Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 Melalui Mekanisme Yudisial dan Non-Yudisial T2 322014005 BAB I

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

“The struggle of man against power

is the struggle of memory against forgetting”

--- Milan Kundera---,

(The Book of Laughter and Forgetting)

Krisis politik pasca Gestapu (Gerakan 30 September 1965) yang belakangan peristiwa tersebut yang oleh Pemerintah Orde Baru disebut dengan G30S/PKI.1 Penyebutan G30 S/PKI oleh orde baru sebagai justifikasi bahwa tragedi politik 1965 yang mengakibatkan terbunuhnya 6 jenderal di daerah Halim Perdanakusuma didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Selanjutnya peristiwa 30 September 1965 tersebut berimplikasinya terhadap lahirnya dua keputusan penting yaitu :

Pertama; lahirnya Komando Pemilihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk setelah terjadinya peristiwa G30S, tepatnya pada 10 Oktober 1965.2 Meskipun menurut Baskara,

1

Sulistyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) : Jakarta, 2011. Hal. 2.

2

Wardana SJ, Baskara (Editor), Luka Bangsa Luka Kita; Pelanggaran Ham Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi. Yogyakarta : Galang Press. 2014. Hal 62.


(2)

status hukum Kopkamtib tidak jelas, namun kuat. Lembaga Kopkamtib yang berdiri sejak 3 Oktober 1965 dan kemudian diresmikan melalui deklarasi pada 10 Oktober 1965 dengan berbagai bentuk kegiatannya yang seringkali mengabaikan hukum, hak asasi manusia.3

Kedua; pada tanggal 13 Maret 1966, dimana pemerintah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor : XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Indonesia bagi PKI dan Larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dua keputusan itu menurut Aswi Warman Adam, memunculkan epilog gerakan 30 september serta serangkaian peristiwa (1) peristiwa satu malam pada tanggal 30 September 1965, (2) penangkapan, penahanan, perburuan, pembunuhan missal yang memakan korban minimal setengah juta jiwa 1965/1966, (3) pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri sehingga mereka menjadi orang terbuang atau manusia eksil, (4) pembuangan paksa lebih dari 10.000

3


(3)

orang ke Pulau Buru (1960-1979), (5) stigma dan diskriminasi terhadap jutaan keluarga korban 1965.4

Sedangkan Baskoro T Wardaya5, melihat bahwa pasca peristiwa 30 September 1965, ditandai dengan dimunculkannya histeria anti-komunis berupa penangkapan, penyiksaan, pembunuhan serta pembuangan jutaan orang yang dituduh berideologi kiri.

Pendapat senada datang dari John Rosa, yang mensinyalir Suharto dengan rezim “Orde Baru” menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu.6 Masih menurut Rosa, dalam salah satu pertumpahan darah terburuk di abad kedua puluh, ratusan ribu orang dibantai Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dari akhir 1965 sampai pertengahan 1966. Bahkan laporan dari jurnalis asing yang melakukan liputan di Indonesia, menyebutkan beberapa angka fantastik tentang pembantaian PKI7. Wartawan pertama yang melakukan

4

Marwan Adam, Asvi, Melawan Lupa, Menepis Stigma setelah Prahara 1965,‟ PT. Kompas Media Nusantara, 2015. Hal viii.

5

Wardaya T, Opcit. Hal 61.

6

Rosa, John, Dalih Pembunuhan Massal, Kudeta 30 Septeember dan Kudeta Suharto,Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. Hal. 5

7

PKI adalah salah satu kekuatan politik massa beberapa yang pengaruhnya tumbuh selama periode ini. Pada tahun 1965 partai diklaim memiliki tiga setengah juta anggota, sehingga membuat Partai Komunis terbesar di negara non - komunis. PKI menawarkan ideologi modernis baru dan berusaha untuk mengatasi kesenjangan dan mendapatkan dukungan di antara orang-orang (masyarakat) yang sedang dalam kondisi terpuruk. PKI menekan Soekarno untuk menerapkan sistem land reform, Setelah mengalami


(4)

penyelidikan, Gambaran serupa juga diungkapkan Cribb8, tentara bersama-sama dengan beberapa organisasi Muslim dan lain-lain meluncurkan pembantaian komunis dan pendukung organisasi massa mereka, dengan perkiraan orang mati berkisar antara 300.000 dan 1 juta. Masih menurut Cribb, dalam Asvi M Adam, bahwa Kopkamtib dalam salah satu laporannya menyebut angka 1 juta jiwa (800.000 di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta masing-masing 100.000,- di Bali dan Sumatera.9

Disisi lain Rezim baru itupun memulai dengan penangkapan 10 menteri dalam Kabinet Presidium Soekarno pada 12 Maret 1966 atas perintah Soeharto. Kemudian penangkapan dan pencopotan sekitar 250 anggota DPRS yang disusul pula dengan pembubaran dan pelarangan semua lembaga dan barisan pendukung politik Soekarno.10

Gerakan penahanan dan pembantaian terhadap orang-orang PKI tahun 1965 tanpa proses pengadilan ataupun pembuktian bersalah sebagaimana dijelaskan diatas, yang kemudian oleh peneliti dimaknai sebagai extra judicial killings 1965. Extrajudicial killing adalah tindakan

penundaan. PKI juga menyerukan petani untuk mulai melaksanakan reformasi tanah mereka sendiri. Di daerah-daerah seperti Jawa Timur dan bagian dari Bali reformasi tanah adalah penyebab utama konflik. (Dr Katharine & Mc Gregor. The Indonesian Killings of 1965-1966. Tahun 2009)

8

Cribb,Robert & Audrey Kahin. Historical Dictionary of Indonesia. (Seconds Edition). (USA : Scarecrow Press Inc. 2004). Hal. Xxiv.

9

Marwan Adam, Asvi. Op.Cit. Hal. 33.

10


(5)

pembunuhan yang dilakukan diluar Pengadilan, artinya tidak ada proses hukum terlebih dahulu yang memberikan justifikasi hukum bahwa orang-orang PKI itu bersalah.

Apapun dalihnya tindakan extrajudicial killings terhadap simpatisan, anggota serta pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca peristiwa politik 30 September 1965, merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia., sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Preambule UUD 1945 secara filosofis, memuat makna bagaimana negara ini 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, Perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam konteks lain, penghukuman yang dilakukan tanpa proses pengadilan merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Pasal 1 Ayat (3), Undang-Undang Dasar 1945. Konsep negara hukum sebagaimana Plato (429-347 SM) kemukakan terkait dengan “nomoi”, dimana dalam suatu Negara Hukum semua orang harus tunduk kepada hukum termasuk penguasa atau raja.


(6)

Penguasa atau raja harus dicegah agar mereka tidak bertindak sewenang-wenang.11

Apa yang dilakukan negara terhadap tindakan extrajudicial killings adalah diluar apa yang Plato, Aristoteles serta Juergens Habermas inginkan. Negara justru bertindak diluar hukum yang disepakati bersama dengan masyarakat sebagaimana Habermas kemukakan. Secara lebih jauh negara yang seharusnya hadir untuk melindungan terhadap warga negaranya, justru negara lewat kekuasaan yang telah diselewengkan menjadi bagian dari pelaku extrajudicial killings itu sendiri.

Dalam Masstricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights, Maastricht, January 22-26, 1997, negara berkewajiban melindungi hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan memberlakukan tiga jenis kewajiban pada Negara, yaitu: kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi. Sehingga kegagalan untuk melakukan salah satu dari tiga kewajiban tersebut merupakan pelanggaran hak yang dilakukan oleh negara.

Maka terhadap pembantaian orang-orang PKI, itu terjadi karena adanya tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran

11

Anwar, Yesmil dan Adang, Sistem Peradilan Pidana : Konsep, Komponen dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung : Widya Padjajaran. 2009. Hal. 117.


(7)

dari Negara (act of ommission). Jika dilihat dalam perspektif Mastrich Guidelines, pelanggaran terhadap kemanusiaan, yaitu :

a) Acts of Commission (tindakan untuk melakukan) oleh pihak negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara.

b) Acts of ommission (tindakan pembiaran) oleh negara, termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak diproses secara hukum.12

Ada banyak peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam hal Extra judicial killings terhadap orang-orang PKI. Termasukjuga terjadi penyimpangan terhadap asas Presumption of innocence (praduga tak bersalah), di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah.

Apalagi menurut Cesare Beccaria(1764) “No man may be called guilty before the judge has reached his verdict”13. Kemudian Beccaria dalam Marquis Beccaria14, melanjutkan, bahwa :

“What right, then, but that of power, can authorise the

punishment of a citizen, so long as there remains any doubt of

his guilt”?The dilemma is frequent. Either he is guilty, or not

guilty. If guilty, he should only suffer the punishment ordained by the laws, and torture becomes useless, as his confession is

12Presiden Tanpa Prakarsa,‟

Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 2012 SETARA Institute,17 Desember2012. Hlm. 2-3

13

Beccaria, Cesare,‟On Crimes and Punishments' and Other Writings,” Cambridge Texts in the History of Political Thought. 1995. Hal. 39.

14

Beccaria, Marquisand M. de Voltaire. An Essay on Crimes and Punishments.” A New Edition Corrected. Albany: W.C. Little & Co., 1872. Hal. 33. ( http://lf-oll.s3.amazonaws.com/titles/2193/Beccaria_1476_EBk_v6.0.pdf) Diunduh, 06 Maret 2015.


(8)

unnecessary. If he be not guilty, you torture the innocent; for, in the eye of the law, every man is innocent, whose crime has not been proved”.

Oleh karena itu, sejalan dengan, Beccaria, bahwa penyiksaan kejam dan biadab dan melanggar prinsip bahwa tidak ada yang harus dihukum sampai terbukti bersalah di pengadilan; dengan kata lain itu adalah hak penguasa, maka tidak boleh terjadi. Extrajudicial killings bisa dikatakan tindakan yang melawan hukum itu sendiri.

Serentetan extrajudicial killings 1965 yang telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa lagi dikesampingkan atau dibiarkan berhenti begitu saja. Apalagi kejahatan-kejahatan tersebut tidak mengenal daluarsa (non-statutory limiitation), sehingga tidak ada batas waktu dalam penuntutannya.15 Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 46 : “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa”.

Oleh karena itu atas peristiwa extrajudicial killings 1965 perlu alternatif penyelesaian hukum atas kejahatan terhadap kemanusiaan dimasa lalu. Upaya penyelesaian terhadap extrajudicial killings 1965 itu sangat penting untuk mengungkap tabir gelap tentang kebenaran sejarah, disamping upaya mewujudkan rasa keadilan bagi korban maupun keluarga korban.

15


(9)

Dari alasandiatas, penulis mencoba mengajukan “Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 melalui Mekanisme Yudisial atau Non-yudisial. Pemilihan terhadap alternatif penyelesaian jalur Penal (judicial proceedings), dilakukan melalui :

1) Pengadilan HAM Ad Hoc, dasar hukumnya adalah UU No. 26 Tahun 2000, (Hukum Nasional) tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimana Pasal 7, bahwa : “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat, meliputi : a) Kejahatan Genosida; b) Kejahatan terhadap kemanusiaan”.Berdasarkan data-data diatas, maka extra judicial killings 1965 terhadap orang-orang PKI, menurut penulis termasuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 9, mengenai Kejahatan terhadap kemanusiaan. Maka, tentu saja bagi siapapun yang melanggar Pasal 9, harus diperiksa dan diputuskan dalam Pengadilan Ham sebagaimana UU No. 26 Tahun 2000, Bab VII Pengadilan Ad Hoc, Pasal 43, ayat (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM ad hoc.

2) Hybrid Tribunal (Pengadilan campuran) atau (internationalized domestic tribunal) yang mengacu pada perpaduan hukum lokal (indonesia) dan hukum internasional, yang dilakukan berdasarkan resolusi PBB.


(10)

Sebelumnya Hukum Internasional telah mengatur penyelesaian kejahatanterhadap kemanusiaan, melalui jalur pengadilan. Dan itu dapat dilihat dalam Pengadilan Pidana Internasional ad hoc, untuk kejahatan Nazi (International Military Tribunal for Nurnberg/IMTN) dan kejahatan perang Jepang (International Military Tribunal for Tokyo/IMTT), kejahatan Genosida bisa dilihat dalam International Criminal Tribunal for Yugoslavia/ICTY) di Yugoslavia dan International Criminal. Kemudian dewasa ini telah ada mekanisme pengadilan campuran atau “Hybrid Tribunal”, sebagai penyelesaian kasus hak asasi manusia, seperti

yang telah dilakukan dibeberapa negara; 1) Timor Leste (the serious crimes panels of the district court of Dili)) melalui Resolusi PBB Nomor: 1272 tahun 1999, yang diawali dengan pembentukan The United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET), berdasarkan Regulasi UNTAET 2000. 2) Kosovo (the Regulation 64 Panels in the courts of Kosovo) tahun 1999, dengan Resolusi PBB Nomor : 1244, 3) Sierra Leone (the special court for Sierra Leone) tahun 2000, melalui Resolusi PBB Nomor : 1315 tentang pembentukan Pengadilan Campuran (hybrid); 4) Kamboja (the extraordinary chambers in the Courts of Cambodia), tahun 2003, yang dibentuk antara Pemerintah Kamboja dan PBB, yang mana naskah perjanjian itu diadopsi menjadi Resolusi Majelis


(11)

Umum PBB A/RES/57/228 B, yang berisi tentang pembentukan

Extraordinary Chamber in the court of cambodia (ECCC)16.

Hybrid Tribunal, dimaksudkan jika tidak dimungkinkan negara dimana pelaku kejahatan kemanusiaan melakukan proses penyelesaian, sehingga tidak ada upaya lain kecuali, dengan menggunakan Hybrid Tribunal. Pengadilan campuran ini, dilaksanakan tetap menghormati yuridiksi negara yang bersangkutan, karena pelaksanaannya berada di negara tersebut.Menurut Tolib Efendi, ciri khas utama Hybrid tribunal

adalah adanya komposisi campuran antara elemen-elemen domistik dan internasional.17

Contoh pendekatan yudisial yang hampir sama pernah dilakukan pada kasus “Relokasi dan Internment Penduduk Sipil” warga AS keturunan Jepang. Hampir 120.000 orang Jepang-Amerika diinternir (dipaksa pindah dan dibatasi) oleh militer AS menyusul serangan Jepang di Pearl Harbor 1941. Melalui the Civil Liberties Act, 10 Agustus 1988, yang menyatakan permintaan AS atas pelanggaran HAM masa lalu terhadap warga negara AS keturunan Jepang dan sekaligus mengakui hak mereka untuk mengajukan gugatan.18

16

Effendi, Tolib, Hukum Pidana Internaasional, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2014. Hal. 46.

17

Effendi, Tolib, Ibid. Hal. 218.

18

Slamet Kurnia, Titon, „Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran Ham di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti, 2005. Hal. 273.


(12)

Bahwa the Civil Liberties Act, 1988, menunjukkan kebesaran dari negara yang telah mengakui kesalahannya, kemudian meminta maaf dan memberikan ganti rugi. Disitu juga ada tanggungjawab negara terhadap persoalan HAM masa lalu.

Selanjutnya proses penyelesaian extra judicial killingadalah melalui Jalur Non Penal atau diluar Pengadilan. Proses ini sesungguhnya juga disebut dengan Proses (restorative justice) yang dilakukan melalui kebijakan (diskresi) dan diversi, ---- pengalihan dari proses penal menuju non penal--- Bagaimanapun pendekatan restorative justice lebih memfokuskan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku maupun korban.

Adapun Penyelesaian melalui Non Penal atau diluar pengadilan atau restorative justice adalah dengan menggunakan :

1) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi / KKR (Truth and Reconciliation Commission). Dasar hukum Komisi kebenaran dan rekonsiliasi adalah UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 47, ayat (1) dan (2), yang berbunyi :

(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenanran dan Rekonsiliasi.

(2) Komisi Kebenanaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission) merupakan jalan yang sudah


(13)

ditempuh di beberapa negara dunia ketiga, yang intinya untuk menggapai keadilan transisional. Disamping itu keberadaan Komisi Kebenaran atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah sebuah komisi yang ditugasi untuk menemukan dan mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau oleh suatu pemerintahan, dengan harapan menyelesaikan konflik yang tertinggal dari masa lalu19.

Konsep tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga sudah dilaksanakan dibeberapa negara seperti Afrika Selatan, KKR dibentuk oleh Presiden Nelson Mandela setelah berakhirnya apartheid. Di Afrika Selatan, KKR dibentuk melalui 3 Komite, yaitu :

 Komite Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia yang meneliti pelanggaran HAM yang terjadi antara 1960 dan 1994.

 Komite Ganti Rugi dan Rehabilitasi yang bertugas memulihkan harga diri si korban dan merumuskan proposal untuk membantu dengan rehabilitasi.

 Komite Amnesti mempertimbangkan permohonan amnesti yang diajukan sesuai dengan isi Undang-undang No. 35/1995.

19

https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Kebenaran_dan_Rekonsiliasi, Diakses, 9 September 2015.


(14)

Sedangkan di Argentina, upaya penyelesaian kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan dengan pembentukan Comision Nacional sobre de la Desaparicion de Personas(Komisi Nasional untuk Penghilangan Paksa) pada tahun 1983, yang bertujuan menyelidiki hilangnya 9.000 penduduk sipil, selama rezim militer berkuasa pada 1976 hingga 1983. Di Peru dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Comisión de la Verdad y Reconciliación), pada tanggal13 Juli 2001, yang bertujuan untuk menyelidiki kejahatan terhadap kemanusian dengan 30.000 orang mati dan 6.000 orang hilang, yang terjadi pada 3 rezim pemerintahan sebelumnya.

2) Komisi Islah dan Rehabilitasi

Komisi ini sesungguhnya merupakan upaya penyelesaian kejahatan kemanusiaan dengan cara “cultural” atau disebut penyelesaian ala indonesia. Sebagaimana digelarnya simposium bertajuk "membedah tragedi 1965”, pada 18-19 April 2016. Acara yang diprakarsai oleh Menko Polhukam dengan menghadirkan sejumlah narasumber, baik tokoh TNI yang terlibat dalam penumpasan PKI, keluarga PKI, akademisi, dan sejumlah aktivis HAM. Acara yang diselenggarakan bertujuan mencari format rekonsialiasi korban dan pelaku kekerasan yang terjadi 1965.

Gagasan Komisi “Islah” dan Rehabilitasi, menurut penulis karena dari beberapa penyelesaian melalui pengadilan ad hoc, hybrid


(15)

tribunals serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang banyak mendapatkan tentangan. Meskipun Komisi “Islah” dan Rehabilitasi hampir sama dengan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, tetapi, “Islah” yang diambil dalam bahasa arab atau artinya “Perdamaian”, menurut tradisi masyarakat islam indonesia lebih ramah dan islami, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Sebagaimana “islah” digunakan untuk menyelesaikan konflik “agama”, organisasi keagamaan, serta organisasi politik berbasis islam. Begitu juuga dengan ruang lingkup islah yang cukup luas, yaitu mencakup aspek-aspek segi kehidupan manusia baik pribadi maupun sosial.Oleh karena itu Islah adalah proses mendamaikan pihak-pihak yang bertikai dengan menghilangkan segala bentuk pertikaian dan permusuhan atau dendam yang berkepanjangan yang dapat merugikan semua pihak. Dalam konteks extra judicial killings 1965, setidaknya telah memunculkan pertikaian, permusuhan dan dendam berkepanjangan, sehingga apapun model penyelesaiannya tanpa dilandasi semangat islah justru akan menimbulkan permusuhan baru.

Meskipun demikian, perlunya “komisi islah dan rehabilitasi” merupakan upaya meminimalisir munculnya permusuhan baru dalam proses penyelesaian extrajudicial killings 1965 dengan menggunakan konsep restroactive justice.


(16)

Pada prinsipnya upaya penyelesaian extrajudicial killings 1965

baik menurut mekanisme yudisial maupun non yudisial, penulis menekankan pada pentingnya tanggung jawab negara (state 0f liability) terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Bagaimanapun tindakan extrajudicial killings 1965 merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat, dimana sudah menjadi kewajiban semua negara yang harus bertanggungjawab dan wajib melindungi warga negaranya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasarnya yaitu hak hidup, hak kebebasan, hak untuk mendapat perlindungan, dll. Sebagaimana pendapat Sujatmoko, secara hukum negara merupakan pihak yang berkewajiban untuk melindungi (protect), menjamin (ensure) dan memenuhi (fulfil) Hak Asasi Manusia.20

Pelanggaran Hak Asasi Manusia telah dengan jelas mengatur mengenai siapa yang harus bertanggungjawab. Negara disebut sebagai

state actor, karena. hak asasi manusia merupakan tanggungjawab negara. Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (acts of commision) maupun oleh karena kelalaiannya sendiri (acts of ommission).21 Kewenangan negara untuk bertanggungjawab tentu didasarkan pada negara sebagai subyek hukum

20

Sujatmoko, Andrey, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta : Rajawali Pers. 2005.. Hal. 59.

21

Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor), Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : PUSHAM UII, 2008. Hal. 69.


(17)

internasional sekaligus sebagai subyek hak asasi manusia. Negara sebagai aktor atau pemangku kewajiban untuk bertangungjawab melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, bagi warga negaranya, sebagaimana kontrak sosial dan politik negara dengan rakyatnya.

Dalam hukum kebiasaan internasional sebuah negara dianggap melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) jika; 1) negara tidak berupaya melindungi atau justru meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable rights22; atau 2) negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak kejahatan internasional (international crimes) atau kejahatan serius (serious crimes) yaitu

22

Article 4 of the ICCPR sets out the following rights in the ICCPR from which states can never derogate, even in times of public emergency that threatens the life of the nation: Right to life (art 6); Prohibition of torture, cruel, inhuman and degrading treatment (art 7); Prohibition of medical or scientific experimentation without consent (art 7); Prohibition of slavery, slave trade and servitude (art 8); Prohibition of imprisonment because of inability to fulfil contractual obligation (art 11); Principle of legality in criminal law i.e. the requirement that criminal liability and punishment is limited to clear and precise provisions in the law, that was in force at the time the act or omission took place, except in cases where a later law imposes a lighter penalty (art 15); Recognition everywhere as a person before the law (art 16); Freedom of thought, conscience and religion (art 18).

Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian dirumuskan dalam Perubahan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.


(18)

kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.23

Oleh karena itu, dalam upaya penyelesaian extrajudicial killings

1965, dengan model alternatif penyelesaian baik Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial, hal itu penulis maksudkan tidak terlepas dari tanggungjawab negara. Peran tanggungjawab negara menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya alternatif penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yaitu extra judicial killings 1965.

II. Rumusan Masalah

Agar peneliti ini dapat memperoleh kajian lengkap “Alternatif Penyelesaian Extra Judicial Killings 1965, melalui Mekanis Yudisial dan Non Yudisial”. maka peneliti mengajukan rumusan masalah, meliputi :

Pertama :Bagaimana penyelesaian terhadap extra judicial killings 1965 melalui Mekanisme Yudisial?

Kedua; Bagaimana Alternatif Penyelesaian extra Judicial Killings 1965, melalui Mekanisme Non Yudisial?

III. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian tesis ini, meliputi :

23


(19)

1. Untuk mengetahui konstruksi bagaimana penyelesaian extrajudicial killings 1965 melalui mekanisme yudisial

2. Untuk mengetahui konstruksi bagaimana alternatif penyelesaian

extrajudicial killings 1965 melalui mekanisme non yudisial.

IV. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, akan dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Manfaat Teroritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum serta memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran terhadap kemanusiaan yang terjadi dimasa lalu.

2. Manfaat Praktis.

Penelitian ini secara praktis diharapkan memberikan masukan kepada :

a. Universitas atau dunia ilmiah sehingga penelitian ini mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan keilmuan terutama yang berkaitan langsung dengan penyelesaian hak asasi manusia atau kajian ilmu hukum pidana Internasional. b. Pemerintah Indonesia, sehingga penelitian ini memberikan


(20)

mengkaji kembali beberapa persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kemanusiaan dimasa lalu.

c. Organisasi yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia untuk melakukan kajian bersama yang hasilnya dapat merumuskan konsep-konsep perlindungan dan penegakan hukum.

V. Landasan Teori

a. Teori tentang Hak Asasi

Gagasan menegenai hak asasi, tentu tidak dari tokoh sekaliber John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Hobbes. Bahkan John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Ketiganya Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke termasuk tokoh yang mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contract social). Thomas Hobbes sendiri juga melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya “homo homini lupus, bellum omnium contra omnes”. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya

bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut „Leviathan‟.

Keadaaan seperti itu dalam pandangan Thomas Hobbes perlu adanya kesepakatan bersama pemerintah dan yang diperintahm


(21)

sehingga mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat yang intinya rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Tapi pandangan Hobbes ini dianggap sebagai biangnya monarki absolute. Beda Hobbes, beda pula John Locke, yang lebih mementingkan adanya keseimbangan hak individu masyarakat, sehingga hak-hak individu masyarakat masyarakat tidak sepenuhnya dikuasai oleh penguasa. Dan hanya hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu.

Lantas, John Locke24dalam bukunya “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration

mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.Locke kemudian mendefinisikan kekuasaan politik sebagai sebagai hak untuk membuat undang-undang untuk melindungi dan regulasi kepemilikan. Dalam pandangannya, hukum-hukum ini hanya bekerja karena orang-orang

24

John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964


(22)

menerima mereka dan karena mereka adalah untuk kebaikan publik25.

“Defines political power as the right to make laws for the

protection and regulation of property. In his view, these laws only work because the people accept them and because they

are for the public good”.

Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai “Second Treaties of

Civil Goverment”. The first treaty atau disebut “Pactum Unionis”

yang oleh John Locke sendiri dimaksudkan sebagai “Men by nature

are all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power another, without his own consent, which other men to join and unite into a community for their comfortable, stafe and peaceable, living one amongs another”26. merupakan perjanjian diantara masyarakat sendiri, ini kemudian membentuk masyarakat politik dan negara.

Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai “Pactum Subjectionis”, Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap

persetujuan antarindividu (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak

25

John Locke. (1634–1704), Two Treatises of Government. http://www.sparknotes.com/philosophy/johnlocke/section2.rhtml

26


(23)

yang tak tertanggalkan, yakni life, liberty serta estate, maka adalah logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu. Oleh karena itu Locke selalu beranggapan bahwa kebebasan manusia secara alami untuk bebas dari kekuatan superior di bumi, dan manusia tidak berada di bawah kehendak atau kekuasaan legislatif, tetapi hanya memiliki hukum alam pada kekuasaannya. Kebebasan manusia dalam masyarakat adalah untuk berada di bawah kekuasaan legislatif lain tetapi yang ditetapkan oleh persetujuan dalam persemakmuran, atau di bawah kekuasaan apapun akan, atau menahan diri dari hukum, tapi apa yang akan memberlakukan legislatif sesuai dengan menempatkan kepercayaandi dalamnya.

The natural liberty of man is to be free from any superior power on earth, and not to be under the will or legislative authority of man, but to have only the law of Nature for his rule. The liberty of man in society is to be under no other legislative power but that established by consent in the commonwealth, nor under the dominion of any will, or restraint of any law, but what that legislative shall enact according to the trust putin it.27

Bahkan secara lebih lanjut Locke mengatakan, The state of nature is governed by a law that creates obligations for everyone.

27

John Locke, Two Treatises of Government A New Edition, Corrected. In Ten Volumes. Vol. V. London: Printed for Thomas Tegg; W. Sharpe and Son; G. Offor; G. and J. Robinson; J. Evans and Co.: Also R. Griffin and Co. Glasgow; and J. Gumming, Dublin. 1823.Hal 114.


(24)

And reason, which is that law, teaches anyone who takes the trouble to consult it, that because we are all equal and independent, no-one ought toharm anyone else in his life, health, liberty, or possessions”.28

“Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian hari dijadikan landasan bagi pengakuan HAM. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence AS yang pada 4 Juli 1776 telah disetujui Congress yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence

tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke: “We hold these truth to be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and the persuit of happiness. That, to secure these rights, government are instituted among men, deriving their just

powers from the concent of the governed”.29

Maka dari itu hak asasi manusia merupakan suatu konsep etika dalam politik modern yang didalamnya berisi pokok penghargaan dan penghormatan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana tercermin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Pasal 1, :

28

John, Locke.Ibid. Hal. 4

29

Declaration of Independence IN CONGRESS, July 4, 1776.http://www.constitution.org/us_doi.pdf, Diunduh 24 Maret 2015.


(25)

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”30.

Spesifikasi hak-hak yang berikut, terus dalam bentuk dan isi tradisi diresmikan oleh para wakil rakyat dari Virginia yang dalam deklarasi mereka 12 Juni 1776 menegaskan bahwa:

All men are by nature equally free and independent, and have certain inherent rights, of which when they enter into a state of society, they cannot by any compact deprive or divest their posterity; namely, the enjoyment of life and liberty, with the means of acquiring and possessing property, and pursuing and obtaining happiness and safety.

Betapa agung dan pentingnya hak asasi manusia, sebagai potret tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga disebutkan dalam Pasal 28A, :

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Hak sendiri sangat berimpitan dengan moralitas dan politk, karena Moralitas politik memberikan prinsip-prinsip yang harus mengatur aksi politik. Ketika itu termasuk prinsip hak-hak individu itu pada dasarnya berkaitan dengan individu, diambil satu per satu,

30

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).


(26)

bukan dengan masyarakat secara keseluruhan. ebagaimana dijelaskan oleh Attracta Ingram31, yaitu :

“What is distinctive about rights, on this approach, is that they are explained in terms of a principle, or complex set of principles, of autonomy. That gives rights a content which fits them to play a leading role in the background morality of liberal democratic politics. The democratic principle of political equality can be specified by autonomy based rights in a way that respects the heterogeneity of ends and ideals to be found among the citizens of modern pluralist democracies.”

Berangkat dari hal tersebut diatas pada dasarnya teori hak adalah memberikan kesempatan pada setiap orang untuk memperoleh kebebasan dan mengakses sumber-sumber ekonomi yang berarti setiap orang berhak hidup layak berdasarkan sumber-sumber ekonomi yang ada, politik serta hak untuk memperoleh keadilan.

b. Teori Keadilan Hukum

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal

secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar32. Keadilan” dalam bahasa Inggris adalah

31

Attracta Ingram, A Political Theory of Rights. New York : Published by Oxford University Press Inc., New York. 1994. Hal. 9

32


(27)

justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice

memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan

yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman

(sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).33

Keadilan menurut Friedmen, juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.34Adapun konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya

33

http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 24 Maret 2015.

34

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta (PT RajaGrafindo Persada, 1993), Hal. 117.


(28)

memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.35

Pentingnya keadilan dalam peristiwa extra judicial killings 1965, karena ini menyangkut tentang perampasan hak hidup manusia, dimana mereka dibunuh tanpa ada proses keadilan. Oleh karena itu pentingnya keadilan transisional dalam peristiwa tersebut. Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal. Keadilan transisional dalam peristiwa extrajudicial killings 1965 sangat tepat, karena adanya perubahan sebuah rezim dari otoriter ke demokrasi. Itu artinya perlu ada perubahan terhadap perikehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Keadilan transisional terhadap kasus extrajudicial killings 1965 diharapkan menjadi jembatan penanganan HAM masa lalu yang menimbulkan dendam berkepanjangan terhadap rezim otoriter. Transisional justice menurut Ruti G Teitel36, menawarkan metode interpretatif, historis, dan komparatif untuk menarik konklusi sistetik berkenaan dengan apa yang dikedepankan oleh praktik-praktik ini tentang konsepsi

35

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), Hal 20.

36

Ruti G Teitel, Keadilan Trasisional : Sebuah Tinjauan Komprehensif. Terj. Jakarta : ELSAM. 2004. Hal. 437-438.


(29)

keadilan pada masa seperti itu. Masih menurut Ruti apa yang mencuat adalah suatu penyeimbangan pragmatik tentang keadilan ideal dengan realisme politik yang mencontohkan kedaulatan hukum simbolis yang mampu mengkonstruksikan perubahan yang liberalisasi. Transisi adalah perubahan normatif transisi itu sendiri, praktik-praktik hukum menjembatani suatu perjuangan yang persisten di antara dua titik : dukungan terhadap konvensi yang mapan dan transformasional yang radikal. Utamanya, suatu posisi yang dipengaruhi secara dialektis kemudian muncul. Dalam konteks perubahan radikal politik, jurisprudensi transisional mendamaikan konsepsi parsial dan non-ideal tentang keadilan : bentuk-bentuk sementara dan terbatas dari konstitusi, sanksi, reparasi, pemurnian (pemulihan nama baik), dan sejarah.37

VI. Sistematika

Secara teoritis penulisan tesis yang berjudul: “Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 melalui

Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial”, ini dibagi menjadi beberapa

bab, yakni :

37


(30)

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.

Bab II Metode Penelitian, berisi tentang Tipe Penelitian,

Pendekatan, Bahan Hukum, Prosedur pengumpulan bahan dan Analisa bahan hukum.

Bab IIIPenyelesaian Extra Judicial Killings 1965 melalui

Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial:berisi tentang Penyelesaian

HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000, Penyelesaian melalui Hybrid Tribunal (Pengadilan campuran), penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsisliasi serta melalui Komisi Islah dan Rehabilitasi.

Bab IV Penutup, berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang

dilakukanserta saran-saran terkait dengan permasalahan yang penulis kaji.


(1)

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”30.

Spesifikasi hak-hak yang berikut, terus dalam bentuk dan isi tradisi diresmikan oleh para wakil rakyat dari Virginia yang dalam deklarasi mereka 12 Juni 1776 menegaskan bahwa:

All men are by nature equally free and independent, and have certain inherent rights, of which when they enter into a state of society, they cannot by any compact deprive or divest their posterity; namely, the enjoyment of life and liberty, with the means of acquiring and possessing property, and pursuing and obtaining happiness and safety.

Betapa agung dan pentingnya hak asasi manusia, sebagai potret tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga disebutkan dalam Pasal 28A, :

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Hak sendiri sangat berimpitan dengan moralitas dan politk, karena Moralitas politik memberikan prinsip-prinsip yang harus mengatur aksi politik. Ketika itu termasuk prinsip hak-hak individu itu pada dasarnya berkaitan dengan individu, diambil satu per satu,

30

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).


(2)

bukan dengan masyarakat secara keseluruhan. ebagaimana dijelaskan oleh Attracta Ingram31, yaitu :

“What is distinctive about rights, on this approach, is that they are explained in terms of a principle, or complex set of principles, of autonomy. That gives rights a content which fits them to play a leading role in the background morality of liberal democratic politics. The democratic principle of political equality can be specified by autonomy based rights in a way that respects the heterogeneity of ends and ideals to be found among the citizens of modern pluralist democracies.”

Berangkat dari hal tersebut diatas pada dasarnya teori hak adalah memberikan kesempatan pada setiap orang untuk memperoleh kebebasan dan mengakses sumber-sumber ekonomi yang berarti setiap orang berhak hidup layak berdasarkan sumber-sumber ekonomi yang ada, politik serta hak untuk memperoleh keadilan.

b. Teori Keadilan Hukum

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar32. Keadilan” dalam bahasa Inggris adalah

31

Attracta Ingram, A Political Theory of Rights. New York : Published by Oxford University Press Inc., New York. 1994. Hal. 9

32


(3)

justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice

memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara dibawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).33

Keadilan menurut Friedmen, juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi makhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.34Adapun

konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas,

“bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak

untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya

33

http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 24 Maret 2015.

34

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Cetakan kedua, Jakarta (PT RajaGrafindo Persada, 1993), Hal. 117.


(4)

memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.35

Pentingnya keadilan dalam peristiwa extra judicial killings 1965, karena ini menyangkut tentang perampasan hak hidup manusia, dimana mereka dibunuh tanpa ada proses keadilan. Oleh karena itu pentingnya keadilan transisional dalam peristiwa tersebut. Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal. Keadilan transisional dalam peristiwa extrajudicial killings 1965 sangat tepat, karena adanya perubahan sebuah rezim dari otoriter ke demokrasi. Itu artinya perlu ada perubahan terhadap perikehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Keadilan transisional terhadap kasus extrajudicial killings 1965 diharapkan menjadi jembatan penanganan HAM masa lalu yang menimbulkan dendam berkepanjangan terhadap rezim otoriter. Transisional justice menurut Ruti G Teitel36, menawarkan metode interpretatif, historis, dan komparatif untuk menarik konklusi sistetik berkenaan dengan apa yang dikedepankan oleh praktik-praktik ini tentang konsepsi

35

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), Hal 20.

36

Ruti G Teitel, Keadilan Trasisional : Sebuah Tinjauan Komprehensif. Terj. Jakarta : ELSAM. 2004. Hal. 437-438.


(5)

keadilan pada masa seperti itu. Masih menurut Ruti apa yang mencuat adalah suatu penyeimbangan pragmatik tentang keadilan ideal dengan realisme politik yang mencontohkan kedaulatan hukum simbolis yang mampu mengkonstruksikan perubahan yang liberalisasi. Transisi adalah perubahan normatif transisi itu sendiri, praktik-praktik hukum menjembatani suatu perjuangan yang persisten di antara dua titik : dukungan terhadap konvensi yang mapan dan transformasional yang radikal. Utamanya, suatu posisi yang dipengaruhi secara dialektis kemudian muncul. Dalam konteks perubahan radikal politik, jurisprudensi transisional mendamaikan konsepsi parsial dan non-ideal tentang keadilan : bentuk-bentuk sementara dan terbatas dari konstitusi, sanksi, reparasi, pemurnian (pemulihan nama baik), dan sejarah.37

VI. Sistematika

Secara teoritis penulisan tesis yang berjudul: “Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 melalui Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial”, ini dibagi menjadi beberapa bab, yakni :

37


(6)

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.

Bab II Metode Penelitian, berisi tentang Tipe Penelitian, Pendekatan, Bahan Hukum, Prosedur pengumpulan bahan dan Analisa bahan hukum.

Bab IIIPenyelesaian Extra Judicial Killings 1965 melalui Mekanisme Yudisial dan Non Yudisial:berisi tentang Penyelesaian HAM melalui UU No. 26 Tahun 2000, Penyelesaian melalui Hybrid Tribunal (Pengadilan campuran), penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsisliasi serta melalui Komisi Islah dan Rehabilitasi.

Bab IV Penutup, berisi tentang kesimpulan dari penelitian yang dilakukanserta saran-saran terkait dengan permasalahan yang penulis kaji.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Sanksi dalam Hukum T2 322014001 BAB I

0 3 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Doktrin sebagai Sumber Hukum T2 322014015 BAB I

1 3 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 Melalui Mekanisme Yudisial dan Non-Yudisial T2 322014005 BAB II

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 Melalui Mekanisme Yudisial dan Non-Yudisial T2 322014005 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alternatif Penyelesaian Hukum Extra Judicial Killings 1965 Melalui Mekanisme Yudisial dan Non-Yudisial

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jenis dan Pola Penyelesaian Pelanggaran Keimigrasian di Timor Leste T2 322011902 BAB I

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Hukum Privatisasi BUMN di Indonesia T2 322010013 BAB I

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB I

0 1 37

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Hukum Pemberian Imbalan bagi Pengurus dan Pengawas Koperasi T2 BAB I

0 1 14

T2__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu dan Citra (Image) Sekolah T2 BAB I

0 1 11