pada Ibu yang memiliki anak autis lebih tinggi dari pada Ibu yang memiliki anak dengan keterlambatan perkembangan (Price, 2009). Bahkan tidak jarang ibu menolak


(43)

kehadiran anaknya dengan kondisi autis bahkan sampai ada yang bertindak sangat ekstrim seperti membunuh anaknya (Santoso, 2010).


(44)

D. Paradigma Penelitian

Anak sumber kebahagiaan

Penting Bagi Ibu Bagi Anak Harapan orangtua mendapatkan anak

normal

Fakta : Bisa terjadi ketidaksesuaian harapan.

antara lain Lahirnya Anak Autisme

Ciri-ciri anak autis : tidak mampu

mengadakan interaksi sosial yang seolah-olah hidup dlm dunia sendiri dan gagal membangun komunikasi. Autisme:

ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan gangguan komunikasi.

Kekecewaan

Tidak Bisa Menerima Keadaan,

Sesuai Dengan Tahap yang dikemukakan Mangunsong (1998):

Tahap 1 :

Mencari Informasi

Tahap 2 :

Emosi Negatif

Tahap 3 :

Penerimaan Diri Kebahagiaan pada Ibu? Ibu : Pengasuh, pendidik utama


(45)

inti, suami, keluarga besar dan tetangga. Adanya sikap terbuka dari ibu akan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk memberikan bantuan, baik itu dukungan sosial maupun material sehingga dapat memberikan kebahagiaan pada ibu yang memiliki anak autis.

c. Sebagai aplikasi hasil penelitian ini pada konseling keluarga/anak, konselor dapat mengetahui hal-hal apa saja yang bisa memberikan kebahagiaan pada ibu yang memiliki anak autis sehingga para konselor dapat mengembangkan upaya intervensi yang tepat seperti menyarankan atau melatih klien agar dapat berkomunikasi dengan baik kepada suami, keluarga besar dan para tetangga agar klien memiliki sikap terbuka. Selain itu, untuk klien-klien yang sulit menerima atau bahkan menolak kehadiran anaknya yang autis dapat diberikan sugesti-sugesti positif sehingga mampu merubah cara berpikir yang salah.

DAFTAR PUSTAKA.

Acocella, Joan., Alloy, Lauren B., Bootzin, Richard R. (1996). Abnormal Psychology (7th ed) New York : Mc Graw Hill.


(46)

Adler, J. (2003). Aristotle’s Ethics : The Theory of Happiness-I. Illinois University Press.

American Psychiatric Association. (2004). Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR (4th ed). Washington: APA

Biswas, R., Diener, & Dean, B. (2007). Positive Psychology Coaching : Putting the Science of Happiness to Work for your Clients. John Wiley & Sons, Inc.

Carr, A. (2004). Positive Psychology : The Science of Happiness and Human Strengths. Hove & New York : Brunner-Routledge Taylor & Francis Group.

Cohen, D.J & Volkmar, F.R. (1997). Handbook of autism and pervasife development disorders. (2nd ed). New York: John Wiley & Sons. Inc.

Easton, Mark. (2006). The Health benefit of happiness. bbc.uk.co

Gay, R.& Airasian, P. (2003). Educational research : Competencies for Analysis and Application (7 th ed). New Jersey : Merill Prentice Hall.

Lumbantobing, S. M. (2001). Anak dengan Gangguan Mental Terbelakang. Jakarta : FK UI


(47)

Mangunsong, Frieda., dkk (1998). Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP3 UI..

Marijani, L. (2003). Bunga Rampai Seputar Autisme dan Permasalahannya. Jakarta : puterakembara Foundation.

Moleong, L, J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

[On-line]

2 Februari 2011.

Myers, D. (2002). The Pursuit of Happiness : Who is Happy and Why ?. Harper Paperbacks.

Myers, D. (Summer 2004). The Secret to Happiness. YesI. Pp. 13-16.

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Penerbit: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran. Jakarta: Pendidikan Psikologi (PSP3) UI.

Rusydi, E. (2007). Psikologi Kebahagiaan : Dikupas Melalui Pendekatan Psikologi yang Sangat Menyentuh Hati. Yogyakarta : Progresif Books.


(48)

Safaria, T. (2005). Autisme: Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi Orangtua. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Santoso, Teguh. (2010). “anak autis dibunuh ibu kandung”.

[On-line]

Seligman, Martin .(2005). Authentic Happiness: Using The New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment, New York: Free Press.

Seligman, M. E. P. (2002). Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif ( Authentic Happiness). Bandung : PT. Mizam Pustaka.

Supratiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius

Sutadi, R. dkk.(2003). Penatalaksanaan Holistik Autisme (ed. Pertama). FK UI. Jakarta

Wenar, Charles. (1994). Developmental Psychopathology : From Infancy Through Adolescence (3th ed). New York : Mc Graw Hill.


(49)

LAMPIRAN

PEDOMAN WAWANCARA

I. Identitas Orang tua

a. Siapakah nama Ibu?

b. Apa pekerjaan Ibu dan Bapak?

c. Berapa jumlah anggota keluarga dan anak keberapa yang terkena autis dan berapa usianya?


(50)

e. Bagaimana perasaan Ibu setelah mengetahui anak ibu menderita autis?

II. Aspek-aspek Kebahagiaan

a. Menjalin hubungan positif dengan orang lain

a. Setelah mengetahui anak Ibu autis, bagaimana hubungan Ibu dengan keluarga dan kerabat Ibu?

b. Bagaimana reaksi dan respon keluarga terhadap Ibu setelah mengetahui anak Ibu menyandang autis?

c. Bagaimana Ibu menyikapi respon dari keluarga dan kerabat?

b. Keterlibatan penuh

1. Bagaimana cara Ibu mengasuh anak Ibu? Apakah Ibu sendiri yang mengasuhnya?

2. Sejauhmana Ibu terlibat dalam mengasuh anak Ibu?

3. Apakah ada kendala yang Ibu hadapi dalam mengurus anak Ibu?

c. Temukan makna dalam keseharian

1. Bagaimana perasaan Ibu selama mengasuh anak Ibu yang autis tersebut?

2. Apakah hal positif yang Ibu dapatkan selama mengasuh anak autis?

d. Optimis namun tetap realistis

1. Bagaimana keinginan Ibu terhadap masa depan anak Ibu? 2. Bagaimana kepercayaan Ibu kedepan terhadap diri Ibu sendiri

sebagai orang tua penyandang autis?


(51)

1. Sejauh ini bagaimana perasaan Ibu memiliki anak penyandang autis? Apa hal yang membuat Ibu dapat bangkit dari keadaan tersebut?

III. Karakteristik orang yang bahagia a. Menghargai diri sendiri

1. Bagaimana rasa percaya diri ibu memiliki anak autis

b. Optimis

1. Bagaimana Ibu menghadapi kondisi Ibu dengan kondisi anak yang autis?

2. Apa saja hal-hal yang Ibu lakukan dalam menghadapi kondisi tersebut?

c. Terbuka

1. Bagaimana Ibu menghadapi tanggapan orang sekitar Ibu terhadap kondisi anak Ibu?

2. Apakah Ibu membiarkan orang lain mengetahui anak Ibu autis? Bagaimana cara Ibu menyikapinya?

d. Mampu mengendalikan diri

1. Bagaimana Ibu mengendalikan diri dalam menghadapi anak Ibu? 2. Bagaimana Ibu mengendalikan diri Ibu terhadap keluarga dan lingkungan sekitar?

IV. Faktor yang mempengaruhi Kebahagiaan.

a. Apakah yang membuat Ibu bisa menerima/tidak bisa menerima keadaan anak Ibu yang menderita autis?


(52)

LEMBAR OBSERVASI

Responden :

Tanggal/Hari Wawancara : Waktu Wawancara :


(53)

Tempat Wawancara :

Wawancara Ke :

No. Hal yang diobservasi Keterangan

1. Penampilan fisik responden 2. Setting wawancara

3. Sikap responden selama wawancara 4. Hal-hal yang menganggu selama

wawancara

5. Hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Tema Penelitian : Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme


(54)

Peneliti : Marisha Sembiring

NIM : 051301091

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 20 Mei 2011

( Ratih ) (Marisha Sembiring)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Tema Penelitian : Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme


(55)

Peneliti : Marisha Sembiring

NIM : 051301091

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Gambaran Kebahagiaan pada Ibu yang memiliki Anak Autisme.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 22 Mei 2011

( Dina ) (Marisha Sembiring)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Tema Penelitian : Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme


(56)

Peneliti : Marisha Sembiring

NIM : 051301091

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Gambaran Kebahagiaan pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 25 Mei 2011


(1)

1. Sejauh ini bagaimana perasaan Ibu memiliki anak penyandang autis? Apa hal yang membuat Ibu dapat bangkit dari keadaan tersebut?

III. Karakteristik orang yang bahagia a. Menghargai diri sendiri

1. Bagaimana rasa percaya diri ibu memiliki anak autis

b. Optimis

1. Bagaimana Ibu menghadapi kondisi Ibu dengan kondisi anak yang autis?

2. Apa saja hal-hal yang Ibu lakukan dalam menghadapi kondisi tersebut?

c. Terbuka

1. Bagaimana Ibu menghadapi tanggapan orang sekitar Ibu terhadap kondisi anak Ibu?

2. Apakah Ibu membiarkan orang lain mengetahui anak Ibu autis? Bagaimana cara Ibu menyikapinya?

d. Mampu mengendalikan diri

1. Bagaimana Ibu mengendalikan diri dalam menghadapi anak Ibu? 2. Bagaimana Ibu mengendalikan diri Ibu terhadap keluarga dan lingkungan sekitar?

IV. Faktor yang mempengaruhi Kebahagiaan.

a. Apakah yang membuat Ibu bisa menerima/tidak bisa menerima keadaan anak Ibu yang menderita autis?


(2)

LEMBAR OBSERVASI

Responden :

Tanggal/Hari Wawancara : Waktu Wawancara :


(3)

Tempat Wawancara :

Wawancara Ke :

No. Hal yang diobservasi Keterangan

1. Penampilan fisik responden 2. Setting wawancara

3. Sikap responden selama wawancara 4. Hal-hal yang menganggu selama

wawancara

5. Hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Tema Penelitian : Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme


(4)

Peneliti : Marisha Sembiring

NIM : 051301091

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 20 Mei 2011

( Ratih ) (Marisha Sembiring)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Tema Penelitian : Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme


(5)

Peneliti : Marisha Sembiring

NIM : 051301091

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Gambaran Kebahagiaan pada Ibu yang memiliki Anak Autisme.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 22 Mei 2011

( Dina ) (Marisha Sembiring)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Tema Penelitian : Gambaran Kebahagiaan Pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme


(6)

Peneliti : Marisha Sembiring

NIM : 051301091

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai responden dalam penelitian mengenai Gambaran Kebahagiaan pada Ibu yang Memiliki Anak Autisme.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian, saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberi informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 25 Mei 2011