Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Sanksi dalam Hukum T2 322014001 BAB I

(1)

1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Ubi Societas Ibi Ius adalah ungkapan yang dikemukakan oleh Marcus Tulius Cicero yang artinya “dimana ada masyarakat di situ ada hukum.” Ungkapan klasik tersebut memberikan gambaran bahwa kapan hukum pertama kali tercipta, pertanyaan tersebut mengandung pengertian yaitu bahwa hukum tercipta pada saat manusia tercipta juga, karena pada saat ada manusia dan pergaulannya pada saat itulah hukum sudah ada. Jawabannya adalah sejak manusia pertama kali diciptakan oleh Sang Pencipta.1

Teguh Prasetyo membedakan hukum dalam dua

periode besar yaitu hukum pikiran Tuhan sebelum periode adanya negara dan hukum pikiran Tuhan yang berkembang setelah periode adanya negara.2

Hukum pikiran Tuhan tercatat pertamakali muncul pada waktu kehidupan manusia di Taman

1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Kencana Prenanda Media Group, Jakarta, 2013, Hlm. 41.

2 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Perspektif Teori


(2)

Eden yaitu ketika Tuhan memberikan hukum kepada bentuk masyarakat yang paling pertama yaitu Adam dan Hawa, bentuk hukum pada waktu itu adalah langsung dan lisan. Pada waktu itu Tuhan memerintahkan kepada Adam dan Hawa untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang buruk. Pada waktu diciptakan manusia telah dilengkapi dengan akal budi serta kaidah yang fundamental yaitu kebebasan untuk memilih.3 Hal

tersebut menandakan bahwa lahirnya hukum berselang tidak lama setelah manusia diciptakan.

Hukum pada periode kedua yaitu periode adanya negara sifatnya tidak langsung dan berbentuk tulisan dan perkembangannya terus berlangsung sampai sekarang. Melalui ahli-ahli hukum yang terus menciptakan berbagai pemahaman tentang hukum sampai dewasa ini.4

Hukum pada dasarnya adalah pikiran Tuhan dimana jelas Tuhan menghendaki sesuatu yang baik terjadi pada manusia. Dengan demikian juga hukum akan membawa manusia pada sesuatu kondisi yang mendatangkan kebaikan kepada manusia. Bukan sebaliknya, karena yang terjadi adalah hukum dijumbuhkan dengan kekuasaan, sehingga tidak jarang dijadikan sarana untuk mempertahankan keuasaan,

3Ibid., Hlm. v. 4Ibid., Hlm. v-vi


(3)

sarana untuk memenuhi ego penguasa bahkan melanggar hukum dan juga membinasakan manusia.

Tesis yang dikemukakan pada penelitian ini yaitu bahwa sanksi bukan elemen yang esensial dalam hukum. Tesis ini bertolak dari beberapa pemahaman dalam perkembangan teori hukum yaitu bahwa perbedaan mendasar antara norma hukum dengan norma-norma non-hukum adalah dalam norma hukum diletakkan suatu paksaan atau sanksi.5

Bentuk sanksi dalam hal ini adalah berupa ancaman penggunaan kekerasan bagi pihak yang tidak mematuhi hukum.6 Paham sebagaimana dikemukakan

di atas secara eksplisit berpandangan bahwa eksistensi sanksi sebagai unsur utama (esensi) dari sebuah norma hukum, atau dapat dikatakan bahwa hakikat dari hukum adalah adanya paksaan,7 sehingga dalam hal

sebuah norma tidak mengandung sanksi mengakibatkan norma tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai norma hukum.

Keberadaan manusia harus dilihat dari dua sisi yaitu manusia secara fisik dan sisi manusia secara spirit, dengan demikian dalam pemenuhan kebutuhannya harus juga memperhatikan kedua sisi

5 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 67. Dikutip dari Lon. L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, Hlm. 109.

6 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta,

2014, Hlm. 76.

7 Munir Fuadi, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand


(4)

tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Peter

Mahmud Marzuki bawa manusia memiliki dua

kebutuhan yaitu kebutuhan secara fisik dan kebutuhan eksistensial, kebutuhan secara fisik yaitu dimana manusia perlu untuk dilindungi keamanannya secara fisik yang diantaranya perlindungan dari gangguan berupa kelaparan, penyakit, pembunuhan dan kekerasan. Dan kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan pengakuan akan keberadaannya sebagai manusia kebutuhan ini disebut kebutuhan eksistensial.8

Hukum timbul dan berkembang bukan hanya sekedar memenuhi atau melindungi kebutuhan manusia secara fisik, namun hukum juga harus memenuhi atau melindungi kebutuhan manusia secara eksistensial.9 Pemenuhan kebutuhan tersebut agar

manusia terlindung kepentingannya manusia membutuhkan hukum yaitu, Hukum adalah seperangkat kaidah dan tatanan Nilai. Seperangkat kaidah dan tatanan nilai tersebut bertujuan memberikan pandangan atau patokan hidup bagi manusia untuk mengatur hubungan tingkah laku

8 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 42-43


(5)

masyarakat10 dengan tujuan untuk memberikan dan

mempertahankan adanya vrede atau damai sejahtera.11

Damai sejahtera sebagai tujuan dari hukum sejalan dengan Teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berfikir; memanusiakan manusia atau nge wong ke wong.12 Berupa Imperium hukum yang adalah

imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak manusia, di manapun ia berada menjalani kehidupannya.

Teori Keadilan Bermartabat sebagaimana dikemukakan oleh Teguh Prasetyo mengajak untuk mendekati hukum dengan hikmat dan kebijaksanaan dimana hikmat dan kebijaksanaan itu merupakan hikmat dan kebijaksanaan yang harus sesuai atau menurut hukum. Dengan visi yang sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri. Yaitu Kebenaran dan kebenaran itu keadilan, keadilan itu kebenaran dan juga adalah kepastian hukum itu sendiri. Maka dari itu menjadi suatu keharusan bahwa keadilan adalah sesuatu yang harus didahulukan.13

10 Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan

Pancasila, Media Perkasa, Yogyakarta, 2013, Hlm. 8.

11 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi),Op.Cit., Hlm. 33.

12 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat: Op.Cit., Hlm. 22. 13Ibid., Hlm. 20-25.


(6)

Keadilan bertujuan untuk mencapai hal yang sebagai mana menurut St. Thomas Aquinas Common good yaitu keadilan. Keadilan itu adalah keadilan sosial yang tidak hanya berdimensi utilitarian atau kebendaan property. Tetapi juga berdimensi kerohanian atau spiritualitas.14 Maka dari itu teori keadilan

bermartabat itu adalah suatu usaha untuk memahami atau mendekati pikiran Tuhan.15

Eksistensi sanksi dalam perbincangan hukum merupakan suatu hal yang hampir tidak dapat dipisahkan sehingga bisa dikatakan ketika orang membicarakan sanksi maka pembicaraan tersebut adalah sudah sama dengan membicarakan hukum. Makna dari kata eksistensi tersebut adalah mengindikasikan sebuah “keberadaan” sesuatu yang dijadikan objek misalnya: “eksistensi manusia,” yang artinya keberadaan manusia. Kalimat tersebut tidak dapat diartikan menunjukkan sebuah lokasi, akan tetapi lebih berindikasi pada sebuah pengakuan, pengakuan akan keberadaan manusia.16 Eksistensi

berbicara lebih kepada sesuatu yang sifatnya menjadi hakikat. Dengan konsep eksistensi yang demikian kembali pada kalimat dalam tesis ini yaitu eksistensi sanksi, maka sudah jelas yang sedang dibicarakan di

14Ibid., Hlm. 27-28. 15Ibid., Hlm. 25.

16 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi


(7)

sini ada keberadaan sanksi atau pengakuan sanksi dalam hukum. Apakah sanksi merupakan unsur utama dari hukum atau bukan.

Sanksi dalam bahasa Inggris Sanction17 Menurut

Utrecht bahwa yang dimaksud dengan sanksi adalah akibat dari sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain baik itu manusia atau lembaga sosial atas sesuatu perbuatan manusia.18

Dalam Black's Law Dictionary pengertian sanksi dijelaskan sebagai berikut:

SANCTION, In the original sense of the word, a penalty or punishment provided as a means of enforcing obedience to a law. In jurisprudence, a law is said to have a sanction when there is a state which will intervene if it is disobeyed or disregarded. Therefore international law has no legal sanction.19

Pada dasarnya sanksi merupakan sesuatu yang bersifat negatif, bentuknya bermacam-macam bentuknya mulai dari perampasan paksa atas harta kekayaan individu, perampasan kebebasan, serta sampai pada pencabutan nyawa manusia.20 Pada

pokoknya sanksi adalah tindakan menderitakan individu yang dikenakan dengan sanksi tersebut.

17 Echols, John M. dan Hassan Sadly, Kamus Indonesia

Inggris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

18 Utrecht, E., Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T.

Penerbit dan Balai Buku “Ichtiar”, Jakarta, 1962, Hlm. 17.

19 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary 4th, West

Publishing CO, St. Paul Minn, 1968, Hlm. 1507.

20 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), Rajawali


(8)

Begitu melekat eratnya kata sanksi dalam hukum dapat dilihat di Indonesia kata sanksi adalah mengunakan kata “hukum” itu sendiri hanya ditambah dengan imbuhan “an” jadinya “hukuman”21 meskipun

istilah tersebut adalah istilah yang sering digunakan oleh orang awam namun penggunaan istilah tersebut cukup membuktikan bahwa ada pemahaman kalau hukum dan sanksi adalah sama.

Menurut Austin bahwa Hukum merupakan perintah penguasa yang berdaulat dalam suatu negara, yang menjadi dasar pemahaman Austin tersebut adalah “principle of origin” (asas sumber) dan menerangkan bahwa hukum harus memenuhi beberapa unsur utama yaitu: adanya perintah (command), kewajiban (duty), sanksi, dan kedaulatan.22 Kemudian dari dasar

pemahamannya tersebut Austin sampai pada pemahaman bahwa:

Tidak penting mengapa orang mentaati perintah-perintah pemerintah. Ada orang yang mentaati karena merasa berwajib mentaati kepentingan umum, ada yang mentaati sebab takut akan kekacauan, ada yang mentaati sebab merasa terpaksa. Sama saja, asal mentaati. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi.23

Pemahaman di atas mengisyaratkan kedudukan sanksi dalam hukum adalah sebuah keniscayaan atau

21Ibid, Hlm. 2.

22 A. Mukthie Fadjar, Teori Hukum Kontemporer (Edisi Revisi),

Setara Press, Malang, 2013, Hlm. 10.


(9)

dengan kata lain bahwa hukum adalah sanksi. Sehingga berkembang pemahaman yang mendefinisikan hukum, bahwa: “hukum adalah suatu keharusan atau sistem kewajiban yang jika dilanggar akan ada sanksinya”24

Apabila pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas dipertahankan secara mutlak maka hukum layaknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok perampok terhadap korban perampokan yang posisinya lebih lemah, mengapa tidak, karena dapat dilihat bahwa unsur dari dua kondisi tersebut adalah kurang lebih sama, yaitu: adanya perintah, berupa perintah dari pihak yang memiliki kekuatan kepada pihak yang berada pada posisi lemah untuk melakukan sesuatu, misalnya: perintah perampok kepada korbannya untuk menyerahkan barang miliknya, mau tidak mau korban harus menuruti perintah tersebut sehingga ada kewajiban dari korban karena jika tidak melaksanakan perintah tersebut, para perampok mampu untuk memaksakan kehendaknya dengan tindakan paksaan terhadap korban atau dengan kata lain korban akan mendapat sanksi. Dengan demikian ilustrasi perampokan di atas telah memenuhi unsur hukum karena ada perintah, kewajiban dan sanksi.

24 Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum

& Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, Hlm. 103.


(10)

Hukum dan sanksi harus dibedakan. Bertolak dari ilustrasi di atas bahwa jika tidak adanya pembedaan yang tegas antara hukum dan sanksi maka Negara dengan perampok adalah sama maka dari itu menurut penulis adalah sangat penting bahwa harus dibedakan keduanya agar hukum memiliki karakternya yang paling hakiki dan menurut tesis dalam penelitian ini bahwa karakter tersebut bukan sanksi.

Hukum tidak sama dengan aturan. Perlu untuk dikemukakan disini bahwa pada dasarnya konsep hukum harus dibedakan dengan konsep peraturan. Berbicara lebih lanjut mengenai konsep hukum pendapat Titon Slamet Kurnia cukup menjelaskan banyak dalam memberikan pandangan yang membedakan pengertian antara hukum dan peraturan, “konsep hukum yang dipergunakan di sini adalah terminologi atau istilah yang dalam bahasa Latin disebut Ius. Konsep hukum sebagai Ius (Law) hendaknya tidak dijumbuhkan dengan konsep peraturan atau Lex (Laws). Peraturan hanya salah satu bentuk manifestasi dari hukum.”25 Logikanya bahwa:

hukum itu sama dengan keadilan, maka apabila tidak ada keadilan maka sama saja tidak ada hukum. Tidak mungkin didalilkan bahwa ada hukum tetapi hukum yang ada itu tidak adil. Dalil seperti ini tidak sesuai dengan hukum logika. Hukum logika yang benar

25 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,


(11)

mendikte bahwa hukum selalu mengandung keadilan apabila tidak ada keadilan maka tidak ada hukum.26

Aturan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang sengaja dibuat oleh manusia baik itu bersumber dari kekuasaan yang berdaulat maupun berasal dari kebiasaan yang diakui sebagai hukum, bertujuan untuk memberikan gambaran yang “nyata” dalam bertingkah laku, di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai harus atau tidak harus dilakukannya sesuatu oleh manusia atau masyarakat itu, misalnya hukum perdata yang di dalamnya memuat ketentuan yang mengatur hubungan masyarakat secara individual dengan individu yang lain, hukum publik antara lain hukum tata negara yang memuat prosedur penyelenggaraan negara dan hukum pidana memuat aturan bertingkah laku dalam masyarakat dan tata cara menghukum bagi pelanggarnya atau sanksi. Dari tiga jenis di atas lah yang menjadi pusat perhatian yaitu kata sanksi dalam hukum pidana.

Pada dasarnya hukum berbeda dengan peraturan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa peraturan adalah produk kekuasaan atau dibuat oleh manusia sehingga kemungkinan bahwa aturan tersebut bersifat kesewenang-wenangan tetap ada. Berbeda


(12)

dengan Keadilan adalah sinonim dari hukum.27 Dan

sifatnya yang sama di semua tempat.

Hukum senantiasa ada dalam semua masyarakat (bersifat universal) dan berkembang sesuai dinamika masyarakat itu. Oleh karena itu, hukum selalu dapat ditemukan sebagai pedoman dalam penyelesaian setiap masalah yang muncul dalam pergaulan manusia, yaitu ketika ideal yang diharapkan (keadilan) tidak dalam pergaulan tersebut.28

Teori hukum yang cukup dominan dalam pemikiran hukum menyatakan baik secara eksplisit maupun implisit bahwa yang membedakan norma hukum dan norma-norma lainnya adalah pada norma hukum dilekatkan paksaan atau sanksi.29

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Sanksi adalah tindakan atau “hukuman” yang diberikan kepada individu karena melanggar hukum tindakan yang merugikan hak orang lain. Hukuman pada hakikatnya merupakan pengurangan terhadap hak asasi manusia, oleh sebab itu pengaturannya harus dengan produk legislasi,30 dengan tujuan yang

bersangkutan mengalami penderitaan bentuk-bentuk sanksi berupa tindakan fisik dan non fisik atau

27 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,

Op.Cit., Hlm. 4.

28Ibid., Hlm. 4.

29 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit, Hlm., 67. Dikutip dari Lon. L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, Hlm. 109.

30 Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang & Jasa,


(13)

tindakan psikis, contohnya memenjarakan seseorang, sehingga sanksi dapat digolongkan dengan tindakan pelanggaran hak. Jelas bahwa keberadaan sanksi muncul seiring dengan diberlakukannya aturan dan apakah unsur sanksi ini merupakan unsur yang membuat aturan tersebut memiliki kualifikasi sebagai hukum? Pertanyaan tersebut dijawab dengan baik dengan pemahaman berikut:

Dalam hubungan dengan peraturan maka fungsi paling urgen dari hukum, principles atau asas, adalah standar untuk menilai kelayakan peraturan, suatu peraturan harus sesuai dengan hukum supaya dapat berlaku atau mengikat sebagai sebuah keharusan untuk diikuti. Atau dengan bahasa yang lebih metaforis dapat dikatakan bahwa hukum, sebagai nilai atau ideal yang ingin diwujudkan, adalah spirit peraturan. Tanpa hukum peraturan mati.31

Standar untuk sebuah aturan memenuhi kualifikasi sebagai hukum adalah aturan tersebut harus berlandaskan pada principles atau asas, dengan demikian konsep hukum lebih luas dari sekedar peraturan atau jika pernyataan ini dibalik: peraturan hanya salah satu manifestasi hukum dan tidak selalu bahwa suatu peraturan merupakan hukum.32

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat Sanksi diperlukan untuk memaksa masyarakat tunduk kepada hukum, namun pemahaman demikian menurut penulis

31 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,

Op.Cit., Hlm. 5


(14)

tidaklah terlalu tepat pemahaman penulis tersebut didukung oleh pendapat Theo Huijbers yang meluruskan pemahaman mengenai sifat hukum yang mengharuskan.

Biasanya dikatakan bahwa hukum “memaksa”. Apakah benar? Memang hukum mengharuskan. Akan tetapi mengharuskan itu dapat berarti: menuntut dan dapat berarti: memaksa, mana yang benar? Kalau umpamanya pemerintah menuntut supaya semua anggota masyarakat hidup dalam damai, bahwa mereka tidak boleh saling menyiksa dan membunuh, sulit mengatakan bahwa pemerintah memaksa. Pemerintah menuntut, sebab peraturan-peraturan yang bersangkutan mengharuskan, tetapi pada umumnya orang tidak merasa dipaksa. Perbedaan antara kedua kata itu terletak dalam sikap psikologis orang-orang yang diharuskan untuk mentaati peraturan-peraturan. Kata “menuntut” bersifat objektif, tanpa memandang sifat orang; kata memaksa mengandung suatu unsur subjektif, yakni mengandaikan bahwa orang mau melanggar peraturan yang ditentukan. Maka hukum sebagai paksaan mengandaikan pelanggaran. Bila terdapat pelanggaran hukum memaksa dengan ancaman penggunaan kekerasan (denda, penjara). Tetapi menurut perasaan kebanyakan orang hukum tidak memaksa, melainkan menuntut. Hukum hanya memaksa bagi orang yang tidak mau taat kepada hukum.33

Berikut pendapat Peter Mahmud Marzuki yang memiliki keserasian dengan pendapat di atas bahwa, tidak dapat dipungkiri bahwa bilamana diperlukan, paksaan memang dapat dihadirkan. Namun demikian hal itu bukan berarti memberikan alasan pembenaran terhadap pandangan yang menyatakan bahwa sanksi


(15)

merupakan tanda pembeda antara norma hukum dan norma sosial lainnya.34

Memang sanksi sering terdapat dalam hukum namun sebagaimana dikemukakan di atas bahwa hal itu bukanlah esensi dari hukum itu sendiri karena hukum pada dasarnya menginginkan kebaikan kepada manusia, sehingga aturan-aturan hukum positif sebagai produk penguasa sekalipun bukan berarti harus mengandung saksi pendapat ini didukung L.J.

van Apeldoorn sebagaimana dikutip oleh Peter

Mahmud sebagai berikut:

... L.J van Apeldoorn. Secara tegas menyatakan bahwa sanksi bukan elemen yang esensial dalam hukum, melainkan elemen tambahan. Menurut Van Apeldoorn, ajaran yang menyatakan ciri hukum terletak pada sanksi adalah sesuatu yang kontradiktif dengan dirinya sendiri… suatu pandangan yang hanya melihat bahwa tertib hukum merupakan suatu organisasi paksaan, menyamakan hukum dengan aturan-aturan yang dibuat oleh sekawanan gangster.35

Eksistensi hukum adalah terletak pada kata harus atau tidak harus melakukan sesuatu bukan terletak pada sesuatu yang memuat sanksi sehingga perlu adanya perbaikan terhadap pandangan bahwa hubungan hukum dengan Sanksi adalah dimana hukum selalu diidentikkan dengan sanksi kalau pandangan di atas diikuti maka sesuatu dapat

34 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op. Cit., Hlm. 72.

35 Ibid., Hlm. 71. Dikutip dari P. Van Dijk et al, Van Apeldoorn’s Inlending tot de studie van het Nederlandse Recht.


(16)

dikatakan hukum hanya jika hal tersebut memuat sanksi tau mengatur hal yang menyengsarakan padahal tujuan hukum itu sendiri adalah damai sejahtera, sehingga pandangan tersebut mengakibatkan kontradiksi dan mereduksi makna dari hakekat hukum itu sendiri.

B.

Rumusan Masalah

Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum yang penelitiannya berada pada tataran teori hukum dan filsafat hukum36 bahwa untuk penelitian hukum dalam

tataran teori hukum isu hukumnya harus mengandung konsep hukum dan untuk tataran filosofis isunya harus menyangkut asas-asas hukum. Maka untuk menjawab rumusan masalahnya dalam penelitian ini akan dikemukakan konsep hukum dan Asas-asas hukum. Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:

1. Apakah Sanksi merupakan bagian utama atau

esensi dalam Hukum?

2. Bagaimana Kedudukan Sanksi Dalam Hukum?

36 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi),


(17)

C.

Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yang pertama adalah menemukan esensi atau unsur utama dalam hukum dengan demikian akan bisa terjawab rumusan masalah yang pertama mengetahui Apakah Sanksi merupakan bagian utama atau esensi dalam Hukum. Tujuan yang kedua dari penelitian ini adalah menemukan seperti apa atau bagaimana Kedudukan Sanksi Dalam Hukum.


(18)

D.

Landasan Teori

1. Konsep Hukum

Pada dasarnya hukum berbeda dengan undang-undang. Dalam teori ini akan dikemukakan mengenai perbedaan mendasar antara hukum dan undang-undang atau peraturan yang sangat kental dengan unsur kekuasaan. Konsep hukum yang dipergunakan di sini adalah terminologi atau istilah yang dalam bahasa Latin disebut ius dalam Bahasa Inggris disebut Law. Konsep hukum sebagai ius atau Law berbeda dengan konsep peraturan atau lex atau Laws yang di Indonesia kemudian disebut dengan Undang-undang.37

Perbedaan Law dan Lex sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut:

Law is a body of ideals, principles, and precepts for the adjustment of the relations of human beings and the ordering of their conduct in society. Law seek to guide decision as laws seek to constrain action. Law is needed to achieve and maintain justice. Laws are needed to keep the peace–to maintain order. Law is experience developed by reason and corrected by further experience. Its immediate task is the administration of justice; the attainment of full and equal justice to all. The task of

37 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,


(19)

laws is one policing, of maintaining the surface of order.38

Sebagaimana dikemukakan oleh Pound hukum diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan keadilan. Melihat keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Ulpianus, bahwa adalah Justitia est perpetua et constants voluntas jus suum cuique tribuendi terjemahan bebasnya yaitu “keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.”39

Hukum adalah keadilan, maka dari itu bila hukum sama dengan keadilan, kiranya orang tidak akan menyamakan hukum lagi dengan sejumlah larangan, melainkan akan memandangnya sebagai bagian dari cita-cita hidup. Orang-orang yang hidup dalam suatu masyarakat akan dijiwai oleh suatu semangat baru yang berdasarkan prinsip-prinsip moral dan pengakuan akan hak-hak tiap-tiap orang untuk hidup secara manusiawi.40

Pembentukan hukum harus dibimbim oleh rasa keadilan, yakni rasa tentang yang baik dan pantas bagi orang-orang yang hidup bersama.41 Keadilan sebagai

sumber validitas dari hukum sehingga dapat ditangkap

38 Krishna Djaya Darumurti, Konsep dan Asas Hukum

Kekuasaan Diskresi Pemerintah, dikutib dari Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and Reason, The University of Georgia Press, Athens, 1960, Hlm. 1-2.

39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi),

Op.Cit, Hlm. 97.

40 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 11. 41Ibid., Hlm. 24.


(20)

konsep hukum yang dijadikan landasan berfikir dalam penulisan karya ilmiah ini adalah Ius dan Ius inilah yang merupakan spirit dari lex.42

Peraturan (lex) hanya salah satu bentuk manifestasi dari hukum (ius).43 Dikatakan demikian

karena Undang-undang tidak dapat menguras hukum.44 Lex dalam kondisi sesempurna apapun tetap

saja tidak dapat menguras Ius. Sebagai contoh: dalam hukum administrasi bahwa sebanyak apapun peraturan perundangan-undangan yang digunakan sebagai patokan penyelenggaraan negara tetap saja akan ditemukan adanya gap, sehingga diskresi tetap diperlukan bahkan sifatnya menjadi sebuah keharusan, itulah hukum.45 Dengan demikian Ius belum tentu

ditemukan dalam segala peraturan, akan tetapi terwujud dalam suatu hukum alamiah yang mengatur baik alam maupun hidup manusia. Oleh para ahli yang menganut aliran stoa hukum alam itu, yang melebihi

42 Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum

& Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, Op.Cit., Hlm. 103.

43 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,

Op.Cit., Hlm. 3

44 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Bab-Bab Tentang

Penemuan Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, Hlm. 53.

45 Krishna Djaya Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah:

Kajian Mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana Kontrol, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hlm. 82.


(21)

hukum positif, dipandang sebagai pernyataan kehendak ilahi.46

2. Tujuan Hukum

Menurut hukum alam kuno, keberadaan segala sesuatu bukan sekedar untuk mempertahankan dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu perjalanan menuju tujuan tertentu yang dalam bahasa yunani disebut telos (τέλος) dengan demikian konsep hukum alam kuno berpandangan bahwa segala sesuatu bereksistensi untuk tujuan tertentu. Pandangan ini disebut pandangan teleologis yang berasal dari bahasa Yunani telos (τέλος).47

Segala sesuatu bereksistensi untuk tujuan tertentu, dari pernyataan ini secara gampang dapat diartikan bahwa hukum hadir tidak tanpa tujuan, melainkan hukum juga memiliki tujuan. Tujuan hukum mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai sehingga tujuan hukum merujuk pada sesuatu yang ideal yang sifatnya abstrak dan tidak operasional.48

Di dalam ilmu hukum disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan.49 Sebagaimana menurut L.J. van Apeldoorn,

tujuan hukum adalah untuk mempertahankan

46 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 25.

47 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit.,Hlm. 88.

48Ibid., Hlm. 88.

49 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi),


(22)

ketertiban masyarakat.50 Namun selayaknya hukum

tidak melihat manusia sebagai mahluk lahiriah akan tetapi juga dilihat sebagai mahluk rasional yang memiliki sikap batinnya, sehingga ketika manusia juga dipandang dari sisi batinnya maka tujuan hukum yang hanya berfokus pada ketertiban saja adalah kurang tepat, karena hal tersebut hanya mencakup aspek lahiriah manusia.

Dalam mempertahankan ketertiban hukum juga harus mementingkan batin manusia dan untuk memenuhi hal tersebut hukum harus tetap memenuhi keadilan dalam arti bahwa hukum harus secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.51 Dengan demikian ketertiban

dapat tercapai dengan cara yang damai sehingga tepatlah bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Karena hukum menghendaki perdamaian.52

van Apeldoorn menerangkan bahwa: “apa yang

kita sebut tertib hukum mereka sebut damai (vrede). Keputusan hakim, disebut vredeban (vredegebod), kejahatan berarti pelanggaran perdamaian

50 Ibid., Hlm. 96. Dikutip dari P. van Dijk, Van Apeldoorn’s

Inlendingtot de Studievan het Nederlandse Recht. Tjeenk-Willinjk. 1985, Hlm. 10-12.

51Ibid., Hlm. 96.

52 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Cet. 32),


(23)

(vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak damai (vredelos), yaitu dikeluarkan dari perlindungan hukum.”53 Demikian tujuan hukum yang sebenarnya

adalah sebagaimana oleh Peter Mahmud Marzuki

adalah untuk mempertahankan vrede yaitu damai sejahtera yang di dalamnya terdapat ketertiban dan keadilan bagi anggota-anggota masyarakat.54

Adalah Teguh Prasetyo melalui teori keadilan bermartabat yang mengagas tiga pokok pikiran utama, mengangkat kodrat manusia, mengangkat martabat bangsa Indonesia, menengahi perdebatan positivisme dan hukum alam.

Pertama: bahwa hukum harus ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memanusiakan manusia atau dengan ungkapan nge wongke wong.55 Kehendak hukum adalah

memanusiakan manusia. Bahwa hukum harus menempatkan manusia pada kodratnya sebagai mahluk Tuhan yang Paling Mulia, bahwa manusia sebagai mahluk tuhan yang paling mulia harus mengabdi pada memanusiakan manusia. Dalam teori keadilan bermartabat yang menyatakan bahwa teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berfikir;

53Ibid., Hlm. 11.

54 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi), Op.Cit., Hlm. 33.


(24)

memanusiakan manusia atau nge wong ke wong. Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Imperium hukum adalah imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak manusia, dimanapun ia berada menjalani kehidupannya. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berfikir; memanusiakan manusia atau nge wong ke wong.56

Kedua: bahwa sistem hukum Indonesia seharusnya tidak perlu mengambil sistem hukum dari luar dalam konteks Indonesia yaitu sistem hukum dari warisan kolonial Belanda, akan tetapi menggali langsung dari dalam jiwa bangsa (volgeist) Indonesia itu sendiri.57 Bahwa sistem hukum Indonesia pada

hakekatnya tidak perlu mengambil atau memberlakukan hukum-hukum yang berasal dari luar yang dalam hal ini adalah sistem hukum yang diadopsi dari dunia barat. Indonesia seharusnya menggali langsung nilai-nilai yang berkembang dalam jiwa bangsa Indonesia sendiri dengan demikian martabat bangsa Indonesia telah ditinggikan.

Ketiga: menjembatani perdebatan antara pemikiran hukum alam dengan aliran positivisme hukum. bahwa sistem hukum Indonesia (hukum positif) harus bersumber pada Pancasila terutama Sila

56 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., 57Ibid., Hlm. 77-90.


(25)

Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa (hukum Alam),58

dengan kata lain bahwa hukum positif harus bersumber pada hukum alam.

Nilai yang tertinggi adalah berasal dari dalam. Analogi yang dapat dibangun dari konsep di atas adalah dalam hal bangsa Indonesia dianalogikan sebagai individu, bahwa ketaatan individu terhadap hukum semestinya tidak dipengaruhi sesuatu yang berasal dari luar, akan tetapi ketaatan seharusnya diperoleh dari dalam jiwa dan akal budi setiap individu untuk mematuhi hukum karena memang ia berfikir hukum akan membawanya pada keadaan yang baik, yaitu keadilan dan damai. Dengan demikian bukan karena sanksi individu taat hukum namun karena kerelaannya sendiri dengan demikian ia telah mengangkat martabatnya sebagai manusia.

Kehendak akan hukum adalah kehendak yang dipilih manusia secara sadar dari dalam diri untuk melaksanakan hukum. Bahwa dengan adanya kerelaan yang berasal dari dalam diri manusia maka hukum akan mewujudkan ketertiban sekaligus kedamaian bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan, bahwa tujuan hukum adalah Damai Sejahtera (Vrede) 59

58Ibid., Hlm. 17, 115-118.

59 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi


(26)

E.

Metode Penelitian

1. Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)

Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam. Penjelasan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis, aksiologis, epistimologis, teleologis, untuk menjelaskan secara mendalam sejauh mungkin oleh pencapaian pengetahuan manusia.60

Dalam tesis ini akan dibahas mengenai esensi hukum, hubungan antara hukum dan asas hukum61,

hubungan antara hukum dengan keadilan, serta juga Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai tujuan hukum, demikian perbincangan hukum bahas dari aspek teleologisnya.62 Untuk membahas konsep-konsep

tersebut maka akan harus menyentuh sampai pada filsafat hukum.

60 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum

Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006.

61 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi),

Op.Cit., Hlm. 228.

62 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi


(27)

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).

Pendekatan konseptual adalah salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang cukup banyak dibahas perdebatan antar mazhab atau aliran berfikir dalam teori hukum, hal ini memberikan gambaran bahwa pokok perbincangan tesis ini berada pada tataran teoritis. Berikutnya juga dalam rumusan masalah jelas telah mempersoalkan masalah-masalah yang bersifat teoritis. 63 Maka dari itu tesis ini juga

harus ditujukan untuk menjawab permasalahan yang bersifat teoritis.

Penelitian ini tidak beranjak pada peraturan perundang-undangan, melainkan yang menjadi dasar pijakan dalam penelitian ini adalah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum guna membangun suatu konsep hukum.64 Demikian bahwa dalam penelitian ini akan

banyak berbicara mengenai definisi-definisi hukum, sifat kaidah hukum, perbedaan antara aturan hukum dan asas hukum, sistem hukum dan keberlakuan hukum.65

63Ibid.

64Ibid., Hlm., 177-178.

65 Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum

& Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, Op.Cit., Hlm. 169


(28)

F.

Sistematika Penelitian

Bab II. TATARAN HUKUM

A. Konsep Hukum

B. Asas Hukum

C. Norma/Kaidah Hukum

D. Aturan Hukum BAB III ESENSI HUKUM

A. Tujuan Hukum B. Opinio Necessitates C. Keberlakuan Hukum

BAB IV KEDUDUKAN SANKSI DALAM HUKUM A. Hak dan Hukum

B. Sifat Hukum

1. Kepastian Hukum

2. Kepastian Hukum dan Sanksi C. Hukum dan Sanksi

1. Ketentuan Hukum dan Ketentuan Peraturan 2. Sanksi Dalam Hukum

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan


(29)

(1)

memanusiakan manusia atau nge wong ke wong. Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Imperium hukum adalah imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak manusia, dimanapun ia berada menjalani kehidupannya. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berfikir; memanusiakan manusia atau

nge wong ke wong.56

Kedua: bahwa sistem hukum Indonesia seharusnya tidak perlu mengambil sistem hukum dari luar dalam konteks Indonesia yaitu sistem hukum dari warisan kolonial Belanda, akan tetapi menggali langsung dari dalam jiwa bangsa (volgeist) Indonesia itu sendiri.57 Bahwa sistem hukum Indonesia pada hakekatnya tidak perlu mengambil atau memberlakukan hukum-hukum yang berasal dari luar yang dalam hal ini adalah sistem hukum yang diadopsi dari dunia barat. Indonesia seharusnya menggali langsung nilai-nilai yang berkembang dalam jiwa bangsa Indonesia sendiri dengan demikian martabat bangsa Indonesia telah ditinggikan.

Ketiga: menjembatani perdebatan antara pemikiran hukum alam dengan aliran positivisme hukum. bahwa sistem hukum Indonesia (hukum positif) harus bersumber pada Pancasila terutama Sila

56 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., 57Ibid., Hlm. 77-90.


(2)

Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa (hukum Alam),58 dengan kata lain bahwa hukum positif harus bersumber pada hukum alam.

Nilai yang tertinggi adalah berasal dari dalam. Analogi yang dapat dibangun dari konsep di atas adalah dalam hal bangsa Indonesia dianalogikan sebagai individu, bahwa ketaatan individu terhadap hukum semestinya tidak dipengaruhi sesuatu yang berasal dari luar, akan tetapi ketaatan seharusnya diperoleh dari dalam jiwa dan akal budi setiap individu untuk mematuhi hukum karena memang ia berfikir hukum akan membawanya pada keadaan yang baik, yaitu keadilan dan damai. Dengan demikian bukan karena sanksi individu taat hukum namun karena kerelaannya sendiri dengan demikian ia telah mengangkat martabatnya sebagai manusia.

Kehendak akan hukum adalah kehendak yang dipilih manusia secara sadar dari dalam diri untuk melaksanakan hukum. Bahwa dengan adanya kerelaan yang berasal dari dalam diri manusia maka hukum akan mewujudkan ketertiban sekaligus kedamaian bagi individu dan masyarakat. Dengan demikian tepatlah apa yang dikatakan, bahwa tujuan hukum adalah Damai Sejahtera (Vrede) 59

58Ibid., Hlm. 17, 115-118.

59 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi


(3)

E.

Metode Penelitian

1. Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)

Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu hukum dalam penelitian normatif secara radikal dan mengupasnya secara mendalam. Penjelasan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis, aksiologis, epistimologis, teleologis, untuk menjelaskan secara mendalam sejauh mungkin oleh pencapaian pengetahuan manusia.60

Dalam tesis ini akan dibahas mengenai esensi hukum, hubungan antara hukum dan asas hukum61, hubungan antara hukum dengan keadilan, serta juga Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai tujuan hukum, demikian perbincangan hukum bahas dari aspek teleologisnya.62 Untuk membahas konsep-konsep tersebut maka akan harus menyentuh sampai pada filsafat hukum.

60 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006.

61 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Op.Cit., Hlm. 228.

62 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi


(4)

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan konseptual adalah salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang cukup banyak dibahas perdebatan antar mazhab atau aliran berfikir dalam teori hukum, hal ini memberikan gambaran bahwa pokok perbincangan tesis ini berada pada tataran teoritis. Berikutnya juga dalam rumusan masalah jelas telah mempersoalkan masalah-masalah yang bersifat teoritis. 63 Maka dari itu tesis ini juga harus ditujukan untuk menjawab permasalahan yang bersifat teoritis.

Penelitian ini tidak beranjak pada peraturan perundang-undangan, melainkan yang menjadi dasar pijakan dalam penelitian ini adalah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum guna membangun suatu konsep hukum.64 Demikian bahwa dalam penelitian ini akan banyak berbicara mengenai definisi-definisi hukum, sifat kaidah hukum, perbedaan antara aturan hukum dan asas hukum, sistem hukum dan keberlakuan hukum.65

63Ibid.

64Ibid., Hlm., 177-178.

65 Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, Op.Cit., Hlm. 169


(5)

F.

Sistematika Penelitian

Bab II. TATARAN HUKUM A. Konsep Hukum B. Asas Hukum

C. Norma/Kaidah Hukum D. Aturan Hukum

BAB III ESENSI HUKUM A. Tujuan Hukum B. Opinio Necessitates C. Keberlakuan Hukum

BAB IV KEDUDUKAN SANKSI DALAM HUKUM A. Hak dan Hukum

B. Sifat Hukum

1. Kepastian Hukum

2. Kepastian Hukum dan Sanksi C. Hukum dan Sanksi

1. Ketentuan Hukum dan Ketentuan Peraturan 2. Sanksi Dalam Hukum

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan


(6)