Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa

(1)

PENGARUH STRATEGI KONFLIK KOGNITIF TERHADAP

KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA

Di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Nurmalianis

NIM: 109017000053

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

Nama : NURMALIANIS

NIM : 109017000053

Jurusan : PendidikanMatematika AngkatanTahun : 2009

Alamat : Jln. Swadaya IV No.124 Rt 001/Rw 01, Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, 13950

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

1. Nama : Dr. Tita Khalis Maryati, M.Kom

NIP :19690924 199903 2 003

Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika 2. Nama : Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd

NIP :19790601200604 2 004

Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.


(5)

i

ABSTRAK

NURMALIANIS (NIM: 109017000053). Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa. (Kuasi Eksperimen di SMPN 3 Tangerang Selatan).

Tujuan penelitian ini ada tiga, yaitu pertama untuk menganalisis kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan strategi konflik kognitif dan strategi ekspositori, kedua untuk menganalisis perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematis yang diajarkan dengan strategi konflik kognitif dan siswa yang diajarkan dengan strategi ekspositori, dan ketiga untuk menganalisis efektivitas strategi konflik kognitif dan strategi ekspositori dalam mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif matematis. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan pada tahun ajaran 2013/2014 dengan metode penelitian berupa kuasi eksperimen serta menggunakan pretest-posttest control group design.

Siswa yang diajarkan dengan strategi konflik kognitif memiliki kemampuan berpikir kebaruan paling tinggi, kemudian diikuti oleh kemampuan berpikir fleksibel, dan kemampuan berpikir lancar. Sebaliknya, siswa yang diajarkan dengan strategi ekspositori memiliki kemampuan berpikir lancar paling tinggi, kemudian diikuti oleh kemampuan berpikir fleksibel dan kemampuan berpikir kebaruan. Nilai rata-rata N-gain dan nilai rata-rata kemampuan akhir berpikir kreatif matematis siswa pada pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar yang diajarkan menggunakan strategi konflik kognitif lebih tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan strategi ekspositori. Dengan demikian strategi konflik kognitif berpengaruh positif serta lebih efektif dalam mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dibandingkan dengan strategi ekspositori.

Kata kunci: Strategi Konflik Kognitif, Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis, Bangun Ruang Sisi Datar.


(6)

ii

ABSTRACT

NURMALIANIS (NIM: 109017000053). The Influence of Conflict

Cognitive Strategies To Student’s Mathematical Creative Thinking Ability. (Quasi Experimental at SMPN 3 Tangerang Selatan).

There are three purposes of this research, firstly is to analyze the mathematical creative thinking ability who are taught by the conflict cognitive strategy and the expository strategy, secondly is to analyze the difference mathematical creative thinking ability between students who are taught by conflict cognitive strategy and students who are taught by expository strategy; and the third is to analyze the effectiveness of conflict cognitive strategy and expository strategy on mathematical creative thinking ability. The research was conducted at SMPN 3 Tangerang Selatan, for academic year 2013/2014. The method used in this research is quasi experimental method with pretest-posttest control group design.

Novelty of students who are taught by conflict cognitive strategy is the higest of flexibility and fluency. On the other hand, fluency of students who are taught by expository strategy is the higest of flexibility and novelty. Mean of N-gain and mean of posttest student’s mathematical creative thinking ability in learning solid geometry of flat surface who are taught by conflict cognitive strategy is higher than who are taught by expository strategy. So, conflict cognitive strategy is more beneficial and more effective to influence student’s mathematical creative thinking ability than expository strategy.

Key words: Conflict Cognitive Strategies, Mathematical Creative Thinking Ability, Solid Geometry of Flat Surface.


(7)

iii

KATA PENGANTAR

ﻳﺤﺭﻟﺍﻦ ﺤﺭﻟﺍﷲﺍ ﺳﺑ

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penyelamat umat, pemberi syafaat hingga yaumil kiamat.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas. Namun, berkat dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Nurlena Rifa’i, P.hd., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abdul Muin S.Si., M.Si., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Otong Suhyanto, M.Si., Dosen Pembimbing Akademik Kelas B angkatan 2009 Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Dr. Tita Khalis Maryati, M.Pd, Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, pengarahan, waktu, nasihat dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd, Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, pengarahan, waktu, nasihat dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama


(8)

iv

mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

8. Staf Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

9. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan.

10.Bapak kepala SMP N 3 Tangerang Selatan, yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

11.Seluruh dewan guru SMP N 3 Tangerang Selatan, khususnya Bapak Soleh S.Pd sebagai Wakasek dan Ibu Lendra, S.Pd., sebagai guru pamong tempat penulis mengadakan penelitian yang telah memberikan bimbingan dan berbagi pengalaman.

12.Siswa dan siswi kelas VIII SMPN 3 Tangerang Selatan, khususnya kelas VIII-5 dan VIII-7 yang telah bersikap kooperatif selama penulis mengadakan penelitian. 13.Keluarga tercinta. Ayahanda Salijo dan Ibunda Caswili yang tak henti-hentinya

mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, serta selalu menginspirasi penulis. Semangat-semangatku kakak Abdi Ginanjar S.Kom dan adik Huda Darussyafa, serta semua keluarga yang selalu menjadi kekuatan bagi penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan meraih cita-cita.

14.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’09, kelas A, B dan C terutama Bunga, Zia, Indah, Syifa, Ayik, Rina, Beni, Ria yang selalu memberikan motivasi, memberikan bantuan, doa dan semangat selama penulisan skripsi ini. Tetap semangat teman-teman.

15.Teman-teman seatap (kosan Nek Gani) Kakek Gani, Nek Gani, Laila, Meta, Rara, Virda, Bu Moly, dan Bang Hero yang selalu mendukung, membantu dan tempat berbagi suka-duka.


(9)

v

16.Teman-temanku teristimewa Dewi, Bang Jek, Arya, Dina, Kiki yang selalu memberikan motivasi, nasihat, doa, dan perhatian selama ini.

17.Teman-teman ’tugeder’ (Dina, Mila, Hapsari, Cristie, Reni, Sarah, Tika, Lestari, Yanuar, Abang, Madew) yang selalu memberikan semangat, perhatian, dan do’anya.

18.Kakak kelas angkatan 2008, 2007, dan 2006 yang membantu mempermudah penulis dalam menyusun skripsi. Adik kelas angkatan 2010, 2011, 2012, dan 2013 yang telah memberikan doa dan motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi.

Semoga Allah SWT dapat menerima sebagai amal kebaikan atas jasa baik yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih belum mendekati sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat dibutuhkan demi kesempurnaan penulis dimasa datang. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi yang membacanya.

Ciputat, Juni 2014


(10)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Kajian Teori ... …. 8

1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 8

a. Pengertian Berpikir Kreatif Matematis ... 8

b. Indikator Berpikir Kreatif Matematis ... 11

c. Contoh Soal Berpikir Kreatif Matematis... 13

2. Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Matematika ... 16

a. Pengertian Strategi Konflik Kognitif ... 16

b. Tahapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi Konflik Kognitif ... 23

3. Strategi Ekspositori dalam Pembelajaran Matematika ... 25

a. Pengertian Strategi Pembelajaran Ekspositori ... 25


(11)

vii

c. Tahapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi Ekspositori 26

4. Efektivitas dalam Pembelajaran ... 26

B. Hasil Penelitian Yang Relevan ... 29

C. Kerangka Berpikir ... 29

D. Hipotesis Penelitian ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

B. Metode dan Desain Penelitian ... 33

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 34

1. Populasi Penelitian ... 34

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 34

D. Prosedur Penelitian ... 35

1. Tahap Persiapan ... 35

2. Tahap Pelaksanaan ... 35

E. Teknik Pengumpulan Data ... 36

F. Instrumen Penelitian ... 36

1. Validitas ... 38

2. Reliabilitas ... 40

3. Tingkat Kesukaran Soal ... 41

4. Daya Pembeda ... 42

G. Teknik Analisis Data ... 43

1. Uji Normalitas ... 44

2. Uji Homogenitas ... 44

3. Uji Hipotesis ... 45

4. N-gain ... 48

H. Hipotesis Statistik ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data dan Analisis ... 50

1. Data Kemampuan Awal (Pretest) Berpikir Kreatif Matematis ... 50


(12)

viii

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Berdasarkan

Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 68

B. Pembahasan ... 71

1. Proses Pembelajaran di Kelas ... 73

2. Hasil Posttest Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 82

C. Keterbatasan Penelitian ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indikator Aspek Berpikir Kreatif Matematis ... 13

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 33

Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Materi Bangun Ruang Sisi Datar ... 37

Tabel 3.3 Hasil Uji CVR ... 39

Tabel 3.4 Kriteria Butir Soal ... 41

Tabel 3.5 Rekapitulasi Analisis Kualifikasi Instrumen ... 43

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Data Pretest Siswa Kelompok Eksperimen .. 51

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Data Pretest Siswa Kelompok Kontrol ... 52

Tabel 4.3 Perbandingan Data Pretest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 53

Tabel 4.4 Data Uji Normalitas Pretetst ... 55

Tabel 4.5 Data Uji Homogenitas Pretest ... 56

Tabel 4.6 Data Uji Hipotesis Pretest ... 56

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Data Posttest Siswa Kelompok Eksperimen 57 Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Data Posttest Siswa Kelompok Kontrol ... 58

Tabel 4.9 Perbandingan Data Posttest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 59

Tabel 4.10 Data Uji Normalitas Posttest ... 61

Tabel 4.11 Data Uji Homogenitas Posttest ... 61

Tabel 4.12 Data Uji Hipotesis Posttest ... 62

Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi N-Gain Kelompok Eksperimen ... 63

Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi N-Gain Kelompok Kontrol ... 64

Tabel 4.15 Perbandingan Data N-Gain Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 65

Tabel 4.16 Data Uji Normalitas N-Gain ... 67

Tabel 4.17 Data Uji Hipotesis N-Gain ... 67 Tabel 4.18 Skor Posttest Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa


(14)

x

Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 68 Tabel 4.19 Rata-rata Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 71


(15)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian ... 31

Gambar 3.1 Desain Penelitian Pretest-Posttest Control Group Design ... 34

Gambar 4.1 Kerjasama Siswa dalam Membuat Jaring-jaring ... 74

Gambar 4.2 Hasil Pekerjaan Siswa Pada Tahap Pendahuluan di LKS 2 ... 75

Gambar 4.3 Hasil Pekerjaan Siswa Pada Tahap Pendahuluan di LKS 3 ... 76

Gambar 4.4 Contoh Jawaban Siswa yang Memiliki Kemampuan Berpikir Lancar (Fluency) ... 78

Gambar 4.5 Contoh Jawaban Siswa yang Belum Memiliki Kemampuan Berpikir Lancar (Fluency) ... 78

Gambar 4.6 Perwakilan Kelompok Menuliskan Hasil Diskusi di Papan Tulis 80 Gambar 4.7 Contoh Potongan Soal LKS Sekolah Kelompok Kontrol ... 81

Gambar 4.8 Contoh Jawaban Siswa Pada Indikator Kemampuan Berpikir Lancar (Fluency) Pada Kelompok Eksperimen... 83

Gambar 4.9 Contoh Jawaban Siswa Pada Indikator Kemampuan Berpikir Lancar (Fluency) Pada Kelompok Kontrol ... 83

Gambar 4.10 Contoh Jawaban Siswa Pada Indikator Kemampuan Berpikir Fleksibel (Flexibility) Pada Kelompok Eksperimen ... 84

Gambar 4.11 Contoh Jawaban Siswa Pada Indikator Kemampuan Berpikir Fleksibel (Flexibility) Pada Kelompok Kontrol ... 85

Gambar 4.12 Contoh Jawaban Siswa Pada Indikator Kemampuan Berpikir Kebaruan (Novelty) Pada Kelompok Eksperimen ... 86

Gambar 4.13 Contoh Jawaban Siswa Pada Indikator Kemampuan Berpikir Kebaruan (Novelty) Pada Kelompok Kontrol ... 86


(16)

xii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Grafik Perbandingan Nilai Pretest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 51 Grafik 4.2 Grafik Perbandingan Nilai Posttest Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol ... 57 Grafik 4.3 Grafik Perbandingan N-Gain Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol ... 63 Grafik 4.4 Diagram Presentase Skor Kemampuan Akhir (Posttest) Berpikir

Kreatif Matematis Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Berdasarkan Indikator Berpikir Kreatif Matematis ... 68


(17)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen ... 95

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol... 113

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 134

Lampiran 4 Kisi-kisi Instrumen Tes KBKM (Uji Coba Instrumen)... 162

Lampiran 5 Lembar Instrumen Tes KBKM (Uji Coba Instrumen) ... 164

Lampiran 6 Kunci Jawaban Instrumen Tes KBKM (Uji Coba Instrumen) ... 166

Lampiran 7 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis ... 174

Lampiran 8 Perhitungan Uji Validitas Isi Instrumen Tes KBKM dengan metode CVR ... 175

Lampiran 9 Hasil Uji Validitas Isi Instrumen Tes KBKM dengan metode CVR 176 Lampiran 10 Tabel nilai minimum CVR Lawshe ... 180

Lampiran 11 Nilai Uji Coba KBKM ... 181

Lampiran 12 Perhitungan Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran, dan Daya Pembeda Instrumen Tes KBKM (Uji Coba Instrumen) 182

Lampiran 13 Hasil Perhitungan Validitas Instrumen Tes Uji Coba KBKM ... 184

Lampiran 14 Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen Tes Uji Coba KBKM ... 185

Lampiran 15 Hasil Perhitungan Indeks Tingkat Kesukaran Instrumen Tes Uji Coba KBKM ... 186

Lampiran 16 Hasil Perhitungan Daya Pembeda Instrumen Tes Uji Coba KBKM 187 Lampiran 17 Kisi-Kisi Instrumen Tes KBKM ... 188

Lampiran 18 Instrumen Tes KBKM ... 190

Lampiran 19 Kunci Jawaban Instrumen Tes KBKM ... 192

Lampiran 20 Nilai Kemampuan Awal (Pretest) Berpikir Kreatif Matematis Kelompok Eksperimen ... 196

Lampiran 21 Nilai Kemampuan Awal (Pretest) Berpikir Kreatif Matematis Kelompok Kontrol ... 197


(18)

xiv

Eksperimen ... 198 Lampiran 23 Statistik Deskriptif Nilai Kemampuan Awal (Pretest) Kelompok

Kontrol ... 202 Lampiran 24 Perhitungan Uji Normalitas Nilai Pretest Kelompok Eksperimen 206 Lampiran 25 Perhitungan Uji Normalitas Nilai Pretest Kelompok Kontrol ... 207 Lampiran 26 Perhitungan Uji Homogenitas Nilai Pretest Kelompok Eksperimen

dan Kelompok Kontrol ... 208 Lampiran 27 Perhitungan Uji Hipotesis Nilai Pretest ... 209 Lampiran 28 Nilai Kemampuan Akhir (Posttest) Berpikir Kreatif Matematis

Kelompok Eksperimen ... 210 Lampiran 29 Nilai Kemampuan Akhir (Posttest) Berpikir Kreatif Matematis

Kelompok Kontrol ... 211 Lampiran 30 Statistik Deskriptif Nilai Kemampuan Akhir (Posttest) Kelompok

Eksperimen ... 212 Lampiran 31 Statistik Deskriptif Nilai Kemampuan Akhir (Posttest) Kelompok

Kontrol ... 216 Lampiran 32 Perhitungan Uji Normalitas Nilai Posttest Kelompok Eksperimen 220 Lampiran 33 Perhitungan Uji Normalitas Nilai Posttest Kelompok Kontrol... 221 Lampiran 34 Perhitungan Uji Homogenitas Nilai Posttest Kelompok Eksperimen

dan Kelompok Kontrol ... 222 Lampiran 35 Perhitungan Uji Hipotesis Nilai Posttest ... 223 Lampiran 36 N-Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelompok

Eksperimen ... 224 Lampiran 37 N-Gain Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Kelompok

Kontrol ... 225 Lampiran 38 Statistik Deskriptif Nilai N-Gain Kelompok Eksperimen ... 226 Lampiran 39 Statistik Deskriptif Nilai N-Gain Kelompok Kontrol ... 230 Lampiran 40 Perhitungan Uji Normalitas Nilai N-Gain Kelompok Eksperimen 234


(19)

xv

Lampiran 41 Perhitungan Uji Normalitas Nilai N-Gain Kelompok Kontrol ... 235

Lampiran 42 Perhitungan Uji Hipotesis Nilai N-Gain ... 236

Lampiran 43 Perhitungan Skor Kemampuan Akhir (Posttest) Berpikir Kreatif Matematis Siswa Kelompok Eksperimen Berdasarkan Indikator . 239

Lampiran 44 Perhitungan Skor Kemampuan Akhir (Posttest) Berpikir Kreatif Matematis Siswa Kelompok Kontrol Berdasarkan Indikator ... 240

Lampiran 45 Tabel Nilai-Nilai r Product Moment ... 241

Lampiran 46 Tabel Nilai-Nilai Chi Kuadrat ... 242

Lampiran 47 Tabel Nilai-Nilai Distribusi F ... 243

Lampiran 48 Tabel Nilai-Nilai Distribusi t ... 246

Lampiran 49 Hasil Wawancara ... 247

Lampiran 50 Uji Referensi ... 250

Lampiran 51 Surat Bimbingan Skripsi ... 255

Lampiran 52 Surat Izin Penelitian ... 256


(20)

1 A. Latar Belakang Masalah

Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki kecakapan hidup (life skill) memadai merupakan pekerjaan rumah tersendiri baik bagi bangsa Indonesia maupun bagi pribadi sebagai individu. Pasalnya, di zaman globalisasi seperti sekarang ini, orang-orang yang memiliki kemampuan berpikir secara logis, kritis, sistematis dan kreatif lah yang mampu bersaing dan memecahkan berbagai permasalahan kehidupan yang begitu kompleks dengan penuh rasa percaya diri. Melalui kemampuan berpikir, seseorang dapat memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif.

Aspek pendidikan merupakan aspek yang berfokus pada kemampuan berpikir salah satunya berpikir kreatif untuk itu peningkatan kualitas SDM dianggap mampu diupayakan melalui aspek pendidikan ini. Sebagaimana terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bab II pasal 3 yakni:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1

Dalam undang-undang tersebut menyebutkan salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan manusia yang kreatif. Sehingga perlu ditanamkan kemampuan kreatif pada setiap mata pelajaran termasuk matematika dan pada setiap jenjang pendidikan. Dalam kurikulum 2006 disebutkan melalui pembelajaran matematika dianggap mampu dalam membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan

1

Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI, 2003), h.5.


(21)

2

kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Beberapa hasil penelitian (Risnanosanti, 2010; Ismaimuza, 2010; Wahyu Hidayat 2011) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi termasuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis.

Pembelajaran matematika idealnya berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan bekerja sama yang nantinya diperlukan siswa dalam kehidupan nyata. Kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika, masalah sehari-hari bukan hal yang rutin melainkan memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya.

Kenyataannya, hasil survei Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan skor rata-rata prestasi matematika siswa tingkat 8 setingkat dengan siswa kelas VIII SMP pada tahun 2011 sebesar 386 yang menurun jika dibandingkan pada tahun 2007 memperoleh skor rata-rata sebesar 397.2 TIMSS merupakan lembaga penilaian matematika dan sains Internasional pada siswa tingkat ke-4 (kelas 4 SD) dan tingkat ke-8 (kelas 2 SMP). Penilaian ini diselenggarakan setiap 4 tahun sejak tahun 1995. Survei pada tahun 2011 diikuti oleh 600.000 siswa dari 63 negara. TIMS ini diselenggarakan oleh IEA (International Association for The Evaluation Achievement). Adapun dimensi kognitif matematis yang diukur dalam survei TIMSS ini adalah pengetahuan 30%, penerapan 40%, dan penalaran 25%. Soal-soal yang disajikan lebih banyak mengukur kemampuan pemecahan masalah yang konteksnya ada pada kehidupan sehari-hari daripada soal-soal yang mengukur kemampuan teknis yang berkaitan dengan ingatan dan penggunaan rumus-rumus umum atau secara algoritmik. Berdasarkan hasil survei TIMSS tahun 2007 dan 2011 prestasi matematika Indonesia masih berada pada tingkat rendah (low international benchmark). Menurut TIMSS, deskripsi pada level low (rendah) prestasi matematika adalah siswa memiliki pengetahuan dasar tentang bilangan-bilangan bulat dan desimal dan dapat melakukan perhitungan dasar. Mereka dapat mencocokkan tabel ke

2

Ina V.S. Mullis, et.al., TIMSS 2011 International Results in Mathematics, (Boston: TIMSS & PIRLS International Study Center, Lynch School of Education, Boston College, 2011), p. 56.


(22)

diagram batang dan diagram gambar dan membaca diagram garis sederhana.3 Dengan demikian nampak bahwa siswa telah memiliki pengetahuan dalam berhitung. Namun belum mampu dalam mengeksplorasi pengetahuannya secara fasih, memberikan gagasan serta memecahkan masalah dengan caranya sendiri. Peneliti mengasumsikan bahwa kemampuan berpikir tingkat tingginya termasuk berpikir kreatif masih rendah.

Jika dilihat lebih dekat lagi, berdasarkan observasi di SMP 3 Tangerang Selatan melalui pemberian soal kemampuan berpikir kreatif matematis kepada siswa kelas IX diperoleh bahwa pada aspek berpikir lancar (fluency) yaitu memberikan banyak jawaban yang lengkap dan benar presentasenya sebesar 25,63% serta pada aspek berpikir fleksibel (flexibility) yaitu memberikan cara penyelesaian yang berbeda-beda presentasenya sebesar 41%. Peneliti menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis siswa masih rendah. Sebagai contoh pada soal yang mengukur berpikir fleksibel (flexibility) siswa diminta untuk memberikan beberapa jaring-jaring limas segi-4, dari 40 siswa hanya seorang siswa yang mampu membuat dua buah jaring-jaring limas segi empat yang berbeda. Sementara 31 siswa menjawab sebuah jaring-jaring limas segi-4 dengan bentuk yang sama dengan jaring-jaring limas segi-4 di buku pegangan siswa dan 8 siswa yang lain tidak menjawab.

Berdasarkan wawancara dengan guru matematika di SMP Negeri 3 Tangerang Selatan diketahui bahwa pada tahapan tanya-jawab jarang ada siswa yang menjawab pertanyaan dari guru kalau pun ada hanya siswa yang tergolong pandai saja. Siswa juga kesulitan mengungkapkan gagasan-gagasan yang mereka miliki. Bahkan ketika mereka diminta untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti, mereka bingung harus menanyakan apa. Pada tahapan akhir pembelajaran, guru memberikan penugasan berupa latihan soal. Ternyata hanya beberapa siswa saja yang masih kesulitan mengerjakan latihan soal. Namun, jawaban siswa masih mengadopsi cara penyelesaian guru.

Ada banyak faktor penyebab dari permasalahan ini, salah satunya adalah guru masih mendominasi aktifitas pembelajaran sementara siswa cenderung pasif.

3


(23)

4

Dalam pembelajaran di kelas, guru menjelaskan materi dalam bentuk jadi melalui ceramah disertai tanya jawab dan penugasan sementara siswa hanya menerima informasi dari yang guru berikan. Pembelajaran yang demikian belum memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis. Latihan soal yang diberikan bersifat tertutup, artinya hanya ada satu jawaban benar sehingga siswa tidak terlatih untuk memberikan banyak jawaban, menggunakan cara penyelesaian yang berbeda-beda ataupun merumuskan cara penyelesaiannya sendiri. Guru cenderung menekankan pada hasil pembelajaran daripada proses pembelajaran karena tuntutan penyelesaian materi yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Akibatnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa tidak berkembang sebagaimana mestinya.

Strategi konflik kognitif merupakan strategi yang menghadirkan konflik kognitif berupa miskonsepsi atau masalah non-rutin terbuka yang mengkonflikkan prakonsepsi siswa dalam pembelajaran. Strategi konflik kognitif memiliki tiga tahap, yaitu preliminary stage, conflict stage, and resolution stage.

Tahap pendahuluan (Preliminary stage) merupakan tahapan prakonsepsi yakni guru mengidentifikasi miskonsepsi dan pengetahuan awal siswa tentang aspek-aspek penting yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Menurut

Trianto, “sering seorang pelajar mengalami kesulitan dalam memahami suatu pengetahuan tertentu, yang salah satu penyebabnya karena pengetahuan baru yang diterima tidak terjadi hubungan dengan pengetahuan yang sebelumnya, atau mungkin pengetahuan awal sebelumnya belum dimiliki”.4 Siswa diajak untuk berpikir lancar dalam mengeksplorasi pengetahuan awalnya atau mengungkapkan ide-idenya.

Kemudian konflik kognitif dihadirkan pada tahap yang kedua, yakni tahap konflik (conflict stage). Konflik ini dapat berupa miskonsepsi yang telah diidentifikasi pada tahap prakonsepsi ataupun masalah-masalah terbuka yang dapat mengkonflikkan prakonsepsi siswa. Sesuai dengan karakteristiknya, konflik ini membuat siswa memanfaatkan kemampuan kognitifnya dalam upaya

4

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 33.


(24)

menjastifikasi, mengkonfirmasi atau melakukan verifikasi terhadap pendapatnya. Ketika siswa diberikan sebuah konflik kognitif berupa masalah, siswa akan berpikir berdasarkan pengetahuan awalnya mengeluarkan ide-idenya dengan lancar (fluency) atau bahkan siswa dapat menghasilkan banyak alternatif jawaban (flexibility).

Tahap yang terakhir adalah tahap resolusi (resolution stage). Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan sendiri pemecahan masalahnya. Kemudian hasilnya dikomunikasikan dan dievaluasi. Ketika siswa sudah melewati tahapan konflik kognitif, siswa diajak untuk mempertahankan pendapatnya apabila ia yakin pendapatnya benar, dan berani mengubahnya apabila keliru. Disini siswa dilatih untuk berpikir terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan akan muncul pemikiran-pemikiran baru (novelty). Kemampuan berpikir kreatif matematis (memberikan banyak ide, memberikan alternatif cara penyelesaian, serta mengungkapkan pemikiran-pemikiran baru) siswa akan berkembang karena siswa berpikir bukan meniru.

Dari penjabaran di atas peneliti berasumsi bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilatih dan diberdayakan melalui strategi konflik kognitif dan pada akhirnya kemampuan berpikir kreatif matematis siswa akan berkembang. Sehingga, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul

Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa masih rendah, misalnya siswa kesulitan untuk memberikan banyak jawaban, menggunakan cara penyelesaian yang berbeda-beda dan memberikan jawaban yang unik. 2. Siswa belum diberi kesempatan untuk berpikir kreatif matematis dalam


(25)

6

3. Strategi pembelajaran matematika yang digunakan guru belum efektif dalam mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat begitu luasnya ruang lingkup permasalahan, maka peneliti akan membatasi masalah dengan maksud untuk lebih memfokuskan masalah yang akan diteliti sehingga hasil penelitian lebih terarah. Adapun pembatasan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang akan diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada indikator berpikir lancar (fluency), berpikir fleksibel (flexibility), dan berpikir kebaruan (novelty).

2. Strategi pembelajaran yang digunakan dibatasi pada strategi konflik kognitif.

3. Penelitian ini terbatas pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kelas VIII.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang diuraikan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang proses pembelajarannya menggunakan strategi konflik kognitif ?

2. Bagaimana kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang proses pembelajarannya menggunakan strategi ekspositori ?

3. Apakah kemampuan berpikir kreatif matematis pada siswa yang diajarkan dengan strategi konflik kognitif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan strategi ekspositori ?

4. Apakah strategi konflik kognitif lebih efektif dibandingkan strategi ekspositori dalam mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa ?


(26)

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis kemampuan berpikir kreatif matematis pada siswa yang diajarkan dengan menggunakan strategi konflik kognitif.

2. Menganalisis kemampuan berpikir kreatif matematis pada siswa yang melakukan pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi ekspositori.

3. Membandingkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan strategi konflik kognitif dengan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang diajarkan dengan strategi ekspositori.

4. Membandingkan efektivitas strategi konflik kognitif dengan strategi ekspositori dalam mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi guru, sebagai informasi untuk memperoleh gambaran mengenai penerapan strategi konflik kognitif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif strategi pembelajaran matematika di kelas.

2. Bagi sekolah, dapat digunakan sebagai bahan sumbangan pemikiran penggunaan strategi konflik kognitif dalam rangka memperbaiki kemampuan berpikir kreatif di sekolah tersebut.

3. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dan bahan rujukan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai strategi konflik kognitif.


(27)

8

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Edward de Bono menyebutkan bahwa “berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai suatu tujuan. Tujuan itu mungkin berbentuk pemahaman, pengambilan keputusan, perencanaan, pemecahan masalah, penilaian, tindakan, dan sebagainya”.1 Bahan dasar berpikir adalah pengetahuan dan informasi. Namun, informasi dan pengetahuan yang sempurna tidak akan menimbulkan kegiatan berpikir. Untuk itu dalam pembelajaran, informasi tidak seharusnya diberikan dalam keadaan yang tersusun rapi. Informasi ini diperoleh siswa dengan menyimak pengalaman, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mengetahui dimana mencari informasi tersebut, dan dengan membuat berbagai asumsi. Dengan demikian, berpikir merupakan upaya untuk menarik informasi dari pengalaman.

a. Pengertian Berpikir Kreatif Matematis

Krulik dan Rudnik menjelaskan bahwa, “Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat asli, reflektif dan menghasilkan suatu produk yang kompleks. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide, membangun ide-ide baru dan menentukan efektivitasnya, membuat keputusan serta

menghasilkan produk yang baru”.2

Menurutnya, tingkat berpikir seseorang dimulai dengan ingatan (recall) kemudian penalaran (reasoning). Dalam penalaran dikategorikan berpikir dasar (basic thinking), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian dan menghasilkan produk

1

Edward de Bono, Buku Mengajar Berpikir. Ter. dari Teaching Thinking oleh Soemardjo, (tt.p.: Erlangga, 1992), Cet. 2, h 36.

2

Tatag Eko Yuli Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (tt.p.: Unesa University Press, 2008), h. 21.


(28)

yang baru dan komplek melalui mensintesis, membangun, dan menerapkan ide-ide.3

Berpikir kreatif memperhatikan berpikir logis maupun intuitif untuk menghasilkan ide-ide. Oleh karena itu, seseorang menggunakan otak bagian kanan dan bagian kirinya dalam berpikir kreatif. Jika seseorang berpikir logis terlalu banyak maka ide-ide kreatif akan terabaikan. Dengan demikian keseimbangan logika dan intuitif sangat penting karena keduanya saling menunjang dan tidak dapat dipisahkan.

Sementara menurut Sumarmo, berpikir kreatif memuat aspek keterampilan kognitif, afektif, dan metakognitif. Keterampilan kognitif tersebut antara lain: mengidentifikasikan masalah dan peluang, menyusun pertanyaan yang baik dan berbeda, mengidentifikasi data yang relevan dan yang tidak relevan, masalah dan peluang yang produktif; menghasilkan banyak idea (fluency), idea yang berbeda (flexibility), dan produk atau idea baru (originality), memeriksa dan menilai hubungan antara pilihan dan alternatif, mengubah pola pikir dan kebiasaan lama, menyusun hubungan baru, memperluas, dan memperbarui rencana atau idea.4

Munandar mengatakan bahwa “Berpikir kreatif (juga disebut berpikir divergen) ialah memberikan macam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman jumlah dan kesesuaian”.5

Dua dari tiga pengertian berpikir kreatif menurut para ahli terdapat

komponen yang sama, yaitu menghasilkan sesuatu yang “baru” atau

memperhatikan kebaruan. Berpikir kreatif dapat diartikan proses mental yang menghasilkan suatu ide yang baru, menghasilkan ide yang banyak dan beragam untuk memperbaiki keadaan atau menyelesaikan masalah. Ide yang baru tidak seluruhnya harus baru, bisa jadi yang baru adalah

3

Ibid., h. 28-31.

4 Utari Sumarmo, Makalah “Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik”, FMIPA UPI, Bandung, Januari 2010, h. 10.

5Andri Suryana, “Kemampuan Berpikir Matema

tis Tingkat Lanjut (Advanced Mathematical Thinking) dalam Mata Kuliah Statistika Matematika I,” makalah dipresentasikan pada Seminar

Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 10 November 2012, h. 44.


(29)

10

gabungan atau kombinasi yang digunakan, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya.

Menurut Pehnoken, “Kreativitas tidak hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu, seperti seni, sastra, atau sains, melainkan juga ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk matematika”.6 Kreativitas dalam pembelajaran matematika disebut juga berpikir kreatif matematis dan menekankan pada prosesnya. Krutetski mendefenisikan “Kemampuan berpikir kreatif matematis sebagai kemampuan menemukan solusi masalah matematika secara mudah dan fleksibel”.7 Menurut Livne, “Berpikir kreatif matematis merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan solusi bervariasi yang bersifat baru terhadap masalah matematika yang bersifat terbuka.”8 Ervyck memberikan defenisi tentatif tentang kreativitas

matematika. “Kreativitas matematika adalah kemampuan untuk memecahkan masalah dan atau mengembangkan struktur berpikir, melakukan perhitungan yang aneh dari disiplin logika deduktif, dan kemampuan membangun konsep yang terintegrasi ke dalam inti yang penting dalam matematika”.9

Dalam penelitian ini kemampuan berpikir kreatif matematis dipandang sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen untuk menghasilkan ide dengan banyak kemungkinan dengan lancar, memberikan bermacam-macam penafsiran terhadap suatu gambar, cerita atau masalah, serta mampu memberikan ide atau gagasan yang baru. Dengan demikian, berpikir keratif matematis merupakan kemampuan yang meliputi berpikir lancar (fluency), berpikir fleksibel (flexibility), dan berpikir kebaruan (novelty) dalam menggunakan konsep-konsep matematika untuk menemukan solusi masalah matematika.

6 Ali Mahmudi, “Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis,” makalah disajikan

pada Konferensi Nasional Matematika XV, UNIMA, Manado, 30 Juni – 3 Juli 2010, h. 3.

7

Ibid.

8

Ibid.

9Akhmad Jazuli, “Berpikir Kreatif Dalam Kemampuan Komunikasi Matematika,” Prosiding

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, UNY, Yogyakarta, 5 Desember 2009, h. 213.


(30)

b. Indikator Berpikir Kreatif Matematis

Untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, digunakan ketentuan penilaian berupa indikator kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. Dalam penelitian ini indikator berpikir kreatif mengacu pada tiga aspek kemampuan berpikir kreatif menurut Silver yakni, berpikir lancar (fluency), berpikir luwes (flexibility), dan berpikir kebaruan (novelty).10

Silver menjelaskan bahwa untuk menilai kemampuan berpikir kreatif anak-anak dan orang dewasa sering digunakan “The Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT)”. Tiga komponen kunci yang dinilai dalam berpikir kreatif menggunakan TTCT adalah kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility), dan kebaruan (novelty). Kefasihan mengacu pada banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespons sebuah perintah. Fleksibilitas tampak pada perubahan-perubahan pendekatan ketika merespons perintah. Kebaruan merupakan keaslian ide yang dibuat dalam merespons perintah.11

Banyaknya ide-ide yang dibuat dalam merespons sebuah perintah ini dalam artian bahwa siswa mampu memberikan banyak jawaban yang relevan. Sementara perubahan–perubahan pendekatan ditandai dengan siswa memberikan cara–cara penyelesaian lain yang berbeda. Sedangkan keaslian ide yang dibuat dalam merespons perintah ditandai dengan membuat metode penyelesaian atau jawaban yang baru.

Menurut Haylock “Kefasihan artinya banyaknya respons (tanggapan)

yang dapat diterima atau sesuai (the number of acceptable response)”.12 Olson menyebutkan bahwa “Kefasihan merupakan kemampuan

menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan masalah secara lancar

dan cepat”.13

Kedua definisi di atas bermuara pada definisi berpikir lancar yang Silver berikan, yakni mengacu pada banyaknya ide-ide yang dibuat dalam

10 Abdul Aziz Saefudin, “Pengembangan Kemampuan Ber

pikir Kreatif Siswa dalam Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI),” Al-Bidayah, Vol.4, No.1, Juni 2012, Yogyakarta, h. 42.

11

Tatag Eko Yuli Siswono, Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (tt.p.: Unesa University Press, 2008), h. 23.

12

Ibid., h. 22.

13


(31)

12

merespons sebuah perintah. Silver nampak tidak membatasi aspek berpikir lancar (fluency) dengan waktu karena seseorang dapat berpikir lancar jika ia dalam keadaan yang kondusif tanpa tekanan.

Kiesswetter menyatakan bahwa “Kemampuan berpikir fleksibel yang merupakan salah satu aspek kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki siswa dalam menyelesaikan

masalah matematika.”14

Sejalan dengan Kiesswetter, Kurtetskii mengidentifikasi bahwa “Fleksibilitas dari proses mental sebagai suatu komponen kunci kemampuan kreatif matematis pada siswa-siswa (flexibility of mental processes as a key component of creative mathematical ability in school-children).”15

Senada dengan Silver, Haylock menyebutkan bahwa ”Fleksibilitas artinya banyaknya jenis respon yang berbeda (the number of different kinds of response)”.16 Aspek fleksibilitas ini lebih menekankan pada banyaknya ide-ide berbeda yang digunakan dalam menyelesaikan masalah matematika.

Martin mengemukakan “Fleksibilitas merujuk pada kemauan untuk memodifikasi keyakinan berdasarkan informasi baru. Seseorang yang tidak berpikir fleksibel tidak mudah mengubah ide atau pandangan mereka meskipun ia mengetahui terdapat kontradiksi antara ide yang dimiliki dengan ide baru.”17 Fleksibilitas ini mengacu pada produksi gagasan yang menunjukkan berbagai kemungkinan, melibatkan kemampuan untuk melihat berbagai hal dari sudut pandang yang berbeda, dan menggunakan banyak strategi atau pendekatan yang berbeda.

Indikator keaslian dapat ditunjukkan dari kebaruan. Ide yang baru tidak seluruhnya harus baru, bisa jadi yang baru adalah gabungan atau kombinasi yang digunakan, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada

14 Ali Mahmudi, “Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis,” makalah disajikan

pada Konferensi Nasional Matematika XV, UNIMA, Manado, 30 Juni – 3 Juli 2010, h. 3.

15

Tatag Eko Yuli Siswono, op.cit., h. 22.

16

Ibid.

17 Ali Mahmudi, “Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis,” makalah disajikan


(32)

sebelumnya. Kebaruan juga dapat dilihat dari solusi yang berbeda dalam suatu kelompok artinya satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh siswa pada tingkat pengetahuannya yang dapat dilihat dari kejarangan jawaban pada suatu kelompok. Sependapat dengan Haylock “Keaslian artinya kejarangan tanggapan (respon) dalam kaitan dalam sebuah kelompok pasangannya (the statistical infrequency of the responsses in relation to the peer group)”.18

Peneliti merumuskan indikator berpikir kreatif matematis dalam Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Indikator Aspek Berpikir Kreatif Matematis

No Aspek Indikator

1. Berpikir lancar (fluency)

 Memberikan beragam jawaban yang lengkap dan benar.

2. Berpikir fleksibel (flexibility)

 Memberikan cara penyelesaian yang berbeda-beda dan logis untuk penyelesaian masalah.

3. Berpikir kebaruan (novelty)

 Memberikan jawaban yang unik (gabungan atau kombinasi dari unsur-unsur yang telah ada).

c. Contoh Soal Berpikir Kreatif Matematis

Berikut ini disajikan contoh soal dan pembahasan yang mengukur kemampuan berpikir kreatif berdasarkan aspek berpikir lancar (fluency), berpikir fleksibel (flexibility), dan berpikir kebaruan (novelty) menurut Siswono.

Diketahui persegipanjang berikut.

12 cm

8 cm

Buatlah bangun datar lain yang luasnya sama dengan persegipanjang di atas !19

18

Tatag. loc.cit.

19


(33)

14

Misalnya, siswa menjawab dengan membuat tiga buah segitiga yang ukurannya berturut-turut alasnya 16 cm dan tinggi 12 cm, alasnya 24 cm dan tinggi 8 cm, alasnya 6 cm dan tinggi 32 cm. Siswa tersebut dikatakan memenuhi aspek berpikir lancar (fluency). Jika siswa membuat bangun datar lain, seperti trapesium dan belah ketupat dengan luas yang sama dengan persegi panjang yang diketahui, maka ia dikatakan memenuhi aspek berpikir fleksibel (flexibility). Jika siswa membuat bangun datar yang merupakan gabungan-gabungan bangun lain yang berbeda dengan luas yang sama dengan persegi panjang yang diketahui, maka ia dikatakan memenuhi aspek berpikir kebaruan.20

Siswa dikatakan memenuhi aspek berpikir lancar karena siswa dapat memberikan banyak (lebih dari satu) jawaban walaupun jawabannya itu masih mengikuti pola tertentu atau masih dalam satu kategori, seperti memberikan bangun datar yang sama namun ukuran yang berbeda. Jika dari respon-respon siswa tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori atau tidak mengikuti pola tertentu, maka siswa tersebut dikatakan memenuhi aspek berpikir fleksibel. Sementara, respon siswa tersebut dikatakan baru jika unik, tidak biasa, dan hanya dilakukan oleh sedikit sekali siswa.

Contoh soal berpikir lancar (fluency) lainnya yaitu:21

Ida akan membuat kue yang memerlukan 5 kg tepung terigu. Ia hanya memiliki takaran yang ukurannya ½ kg dan ¾ kg untuk menakar tepung tersebut. Berapa takar tepung yang diperlukan untuk membuat kue tersebut? Jelaskan jawabanmu.

Terdapat kemungkinan jawaban, yaitu sebagai berikut.

Takaran ½ kg Takaran ¾ kg Berat Tepung Banyak Takaran

10 0 5 kg 10

4 4 5 kg 8

Banyaknya takaran yang memungkinkan adalah sebagai berikut.

Sebanyak 10 takaran ukuran ½ kg atau

Sebanyak 4 takaran ½ kg dan 4 takaran ¾ kg

20

Ibid., h. 46.

21

Ali Mahmudi, Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pembelajaran Topik Pecahan, Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Aljabar, Pengajaran, dan Terapannya dengan tema Kontribusi Aljabar dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Penelitian dan Pembelajaran Matematika untuk Mencapai World Class University, FMIPA UNY Yogyakarta, 31 Januari 2009, h. 8. Diunduh pada 29 januari 2014 jam 10:56 WIB. http://eprints.uny.ac.id/7432/1/m-16.pdf


(34)

Dari soal tersebut terlihat bahwa terdapat lebih dari satu jawaban yang mungkin diberikan oleh siswa. Sehingga soal ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir lancar (fluency). Semakin tinggi kemampuan berpikir lancar siswa, maka ia dapat memberikan jawaban lebih dari satu yang relevan dengan pemecahan masalah dan pengungkapannya lengkap serta jelas.

Contoh soal berpikir fleksibel (flexibility) lainnya yaitu:22

Diagram batang berikut menunjukkan acara TV favorit seluruh siswa SMP Cerdas Cendikia.

Berdasarkan informasi pada diagram di atas, Buatlah 3 pernyataan berbeda yang berkaitan dengan topik pecahan.

Beberapa pernyataan yang mungkin disusun adalah sebagai berikut:

Sebanyak ¼ siswa laki-laki menjadikan kartun sebagai acara favorit mereka.

Sebanyak 20 % siswa perempuan menjadikan olahraga sebagai acara favorit mereka.

Perbandingan banyaknya siswa laki-laki dan siswa perempuan yang menyukai sinetron adalah 3 : 8.

Dari jawaban soal tersebut nampak bahwa siswa menggunakan pendekatan yang berbeda-beda. Siswa menggunakan pendekatan bilangan pecahan, presentase, dan perbandingan. Dengan demikian kemampuan berpikir fleksibel siswa dapat terukur. Semakin tinggi kemampuan berpikir fleksibel (flexibility) siswa maka ia akan memberikan jawaban lebih dari satu cara atau pendekatan penyelesaian yang berbeda-beda dan hasilnya benar.

22


(35)

16

Contoh berpikir kebaruan yang lainnya:23

Misal diperoleh informasi bahwa dari seluruh uang logam yang beredar di Indonesia, sebanyak 55% merupakan uang ratusan, 35% uang lima ratusan, dan 10 persen uang ribuan. Menurut Yeni, nilai seluruh uang ratusan lebih besar daripada nilai seluruh uang ribuan. Sedangkan Wati mengatakan sebaliknya. sementara menurut Retno hal itu bergantung pada banyaknya seluruh uang logam yang beredar tersebut. Siapakah yang benar? Jelaskan jawabanmu.

Jawabannya adalah pendapat Yeni yang benar. Karena satu koin uang ribuan senilai dengan 10 koin uang ratusan, maka nilai seluruh uang ratusan akan sama dengan nilai seluruh uang ribuan jika presentase banyaknya uang ratusan tersebut sama dengan 10 kali presentase banyaknya uang ribuan. Karena presentase banyaknya uang ratusan (55%) kurang dari 10 kali presentase banyaknya uang ribuan, maka nilai seluruh uang ribuan lebih besar daripada nilai seluruh uang ratusan. Hal itu tidak bergantung pada banyaknya uang yang beredar.

Melalui soal ini siswa dituntut untuk berpikir kebaruan. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kebaruan (novelty) tinggi adalah siswa yang memberikan jawaban dengan cara sendiri dan proses perhitungan serta hasilnya benar atau dapat pula ditandai dengan jarangnya siswa yang menjawab demikian.

2. Strategi Konflik Kognitif dalam Pembelajaran Matematika

“Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.”24 Dalam penelitian ini strategi pembelajaran matematika yang digunakan adalah strategi konflik kognitif.

a. Pengertian Strategi Konflik Kognitif

Belajar menurut Anthony Robbins adalah proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang sudah dipahami dan sesuatu

23

Ibid., h.10.

24

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 139.


(36)

(pengetahuan) yang baru. Senada dengan pandangan Anthony Robbins tersebut, Jerome Burnner mengemukakan bahwa pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstruk) pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman/ pengetahuan yang sudah dimilikinya.25 Jadi makna belajar di sini bukan berangkat dari sesuatu yang benar-benar belum diketahui (nol), tetapi mengaitkan dari dua pengetahuan yang sudah ada dengan pengetahuan baru sehingga menyatu menjadi pengetahuan yang lebih kompleks. Belajar bukan semata-mata mentransfer pengetahuan baru yang ada di luar diri seseorang, melainkan sebuah proses berpikir.

Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransormasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Siswa harus bekerja memecahkan masalah, menemukan informasi, dan memberdayakan ide-ide agar dapat memahami dan menerapkan pengetahuan.

Prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivis menurut Suparno adalah sebagai berikut:26

1) Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial.

2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar.

3) Siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.

4) Guru berperan sebagai fasilitator menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan siswa berjalan mulus.

Jean Piaget penganut aliran kognitif mewakili teori konstruktivisme, menyebutkan bahwa “struktur kognitif merupakan kumpulan dari

25

Ibid., h.38.

26


(37)

18

skema (schemata).”27 Lebih lengkap lagi Jeane mendefinisikan bahwa

“skema (schemes) merupakan kumpulan tindakan dan pikiran yang serupa, yang digunakan secara berulang dalam rangka merespon lingkungan.”28

Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Pada awalnya skema-skema tersebut bersifat motorik, namun seiring berlalunya waktu menjadi lebih bersifat mental, dan akhirnya abstrak. Skemata ini dimodifikasi terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya (pengalaman), sehingga menjadi terintegrasi satu sama lain. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut.

Proses adaptasi dengan lingkungannya ini dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, kerena tidak ada skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses akomodasi, skema yang ada memodifikasi diri atau menciptakan skema baru sehingga sesuai dengan stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan demikian proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan skema, melainkan hanya menunjang pertumbuhan skemata secara kuantitas. Sedangkan pada akomodasi menghasilkan perubahan skemata secara kualitas.

Misalnya, bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pegintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada di benak

27

Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA- Universitas Pedidikan Indonesia (UPI), 2001), h. 38.

28

Jeane Ellis Ormrod, Buku Edisi Keenam Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Terj. dari Sixth Edition Educational Psychology Developing Learners oleh Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk, (Jakarta: Erlangga, 2008), Jilid 1, h. 41.


(38)

siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) inilah yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik.29

Jika asimilasi dan akomodasi terjadi secara bebas (tanpa konflik), maka dikatakan bahwa struktur kognitif berada dalam keadaan ekuilibrium dengan lingkungannya. Namun sebaliknya, jika asimilasi dan akomodasi tidak terjadi secara bebas (konflik) maka dikatakan bahwa struktur kognitif berada dalam keadaan disekuilibrium dengan lingkungannya atau ketidakseimbangan antara apa yang dipahami dengan apa yang ditemukan.

Keadaan disekuilibrium ini mungkin saja dialami oleh siswa karena situasi/ masalah yang sepenuhnya tidak dapat ditangani dengan skema yang ada. Hal ini terjadi karena siswa kekurangan data sehingga informasi yang didapat tidak cocok dengan pengetahuan atau struktur kognitif (schemata) yang dimiliki, sehingga informasi yang ada tidak dapat diasimilasi, akibatnya proses akomodasipun tidak terjadi terhadap informasi tersebut.30

Pada dasarnya siswa mencoba untuk mengurangi ketidakseimbangan dengan fokus pada stimulus yang menyebabkan disekuilibrium dan kemudian mengembangkan skema baru atau menyesuaikan skema lama hingga ekuilibrium pulih kembali. Proses pemulihan keseimbangan ini disebut ekuilibrasi. Menurut Piaget, pembelajaran bergantung pada proses ekuilibrasi ini. Ketika ekuilibrium terganggu, anak-anak mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya, secara kualitatif muncul cara baru untuk berpikir menyelesaikan masalah, dan anak-anak melangkah ke tahap perkembangan baru.31

29

Hamzah B. Uno, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h.10-11.

30Dasa Ismaimuza, “Pembelajaran Matematika dengan Konflik Kognitif”, Seminar Nasional

Matematika dan Pendidikan Matematika, Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tadulako Palu, Palu, 2008, h. 164.

31

Robert E. Slavin, Buku Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik Terj. dari Educational Psycology: Theory and Practice oleh Marianto Samosir, (Jakarta: Indeks, 2008), Ed. Ke-8, Jilid 1, h. 44.


(39)

20

Jeane menyebutkan bahwa ekuilibrasi merupakan pergerakan dari ekuilibrium ke disekuilibrium dan kembali lagi ke ekuilibrium.32

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah konflik yang menyebabkan ketidaklancaran proses asimilasi dan akomodasi dapat memicu proses ekuilibrasi. Proses ekuilibrasi akan mendorong perkembangan kemampuan berpikir dan peningkatan pengetahuan siswa. Namun, konflik harus dapat membuat siswa yang bersangkutan melakukan usaha untuk menjaga stabilitas mental dalam dirinya karena tanpa proses penyeimbangan ini, perkembangan kognitif seseorang justru akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur.

Sejalan dengan Bono yang menyebutkan bahwa satu-satunya metode yang tersedia untuk mengubah atau mengganti gagasan adalah konflik yang berlangsung dalam dua cara. Pada cara pertama terdapat konfrontasi langsung antara dua gagasan yang saling bertentangan, dimana terdapat gagasan yang mendominasi. Gagasan yang mendominasi ini menekan gagasan lainnya, namun tidak mengubah gagasan lainnya. Pada cara kedua terdapat konflik antara informasi baru dan gagasan lama. Akibat dari konflik ini gagasan lama diperkirakan akan berubah. Inilah metode ilmu pengetahuan yang selalu berupaya membangkitkan informasi baru guna menggoyahkan gagasan lama dan menghasilkan gagasan baru.33

Sebagai contoh disekuilibrium, Abby, 4 tahun, diberikan sepuluh manik-manik kayu (delapan berwarna cokelat dan dua berwarna putih),

dan ditanyakan kepadanya “Mana yang lebih banyak manik-manik cokelat atau manik-manik kayu?” Abby menjawab bahwa terdapat lebih banyak manik-manik cokelat, dan ia tampaknya merasa senang dengan jawaban tersebut. Abby berada dalam kondisi ekuilibrium. Tampaknya Abby memiliki kesulitan membayangkan manik-manik cokelat sebagai anggota dari dua kategori (cokelat dan kayu) pada saat yang bersamaan, sehingga ia membandingkan manik-manik cokelat dengan manik-manik yang tersisa (yakni yang berwarna putih). Oleh karena itu, Abby diminta untuk menghitung manik-manik cokelat (ia menghitung delapan) dan kemudian menghitung manik-manik kayu (ia

menghitung sepuluh). Kemudian ditanyakan lagi pada Abby “Jadi,

mana lebih banyak, manik-manik cokelat atau manik-manik kayu?” Jika Abby mengenali inkonsistensi penalarannya––delapan tidak

32

Jeane Ellis Ormrod, Buku Edisi Keenam Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Terj. dari Sixth Edition Educational Psychology Developing Learners oleh Wahyu Indianti, Eva Septiana, dkk, (Jakarta: Erlangga, 2008), Jilid 1, h. 41.

33

Edward de Bono, Buku Berpikir Lateral, Terj. dari Lateral Thinking oleh Sutoyo, (tt.p.: Erlangga, 1991),Cet. 3, h. 9.


(40)

mungkin lebih banyak dari sepuluh––ia akan mengalami disekuilibrium. Pada titik ini ia mungkin mengorganisasikan ulang pemikirannya untuk mengakomodasi gagasan bahwa sejumlah manik-manik berwarna cokelat sekaligus terbuat dari kayu, sehingga harus digolongkan sekaligus ke dalam kedua kategori tersebut.34

Selanjutnya, Piaget percaya bahwa pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan sangat berperan penting agar terjadi perubahan perkembangan. Interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya perdebatan dan diskusi membantu untuk memperjelas pemikiran dan pada akhirnya menjadikannya lebih logis. Dengan demikian, dunia ini berfungsi sebagai sarana untuk memajukan perkembangan kognisi siswa jika menghadapkan mereka dengan pengalaman atau data yang tidak cocok dengan teori mereka sekarang.

Ada banyak istilah yang digunakan para peneliti dalam menggambarkan dan menjelaskan konflik kognitif, seperti ketidakcocokan kognitif (dissonance cognitive), kesenjangan kognitif (gap cognitive), konflik konsep (conceptual cognitive), ketidaksesuaian (discrepancy), disequilibrium, konflik internal (internal conflict).35

Konflik kognitif telah sejak lama diteliti sebagai strategi dalam pembelajaran, awalnya dalam pembelajaran fisika dan saat ini telah mengalami perkembangan sehingga strategi ini dapat juga digunakan dalam pembelajaran matematika diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Dasa Ismaimuza pada tahun 2008 mengenai pembelajaran matematika dengan konflik kognitif, Pada tahun 2009 Lucy Sayce mengemukakan tahapan-tahapan pelaksanaan konflik kognitif dalam

pembelajaran matematika dalam “The Route to Cognitive Conflict”, serta

Asdar pada tahun 2012 melakukan penelitian pengembangan desain pembelajaran berorientasi model konflik konseptual dalam pemecahan masalah matematika (MKKPM) pada materi geometri.

The cognitive conflict strategy is based on the idea that by introducing anomalous data or discrepant events into learning, learners

34

Jeane Ellis Ormrod, op. cit.., h. 42-43.

35Dasa Ismaimuza, “Pembelajaran Matematika dengan Konflik Kognitif”, Seminar Nasional

Matematika dan Pendidikan Matematika, Pendidikan Matematika FKIP Universitas Tadulako Palu, Palu, 2008, h. 158.


(41)

22

are caused to recognize that their existing understanding cannot explain the evidence presented.”36 kutipan tersebut menjelaskan bahwa strategi konflik kognitif adalah strategi yang berdasarkan ide dengan mengajukan data yang menyimpang atau kejadian yang tidak sesuai ke dalam pembelajaran, sehingga siswa mengakui bahwa pemahamannya tidak dapat menjelaskan fakta yang disajikan.

Strategi ini berkembang berdasarkan pada asumsi yang menyebutkan bahwa pengetahuan siswa sebelumnya mempengaruhi bagaimana cara mereka mempelajari pengetahuan yang baru dan membentuk gambaran ide yang baru. Setelah siswa menyadari bahwa pemahaman awalnya tidak sejalan dengan pengetahuan barunya, disinilah peran guru untuk memberikan scaffolding. Teman pun bisa menjadi scaffolding bagi siswa yang mengalami konflik kognitif tersebut. Selain melalui scaffolding, konflik pada siswa juga dapat diselesaikan dengan membaca buku, melakukan observasi/eksperimen, diberikan kontradiksi, analogi, contoh-contoh tandingan, atau berdiskusi. Guru memberikan siswa waktu untuk merubah ide nya.

Strategi konflik kognitif merupakan strategi alternatif dalam pembelajaran matematika yang sengaja menghadirkan konflik kognitif (data yang menyimpang atau situasi yang tidak sesuai) sebagai upaya untuk membiasakan siswa dan memberi pengalaman bagaimana menghadapi suatu situasi yang tidak dikehendaki, memberi tantangan dan kesempatan kepada siswa untuk memantapkan pengetahuan dan keterampilan berpikir matematis yang dimilikinya, dalam hal ini berpikir kreatif matematis. Jika sudah mencapai proses equilibrium (konflik terselesaikan), perkembangan kognitif siswa akan berjalan dengan lancar. Artinya, informasi baru dapat disimpan dalam bentuk jaringan yang saling berkaitan dengan informasi sebelumnya. Selanjutnya menurut Tulving, informasi baru yang cocok masuk ke dalam suatu skema yang telah

36

David Heywood dan Joan Parker, Contemporary Trends And Issues In Science Education The Pedagogy of Physical Science, (London: Springer, t.t.) p. 66.


(42)

dikembangkan dengan baik terserap jauh lebih cepat daripada informasi yang tidak cocok masuk kedalam suatu skema.37

b. Tahapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi Konflik Kognitif Menurut Lee dan Kwon strategi konflik kognitif memiliki 3 langkah, yakni preliminary stage, conflict stage, and resolution stage.38

Tahap-tahap pembelajaran pada penelitian ini didesain sebagaimana sintaks berikut ini:

1) Preliminary stage

Sebelum melaksanakan proses pembelajaran guru mengidentifikasi miskonsepsi yang umum terjadi pada siswa. Kemudian miskonsepsi ini dihadirkan dalam bahan ajar pada proses pembelajaran.

Pada tahap kegiatan inti dalam proses pembelajaran diawali dengan prakonsepsi. Pada kegiatan prakonsepsi guru memfasilitasi siswa memperoleh pengetahuan awal. Kemudian, pengetahuan awal ini akan dibawa kepada suatu pengalaman belajar atau informasi baru.

2) Conflict stage

Konflik kognitif yang dihadirkan pada tahap ini berupa miskonsepsi atau masalah non rutin yang mengkonflikkan prakonsepsi siswa dalam prakonsepsi. Pada tahap ini siswa memahami konflik secara individual dan mendiskusikan hasil pemikiran melalui belajar kelompok dengan tujuan agar siswa terlatih bekerjasama, berkomunikasi, menumbuhkan rasa toleransi dalam perbedaan saling memberi ide dalam penyelesaian konflik, saling membantu dan berbagi informasi. Setiap anggota kelompok menuangkan hasil pemikiran dalam LKS yang dirancang oleh guru. Kemudian siswa merencanakan

37

Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 36.

38Gyoungho Lee dan Kwon Jaesool,”What Do We Know About Students’ Cognitive Co

nflict In Science Classroom: A Theoretical Model of Cognitive Conflict Process”, Prosiding Annual Meeting of the Association for the Education of Teachers in Science, Costa Mesa, CA, 18-21 Januari, 2001, h. 10.


(43)

24

strategi yang digunakan untuk menyelesaikan konflik beserta alternatif nya.

3) Resolution stage

Pada tahap ini guru mengorganisasikan siswa untuk belajar dan mengatasi konflik sesuai rencana pada tahap sebelumnya. Guru atau siswa yang tidak mengalami konflik dapat memberikan batuan berupa pertanyaan-pertanyaan bertahap (scaffolding), demonstrasi, analogi, contoh-contoh tandingan (counter example), atau eksperimen kepada siswa yang tidak dapat menyelesaikan konflik. Selama siswa mengalami konflik, pada saat itu juga guru perlu mengamati perilaku yang ditampilkan siswa tersebut. Kemudian siswa mengecek kembali resolusi konflik secara berkelompok.

Setelah resolusi konflik diperoleh, guru memfasilitasi siswa untuk mengembangkan dan menyajikan hasil pemecahan masalah (communication). Kriteria untuk memilih hasil diskusi kelompok yang dipresentasikan antara lain jawaban kelompok berbeda dengan jawaban dari kelompok lain, ada ide penting dalam hasil diskusi kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus. Dengan demikian kelompok penyaji bisa lebih dari satu. Kelompok lainnya diberi kesempatan untuk menanggapi berupa kritikan disertai alasan-alasan, masukan bandingan pemikiran, sesekali guru mengajukan pertanyaan yang dapat ditanggapi oleh semua kelompok.

Tahapan ini diakhiri dengan evaluasi dan refleksi. Guru memfasilitasi pembahasan hasil-hasil pemecahan masalah yang dilakukan kelompok siswa. Memberikan stempel kreatif bagi siswa yang aktif dan memotivasi siswa yang belum aktif. Siswa mengevaluasi pemecahan masalah tersebut dan memperkuat atau merekonstruksi pemahaman konsep yang telah dimilikinya.


(44)

3. Strategi Ekspositori dalam Pembelajaran Matematika a. Pengertian Strategi Pembelajaran Ekspositori

Wina menjelaskan bahwa “strategi ekspositori adalah strategi

pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa untuk sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara

optimal”.39

Berdasarkan defenisi tersebut, strategi ekspositori lebih menekankan pada pemberian konsep materi pelajaran dan memberikan contoh-contoh latihan soal dalam bentuk ceramah, tanya jawab, dan penugasan.

b. Karakteristik Strategi Pembelajaran Ekspositori

Wina menyampaikan terdapat beberapa karakteristik dan ciri-ciri dari strategi ekspositori, yaitu:40

1) Penyampaian materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang-orang mengidentifikasikannya dengan ceramah.

2) Materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihapal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang. 3) Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu

sendiri. Siswa diharapkan dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan kembali materi yang telah diuraikan.

Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan strategi ekspositori lebih berorientasi pada guru (teacher centered). Guru telah mengelola dan membuat bahan ajar yang telah dipersiapkan secara sistematis dan lengkap. Guru lebih aktif memberikan informasi atau menjelaskan materi

39

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. V, h. 177.

40


(45)

26

pembelajaran dengan memberi contoh-contoh soal serta penyelesaiannya, memberi kesempatan siswa untuk bertanya, dan sebagainnya. Sebaliknya siswa lebih pasif, siswa menerima informasi dari guru kemudian membuat rangkuman. Pada pembelajaran yang menerapkan strategi ekspositori cenderung hanya terjadi komunikasi satu arah (one way communication), yaitu guru dengan murid atau sebaliknya murid dengan guru.

c. Tahapan Pembelajaran Matematika dengan Strategi Ekspositori

Menurut Wina ada beberapa langkah dalam penerapan strategi ekspositori, yaitu:41

1) Persiapan (preparation) 2) Penyajian (presentation)

3) Menghubungkan (correlation)

4) Menyimpulkan (generalization)

5) Penerapan (application)

4. Efektivitas Dalam Pembelajaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan.42

Efektivitas pembelajaran merupakan tingkat keberhasilan guru dalam mengajar kelompok siswa tertentu dengan menggunakan strategi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, maka efektivitas pembelajaran merupakan kriteria penting dalam setiap pembelajaran.

Suatu pembelajaran disebut efektif manakala pembelajaran tersebut telah mencapai tujuan pendidikan. Tujuan yang diinginkan dalam pembelajaran itu mencakup pada penguasaan IPTEKS sebagai bahan ajar, pembentukan keterampilan/ kemampuan belajar yang lebih efektif dan efisien (belajar mengenai bagaimana cara belajar), bahkan pembentukan kemampuan meta-kognisi (kemampuan penegndalian proses kognitif itu sendiri).43

41

Ibid., h.183-188.

42

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), Ed. 4, h.352.

43

Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2009), Cet-1. h.262.


(46)

Hal ini senada dengan Watkins yang menyatakan bahwa efektivitas pembelajaran bisa dipertimbangakan jika konteks pembelajaran dan tujuannya telah ditentukan.44

Berikut ini beberapa pendapat mengenai suatu pembelajaran dikatakan efektif:

a. Menurut Nana Sudjana, pembelajaran yang efektif berorientasi pada proses (by process) dan hasil (by product).45 Sehingga diasumsikan bahwa semakin tinggi proses, maka semakin tinggi pula hasil yang dicapai. Dengan demikian penilaian efektivitas pembelajaran dapat menggunakan dua indikator, yaitu proses dan hasil pembelajaran.

b. Pupuh dan Sobry menyebutkan indikator efektivitas pembelajaran sebagai berikut:46

1) Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok;

2) Prilaku yang digariskan dalam tujuan pembelajaran khusus (TPK) telah dicapai oleh siswa baik secara individual maupun kelompok; 3) Terjadinya proses pemahaman materi yang secara sekuensial

(sequential) mengantarkan materi tahap berikutnya.

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, dalam penelitian ini efektivitas pembelajaran mengacu pada keberhasilan dari segi kognitif yaitu menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kemampuan awal dan akhir berpikir kreatif matematis (gain kemampuan berpikir kreatif matematis siswa). Pupuh dan Sobry juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pembelajaran yaitu sebagai berikut:47

44

Chris Watkins dkk, Effective Learning in Classroom, (London: Paul Chapman Publishing, 2007), Cet-1. p.17.

45Heru Kurniawan, “Upaya Peningkatan Efektivitas Pembelajaran Matematika Melalui Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) Pada Siswa Kelas V SD

Negeri Sidomulyo Tahun Pelajaran 2011/2012,” Prosiding Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan FMIPA UNY Yogyakarta, 10 November 2012, h. 370.

46

Pupuh Fathurrohman dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), Cet-3, h.113.


(47)

28

a. Tujuan

Tujuan pembelajaran merupakan pedoman arah yang akan dicapai dalam kegiaan belajar mengajar. Semakin jelas tujuan pembelajaran maka semakin mudah menentukan alat dan cara mencapainya.

b. Guru

Performance guru dalam mengajar dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepribadian, latar belakang pendidikan, pengalaman dan pandangan filosofis guru terhadap murid. Misalnya guru yang memiliki pandangan bahwa siswa laksana gelas kosong akan banyak menggunakan pendekatan metode yang teacher-centered. Hal ini dikarenakan siswa bisa diisi apapun. Padahal yang terpenting bagi guru adalah mengetahui siswa dengan segala potensi dan kekuatannya. c. Peserta Didik

Peserta didik dengan segala perbedaannya seperti motivasi, minat, bakat, perhatian, harapan, latarbelakang, dan sebagainya menyatu dalam sebuah sistem belajar dikelas. Perbedaan-perbedaan inilah yang dikelola dan diorganisir oleh guru untuk mencapai proses pembelajaran yang optimal.

d. Kegiatan Pengajaran

Kegiatan pengajaran meliputi lingkungan belajar serta gaya mengajar guru. Gaya mengajar guru dapat mempengaruhi gaya belajar siswa. Gaya mengajar menurut Muhammad ali yaitu gaya mengajar klasik, teknologis, personalisasi, dan interaksional. Perbedaan gaya mengajar yang digunakan guru dapat menyebabkan perbedaan kegiatan mengajar.

e. Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan harus benar-benar dapat mengevaluasi tujuan yang telah ditetapkan, bahan yang diajarkan, dan proses yang dilakukan.

47


(48)

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan strategi konflik kognitif dalam pembelajaran matematika yaitu:

1. Asdar, (2012) dengan judul penelitian “Strategi Konflik Kognitif Dalam

Pemecahan Masalah Geometri Siswa SMA di Kota Makassar”. Penelitian

ini menyebutkan bahwa strategi konflik kognitif dapat digunakan untuk memperkuat pemahaman konsep geometri siswa SMA. Strategi ini diterapkan dengan memberikan informasi dan pengetahuan baru yang menimbulkan konflik dalam pemahaman konsep siswa, kemudian melatihkannya untuk memecahkan konflik tersebut agar dapat memperkuat pemahaman konseptual siswa. Strategi ini dapat diterapkan dalam pembelajaran berbasis masalah.

2. Nur Fajriyani, (2012) dengan judul penelitian “Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Terhadap Kemampuan Penalaran Logis Siswa”. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa penalaran logis siswa yang menggunakan strategi konflik kognitif dalam pembelajaran matematika lebih tinggi dibandingkan dengan penalaran logis siswa yang menggunakan strategi konvesional dalam pembelajaran matematika.

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah proses mental yang menghasilkan suatu ide yang baru (novelty), menghasilkan ide yang banyak (fluency) dan berbeda-beda (flexibility) untuk memperbaiki keadaan atau menyelesaikan masalah. Ide yang baru tidak seluruhnya harus baru, bisa jadi yang baru adalah gabungan atau kombinasi yang digunakan, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya.

Banyak siswa yang masih memiliki kemampuan berpikir kreatif matematis yang rendah. Salah satu penyebabnya adalah strategi pembelajaran yang guru gunakan masih berorientasi pada guru. Guru menyajikan informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari, dilanjutkan dengan pemberian ilustrasi atau contoh soal, diskusi, tanya jawab, dan penugasan sampai akhirnya guru merasa


(49)

30

bahwa apa yang telah diajarkannya dapat dimengerti siswa. Sementara kegiatan siswa adalah duduk, memperhatikan dan mencatat penjelasan guru, menghafal, kemudian mengerjakan latihan. Latihan-latihan yang guru berikan pun tidak memfasilitasi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa, yakni latihan-latihan yang bersifat tertutup.

Adapun salah satu alternatif strategi pembelajaran yang diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu strategi konflik kognitif. Strategi konflik kognitif merupakan strategi yang menuntut keaktifan siswa dan menjadikan siswa pusat pembelajaran sehingga siswa berani mengungkapkan ide– ide. Konflik yang dihadirkan merupakan upaya untuk membiasakan siswa dan memberi pengalaman bagaimana menghadapi suatu situasi yang tidak dikehendaki, memberi tantangan dan kesempatan kepada siswa untuk memantapkan pengetahuan dan keterampilan berpikir matematis yang dimilikinya, dalam hal ini berpikir kreatif matematis.

Strategi konflik kognitif memiliki tiga tahap: preliminary stage, conflict stage, and resolution stage. Tahap pendahuluan (preliminary stage) merupakan tahapan prakonsepsi yakni guru mengidentifikasi miskonsepsi dan pemahaman awal siswa tentang aspek-aspek penting yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Kemudian konflik kognitif dihadirkan pada tahap yang kedua, yakni tahap konflik (conflict stage). Konflik ini dapat berupa miskonsepsi yang diidentifikasi pada tahap prakonsepsi ataupun soal dengan pendekatan pemecahan masalah yang dapat mengkonflikkan prakonsepsi siswa. Tahap yang terakhir adalah tahap penyelesaian konflik (resolution stage). Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan sendiri pemecahan masalahnya dengan cara scaffolding dari guru, berdiskusi dengan teman, menganalogikan, mengkontradiksikan, atau dengan memberikan contoh-contoh tandingan (counter example). Kemudian hasilnya dikomunikasikan dan dievaluasi.

Ketika siswa diberikan masalah yang berbasis konflik kognitif, siswa akan berpikir berdasarkan pengetahuan awalnya mengeluarkan ide-idenya dengan lancar atau bahkan siswa dapat menghasilkan ide-ide yang bersifat baru karena berbeda dari ide temannya yang lain. Ketika siswa sudah melewati tahapan


(50)

konflik kognitif, siswa akan memperbaharui konsep matematika nya yang mengalami miskonsepsi secara luwes dan logis. Dengan demikian diharapkan melaui pembelajaran dengan strategi konflik kognitif akan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

Kerangka berpikir pada penelitian ini disajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Penelitian D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya maka hipotesis pada penelitian ini adalah :

1. Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang menggunakan strategi konflik kognitif lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang menggunakan strategi ekspositori.

Tingginya Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Rendahnya Kemampuan

Berpikir Kreatif Matematis

Faktor Penyebab Strategi Konflik Kognitif Langkah-langkahnya : A. Tahap pendahuluan (Preliminary stage)

B. Tahap konflik

(conflict stage) C. Tahap

penyelesaian konflik

(resolution stage)

Tahap-tahap pada

stretegi konflik

kognitif dapat melatih kemampuan berpikir kreatif matematis: A. Berpikir lancar

(fluency)

B. Berpikir fleksibel (fleksibility) C. Berpikir kebaruan

( novelty)

A. Strategi

pembelajaran yang diterapkan belum melatih

kemampuan berpikir kreatif siswa.

B. Pembelajaran masih berpusat pada guru.

C. Tidak dibiasakan

dengan soal

kemampuan berpikir kreatif.

Alternatif Strategi


(51)

32

2. Strategi konflik kognitif lebih efektif dibandingkan dengan strategi ekspositori dalam mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)