KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN KREATIF MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI KONFLIK KOGNITIF.

(1)

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ………... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ……….. iii

KATA PENGANTAR ………. v

ABSTRAK ……… vii

DAFTAR ISI ix BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Manfaat Penelitian 15 1.5. Definisi Operasional ………….……….. 16

1.6. Hipotesis Penelitian 17 BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. 20

2.1. Berpikir Kritis... ... 20

2.2. Berpikir Kreatif... ... 23

2.3. Pembelajaran Berbasis Masalah... ... 34

2.4. Konflik Kognitif... 40

2.5. Sikap Siswa terhadap Matematika... 47

2.6. Teori Belajar yang Mendukung………... 50

2.7. Penelitian yang Relevan... 54

BAB III METODE PENELITIAN ..……… 58

3.1. Disain Penelitian ………..……….. 58

3.2. Subjek Penelitian ………..……….. 61

3.3. Instrumen Penelitian ……..………. 63

3.3.1. Tes Kemampuan Berpikir Kritis ……….………... 64

3.3.2. Tes Kemampuan Berpikir Kreatif... 70


(2)

ii

3.4. Bahan Ajar………... 81

3.5. Prosedur Penelitian……….. 82

3.6. Teknik Analisa Data……… 84

3.7. Waktu Penelitian………. 85

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 87

A. Analisis Data dan Hasil Penelitian ... 87

4.1. Pengetahuan Awal Matematika (PAM)... 88

4.2.Pengujian Hipotesis Penelitian... 89

B. Pembahasan Hasil Penelitian….……… 139

1. Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis……...… 139

2. Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis………... 148

3. Sikap Siswa………..……….. 157

4. Kesalahan, Kekeliruan, dan Kekurangan Siswa pada Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis…...… 161 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ..…… 172

A. Kesimpulan ……….. 172

B. Implikasi ..………..………. 174

C. Rekomendasi ..……….. 175

DAFTAR PUSTAKA .………. 178


(3)

iii

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel 1.1. Hasil Ujian Nasional Bidang Studi Matematika Tahun Ajaran

2006/2007………. 6

Tabel 1.1. Hasil Ujian Nasional Bidang Studi Matematika Tahun Ajaran 2007/2008……….

6

Tabel 3.1 : Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif, Pembelajaran, Level Sekolah, dan Pengaetahuan Awal Matematika Siswa……….

59

Tabel 3.2 Hasil Uji Q-Cochran Validitas Muka Soal Berpikir Krits

Matematis……….. 64

Tabel 3.3 Hasil Uji Q-Cochran Validitas Isi Soal Berpikir Kritis Matematis……….. 65

Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Soal Berpikir Kritis Matematis……….. 66

Tabel 3.5 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis….. 67

Tabel 3.6 Hasil Uji Q-Cochran Validitas Muka Soal Berpikir Kreatif Matematis……….. 70

Tabel 3.7 Hasil Uji Q-Cochran Validitas Isi Soal Berpikir Kreatif Matematis……….. 71

Tabel 3.8 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Soal Berpikir Kreatif Matematis……….. 72

Tabel 3.9 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis……….. 73

Tabel 3.10 Respon Siswa (Contoh)……… 76

Tabel 3.11 Perhitungan Skor Skala Sikap Positif (Contoh)……… 77

Tabel 3.12 Perhitungan Skor Skala Sikap Negatif (Contoh)……….. 77

Tabel 3.13 Hasil Uji Validitas Item Skala Sikap Siswa…..……… 78

Tabel 3.14 Skor Setiap Item Skala Sikap Siswa…..………... 79 Tabel 3.15 Keterkaitan antara Masalah, Hipotesis, dan Uji Statistik yang


(4)

iv

Digunakan dalam Analisis Data………….…..……… 84 Tabel 3.16 Waktu Pelaksanaan Penelitian………. 85 Tabel 4.1 : Distribusi Sampel Penelitian... 87 Tabel 4.2: Uji Normalitas Kemampuan Berpikir Kritis Berdasarkan

Pembelajaran ……… 89

Tabel 4.3: Uji Homogenitas Varians Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Pembelajaran ..……… 92 Tabel 4.4: Uji –t Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan

Pembelajaran ... 92 Tabel 4.5: Uji Normalitas Kemampuan Berpikir Kreatif Berdasarkan

Pembelajaran ……… 93

Tabel 4.6: Uji Homogenitas Varians Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Pembelajaran ..……… 95 Tabel 4.7: Uji –t Kemampuan berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan

Pembelajaran ... 96 Tabel 4.8 Uji Normalitas Sikap Siswa Berdasarkan Pembelajaran ………. 97 Tabel 4.9: Uji Homogenitas Varians Sikap Siswa Berdasarkan

Pembelajaran...

99

Tabel 4.10: Uji –t Sikap Siswa Berdasarkan Pembelajaran ... 100 Tabel 4.11: Distribusi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan

Level Sekolah …...

101

Tabel 4.12: Uji Homogenitas Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Level Sekolah …...

101

Tabel 4.13: Uji ANAVA Kemampuan Berpikir Kritis Berdasarkan Level Sekolah ……… ...………. 102 Tabel 4.14: Uji Scheffe Kemampuan Berpikir Kritis Berdasarkan Level

Sekolah …………..……… ...………... 103 Tabel 4.15: Distribusi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan

PAM Siswa ………... 104

Tabel 4.16: Uji Homogenitas Varians Kemampuan Berpikir Kritis


(5)

v

Tabel 4.17: Uji ANAVA Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap PAM Siswa 105 Tabel 4.18: Uji Scheffe Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap PAM Siswa.. 106 Tabel 4.19: Distribusi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Berdasarkan Level Sekolah ……… 107 Tabel 4.20: Uji Homogenitas Varians Kemampuan Berpikir Kreatif

Matematis Berdasarkan Level Sekolah ……… 107 Tabel 4.21: Uji ANAVA Kemampuan Berpikir Kreatif Berdasarkan Level

Sekolah ... ... 108 Tabel 4.22: Uji Scheffe Kemampuan Berpikir Kreatif Terhadap Level

Sekolah ... 109 Tabel 4.23: Distribusi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Berdasarkan PAM Siswa……….. 110

Tabel 4.24: Uji Homogenitas Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Berdasarkan PAM Siswa……….. 110

Tabel 4.25: Uji ANAVA Kemampuan Berpikir Kreatif Berdasarkan PAM . 111 Tabel 4.26: Uji Scheffe Kemampuan Berpikir Kreatif Terhadap PAM

Siswa ... ... 112 Tabel 4.27: Distribusi Sikap Siswa Berdasarkan Level Sekolah...……….. 113 Tabel 4.28: Uji Homogenitas Sikap Siswa Berdasarkan Level Sekolah... 113 Tabel 4.29: Uji ANAVA Sikap Siswa Berdasarkan Level Sekolah………. 114 Tabel 4.30: Uji Scheffe Sikap Siswa Berdasarkan Level Sekolah... 115 Tabel 4.31: Distribusi Sikap Siswa Berdasarkan PAM Siswa ………... 116 Tabel 4.32: Uji Homogenitas Sikap Siswa Berdasarkan PAM... 116 Tabel 4.33: Uji ANAVA Sikap Siswa Berdasarkan PAM………. …………. 117 Tabel 4.34: Uji Scheffe Sikap Siswa Berdasarkan PAM... 118 Tabel 4.35: Uji Homogenitas Varians Skor Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Berdasarkan Interaksi antara Level Sekolah dan Model Pembelajaran...

119

Tabel 4.36: ANAVA Skor Rata-rata Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Interaksi Level Sekolah dan Model Pembelajaran ...


(6)

vi

Tabel 4.37: Uji Homogenitas Varians Skor Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Level sekolah dan Model

Pembelajaran... 122 Tabel 4.38: Tabel 4.39: Tabel 4.40: Tabel 4.41: Tabel 4.42: Tabel 4.43. Tabel 4.44: Tabel 4.45: Tabel 4.46. Tabel 4.47: Tabel 4.48: Tabel 4.49 Tabel 4.50: Tabel 4.51:

ANAVA Skor Rata-rata Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan Interaksi antara Level Sekolah dan Model Pembelajaran ... Uji Homogenitas Varians Skor Sikap Siswa Berdasarkan Level sekolah dan Model Pembelajaran... ANAVA Skor Rata-rata Sikap Siswa Berdasarkan Level

Sekolah dan Model Pembelajaran... Uji Homogenitas Varians Populasi Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan PAM Siswa dan Model

Pembelajaran... ANAVA Skor Rata-rata Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Berdasarkan PAM Siswa dan Model Pembelajaran .. Asosiasi antara PAM dengan Kemampuan Berpikir Kritis Uji Homogenitas Varians Populasi Skor Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Berdasarkan PAM Siswa dan Model Pembelajaran... ANAVA Skor Rata-rata Kemampuan Berpikir Kreatif

Matematis Berdasarkan PAM Siswa dan Model Pembelajaran... Asosiasi an tara PAM dengan Kemampuan Berpikir Kreatif Uji Homogenitas Varians Populasi Skor Sikap Siswa

Berdasarkan PAM Siswa dan Model Pembelajaran... ANAVA Skor Rata-rata Sikap Siswa Berdasarkan PAM Siswa dan Model Pembelajaran... Asosiasi antara PAM dengan Sikap Siswa

Rekapitulasi Data Kemampuan Berpikir Kritis Matematis... Rekap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis berdasarkan Level Sekolah... 123 125 125 128 128 131 132 132 135 136 137 138 139 140


(7)

vii Tabel 4.52.

Tabel 4.53. Tabel 4.54.

Tabel 4.55.

Tabel 4.56. Tabel 4.57

Rekap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis berdasarkan PAM... Rekapitulasi Data Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis... Rata-rata Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis berdasarkan Level Sekolah... Rekap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis berdasarkan PAM... Rata-rata Kemampuan Berpikir Kritis... Rata-rata Kemampuan Berpikir Kreatif...

142

148 149

150

162 163


(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 4.1 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Level Sekolah Tinggi

Eksperimen ... 89 Gambar 4.2 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Level Sekolah Tinggi

Konvensional………... 89 Gambar 4.3 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Level Sekolah Sedang

Eksperimen……….. 90 Gambar 4.4 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Level Sekolah Sedang

Konvensional………... 90 Gambar 4.5 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Level Sekolah Rendah

Eksperimen……….. 91 Gambar 4.6 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Level Sekolah Rendah

Konvensional………... 91 Gambar 4.7 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Pembelajaran PBLKK…. 92 Gambar 4.8 : Model Normal Q-Q Plot PAM pada Pembelajaran KV………. 93 Gambar 4.9 : Model Normal Q-Q Plot Kritis Berdasarkan PBLKK... 96 Gambar 4.10: Model Normal Q-Q Plot Kritis Berdasarkan KV... 96 Gambar 4.11: Model Normal Q-Q Plot Kreatif Berdasarkan PBLKK... 99 Gambar 4.12: Model Normal Q-Q Plot Kreatif Berdasarkan Konvensional 100 Gambar 4.13: Model Normal Q-Q Plot Sikap Siswa Berdasarkan PBLKK 103 Gambar 4.14: Model Normal Q-Q Plot Sikap Siswa Berdasarkan

Konvensional...

103 Gambar 4.15: Interaksi Level Sekolah dan Pembelajaran dalam

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis………..

126

Gambar 4.16: Interaksi Level Sekolah dan Pembelajaran Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis………...

129

Gambar 4.17: Interaksi Antara Level Sekolah dan Pembelajaran

Terhadap Sikap Siswa………. 132


(9)

ix

Berpikir Kritis Matematis………... Gambar 4.19: Interaksi PAM Siswa dan Pemb. Terhadap Kemampuan

Berpikir Kreatif Matematis……….

138

Gambar 4.20: PAM Siswa dan Pemb. Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis……….


(10)

x

DAFTAR DIAGRAM

Hal. Diagram 4.1 : Rata-Rata Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan

Level Sekolah... 141 Diagram 4.2 : Rata-Rata Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan

PAM………... 142 Diagram 4.3 : Rata-Rata Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Berdasarkan Level Sekolah... 150 Diagram 4.4 : Rata-Rata Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Berdasarkan PAM……...


(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. A. Lembar Pertimbangan………... 185 B. Contoh Rencana Pembelajaran dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) 207 C. Data Penelitian ……….... 311 D. Analisis Data Penelitian ……….. 351 E. Surat Keterangann Melakukan Penelitian……… 395


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dari berbagai studi, baik yang berskala internasional maupun nasional menunjukan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP. Salah satu indikator dalam menentukan HDI adalah kualitas pendidikan pada suatu negara dari tingkat sekolah dasar sampai menengah. HDI Indonesia hanya sebesar 0,728 dari nilai ideal sebesar satu dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diukur.

Kualitas pendidikan di Indonesia juga tercermin dari pengusaan materi matematika pada siswa SMP, hal ini terlihat dari hasil laporan The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999, Indonesia berada pada peringkat 34 dari 38 negara, masih jauh dari negara tetangga Singapura yang berperingkat 1, dan Malaysia berperingkat 16. Hasil TIMSS ini mengungkapkan bahwa kemampuan matematis siswa Indonesia untuk soal-soal tidak rutin sangat lemah, namun relatif baik dalam menyelesaikan soal-soal fakta dan prosedur (Mullis dkk, 2000). Hal ini membuktikan bahwa dalam masalah matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa Indonesia jauh di bawah rata-rata internasional, bahkan lebih jelek bila dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Thailand.

Hasil studi TIMSS tahun 2003 untuk siswa kelas VIII, masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-34 dari 46 negara pada penguasaan


(13)

umum. Pada penguasaan dan pengetahuan tentang fakta, prosedur dan konsep, Indonesia menempati urutan ke-33. Sedangkan dalam penerapan pengetahuan dan pemahaman konsep, Indonesia menempati urutan ke-36. Lima Negara yang memperoleh skor tertinggi dalam kategori-kategori di atas adalah Singapura, Korea, China–Taipe, Jepang, dan Hongkong (TIMSS, 2003: 36-37). Hasil TIMSS terbaru tahun 2007 menempatkan Indonesia pada urutan ke 36 dari 48 negara tentang penguasaan matematika untuk siswa sekolah menengah pertama.

Selain dari hasil TIMSS 1999, 2003 dan 2007, hasil tes Programme for International Student Assesment (PISA) 2003 yang dikoordinir oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa penguasaan matematika siswa Indonesia pada usia 13-15 tahun (kelas VIII) berada di peringkat 38 dari 40 negara. Peringkat Indonesia yang baru pertama kali mengikuti PISA relatif sedikit lebih baik daripada Brazil dan Tunisia. Sedangkan negara tetangga yang ikut PISA, hanya Thailand yang peringkat penguasaan matematika siswanya berada pada peringkat 36. Peringkat pertama sampai keempat masing-masing China, Finlandia, Korea dan Belanda (Zulkardi, 2005). Survei PISA tahun 2006, Indonesia berada pada urutan ke 52 dari 57 negara dalam hal matematika.

Soal-soal yang diujikan dalam TIMSS mengacu secara langsung terhadap penguasaan topik-topik yang ada dalam kurikulum sekolah seperti Aljabar, Geometri, Pengukuran dalam situasi kompleks, dan Aritmetika beserta aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan PISA 2003 soal-soalnya tidak terkait langsung dengan topik-topik pada kurikulum sekolah, tetapi lebih difokuskan


(14)

pada melek matematika (mathematic sliteracy), yang ditunjukkan oleh kemampuan dan keahlian siswa dalam menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari (Zulkardi, 2005).

Berdasarkan hasil studi TIMSS dan PISA tampak bahwa untuk masalah matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa Indonesia jauh di bawah rata-rata internasional, bahkan bila dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Thailand. Kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa SMP di Indonesia masih rendah, sehingga siswa lemah dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan menjustifikasi atau membuktikan, menalar, menggeneralisasi, membuat konjektur, dan menemukan hubungan antara fakta-fakta yang diberikan.

Rendahnya hasil belajar matematika mengindikasikan ada sesuatu yang salah dan belum optimal dalam pembelajaran matematika di sekolah. Guru sebagai salah satu pusat dalam proses pembelajaran di kelas masih memandang bahwa belajar adalah suatu proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari pengajar kepada peserta didik. Hal ini akan membuat siswa menjadi pasif (Dahlan, 2004 : 6).

Lebih lanjut, Ruseffendi (2006 : 328) menyatakan bahwa selama ini dalam proses belajar mengajar matematika di kelas, pada umumnya siswa dalam mempelajari matematika hanya diberitahu oleh gurunya dan bukan melalui eksplorasi. Sedangkan menurut Rifa’t (2001 : 25) kegiatan belajar mengajar seperti ini membuat siswa cendrung belajar menghafal dan kurang memahami dan


(15)

mengerti konsep matematika yang sesungguhnya. Kamarsi dan Sletenhaar (dalam Ansari 2003) menyatakan bahwa pembelajaran yang terpusat pada guru akan menempatkan siswa hanya sebagai penonton. Metes (1979: 82) menyatakan bahwa siswa yang hanya mencontoh dan mencatat bagaimana cara menyelesaikan soal yang telah diselesaikan oleh gurunya. Jika diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, mereka bingung menyelesaikannya, dan tidak tahu dari mana mulai bekerjanya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa siswa pasif dalam proses pembelajaran. Sullivan (1992) mengatakan bahwa pembelajaran matematika di kelas pada umumnya hanya terpusat pada guru, yang menyebabkan siswa menjadi malas dan tidak kreatif dalam belajar matematika. Dari pandangan ini dapat diambil kesimpulan bahwa penyebab kurangnya partisipasi siswa dalam pembelajaran matematika di kelas adalah diterapkannya pendekatan yang kurang tepat dalam pembelajaran.

Hal ini diperkuat oleh hasil survey IMSTEP-JICA (1999) bahwa dalam proses pembelajaran matematika guru umumnya terlalu berorientasi pada latihan penyelesaian soal yang lebih bersifat prosedural dan mekanistis, daripada menanamkan pemahaman konsep matematika. Pada pembelajaran konvensional guru biasanya mengawali pembelajaran dengan menjelaskan konsep secara informatif, memberi contoh soal, dan diakhiri dengan memberikan soal-soal latihan. Armanto (2001) mengemukakan bahwa cara mengajar seperti ini merupakan karakteristik umum bagaimana guru melaksanakan pembelajaran matematika di Indonesia.


(16)

Dalam pembelajaran matematika konvensional biasanya aktivitas belajar mengajar terpusat pada guru, materi matematika disampaikan melalui ceramah (chalk and talk), siswa pasif, pertanyaan dari siswa jarang muncul, berorientasi pada satu jawaban yang benar. Kegiatan pembelajaran seperti ini tidak memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan dalam pemecahan masalah, penalaran, representasi, koneksi dan komunikasi matematis, sehingga hal ini akan mengakibatkan rendahnya kreativitas siswa. Akibatnya kemampuan siswa dalam berpikir matematis tingkat tinggi sangat lemah, karena kegiatan yang mereka lakukan hanya pada tataran berpikir tingkat rendah.

Sejalan dengan pandangan tersebut di atas, Sutiarso menegaskan bahwa siswa pada umumnya hanya menerima transfer pengetahuan dari guru dan guru pada umumnya hanya sekedar menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswa dalam proses belajar matematika yang aktif.

Secara khusus, gambaran prestasi belajar siswa di daerah/provinsi tidak berbeda, misalnya di Sulawesi Tengah. Bila dilihat nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) Matematika siswa sekolah menengah di propinsi Sulawesi Tengah secara nasional dapat dikatakan masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari Tabel rata-rata Ujian Nasional Matematika tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008 sebagai berikut:


(17)

Tabel 1.1

Hasil Ujian Nasional Bidang Studi Matematika Tahun Ajaran 2006/2007 Sekolah Rata-Rata

Nasional

Rata-Rata Sulawesi Tengah

Peringkat Nasional Sulawesi Tengah

SMP 6,96 6,11 30

MTs 6,89 6,07 31

SMA IPA 7,29 6,69 31

SMA IPS 6,58 5,56 31

Tabel 1.2

Hasil Ujian Nasional Bidang Studi Matematika Tahun Ajaran 2007/2008 Sekolah Rata-Rata

Nasional

Rata-Rata

Sulawesi Tengah

Peringkat Nasional Sulawesi Tengah

SMP 7 5,58 29

MTs 6,69 5,83 29

SMA IPA 6,68 6,91 24

SMA IPS 7,1 5,89 32

Dari Tabel 1.1 dan Tabel 1.2, dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai ujian Nasional bidang studi matematika di Sulawesi Tengah masih di bawah rata-rata nasional untuk semua tingkatan sekolah, untuk tingkat SMP berperingkat 30 atau 29 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia.

Pada tanggal 2 Mei 2002, Mendiknas mendeklarasikan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” dengan tujuan menyadarkan masyarakat terhadap kualitas pendidikan dan pentingnya peningkatan mutu pendidikan. Karena sumber daya manusia yang berkualitas hanya dapat dilahirkan lewat pendidikan yang bermutu.

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasinoal (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag) melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan hasil pendidikan nasional, termasuk mata pelajaran matematika dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Usaha pemerintah dalam


(18)

meningkatkan mutu dan hasil pendidikan nasional antara lain penyetaraan pendidikan guru melalui Program Guru Sekolah menengah (PGSM), merestrukturisasi kurikulum sehingga muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), selanjutnya lahirlah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada KTSP dijelaskan bahwa kecakapan atau kemahiran metematika yang diharapkan dalam pembelajaran matematika mencakup: (a) memahami konsep (b) memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistimatis, kritis, dan kreatif, serta mempunyai kemampuan bekerja sama (c) memiliki kemampuan pemecahan masalah (d) memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan.

Pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis sangat penting dilakukan. Hal ini sejalan dengan rekomendasi NCTM 2000, bahwa standar kemampuan yang harus dicapai dalam pembelajaran matematika adalah: (1) penalaran matematis (mathematical reasoning) (2) representasi matematis (mathematical representation) (3) komunikasi matematis (mathematical communication) (4) mengaitkan ide-ide matematis (mathematical connection) (5) pemecahan masalah (mathematical problem solving).

Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi yang kita lakukan sendiri. Bettencourt (dalam Suparno 1997) menyatakan seseorang yang belajar, tidak boleh hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau apa yang dibaca, melainkan harus menciptakan,


(19)

mengaitkan, dan menghubungkan pengetahuan atau pengertian yang baru didapat dengan pengetahuan yang telah dimiliki secara terus menerus. Pengetahuan dan pengertian dibentuk secara aktif dalam diri seseorang, dan tidak hanya diterima secara pasif dari seseorang. Para konstruktivis menganggap bahwa walaupun pengetahuan itu ada dalam diri seseorang, dan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari seseorang ke orang lain, akan tetapi dia sendirilah yang harus mengartikan informasi yang telah diterima dengan adaptasi terhadap pengelaman yang dimiliki.

Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses aktif dalam menemukan sesuatu, bukan proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Siswa harus diberi kesempatan agar mempunyai kemampuan dalam merumuskan, menguji, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan dan ide, serta merefleksikannya untuk membentuk pengetahuan yang baru. Setiap siswa memiliki kemampuan atau ketrampilan kognitif yang berbeda dalam memproses informasi, sehingga jika menerima informasi yang sama, respon yang diberikan bisa berbeda-beda.

Menurut Suparno (1997), salah satu penyebab rendahnya hasil belajar siswa adalah terbatasnya kemampuan kognitif dalam memahami konsep-konsep. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengetahuan yang telah diberikan, kemampuan membandingkan, serta menyimpulkan tentang persamaan dan perbedaan. Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan kreatif diperlukan


(20)

suatu strategi pembelajaran yang memungkinkan terjadinya restrukturisasi dan reorganisasi struktur kognitif yang telah dimiliki

Menyikapi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pendidikan matematika sekolah, seperti prestasi belajar siswa, pembelajaran matematika di sekolah, tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah menurut KTSP, NCTM dan pentingnya meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam matematika, maka hendaknya ada suatu inovasi pembelajaran yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam pendidikan matematika. Salah satu solusi yang dipandang dapat mengatasi masalah tersebut adalah peningkatan kualitas pembelajaran melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik Kognitif (PBLKK). Fokus utama dalam usaha peningkatan kualitas dan hasil pembelajaran melalui PBLKK adalah dengan memosisikan peran guru sebagai perancang, organisator dan fasilitator dalam pembelajaran matematika sehingga siswa siswa menadapat kesempatan, pengalaman untuk memahami dan memaknai konsep matematika melalui aktivitas belajar. Dalam PBLKK guru tidak menyajikan konsep matematika dalam bentuk yang sudah jadi, namun dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah yang didalamnya ada fakta, situasi, keadaan yang dapat berpotensi menimbulkan konflik kognitif pada siswa. Melalui bantuan teman, dan juga guru diharapkan siswa dapat menyusun kembali dan menemukan konsep yang benar dari masalah yang diberikan. Bantuan yang diberikan guru tidak berarti harus menjawab pertanyaan siswa secara langsung, tetapi bisa balik bertanya dengan menggunakan teknik bertanya dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep yang benar.


(21)

PBLKK merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa dengan masalah matematika. Dalam masalah tersebut terdapat situasi, keadaan, dan fakta yang bertentangan dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Dengan segenap pengetahuan, kemampuan, pengalaman yang telah dimilikinya, siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Masalah yang disajikan adalah masalah yang kaya dengan konsep-konsep matematika (rich in contexts) dan memungkinkan siswa memecahkannya dengan strategi yang berbeda-beda. Adapun tujuan PBLKK adalah: (1) memosisikan siswa sebagai pemecah masalah yang handal; (2) mendorong siswa untuk mampu menemukan masalah dan mengelaborasinya dengan mengajukan dugaan-dugaan, mengidentifikasi, membuat hubungan dan merencanakan penyelesaian; (3) memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi berbagai alternatif jawaban dan implikasinya; (4) melatih siswa untuk trampil menyajikan temuan, dan (5) membiasakan siswa untuk melakukan evaluasi dan refleksi tentang cara berpikir mereka dalam menyelesaikan masalah.

Melaksanakan PBLKK bukanlah pekerjaan yang sederhana bagi guru. Pertama, guru harus menciptakan suatu situasi masalah yang memuat fakta, keadaan, dan situasi yang diduga bertentangan dengan struktur kognitif yang telah dimilik oleh siswa. Situasi masalah haruslah memungkinkan siswa untuk menyelesaikannya walaupun siswa tidak segera mendapatkan solusinya. Kedua, pada saat mengalami kesulitan, guru dituntut memainkan peranannya dalam membantu dan mengarahkan siswa secara tidak langsung sehingga mereka menemukan solusi. Pengajuan pertanyaan di kelas yang dilakukan guru dan siswa


(22)

adalah kegiatan yang harus sering dimunculkan dalam pembelajaran yang menekankan pada proses dimana siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembentukkan pengetahuannya. Pertanyaan yang diajukan atau yang dimunculkan tentunya harus menunjang tercapainya tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Dalam situasi konflik kognitif, siswa akan mencoba memanfaatkan kemampuan kognitif yang dipunyainya dalam upaya mencari justifikasi, konfirmasi, atau verifikasi terhadap pendapatnya. Artinya kemampuan kognitif yang dimiliki siswa akan memperoleh kesempatan untuk diberdayakan, disegarkan, atau dimantapkan. Siswa akan memanfaatkan daya ingat dan pemahamannya terhadap konsep-konsep matematika untuk membuat suatu keputusan yang tepat. Dalam situasi konflik siswa bisa memperoleh kejelasan suatu konsep dari lingkungannya, antara lain dari guru atau siswa yang pandai. Dengan kata lain, konflik kognitif yang ada pada seseorang yang direspon secara tepat dapat menyegarkan dan memberdayakan kemampuan kognitif individu tersebut, sehingga siswa dapat memahami konsep tersebut dengan benar.

Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif, guru harus menguasai ruh (sense) matematika dan mengetahui berbagai kemungkinan cara untuk sampai pada solusi, dan tahu bagaimana mengintervensi serta mengarahkan siswa sehingga mendapat solusi yang benar.

Untuk menunjang penerapan PBLKK, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu: level sekolah, pengetahuan awal matematika siswa, masalah yang dihadapkan pada siswa, serta sikap siswa terhadap matematika. Penerapan PBLKK pada sekolah dengan kualifikasi yang berbeda, diperkirakan peningkatan


(23)

kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa akan berbeda pula. Kemampuan siswa beragam, siswa yang memiliki kemampuan yang tinggi biasanya masuk dilevel sekolah yang levelnya lebih tinggi, siswa dengan kemampuan sedang masuk ke level sekolah sedang, begitu juga dengan siswa dengan kemampuan rendah masuk ke sekolah rendah. Untuk keperluan penelitian ini, maka penentuan level sekolah didasarkan pada hasil ujian nasional yang diperoleh sekolah.

Setiap siswa mempunyai cara tersendiri untuk memahami atau mengkonstruksi pengetahuan, yang kadang-kadang sangat berbeda dengan teman-temannya. Maka salah satu strategi pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa adalah dengan memberikan masalah dengan strategi menciptakan konflik kognitif, yaitu: menghadapkan siswa dengan situasi, keadaan, fakta yang ganjil (discrepancy event) dan gagasan-gagasan serta ide yang bertentangan dengan konsep yang ada pada struktur kognitifnya, sehingga siswa dapat memahami konsep dengan benar. Pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif adalah pembelajaran yang menghadapkan siswa pada situasi masalah, dimana masalah tersebut berpotensi menimbulkan konflik kognitif pada siswa karena terdapat ketidak cocok antara struktur kognitif yang dimiliki dan dipunyainya dengan informasi yang baru dia dapat dari luar lingkungan.

Berdasarkan kenyataan kondisi pendidikan secara umum di Indonesia, dan secara khusus di kota Palu Sulawesi Tengah, penulis telah melakukan penelitian eksperimen tentang kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa SMP melalui pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif di kota


(24)

Palu Sulawesi Tengah ditinjau dari level sekolah dan pengetahuan awal matematika siswa, dan sikap siswa terhadap matematika.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan pentingnya masalah yang dikemukakan, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematis, antara siswa yang menerima pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) dan siswa yang belajar secara konvensional (KV) ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah), dan c) pengetahuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, dan rendah)?

2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif, siswa yang menerima pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) dan siswa yang belajar secara konvensional (KV) ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah), dan c) pengetahuan awal siswa (tinggi, sedang, dan rendah)?

3. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir kritis matematis?

4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis?

5. Apakah terdapat suatu interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan pengetahuan awal matematika siswa terhadap kemampuan berpikir kritis matematis?


(25)

6. Apakah terdapat suatu interaksi antara pembelajaran yang digunakan dan pengetahuan awal matematika siswa terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis?

7. Bagaimanakah sikap siswa terhadap matematika berdasarkan pembelajaran, level sekolah dan PAM siswa?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengkaji dan menganalisis perbedaan kemampuan berpikir kritis

matematis siswa yang menerima pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) dan pembelajaran konvensional (KV) ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah), dan c) pengetahuan awal matematika (PAM) siswa (tinggi, sedang, dan rendah).

2. Mengkaji dan menganalisis perbedaan kemampuan berpikir kreatif siswa yang menerima pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) dan pembelajaran konvensional (KV) ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah), dan c) pengetahuan awal matematika (PAM) siswa (tinggi, sedang, dan rendah). 3. Mengkaji dan menganalisis interaksi yang terjadi antara pembelajaran

yang digunakan dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir kritis matematis.


(26)

4. Mengkaji dan menganalisis interaksi yang terjadi antara pembelajaran yang digunakan dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis.

5. Mengkaji dan menganalisis interaksi yang terjadi antara pembelajaran yang digunakan dan level sekolah terhadap sikap siswa.

6. Mengkaji dan menganalisis interaksi yang terjadi antara pembelajaran yang digunakan dan PAM siswa terhadap kemampuan berpikir kritis matematis.

7. Mengkaji dan menganalisis interaksi yang terjadi antara pembelajaran yang digunakan dan PAM siswa terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis.

8. Mengkaji dan menganalisis interaksi yang terjadi antara pembelajaran yang digunakan dan PAM siswa terhadap sikap siswa.

9. Mengkaji secara komprehensif sikap siswa terhadap matematika berdasarkan pembelajaran, level sekolah, dan PAM siswa.

1.4.Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dari penelitian ini diharapkan akan ada suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis, dan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa SMP kelas VIII. Memberikan suatu kesimpulan dan implikasi teoritis dari penelitian ini yang bermanfaat bagi calon guru, guru, dosen, atau insan pendidikan lainnya dalam upaya peningkatan berpikir kritis matematis, berpikir kreatif matematis siswa khususnya, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada


(27)

umumnya, dengan demikian hal ini merupakan sumbangan berharga dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan matematika khususnya, dan kualitas SDM dalam menjawab tantangan dan tuntutan di masa depan.

1.5. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap apa yang akan diteliti, maka berikut ini dituliskan definisi operasional dalam penelitian ini

1. Pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan masalah sebagai basisnya, artinya pembelajaran dimulai dengan dengan masalah kontekstual yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian rupa sehingga siswa perlu menafsirkan dan menginterpretasikan masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya.

2. Strategi Konflik Kognitif adalah suatu strategi pembelajaran yang menghadapkan siswa dengan masalah kontekstual dimana di dalamnya terdapat gagasan, fakta, situasi, keganjilan (discrepancy) atau keanehan (anomaly), sehingga berpotensi menimbulkan konflik dalam struktur kognitif siswa.

3. Kemampuan berpikir kritis matematis adalah kemampuan untuk bereaksi terhadap masalah matematik yang meliputi: mengidentifikasi, menghubungkan, menganalisis, mengevaluasi, dan memecahkan masalah. 4. Kemampuan berpikir kreatif meliputi: kepekaan, keaslian, kelancaran,


(28)

5. Sikap siswa terhadap matematika meliputi: sikap siswa terhadap pembelajaran, matematika sendiri, dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis.

6. Pembelajaran konvensional pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang digunakan guru sedemikian rupa sehingga peranan siswa masih kurang, pembelajaran lebih terpusat pada guru, proses belajar sangat mengutamakan pada metode ekspositori. Urutan pembelajaran pada konvensional adalah: (1) mengajarkan teori, (2) memberi contoh-contoh, (3) latihan soal-soal.

1.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka hipotesis penelitian ini adalah:

1. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) dan siswa yang belajar secara konvensional (KV).

2. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) dan siswa yang belajar secara konvensional (KV).

3. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam sikap siswa terhadap matematika antara yang memperoleh pembelajaran PBLKK dan pembelajaran konvensional (KV).


(29)

4. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh PBLKK berdasarkan level sekolah.

5. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh PBLKK berdasarkan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa.

6. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang memperoleh PBLKK berdasarkan level sekolah.

7. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang memperoleh PBLKK berdasarkan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa.

8. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam sikap siswa yang memperoleh PBLKK berdasarkan level sekolah.

9. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam sikap siswa yang memperoleh PBLKK berdasarkan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa.

10.Terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan (PBLKK, KV) dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

11.Terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan (PBLKK, KV) dan level sekolah terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

12.Terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan (PBLKK, KV) dan level sekolah terhadap sikap siswa.

13.Terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan (PBLKK, KV) dan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa.


(30)

14.Terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan (PBLKK, KV) dan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

15.Terdapat interaksi antara pembelajaran yang digunakan (PBLKK, KV) dan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa terhadap sikap siswa.


(31)

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen karena peneliti melakukan pemberian perlakuan kepada subjek penelitian untuk selanjutnya ingin diketahui pengaruh perlakuan tersebut. Perlakuan tersebut adalah pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional (KV) pada kelas kelas kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (PBLKK) dan pembelajaran konvensional (KV). Kelas yang diajar dengan PBLKK merupakan kelas eksperimen, sedangkan kelas yang diajar dengan pembelajaran konvensional (KV) merupakan kelas kontrol. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam pengaruh dari model pembelajaran, level sekolah, dan pengetahuan awal matematika siswa terhadap kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis serta sikap siswa.

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis matematis, kemampuan berpikir kreatif matematis, dan sikap siswa siswa terhadap matematika. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah pengetahuan awal (student prior knowledge) matematika siswa (PAM), dan level sekolah. Level sekolah yang dipilih dalam penelitian ini berdasarkan pada data peringkat sekolah dari hasil ujian nasional (UN) tiga tahun terakhir. Relevansi penggunaan level sekolah pada


(32)

penelitian ini adalah bahwa level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah) akan memberikan dampak yang berbeda terhadap kemampuan matematika siswa setelah mereka mendapat perlakuan berupa penggunaan PBLKK dalam pembelajaran matematika. Level sekolah yang akan diteliti adalah level sekolah tinggi, sedang, dan rendah, sedangkan pengetahuan awal matematika (PAM) siswa adalah pengetahuan matematika yang telah dimiliki siswa sebelum penelitian ini dilaksanakan. PAM siswa ditentukan oleh tes kemampuan awal matematika dan nilai rapor matematika siswa ketika duduk di kelas VII.

Disain eksperimen yang digunakan adalah non-equivalen posttest-only control group design yang digabung dengan disain 3×3×2 , yaitu tiga level sekolah (tinggi, sedang, dan rendah), tiga kelompok PAM siswa (tinggi, sedang, dan rendah), dan dua model pembelajaran (PBLKK dan KV). Disain eksperimen yang digunakan pada penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

X O O

Pada disain eksperimen ini, sekolah dipilih secara acak, kemudian dilanjutkan pemilihan kelas secara acak. Kelompok eksperimen diberi perlakuan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (X) dan kelompok kontrol mendapat pembelajaran konvensional tanpa perlakuan khusus. Untuk mengetahui lebih mendalam hasil pembelajaran pada kelompok eksperimen, maka dalam penelitian ini dilibatkan faktor lain, yaitu faktor level sekolah dan pengetahuan awal


(33)

matematika siswa. Untuk melihat hubungan antara perlakuan yang diberikan dengan sikap siswa terhadap matematika, maka siswa diberikan tes skala sikap setelah tes akhir. Gambaran antar variabel yang dianalisis dapat dilihat dari model Weiner yang disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1

Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis, Pembelajaran, Level Sekolah, dan Pengetahuan Awal Matematika Siswa

Level Sekolah

PAM Siswa Kelas Eksperimen (E) Kelas Kontrol (K)

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Berpikir Kreatif Siswa

Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Berpikir Kreatif Siswa Tinggi

(T)

Tinggi(H) (T H E) (T H K)

Sedang (M) (T M E) (T M K)

Rendah (L) (T L E) (T L K)

Sedang (S)

Tinggi(H) (S H E) (S H K)

Sedang (M) (S M E) (S M K)

Rendah (L) (S L E) (S L K)

Rendah (R)

Tinggi(H) (R H E) (R H K)

Sedang (M) (R M E) (R M K)

Rendah (L) (R L E) (R L K)

.Keterangan

TH/M/LE: Kemampuan berpikir kritis/kreatif siswa dengan PAM

tinggi/sedang/rendah dari sekolah tinggi yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif.

SH/M/LE: Kemampuan berpikir kritis/kreatif siswa dengan PAM

tinggi/sedang/rendah dari sekolah sedang yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif.

RH/M/LE: Kemampuan berpikir kritis/kreatif siswa dengan PAM

tinggi/sedang/rendah dari sekolah rendah yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif.

BH/M/LK: Kemampuan berpikir kritis/kreatif siswa dengan PAM

tinggi/sedang/rendah dari sekolah tinggi yang memperoleh pembelajaran konvensional.


(34)

SH/M/LK: Kemampuan berpikir kritis/kreatif siswa dengan PAM tinggi/sedang/rendah dari sekolah sedang yang memperoleh pembelajaran konvensional.

RH/M/LK: Kemampuan berpikir kritis/kreatif siswa dengan PAM

tinggi/sedang/rendah dari rendah yang memperoleh pembelajaran konvensional.

3.2 Subjek Penelitian 3.2.1 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di kota Palu Sulawesi Tengah. Penentuan sampel penelitian dilakukan terlebih dahulu dengan menggolongkan sekolah dalam tiga level, yaitu sekolah dengan level tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan data hasil ujian nasional (UN) selama tiga tahun terakhir.

Pemilihan SMP sebagai subjek penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada SMP khususnya kelas VIII berusia sekitar 13-14 tahun, menurut Piaget pada usia ini anak sudah pada taraf berpikir formal. Di samping itu, siswa kelas VIII SMP sudah dianggap matang untuk menerima pembaharuan dalam penggunaan model pembelajaran. Siswa SMP kelas VIII sudah memiliki cukup waktu mengenal lingkungan dan iklim belajar di SMP dan telah memiliki kemampuan dasar matematika yang relatif homogen. Sedangkan alasan dipilihnya sekolah dengan level tinggi, sedang dan rendah karena peneliti ingin memperoleh gambaran tentang dampak pembelajaran yang dilakukan bila ditinjau dari ketiga level sekolah

Dalam menetapkan sampel penelitian, peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut.


(35)

1. Mengklasifikasikan sekolah atas level tinggi, sedang, dan rendah merujuk pada hasil rata-rata dan simpangan baku nilai ujian nasional (UN) SMP pada tiga tahun terakhir .

2. Memilih masing-masing satu sekolah dari sekolah level tinggi, sedang, dan rendah secara acak.

Terpilih secara acak SMPN 1 yang mewakili sekolah level tinggi, SMPN 6 yang mewakili sekolah level sedang, dan SMPN 18 yang mewakili sekolah level rendah. Pada masing-masing level sekolah dipilih secara acak dua kelas yang memiliki kemampuan matematika relatif sama, satu kelas memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif (kelas eksperimen) dan satu kelas lagi memperoleh pembelajaran konvensional (kelas kontrol).

Pada SMPN 1 terpilih kelas VIII I sebagai kelas eksperimen, dengan banyak siswa 34 orang, sedangkan kelas VIII E terpilih sebagai kelas kontrol dengan siswa sebanyak 31 orang. Pada SMPN 6 terpilih kelas VIII B sebagai kelas eksperimen, dengan banyak siswa 37 orang, sedangkan kelas VIII A terpilih sebagai kelas kontrol dengan siswa sebanyak 39 orang. Pada SMPN 18 terpilih kelas VIII A sebagai kelas eksperimen, dengan banyak siswa 31 orang, sedangkan kelas VIII E terpilih sebagai kelas kontrol dengan siswa sebanyak 28 orang. Jadi secara keseluruhan ada 200 siswa sebagai sampel penelitian. Ukuran sampel pada penelitian ini sudah memenuhi ukuran minimal, sebab berdasarkan pendapat Gay (Ruseffendi, 2005, 104) bahwa ukuran sampel minimal harus lebih besar dari rumus:


(36)

=

Dimana n = ukuran sampel

z = nilai z pada α = 1% dengan n tak hingga

j = setengah jarak kekeliruan terhadap rata-rata hitung yang dapat ditoleransi

= simpangaan baku

Diperoleh simpangan baku data UAN kota Palu sebesar 1,58 dan z = 2,575 maka didapat = ( , ) .( , )

( , )

n = 101,89 ≈ 102

3. 3 Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan dua macam instrumen, yaitu instrumen tes yang terdiri dari seperangkat soal untuk mengukur dan mengetahui kemampuan awal matematika siswa, tes kemampuan berpikir kritis matematis dan tes kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Sedangkan instrumen dalam bentuk non-tes adalah skala sikap siswa terhadap matematika dan nilai rapor matematika kelas VII.

Penyusunan tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup sub pokok bahasan, indikator kemampuan matematika yang akan diukur dan jumlah butir soal. Setelah membuat kisi-kisi soal, dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor untuk masing-masing butir soal. Sebelum soal tes


(37)

digunakan dalam penelitian ini, soal terlebih dahulu diujicoba untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas soal.

1.3.1 Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Tujuan dari penyusunan soal tes berpikir kritis matematis adalah untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis setelah proses pembelajaran. Aspek kemampuan berpikir kritis matematis yang diukur ada lima yaitu mengidentifikasi konsep, menghubungkan antar konsep, mengevaluasi, memecahkan masalah, dan menganalisis. Materi yang diteskan meliputi persamaan garis lurus dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV). Soal tes kemampuan berpikir kritis matematis berbentuk uraian sebanyak lima soal. Tes dilaksanaan setelah seluruh proses pembelajaran berakhir.

Sebelum soal tes kemampuan berpikir kritis matematis digunakan, terlebih dahulu divalidasi untuk melihat validitas isi dan validitas muka, kemudian diujicoba pada siswa SMP 9 yang tidak termasuk dalam sampel penelitian. Tujuan ujicoba ini adalah untuk mengetahui validitas butir soal dan tingkat reliabilitas seperangkat soal tes tersebut.

Uji validitas muka dan validitas isi untuk soal tes berpikir kritis matematis dilakukan oleh lima orang mahasiswa S3 pendidikan matematika UPI yang dianggap ahli dan mempunyai pengalaman serta wawasan yang mendalam dalam bidang pendidikan matematika. Validitas isi perlu dilakukan untuk untuk mengetahui tanggapan penimbang terhadap kesahihan instrumen dengan materi yang akan ditanyakan, baik menurut per butir soal maupun menurut soalnya secara menyeluruh.


(38)

Sedangkan validitas muka dilakukan untuk melihat kejelasan soal tes dari segi bahasa, redaksi, sajian, dan akurasi gambar atau ilustrasi.

Adapun hasil pertimbangan mengenai validitis muka dan validitas isi dari kelima orang ahli disajikan pada Lampiran A. Hasil pertimbangan validitas muka dan validitas isi tersebut dianalisis dengan uji Q-Cochran. Hasil perhitungan terhadap validitas isi dengan menggunakan uji Q-Cochran disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2

Hasil Uji Q-Cochran Validitas Muka Soal Berpikir Kritis Matematis

Pada Tabel 3.2 terlihat bahwa Asymp. Sig = 0,406 lebih besar dari 0,05. Ini berarti bahwa H0 diterima pada taraf signifikansi α= 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa para penimbang memberikan pertimbangan yang sama atau seragam terhadap validitas muka tiap butir soal pengetahuan awal matematika.

Hasil perhitungan terhadap validitas isi dengan menggunakan uji Q-Cochran disajikan pada Tabel 3.3.

Test Statistics

N 5

Cochran's Q 4.000a

df 4

Asymp. Sig. .406

a. 1 is treated as a success.


(39)

Tabel 3.3

Hasil Uji Q-Cochran Validitas Isi Soal Berpikir Kritis Matematis

Pada Tabel 3.3, terlihat bahwa Asymp. Sig = 0,558 lebih besar dari 0,05. Berarti H0 diterima pada taraf signifikansi α= 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa para penimbang memberikan pertimbangan yang sama atau seragam terhadap validitas isi tiap butir soal kemampuan berpikir kritis matematis.

Setelah instrumen kemampuan berpikir kritis matematis dinyatakan memenuhi validitas muka dan validitas isi, kemudian soal tes ini diujicobakan terhadap 39 siswa kelas VIII A SMPN Negeri 9 Palu Sulawesi Tengah. Data hasil ujicoba serta perhitungan validitas dan reliabilitas tes kemampuan berpikir kritis matematis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran A. Perhitungan validitas butir soal dan reliabilitas tes tersebut menggunakan perangkat lunak SPSS-17. for Windows. Untuk validitas butir soal digunakan korelasi product moment dari Karl Pearson antara skor butir dengan skor total. Sedangkan untuk reliabilitas tes digunakan analisa Cronbach-Alpha.

Untuk menguji validitas butir soal diajukan H0 tidak terdapat korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total. Kriteria pengujiannya jika rhit

Test Statistics

N 5

Cochran's Q 3.000a

df 4

Asymp. Sig. .558

a. 1 is treated as a success.


(40)

(rxy) ≥ rtab, pada taraf α= 5% maka hipotesis nol ditolak. Pada taraf α= 5% dan n = 39 diperoleh rtab = 0,325.

Hasil perhitungan validitas butir soal dan reliabilitas kemampuan berpikir kritis matematis disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Soal Berpikir Kritis Matematis Nomor

Soal

Validitas Reliabilitas

rxy Keterangan r11 Tingkat

1 0,468 Valid

0,734 Tinggi

2 0,552 Valid

3 0,521 Valid

4 0,385 Valid

5 0,545 Valid

Catatan: rtab (5%) = 0,325 dan dk = 37

Pada Tabel 3.4. terlihat bahwa rxy untuk setiap butir soal lebih besar dari rtab, sehingga hipotesis nol ditolak. Dengan demikian untuk setiap butir soal kemampuan berpikir kritis matematis dinyatakan valid.

Pada Tabel 3.4, terlihat bahwa besarnya koefisien reliabilitas r11 = 0,734. Menurut Guilford (Ruseffendi, 2005: 197), instrumen dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,734 termasuk instrumen dalam reliabilitas tinggi.

Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa soal kemampuan berpikir kritis matematis telah memenuhi karakteristik yang memadai untuk digunakan pada penelitian ini. Kisi-kisi dan perangkat soal tes kemampuan berpikir kritis matematis selengkapnya disajikan pada Lampiran B.


(41)

Untuk memperoleh data kemampuan berpikir kritis matematis, dilakukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penskoran yang digunakan adalah skor rubrik yang dimodifikasi dari Facione (1994) seperti disajikan pada Tabel 3.5

Tabel 3.5

Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Aspek yang

Diukur Respon Siswa terhadap Soal Skor

Mengevaluasi

Tidak menjawab atau memberikan jawaban yang

salah. 0

Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting

dari soal yang diberikan. 1

Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting,

tetapi membuat kesimpulan yang salah. 2

Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting serta membuat kesimpulan yang benar, tetapi melakukan kesalahan dalam perhitungan.

3 Menemukan dan mendeteksi hal-hal yang penting, serta membuat kesimpulan yang benar, serta melakukan perhitungan yang benar.

4

Mengidentifikasi

Tidak menjawab, atau memberikan jawaban yang

salah 0

Bisa menentukan fakta, data, dan konsep, tetapi

belum bisa menghubungkannya. 1

Bisa menentukan fakta, data, konsep dan bisa menghubungkan dan menyimpulkannya antara fakta, data, konsep yang didapat tetapi salah dalam melakukan perhitungan.

2

Bisa menentukan fakta, data, konsep dan bisa menghubungkan dan menyimpulkan antara fakta, data, konsep yang didapat dan benar dalam melakukan perhitungan

3 Bisa menentukan fakta, data, konsep dan bisa

menghubungkan dan menyimpulkan antara fakta, data, konsep yang didapat dan benar dalam melakukan perhitungan serta menguji kebenaran dari jawaban


(42)

Menghubungkan

Tidak menjawab; atau memberikan jawaban yang

salah 0

Bisa menemukan fakta, data, dan konsep tetapi belum bisa menghubungkan antara fakta, data, konsep yang didapat.

1 Bisa menemukan fakta, data, dan konsep serta bisa menghubungkan antara fakta, data, dan konsep, tetapi salah dalam perhitungannya

2 Bisa menemukan fakta, data, konsep dan bisa bisa menghubungkannya, serta benar dalam melakukan perhitungannya.

3 Bisa menemukan fakta, data, konsep dan bisa bisa menghubungkannya, serta benar dalam melakukan perhitungannya, dan mengecek kebenaran

hubungan yang terjadi

4

Menganalisis

Tidak menjawab, atau memberikan jawaban yang

salah. 0

Bisa menentukan informasi dari soal yang diberikan, tetapi belum bisa memilih informasi yang penting

1 Bisa menentukan informasi dari soal yang

diberikan, dan bisa memilih informasi yang penting 2 Bisa menentukan informasi dari soal yang

diberikan, bisa memilih informasi yang penting, dan memilih strategi yang benar dalam

menyelesaikannya, tetapi melakukan kesalahan dalam melakukan perhitungan.

3

Bisa menentukan informasi dari soal yang diberikan, bisa memilih informasi yang penting, serta memilih strategi yang benar dalam

menyelesaikannya, dan benar dalam melakukan perhitungan.

4

Memecahkan Masalah

Tidak menjawab atau memberikan jawaban yang salah

0 Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan,

kecukupan unsur) dengan benar tetapi model matematika yang dibuat salah

1

Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) dengan benar dan membuat model matematikanya dengan benar, tetapi penyelesaiannya salah.

2 Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, 3


(43)

kecukupan unsur) dengan benar dan membuat model matematika dengan benar serta benar dalam penyelesaiannya.

Mengidentifikasi soal (diketahui, ditanyakan, kecukupan unsur) membuat dan menyelesaikan model matematika dengan benar, dan mencek kebenaran jawaban yang diperolehnya.

4

1.3.2. Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Penyusunan soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis ini bertujuan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis siswa setelah proses pembelajaran dengan melihat lima aspek dari berpikir kreatif, yaitu kepekaan (sensitivity), kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration). Tes kemampuan berpikir kreatif matematis dilaksanakan setelah seluruh proses pembelajaran berakhir.

Sebelum soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis digunakan, soal terlebih dahulu divalidasi untuk melihat validitas isi dan validitas muka untuk kemudian diujicoba pada siswa yang tidak termasuk dalam sampel penelitian. Tujuan ujicoba ini adalah untuk mengetahui tingkat validitas butir soal dan reliabilitas tes kemampuan berpikir kreatif matematis.

Untuk melihat validitas muka dan validitas isi soal tes kemampuan berpikir kreatif matematis penulis meminta pertimbangan lima orang penimbang dari mahasiswa S3 pendidikan matematika yang dianggap ahli, mempunyai pengalaman, dan wawasan yang luas dalam bidang pendidikan matematika. Tujuan mengukur


(44)

validitas isi adalah untuk mengetahui tanggapan penimbang tentang kesahihan istrumen dengan materi yang akan ditanyakan, baik menurut per butir soal maupun menurut soalnya secara menyeluruh. Sedangkan validitas muka digunakan untuk melihat kejelasan soal tes dari segi bahasa, sajian, dan akurasi gambar atau ilustrasi.

Hasil pertimbangan validitis muka dan validitas isi dari kelima penimbang ahli disajikan pada Lampiran A. Hasil pertimbangan validitas isi dan validitas muka dianalisis dengan menggunakan uji Q-Cochran yang hasilnya disajikan pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6

Hasil Uji Q-Cochran Validitas Muka Soal Berpikir Kreatif Matematis Test Statistics

N 5

Cochran's Q 3.000a

df 4

Asymp. Sig. .558

a. 1 is treated as a success.

Dari Tabel 3.6 terlihat bahwa Asymp. Sig = 0,558 lebih besar dari 0,05. Ini berarti H0 diterima pada taraf signifikansi α= 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa para penimbang memberikan pertimbangan yang sama atau seragam terhadap validitas muka tiap butir soal kemampuan kreatif matematis.

Hasil pertimbangan validitas isi dianalisis dengan menggunakan statistik Q-Cochran yang hasilnya disajikan pada Tabel 3.7.


(45)

Tabel 3.7

Hasil Uji Q-Cochran Validitas Isi Soal Berpikir Kreatif Matematis Test Statistics

N 5

Cochran's Q 4.000a

df 4

Asymp. Sig. .406

a. 1 is treated as a success.

Pada Tabel 3.7 terlihat bahwa Asymp.Sig = 0,406 yang berarti lebih besar dari 0,05. Ini berarti H0 diterima pada taraf signifikansi α= 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa para penimbang melakukan pertimbangan yang sama atau seragam terhadap validitas isi tiap butir soal kemampuan berpikir kreatif matematis.

Setelah instrumen dinyatakan memenuhi validitas isi dan validitas muka, soal tes berpikir kreatif matematis kemudian diujicobakan terhadap 39 siswa kelas VIII A SMPN Negeri 9 Palu Sulawesi Tengah. Data hasil ujicoba soal tes serta perhitungan reliabilitas instrumen dan validitas butir soal selengkapnya terdapat pada Lampiran A. Untuk melihat validitas butir dan reliabilitas tes digunakan perangkat lunak SPSS-17 for Windows. Untuk validitas butir soal digunakan korelasi product moment dari Karl Pearson antara skor kemampuan berpikir kreatif dengan skor totalnya. Sedangkan untuk reliabilitas tes digunakan analisa Cronbach-Alpha. Hasil perhitungan validitas dan reliabilitas tes disajikan pada Tabel 3.8.


(46)

Tabel 3.8

Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Soal Berpikir Kreatif Matematis Nomor

Soal

Validitas Reliabilitas

rxy Keterangan r11 Tingkat

1 0,729 Valid

0,867 Tinggi

2a 0,749 Valid

2b 0,752 Valid

3 0,763 Valid

4 0,648 Valid

Catatan: rtab (5%) = 0,33 dan dk = 37

Untuk menguji validitas butir soal diajukan H0 : tidak terdapat korelasi positif yang signifikan anatara skor butir soal dengan skor total. Kriteria pengujian jika rhit (rxy) ≥ rtab maka hipotesis nol ditolak. Pada taraf α= 5% dan n = 37 diperoleh rtab = 0,325. Pada Tabel 3.8. terlihat bahwa rxy untuk setiap butir soal lebih besar dari rtab, berarti hipotesis nol ditolak.

Pada Tabel 3.8. terlihat bahwa besarnya koefisien reliabilitas r11 = 0,867. Menurut Guilford (Ruseffendi, 2005: 197), instrumen dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,87 termasuk instrumen dengan reliabilitas tinggi. Dengan demikian untuk setiap butir soal berpikir kreatif matematis dinyatakan valid. Hasil analisis menunjukkan bahwa soal berpikir kritis matematis telah memenuhi karakteristik yang memadai untuk digunakan pada penelitian. Kisi-kisi dan perangkat soal tes berpikir kreatif matematis selengkapnya disajikan pada Lampiran B.

Untuk memperoleh data kemampuan berpikir kreatif matematis, dilakukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Kriteria penskoran yang


(47)

digunakan adalah skor rubrik yang dimodifikasi dari Bosch (1997) seperti disajikan pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa Aspek yang

Diukur Respon Siswa terhadap Soal atau Masalah Skor

Kepekaan (sensitivity)

Tidak menjawab atau salah mendeteksi pernyataan atau

situasi sehingga memberikan jawaban salah. 0

Salah mendeteksi pernyataan atau situasi, tetapi memberikan sedikit penjelasan yang mendukung penyelesaian.

1 Mendeteksi pernyataan atau situasi dengan benar, tetapi

memberikan jawaban yang salah atau tidak dapat dipahami. 2 Mendeteksi pernyataan atau situasi dengan benar tetapi

memberikan jawaban kurang lengkap. 3

Mendeteksi pernyataan atau situasi serta memberikan

jawaban dengan benar dan lengkap. 4

Elaborasi (elaboration)

Tidak menjawab atau memberikan jawaban yang salah. 0 Terdapat kesalahan dalam jawaban dan tidak disertai

perincian. 1

Terdapat kesalahan dalam jawaban tapi disertai perincian

yang kurang detil. 2

Terdapat kesalahan dalam jawaban tapi disertai perincian

yang rinci. 3

Memberi jawaban yang benar dan rinci. 4

Kelancaran (fluency)

Tidak menjawab atau memberikan ide yang tidak relevan. 0 Memberikan sebuah ide yang tidak relevan dengan

pemecahan masalah. 1

Memberikan sebuah ide yang relevan tapi penyelesaiannya

salah. 2

Memberikan lebih dari satu ide yang relevan tetapi

jawabannya masih salah. 3

Memberikan lebih dari satu ide yang relevan dan

penyelesaiannya benar dan jelas. 4

Keluwesan (flexibility)

Tidak menjawab atau memberikan jawaban dengan satu cara atau lebih tetapi semua salah.

0 Memberikan jawaban hanya satu cara tetapi memberikan

jawaban yang salah.


(48)

Memberikan jawaban dengan satu cara, proses perhitungan dan hasilnya benar.

2 Memberikan jawaban lebih dari satu cara (beragam) tetapi hasilnya ada yang salah karena terdapat kekeliruan dalam proses perhitungan.

3

Memberikan jawaban lebih dari satu cara (beragam), proses perhitungan dan hasilnya benar.

4

Keasliaan (originality)

Tidak menjawab atau memberi jawaban yang salah 0

Memberi jawaban dengan caranya sendiri tetapi tidak dapat dipahami

1 Memberi jawaban dengan caranya sendiri, proses

perhitungan sudah terarah tetapi tidak seleasi.

2 Memberi jawaban dengan caranya sendiri tetapi terdapat

kekeliruan dalam proses perhitungan sehingga hasilnya salah.

3

Memberi jawaban dengan caranya sendiri, proses perhitungan dan hasilnya benar.

4

3.3.2. Instrumen Skala Sikap Siswa terhadap Matematika

Instrumen ini digunakan untuk mengungkap respon sikap siswa terhadap matematika setelah memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBLKK, dan sikap siswa terhadap matematika. Instrumen ini dibuat dengan berpedoman pada aspek-aspek skala sikap.

Tes skala sikap diberikan kepada siswa setelah semua kegiatan pembelajaran berakhir, yaitu sesudah postes. Aspek-aspek skala sikap pada setiap pernyataan skala sikap tersebut memiliki empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Langkah pertama dalam menyusun skala sikap adalah membuat kisi-kisi terlebih dahulu. Selanjutnya dilakukan uji validitas isi butir skala sikap dengan meminta pertimbangan rekan mahasiswa S3 Pendidikan Matematika PPs UPI, setelah


(49)

itu dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Skala sikap ini dimaksudkan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif, sikap siswa terhadap kritis dan kreatif serta sikap siswa terhadap matematika.

Skala sikap siswa ini terdiri atas 36 item pernyataan dengan empat pilihan, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Instrumen ini diberikan kepada siswa setelah semua pokok bahasan selesai diajarkan. Sebelum instrumen ini digunakan, dilakukan uji coba empiris dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan uji terbatas pada 5 orang siswa di luar sampel. Tujuan dari uji coba terbatas ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan sekaligus memperoleh gambaran pemahaman siswa terhadap pernyataan-pernyataan dari skala sikap siswa tersebut. Setelah ujicoba secara terbatas, dilakukan perbaikan seperlunya, terutama dalam struktur kalimat untuk setiap pernyataannya. Instrumen skala sikap siswa yang telah diperbaiki tersebut, kemudian dilakukan ujicoba tahap kedua pada 38 siswa kelas VIII A SMPN 9 Palu. Kisi-kisi dan instrumen uji coba terdapat pada Lampiran A.

Tujuan ujicoba ini adalah untuk mengetahui validitas setiap item pernyataan dan sekaligus untuk menghitung skor setiap pilihan siswa dari setiap pernyataan. Dengan demikian, pemberian skor setiap pilihan dari pernyataan skala sikap siswa dalam matematika ditentukan secara aposteriori yaitu berdasarkan distribusi jawaban responden atau dengan kata lain menentukan nilai skala dengan deviasi normal (Azwar, 1995: 125). Dengan menggunakan cara ini, skor SS, S, TS, STS dari setiap


(50)

pernyataan dapat berbeda-beda tergantung pada sebaran respon siswa. Proses perhitungannya menggunakan perangkat lunak MS-Excel for Windows. Sebagai ilustrasi, misalkan jawaban hasil ujicoba dua pernyataan dari 38 responden seperti disajikan pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10 Respon Siswa (Contoh) Pernyataan

Respon Siswa

SS S TS STS

Positif (+) 2 16 20 0

Negatif (-) 4 28 5 1

Contoh tahapan perhitungan skor kategori SS, S, TS, dan STS untuk dua pernyataan positif (+) dan negatif (-) disajikan pada Tabel 3.11 dan Tabel 3.12. Simbol n menyatakan banyaknya responden (n = 38), proporsi (p) adalah perbandingan tiap kategori dengan jumlah siswa, proporsi kumulatif (pk) adalah proporsi dalam suatu kategori ditambah dengan proporsi kategori di sebelahnya, pktengah adalah titik tengah proporsi. Nilai deviasi z merupakan harga z untuk masing-masing pktengah, nilai yang didapat kemudian dibulatkan.

Tabel 3.11 merupakan contoh perhitungan untuk pernyataan positif (+) dan diambil dari pernyataan nomor 1.


(51)

Tabel 3.11

Perhitungan Skor Skala Skala Sikap Positif (Contoh) Proses Perhitungan

Respon Siswa

SS S TS STS

Frekuensi (f) 2 16 20 0

Proporsi (p) = n f

0,05 0,42 0,53 0

Proporsi Kumulatif (pk) 1,00 0,95 0,53 0

pktengah 0,97 0,74 0,26 0

z 1,88 0,64 -0,64 -3,09

z* = z + 4,09 5,97 4,73 3,45 1

Skor Skala

(z* dibulatkan) 6 5 3 1

Tabel 3.12 adalah contoh perhitungan untuk pernyataan negatif (-) dan diambil dari pernyataan nomor 8.

Tabel 3.12

Perhitungan Skor Skala Sikap Negatif (Contoh) Proses Perhitungan

Respon Siswa

SS S TS STS

Frekuensi (f) 4 28 5 1

Proporsi (p) = n f

0,11 0,74 0,13 0,03

Proporsi Kumulatif (pk) 0,11 0,84 0,97 1

pktengah 0,05 0,47 0,91 0,99

z -1,65 -0,08 1,34 2,33

z* = z + 4,09 1 2,57 3,99 4,98

Skor Skala


(52)

Dari hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 3.11 dan Tabel 3.12 diperoleh: untuk pernyataan positif (+), skor dari kategori SS, S, TS, dan STS secara berturut-turut adalah 6, 5, 3, 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif (-), skor untuk kategori SS, S, TS, dan STS secara berturut-turut adalah 1, 3, 4, 5.

Data hasil ujicoba dan proses perhitungan validitas butir pernyataan dan skor sikap siswa secara lengkap terdapat pada Lampiran A. Selanjutnya hasil uji validitas item disajikan pada Tabel 3.14.

Pada taraf α= 5% dan n = 39 diperoleh rtab = 0,33. Berdasarkan Tabel 3.13, terdapat 6 item pernyataan yang tidak mempunyai nilai rhit ≥ rtab, yaitu pernyataan nomor 5, 12, 13, 25, 33, dan 34, sehingga pernyataan tersebut dinyatakan tidak valid. Item pernyataan yang tidak valid dibuang (tidak digunakan), sedangkan sisanya sebanyak 30 butir pernyataan dinyatakan valid dan digunakan sebagai instrumen sikap siswa dalam penelitian. Kisi-kisi dan instrumen skala sikap siswa terdapat pada Lampiran B

Tabel 3.13

Hasil Uji Validitas Item Skala Sikap Siswa No.

Item rhit Kriteria

No.

Item rhit Kriteria

1 0,385 Valid 19 0,541 Valid

2 0,395 Valid 20 0,540 Valid

3 0,652 Valid 21 0,651 Valid

4 0,509 Valid 22 0,402 Valid

5 0,329 T.Valid 23 0,345 Valid

6 0,354 Valid 24 0,651 Valid

7 0,507 Valid 25 -0,055 T.Valid

8 0,503 Valid 26 0,528 Valid


(53)

10 0,499 Valid 28 0,522 Valid

11 0,651 Valid 29 0,545 Valid

12 0,219 T.Valid 30 0,352 Valid

13 0,258 T.Valid 31 0,349 Valid

14 0,359 Valid 32 0,476 Valid

15 0,501 Valid 33 0,188 T.Valid

16 0,558 Valid 34 0,274 T.Valid

17 0,370 Valid 35 0,445 Valid

18 0,364 Valid 36 0,445 Valid

Perhitungan pemberian skor setiap item pada kategori SS, S, TS, dan STS dapat dilihat pada Lampiran A dan skor skala sikap siswa untuk setiap pernyataan disajikan pada Tabel 3.14. Pada Tabel 3.14 tampak bahwa skor untuk kategori SS, S, TS, dan STS setiap pernyataan bervariasi antara 1 sampai dengan 6.

Tabel 3.14

Skor Setiap Item Skala Sikap Siswa No

Item

Skor No

Item

Skor

SS S TS STS SS S N TS

1 6 5 3 1 16 6 4 3 1

2 5 4 2 1 17 5 4 2 1

3 5 4 2 1 18 5 4 2 1

4 5 4 4 1 19 5 3 2 1

5 5 4 3 1 20 5 4 3 1

6 1 2 3 4 21 1 2 2 4

7 1 3 4 5 22 1 2 3 5

8 1 2 4 5 23 4 2 1 1

9 5 4 2 1 24 5 3 1 1

10 5 4 4 1 25 1 2 3 3

11 4 3 2 1 26 5 4 1 1

12 5 4 2 1 27 1 2 3 4

13 1 2 3 4 28 1 2 3 5

14 5 4 1 1 29 1 2 4 4


(54)

3. 4 . Bahan Ajar

Bahan ajar merupakan salah satu komponen pembelajaran yang turut menentukan keberhasilan implementasi suatu model pembelajaran. Penelitian ini mengimplementasikan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif. Dikarenakan bahan ajar ini hanya digunakan untuk kedua pembelajaran tersebut, tentunya dirancang dan dikembangkan sesuai dengan karakteristik dari pembelajaran, serta kemampuan siswa yang akan dicapai yaitu berpikir kritis matematik dan kreatif matematik. Selain itu, bahan ajar dirancang dan dikembangkan dengan mempertimbangkan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) supaya siswa mencapai kompetensi matematik yang relevan dengan tuntutan kurikulum tersebut.

Bahan ajar dalam penelitian ini disusun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS) yang meliputi materi pokok yaitu: Persamaan Garis Lurus, dan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV). Pengambilan materi pokok tersebut dengan pertimbangan bahwa materi tersebut dipelajari bertepatan dengan saat melakukan penelitian. Pertimbangan lainnya adalah materi tersebut cocok disajikan dalam bentuk pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif. Berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) materi pokok tersebut disampaikan selama 22 jam pelajaran.


(1)

Davis, D (1960) The Teaching of Mathematics, Massachusetts: Addison-Wesley Publising.

Dimyati dan Mujiono (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta. Driscoll, M, 1982, Research Within Reach: Secondary School Mathematics,

Washington D.C, National Institute of Education.

Evans, J.R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. USA: South-Western Publishing Co.

Ennis, R. H, (1996). Critical Thinking, United States of America: Prentice-Hall Inc.

Fahinu, (2007). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matematika pada Mahasiswa Melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi SPS UPI tidak dipublikasikan.

Fisher, R. (1995). Thinking Children to Think, Cheltenham, United Kingdom : Stanley Thornes Ltd.

Frankel, J. R. dan Walle, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. Singapore : Mc. Graw-Hill Book Co.

Fogarty, R. (1997). Problem-Based Learning and the Other Curriculum Models for Multiple Intelegences Classroom. Hawker Brownlow Education. George Lucas Educational Fondation (2001) Project-Based Learning Research

http://www.glef.org.

Gijselaers, W.H.(1996). Connecting Problem-Based Practice with Educational Theory. Dalam Wilkerson, L.(Ed). New Direction for Theaching and Learning. No.68. Josey-Bass Publisher.

Glazer, E. (2001). Using Web Sources to Promote Critical Thinking in High School Tersedia http://math.unipa. It/ Aglazer [17 September 2008]. Hamalik, O (2001) Proses Belajar Mengajar. Yakarta: Bumi Aksara.

Herman, T (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Bandung:PPS UPI .Disertasi tidak diterbitkan. Hudgins, B.B. et al. (1983). Educational Psychology. USA: F.E. Peaccock


(2)

Hudoyo.H(1980). Pemecahan Masalah dalam Matematika, Jakarta: Depdikbud P3G.

Ibrahim (2007). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Siswa SMP dalam Matematika melalui pendekatan Advokasi dengan Penyajian Masalah Open-Ended. Tesis SPS UPI: tidak diterbitkan.

IMSTEP-JICA (1999). Permasalahan Pembelajaran Matematika SD, SLTP, dan SMU di Kota Bandung: Bandung: FMIPA UPI.

Innabi, H. (2003) Aspect of Critical Thinking in Classroom Instruction of Secondary School Mathematics teacher in Jordan. Procceding of the International Conference Mathematics Education.

Jones, T.P. (1972). Creative Learning in Perspective. London: University of London Press Ltd.

Kantowski, M.G. (1981). Problem Solving. Mathematics Education Research, Implication for 80’s. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development.

Kouba, V.L. dkk, 1988, Results of the Fourth NAEP Assessment of Mathematics, Arithmatic Teacher, 35, 14-19.

Kutz, S dan Weisw,I.B. (1975). Teaching Secondary School Mathematics. Boston :Allin and Bacon.

Krulik, Stepen, Ingrid B, (1975). Teaching Secondary School Mathematics. Philadelpia:W.B. Souders Company.

Krulik, S. (1980), Problem Solving in School Mathematics. NCTM.

Kwon J, dan Lee,G. What do we know about students’ cognitive conflict in science classroom: a theoretical model of cognitive conflict process, diakses dari http:/www.ed.psu.edu/C1/Journals/2001.

Marzano, R. J. (1989). Dimention of Thinking : A Framework for Curriculum and Instruction. Alexanderia US : Association for Supervision and Curriculum Development.

Mayadina, D. (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursus untuk Mengembangkan kemampuan Berpikir Kritis Matematika Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar. Tesis SPS UPI tidak dipublikasikan.


(3)

McGregor, D. Developing Thinking; Developing Learning, A Guide to Thinking Skills in Education, England. Open University Press.

Mettes, T.T.W. (1979). Teaching and Learning Problem Solving in Science. A General Strategy. International Journal of Science Education 57(3), 882-885.

Minium, E.W., King, B.M., Bear, G. (1993). Statistical Reasoning in Psychology and Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Mudrikah, A. (2006). Penggunaan Model Pembelajaran Konsep Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematik dan Ketrampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis SPS UPI tidak diterbitkan Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.D., Garden, R.A.,

O’Connors, K.M., Krostowski, S.J., dan Smith, T.A. (2000). TIMSS 1999: International Report. Boston: The International Study Center. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.D., Garden, R.A.,

O’Connors, K.M., Krostowski, S.J., dan Smith, T.A. (2004) TIMSS: Trends in Mathematics and Science Study: Assessment Frameworks and Specifications 2003. Boston: The International Study Center.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.D., Garden, R.A., O’Connors, K.M., Krostowski, S.J., dan Smith, T.A. (2007) TIMSS: Trends in Mathematics and Science Study: Assessment Frameworks and Specifications 2006. Boston: The International Study Center.

Munandir. (1991), Belajar dan Membelajarkan, Jakarta; CV Rajawali.

Murtado, S dan Tambunan, G. (1987). Materi Pokok Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (1998). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and

Standards for School Matematics, Reston, VA: NCTM.

Niaz, M. (1995). Cognitive Conflict as A Teaching Strategy in Solving Chemistry Problems, Journal of Research in Science Teaching, Volume 32, issue 9, 959-970.


(4)

Ngeow, K.K. dan San, Y. (1997). Learning to learn: Preparing Teachers and Student for Problem-Based Learning . [On-Line}, Tersedia : http//www. Eric Indiana.edu.

Panduan Lengkap KTSP (2007), Jakarta. Pustaka Yustisia.

Pamolato, S.W. (2004). Pengaruh Penerapan Model Treffinger dalam Mengembangkan Kemampuan Kreatif dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas 2 SMP. Disertasi pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Ratnaningsih, N (2003) Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematika Siswa SMU melalui pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis S2 pada SPS UPI

Bandung: tidak diterbitkan.

Ratnaningsih, N (2007) Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Rochaminah, S. (2008). Pengaruh Pembelajaran Penemuan Terhadap Kemampuan Berpikir Matematis Mahasiswa Calon Guru. Disertasi SPS UPI tidak diterbitkan.

Riedesel (1996). Teaching Elementary School Mathematics. Boston: Allin and Bacon.

Ruseffendi (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksakta Bandung: Tarsito.

Ruseffendi (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Rohayati, A. (2005). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dalam Matematika melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis S2 pada UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Sabandar, J ( 2005). Pendekatan Konflik Kognitif pada Pembelajaran Matematika dalam upaya mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif. National Seminar On Operation Research , FMIPA UNPAD.


(5)

Savery, J.R. dan Duffy, T.M. (1996). Problem-Based Learning: An Instructional Model and Its Constructivist Framework. [On-Line], Tersedia: http//www.Soe.ecu.edu/Itdi/colaric/KB/PBL.

Semiawan, C., Munandar, A.S., dan Munandar, U. (1987). Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: PT Gramedia.

Slavin, R.E (1994) Educational Psychology Theory: Theory and Practice. Massachusettts: Allyn and Bacon Publiser.

Starko, A.J. (1995). Creativity in the Classroom. USA. White Plains: Longman Publishers.

Sudijono, A. (2001). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sugiyono, (2007). Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung, Alfabeta.

Sugiyono, (2007). Statistik untuk Penelitian. Bandung, Alfabeta.

Suherman, E. dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis Untuk Melaksanakan Eevaluasi Pendidikan Matematika. Bandung, Wijayakusuma.

Sujana (1992). Metoda Statistika , edisi ke-5 Bandung: Tarsito.

Sujimat, D.A (1995), Pembelajaran Pemecahan Masalah , Tinjauan Singkat Berdasarkan Teori Kognitif, Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sain. Malang, UNM.

Sumarmo, U, Dedy. E dan Rahmat (1994), Suatu Alternatif Pengajaran Untuk Meningkatkan Pemecahan Masalah pada Guru dan Siswa SMA. Laporan Penelitian FPMIPA, IKIP Bandung.

Sumarmo, U.(2005) Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum 2002 Sekolah Menengah. Makalah pada SeminarPendidikan Matematika di FMIPA Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogjakarta, Kanisius.

Supriadi, D. (1994). Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta.


(6)

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi SPS UPI : tidak diterbitkan.

Sutiarso, S. (2000). Problem Posing, Strategi Efektif Meningkatkan Aktifitas Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Makalah pada Seminar di Bandung: tidak diterbitkan

Syukur, M. (2004) Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMU melalui pembelajaran dengan pendekatan open-ended, Tesis SPS UPI tidak dipublikasikan.

Torp, L. dan Sage, S. (1998). Problem as Posibilities: Problem-Based Learning for K-12 Education. Aurora. IL: ASCD.

Vygotsky , L.S. 1978. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Editor: Michael Cole, Vera John-Steiner, Sylvia Scribner, Ellen Souberman . Cambrigde, Massachusetts: Harvard University Press. Wadsworth, B. J,(1996). Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development.

N.Y. Longman.

Wahyudin.(1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Bandung: SPS UPI Disertasi tidak diterbitkan.

Zimmerman, B. J.,& Blom, D. E., (1983). Toward An Empirical Test of The Role of Cognitive Conflict in Learning. Developmental Review. 3, 18-38. Zulkardi (2005). Pendidikan Matematika di Indonesia Beberapa Permasalahan

dan Upaya Penyelesaiannya. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Dalam Bidang Pendidikan Matematika Pada