Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa di Sekolah Menengah Atas.

(1)

ABSTRAK ………... ABSTRACT ………

i ii

KATA PENGANTAR ………... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ………. V DAFTAR ISI ……….. X DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ………... DAFTAR GRAFIK ………. xiv xv DAFTAR LAMPIRAN ………. xv

BAB I PENDAHULUAN ………..……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Identifikasi Masalah ……… 11

C. Pertanyaan Penelitian ……….. 11

D. Tujuan Penelitian ………... 12

E. Manfaat Penelitian ………... 12

F. Asumsi Penelitian ……… 13

BAB II MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KOLABORATIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BELAJAR SISWA ... 15 A. Konsep Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ...

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 2. Perkembangan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif 3. Landasan Filsafat Bimbingan dan Konseling

Kolaboratif... 4. Pendekatan dalam Bimbingan dan Konseling Kolaboratif . 5. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 6. Bidang Bimbingan dan Konseling Kolaboratif... 7. Prosedur Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ...

15 18 28 34 35 41 48 50


(2)

10.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 75 B. Keterampilan Belajar ...

1. Pengertian Keterampilan Belajar ...

2. Aspek-Aspek Keterampilan Belajar...

C. Relevansi Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dengan Keterampilan Belajar ... D. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 93 93 95 103 107

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 111 A Strategi dan Pendekatan Penelitian ... 111 B. Tahap-tahap Penelitian ...

C. Definisi Operasional Variabel ... D. Pengembangan Instrumen Penelitian... E. Lokasi dan Subjek Penelitian ... F. Teknik Analisis Data ...

112 117 121 127 129

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... A. Hasil Penelitian ... ...

1. Profil Keterampilan Belajar Siswa SMA Negeri di Kabupaten Bandung Barat ... 2. Kondisi Objektif Kolaborasi Konselor dengan Kepala Sekolah dan Guru dilihat dari Aspek Komunikasi, Sosial Budaya, dan Kegiatan Personil ... B. Pembahasan Hasil Studi Penelitian ... 1. Profil Keterampilan Belajar Siswa SMA Negeri di

Kabupaten Bandung Barat ...

134 134 134 136 218 218


(3)

C. Pengembangan Model Hipotetik Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa SMA ... 1. Konsep Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 2. Pola Layanan dalam Bimbingan dan Konseling Kolaboratif... 3. Prosedur Bimbingan dan Konseling kolaboratif ... D. Hasil Uji Lapangan Model Bimbingan dan Konseling

Kolaboratif untuk Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa SMA ... 1. Uji Kelayakan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif 2. Uji Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling

Kolaboratif ... 3. Uji Efektivitas Model Bimbingan dan Konsleing Kolaboratif untuk Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa SMA ... E. Pembahasan Hasil Uji Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... F. Model Akhir Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Keterampilan Belajar Siswa SMA ...

232 232 236 239

243 243 245

250 254

266

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... A. Kesimpulan ... B. Rekomendasi ...

285 285 287 DAFTAR PUSTAKA ... 290


(4)

1 BAB I

P E N D A H U L U A N (AKHIR)

A. Latar Belakang Masalah

Bimbingan dan konseling memiliki peran yang sangat strategis dalam

memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan konseli di sekolah, serta membantu

mereka mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya seperti masalah pribadi,

sosial, belajar, dan karir. Keberadaan bimbingan dan konseling di Indonesia saat

ini telah mendapat pengakuan secara legal dari pemerintah sebagaimana tertuang

dalam Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

pasal 1 ayat 6 yang menyatakan: “Konselor adalah sebagai salah satu kualifikasi

pendidik yang berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan”. Demikian pula

dalam berbagai dokumen yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan secara

formal telah digariskan bahwa bimbingan dan konseling merupakan bagian

terpadu dari pendidikan. Kartadinata (2005: 105) mengemukakan bahwa “Kini

sudah saatnya dilakukan penegasan ulang bahwa bimbingan dan konseling adalah

bagian terpadu dari pendidikan, dan kini saatnya pula untuk meletakkan prinsip

kebijaksanaan itu di dalam praktek”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sciarra

(2004:3) bahwa “School counselors are an integral part of the education program

as important to the school as teachers and administrators, and as essential to the main function of the school, academic success”.

Peran bimbingan dan konseling dalam keberhasilan program pendidikan

secara keseluruhan tidak dapat diragukan lagi, sebagaimana American Counseling


(5)

membantu konseli memecahkan masalah emosi dan sosial, memahami hidup yang

terarah, menciptakan iklim sekolah yang kondusif dan bagian krusial untuk

meningkatkan prestasi siswa. Hasil penelitian Cook dan Kaffenberger (ACA,

2006), menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling memiliki pengaruh positif

terhadap prestasi akademik siswa sekolah menengah. Hasil penelitian Hayes, et al.

(ACA, 2002), Morey, et al. (ACA, 2006) dan Praport (ACA, 2006) menyimpulkan

bahwa bimbingan dan konseling turut mengurangi kekacauan di dalam kelas.

Hasil penelitian Omizon & Omizon (ACA, 2006) menunjukkan bahwa bimbingan

dan konseling membantu konseli menyelesaikan masalah keluarga. Demikian pula

temuan Verduyn, et al. (ACA, 2006) menunjukkan bahwa bimbingan dan

konseling dapat membantu meningkatkan keterampilan sosial. Ditinjau dari sisi

karir, temuan Peterson, et al. (ACA, 2006), menunjukkan bahwa bimbingan dan

konseling bermanfaat untuk pengembangan karir. Lebih lanjut temuan Student

Poll (ACA, 2006) menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling berperan dalam

memilih jurusan pada lembaga pendidikan tinggi.

Bimbingan dan konseling juga hendaknya memberikan peran terhadap

keterampilan belajar siswa, sebab muara akhir dari keberhasilan program

pendidikan pada umumnya dan program bimbingan dan konseling pada

khususnya adalah pada saat konseli berhasil dalam bidang akademik yang

ditunjukkan dengan dikuasainya keterampilan belajar sehingga konseli mampu

mengembangkan diri dan merencanakan masa depan. Nurhayati (2010)

menjelaskan bahwa keterampilan belajar adalah kecakapan berpikir kritis dan

berpikir kreatif konseli dalam belajar yang dapat digunakan untuk memecahkan


(6)

kritis konseli merupakan kecakapan dalam menggunakan pemikiran untuk menilai

kesesuaian suatu ide, berdasar atau tidak, kebaikan dan kelemahan sesuatu alasan

dan membuat pertimbangan yang wajar dengan menggunakan alasan dan bukti

yang sesuai (masuk akal). Keterampilan berpikir kreatif konseli merupakan

kecakapan menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat

kombinasi yang tidak diduga, dan memiliki keberanian untuk mencoba sesuatu

yang tidak biasa.

Konseli yang memiliki keterampilan belajar rendah akan berdampak pada

kehidupannya misalnya akan menghadapi kesulitan dalam membuat catatan waktu

guru mengajar, membuat ringkasan dari bahan yang dibaca, membuat laporan

observasi, diskusi, mengembangkan cara menjawab/memecahkan soal-soal

ulangan/ujian, menyusun makalah, membaca, berbahasa lisan dan tulisan, serta

bertanya. Jika keterampilan berpikir kritis konseli rendah, maka konseli akan

mendapatkan kesulitan dalam mengatasi dan mereduksi ketidakpastian di masa

depan, misalnya menentukan informasi penting yang harus dipilih, diubah dan

dipertahankan. Mereka juga akan menemui kesulitan dalam mengatur,

menyesuaikan, memperbaiki pikirannya sehingga sulit bertindak lebih cepat,

memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan

menghadapi tantangan. Demikian pula jika keterampilan berpikir kreatif konseli

rendah, mereka tidak akan mampu mengembangkan sifat ingin tahunya, kurang

mandiri, kurang percaya diri, kurang berani mengambil resiko, kurang berani

mengemukakan pendapat, kurang humoris, dan takut dikritik.

Keterampilan belajar yang meliputi keterampilan berpikir kritis dan kreatif


(7)

keterampilan belajar erat kaitannya dengan pencapaian prestasi belajar. Sekaitan

dengan pernyataan di atas, Costa (1985: 1) menyatakan bahwa membantu konseli

menjadi pemikir yang efektif diakui sebagai tujuan utama pendidikan saat ini.

Perkembangan pengetahuan yang demikian pesat menuntut konseli untuk mampu

mencari dan memproses pengetahuan lebih dari sekedar mengingat fakta. Hasil

survey terhadap guru, orang tua, dan konseli yang dilakukan Goodlad (Costa,

1985: 1) menemukan bahwa pengembangan keterampilan berpikir diakui sebagai

salah satu tujuan persekolahan yang sangat penting. Selain berbagai pendapat para

ahli McTighe dan Schollenberger (Costa, 1985: 4-5) mengungkapkan hasil-hasil

penelitian yang secara konsisten menunjukkan bahwa persentase konseli yang

mampu mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi sangat rendah. Laporan

tentang evaluasi pemahaman membaca yang dilakukan oleh National Assesment

of Education Progress (1979-1980) menyimpulkan temuan yang paling signifikan bahwa apabila para konseli mempelajari bahan-bahan bacaan, mereka hanya

mengembangkan keterampilan yang sangat rendah untuk menguji gagasan yang

mereka ambil dari bacaan tersebut. Konseli tampak merasa puas dengan

interpretasi yang dangkal tentang apa yang mereka baca dan sedikit sekali konseli

yang menunjukkan respon-respon yang lebih baik dari strategi pemecahan

masalah dan keterampilan berpikir kritis yang dikembangkan. Demikian pula data

National Commission on Excellence in Education menunjukkan bahwa sebagian besar konseli yang berusia 17 tahun tidak memiliki keterampilan intelektual yang

lebih tinggi. Hanya 1-5% yang dapat menulis essay persuasive, 1-3% yang dapat

memecahkan soal matematika, dan hampir 40% tidak dapat membuat kesimpulan


(8)

Keterampilan berpikir kritis dan kreatif konseli dalam belajar sangat

penting untuk ditingkatkan, didasarkan pada beberapa alasan, yaitu:

1. Berpotensi untuk mengembangkan daya berpikirnya, konseli mampu berpikir

“operasional formal”, yaitu mampu mengoprasikan kaidah-kaidah logika

formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Perilaku

kognitif yang tampak antara lain: kemampuan berpikir hipotesis-deduktif,

kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih

kemungkinan yang ada, kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau

dasar proporsi-proporsi yang diketahui, dan kemampuan menarik generalisasi

dan inferensasi dari berbagai kategori objek yang beragam (Piaget dalam

Makmun, 2004:103-104). Dengan perkembangan berpikir operasional formal,

konseli mampu memecahkan masalah belajar saat ini dan pada masa depan.

2. Memasuki masa perkembangan yang menuntut banyak mengambil keputusan

dari beberapa pilihan dan pada umumnya konseli tidak mau diperlakukan

seperti anak-anak masih kecil, didikte, dikendalikan, diatur, dinasehati, dan

disalahkan oleh orang dewasa (Fasick dalam Rice, 1996:336).

3. Berpotensi untuk mampu belajar mandiri, yaitu mampu merancang program

dan melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan minat dan cita-citanya

(Meriam & Caffarella dalam Nurhayati, 2010: 5). Konseli mampu menentukan

kebutuhan, materi, cara, program, sumber, strategi, jadwal, proses dan

evaluasi dalam melakukan kegiatan belajar.

4. Tertuntut untuk mampu belajar sendiri, mencari, memperdalam, dan mengkaji

sendiri bahan yang dipelajari tidak banyak meminta bantuan kepada orang


(9)

5. Meningkatnya arus informasi, terutama teknologi internet menuntut untuk

mampu berpikir kritis dan kreatif dalam belajar. Siswa perlu menguasai

keterampilan-keterampilan untuk memperoleh, mengatur, dan memanfaatkan

informasi untuk kemajuan dalam belajar dan hidupnya.

6. Memasuki jenjang pendidikan tinggi yang menuntut mereka memiliki

keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif dalam belajar, begitu juga bagi

konseli yang akan terjun memasuki dunia kerja, harus mampu menghadapi

dan memecahkan masalah dalam kehidupan nyata di masyarakat.

7. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh pihak sekolah, khususnya pihak

guru untuk meningkatkan keterampilan belajar konseli misalnya dengan

menyelenggarakan pemantapan belajar, memberikan remedial, dan

tugas-tugas tambahan lainnya, sayangnya upaya sistematis seperti itu belum

menunjukkan hasil yang diharapkan.

Peningkatan keterampilan belajar pada siswa SMA tidak akan efektif jika

hanya dilakukan oleh pihak yang mempunyai peran langsung melaksanakan

proses pembelajaran yaitu guru, tetapi juga perlu ada kolaborasi dengan pihak lain

khususnya konselor dan kepala sekolah, untuk itu diperlukan solusi lain yang

didesain secara khusus. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melalui

layanan model bimbingan dan konseling yang relevan untuk meningkatkan

keterampilan belajar. Model konseling yang mampu memberdayakan pihak-pihak

terkait secara kolaboratif yang meliputi konselor, guru, dan kepala sekolah, serta

memandang proses bimbingan dan konseling sebagai hubungan kemitraan antara


(10)

keterampilan belajar konseli perlu diupayakan di SMA. Model bimbingan dan

konseling yang dipandang relevan adalah bimbingan dan konseling kolaboratif.

Model bimbingan dan konseling kolaboratif dilandasi oleh filsafat

konstruktivisme dan konstruksionisme sosial. Konstruktivisme memandang

bahwa terdapat berbagai kenyataan selama manusia berhubungan dengan

lingkungan, sebagai bahan untuk menemukan masalah yang sesuai dengan

faktor-faktor lingkungan, tetapi tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, ras, kelas, etnis,

agama, dan latar belakang keluarga. Konstruksionisme sosial memandang bahwa

kebermaknaan terbentuk melalui interaksi, hubungan dan proses sosial.

Kebermaknaan itu terjadi secara terus-menerus jika individu berinteraksi dan

berbicara dengan orang lain atau dengan dirinya sendiri. Kebermaknaan itu

dibentuk melalui bahasa dan terjadi dalam realitas sosial yang selalu mengalami

perubahan.(Berger & Luckmann, Gergen dalam Bertolino dan O’Hanlon,2002: 4).

Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan

pelaksanaan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan

keterampilan belajar di sekolah. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah (1)

kemampuan berkomunikasi konselor dengan kepala sekolah, guru, (2)

kegiatan-kegiatan personil terkait dengan bimbingan dan konseling, serta (3) lingkungan

sosial budaya sekolah. Komunikasi dan kolaborasi antara konselor dengan kepala

sekolah, guru, dan konseli yang tidak terlaksana dengan baik, akan menghambat

terlaksananya upaya peningkatan keterampilan belajar konseli dan pada gilirannya

berdampak terhadap tercapainya tujuan. Sejalan dengan pernyataan di atas,

Kartadinata (2005:109) mengemukakan bahwa kepala sekolah memiliki peranan


(11)

konseling, kerja sama yang baik antara konselor dan kepala sekolah akan sangat

menentukan keberhasilan bimbingan dan konseling.

Pelaksanaan bimbingan dan konseling juga memiliki kaitan yang sangat

erat dengan pelaksanaan pembelajaran di sekolah dalam rangka memfasilitasi

perkembangan dan memberikan layanan kepada konseli, karena itu personil yang

terlibat dalam kedua bidang kegiatan tersebut perlu saling mendukung dan saling

melengkapi, dengan arti lain dalam melaksanakan tugasnya, konselor dengan guru

harus bekerja sama dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukmadinata

(2005:404) bahwa terdapat hubungan yang saling mendukung antara bimbingan

dan konseling dengan pengajaran karena kedua program tersebut bermuara pada

pengembangan aspek kepribadian konseli. Dengan demikian ketiga unsur personil

sekolah yaitu kepala sekolah, guru dan konselor merupakan tim bimbingan dan

konseling.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kerja sama konselor dengan

kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling di SMA

belum menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Afri (1994:93)

melaporkan hasil studinya bahwa kepala sekolah dan guru kurang peduli terhadap

bimbingan dan konseling, kepala sekolah sering tidak merespon terhadap program

bimbingan dan konseling yang diajukan konselor. Demikian pula guru sering

merasa kewalahan dengan berbagai tugas pengajaran yang harus dilakukannya,

terlebih jika harus ditambah dengan tugas membimbing dan mengatasi masalah

konseli sebagaimana dikemukakan Natawidjaja (1988:43) bahwa dalam

melaksanakan peran bimbingan pada proses belajar mengajar, seringkali guru


(12)

siswa yang begitu banyak, sehingga tugas bimbingan dianggap sebagai tugas amat

berat.

Hasil studi pendahuluan di enam buah SMA Negeri Kabupaten Bandung

Barat yang terdiri atas SMAN I Cisarua, SMAN I Padalarang, SMAN I Batujajar,

SMAN II Padalarang, SMAN I Parongpong, SMAN I Ngamprah, menunjukkan

bahwa: (1) profil keterampilan belajar siswa SMA Negeri di Kabupaten Bandung

Barat adalah 46,67% berada pada kategori tinggi dan sisanya sebesar 53,33%

berada pada kategori rendah; (2) komunikasi antara konselor dengan kepala

sekolah, guru dan siswa masih belum optimal, (3) konselor, kepala sekolah dan

guru belum menunjukkan kinerja yang optimal dalam memfasilitasi dan

mendukung upaya peningkatan keterampilan belajar konseli, (4) kondisi

lingkungan sosial budaya sekolah belum mendukung terlaksananya pelaksanaan

bimbingan dan konseling. Temuan ini merupakan bukti yang menunjukkan masih

lemahnya keterampilan belajar siswa, serta kondisi objektif tentang layanan

bimbingan dan konseling di SMA. Karena itu melalui penelitian ini diharapkan

dapat ditemukan solusi untuk memperbaiki kondisi tersebut yaitu berupa model

bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar

siswa di sekolah menengah.

Uraian di atas, menunjukkan bahwa kerjasama (kolaborasi) antara konselor

dengan kepala sekolah, guru dan konseli memiliki peranan penting dalam

meningkatkan keterampilan belajar siswa, karena itu melalui penelitian ini

diharapkan akan muncul suatu solusi yang dapat memperbaiki kondisi tersebut

yaitu berupa model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan


(13)

pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan

keterampilan belajar siswa, didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai

berikut:

1. Model bimbingan dan konseling kolaboratif pada hakikatnya merupakan

upaya bantuan yang diberikan kepada konseli untuk meningkatkan

keterampilan belajar siswa melalui proses kolaborasi antara konselor dengan

kepala sekolah, guru dan konseli yang menekankan pada perubahan

pandangan, tindakan, dan suasana secara terintegrasi, sehingga dapat

menyelesaikan masalah keterampilan belajar siswa saat ini dan di masa depan.

2. Model bimbingan dan konseling kolaboratif adalah salah satu bentuk motivasi

konselor dalam merancang dan melaksanakan peningkatan keterampilan

belajar siswa dengan banyak menghampiri, mendengarkan, menghargai,

memvalidasi, membina hubungan dan melibatkan konseli dalam mengatasi

masalah keterampilan belajar.

3. Model bimbingan dan konseling kolaboratif merupakan bantuan yang

memperhatikan perubahan-perubahan sebelum diberi bantuan, hubungan,

model dan teknik yang akan digunakan, latar belakang dan sosial budaya

sekolah, mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam memahami

konseli, menggunakan dialog dan interaksi sebagai wahana untuk

meningkatkan keterampilan belajar dan kebermaknaan hidup konseli.

4. Bimbingan dan konseling kolaboratif berasumsi bahwa tujuan membantu

konseli adalah memberikan jalan dan memfasilitasi dalam menentukan

pemecahan masalah keterampilan belajar, membangun hubungan yang


(14)

berorientasi pada perubahan dan masa depan, konseli mempunyai

kemampuan, keunggulan dan pengalaman dalam memecahkan masalah

keterampilan belajar, dan gagasan yang mendasar akan lebih efisien dalam

membantu konseli.

B. Identifikasi Masalah

Beberapa fenomena sebagaimana digambarkan di atas mengadung makna

bahwa: (1) Di sekolah ada tiga unsur personil yang memiliki peran penting dalam

rangka memberikan layanan kepada konseli. Hal ini berimplikasi terhadap

perlunya kerja sama sebagai landasan untuk menyusun kerangka kerja dan

meningkatkan keterampilan belajar siswa di sekolah; (2) Adanya kesenjangan

antara kerja sama yang diharapkan dari konselor, kepala sekolah, guru dan konseli

dengan kondisi aktual di lapangan, yang berimplikasi terhadap perlunya

penyusunan kerangka kerja bimbingan dan konseling kolaboratif yang sesuai

dengan kondisi sosial budaya di mana bimbingan dan konseling tersebut

diselenggarakan, (3) Untuk memberikan kontribusi yang jelas terhadap

keberhasilan akademik siswa dalam bidang keterampilan belajar di SMA, maka

konseling kolaboratif perlu dikembangkan menjadi model bimbingan dan

konseling yang komprehensif, sistematis, dan profesional. Atas dasar itulah model

bimbingan dan konseling kolaboratif dipilih sebagai suatu model bimbingan dan

konseling untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa di SMA.

C. Pertanyaan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka pertanyaan dalam


(15)

1. Bagaimana profil keterampilan belajar siswa SMA di Kabupaten Bandung

Barat?

2. Bagaimanakah kondisi objektif kerja sama konselor, kepala sekolah dan guru

ditinjau dari aspek komunikasi, lingkungan sosial budaya, dan kegiatan

personil di SMA yang ada di Kabupaten Bandung Barat?

3. Bagaimana bentuk model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk

meningkatkan keterampilan belajar siswa SMA?

4. Apakah model bimbingan dan konseling kolaboratif dapat meningkatkan

keterampilan belajar siswa SMA secara efektif?

D. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model

bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar

siswa SMA. Secara operasioanl tujuan penelitian ini adalah menemukan hal-hal

berikut: (1) profil keterampilan belajar siswa SMA, (2) kondisi objektif kerja

layanan bimbingan dan konseling di SMA ditinjau dari komunikasi konselor

dengan kepala dan guru, lingkungan sosial budaya sekolah, dan kegiatan personil

sekolah terkait dengan bimbingan dan konseling, (3) model bimbingan dan

konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa SMA, dan

(4) model bimbingan dan konseling kolaboratif yang efektif untuk meningkatkan

keterampilan belajar siswa SMA.

E. Manfaat Penelitian

Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan


(16)

keterampilan belajar siswa. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan oleh para konselor sebagai salah satu model alternatif bimbingan dan

konseling untuk meningkatkan keterampilan belajar siswa. Bagi guru-guru, hasil

penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam rangka melaksanakan

pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan belajar siswa. Demikian

juga bagi kepala sekolah, model bimbingan dan konseling ini dapat menjadi bahan

masukan untuk meningkatkan dukungannya terhadap peningkatan keterampilan

belajar siswa sehingga tujuan pendidikan sekolah tercapai secara efektif. Bagi

para pakar bimbingan dan konseling, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

masukan dan bahan kajian untuk mengembangkan model-model bimbingan dan

konseling lainnya. Bagi Lembaga Pendididikan Tenaga Kependidikan (LPTK),

hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan

kemampuan para calon konselor di bidang layanan bimbingan dan konseling.

F. Asumsi Penelitian

Penelitian dan pengembangan model bimbingan dan konseling kolaboratif

untuk meningkatkan keterampilan belajar ini bertolak dari asumsi sebagai berikut:

1. Keterampilan belajar adalah salah satu aspek kecakapan hidup (life skill) yang

perlu dikembangkan melalui proses pendidikan.

2. Keterampilan berpikir kritis dan kreatif perlu dan dapat dikembangkan secara

seimbang sebagai alat belajar (tools of learning) yang menunjang keberhasilan

dalam menyelesaikan masalah belajar dan masalah kehidupan pada umumnya


(17)

3. Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah dipengaruhi oleh faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi mutu personil bimbingan

dan konseling, mutu proses bimbingan dan konseling, serta mutu manajemen

bimbingan dan konseling, sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan sosial

sekolah, di antaranya mutu personil sekolah, mutu manajemen sekolah, mutu

pengajaran, mutu alat, dan fasilitas yang memadai (Juntika Nurihsan,

1998:13).

4. Bimbingan dan konseling kolaboratif menekankan pada berbagai kemampuan,

keunggulan, potensi, dan pengalaman yang dimiliki individu. Sumber

pemecahan masalah ada di masyarakat dan dalam jaringan kerja sosial yang

diciptakan oleh konselor (O’Hanlon, 1994:23).

5. Model bimbingan dan konseling kolaboratif memandang bahwa konselor

bukan satu-satunya sumber untuk membantu memecahkan masalah. Personil

sekolah merupakan sumber daya manusia yang potensial untuk meningkatkan

keberhasilan bimbingan dan konseling di sekolah. ( O’Hanlon, 1994:23 ).

6. Konselor secara sistematis harus melaksanakan hubungan kolaboratif dengan

kepala sekolah selaku pimpinan lembaga dan guru sebagai pelaksana

pengajaran sehingga dapat memberikan bantuan dan dukungan terhadap

layanan bimbingan dan konseling. Hubungan kerja sama antara konselor

dengan kepala sekolah dan guru dalam layanan bimbingan dan konseling

sangat vital. Tanpa kerja sama antara konselor dengan kepala sekolah dan

guru, kegiatan bimbingan dan konseling akan banyak mengalami hambatan


(18)

285 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Secara keseluruhan, penelitian ini telah mencapai tujuan, yaitu

menghasilkan model bimbingan dan konseling kolaboratif yang efektif dalam

meningkatkan keterampilan belajar siswa. Dari temuan-temuan empiris penelitian

ini, diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

1. Profil keterampilan belajar siswa SMA Negeri di Kabupaten Bandung Barat

menunjukkan bahwa sebagian besar berada pada kategori rendah. Begitu pun

profil aspek keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif menunjukkan

bahwa siswa SMA Negeri se-Kabupaten Bandung Barat juga berada pada

kategori rendah. Namun meskipun sebagian besar menunjukkan berada pada

kategori rendah, terdapat sejumlah siswa menunjukkan kategori keterampilan

belajar tinggi baik dari dimensi berpikir kritis maupun berpikir kreatif.

2. Terdapat kelemahan konselor dalam berkomunikasi dengan kepala sekolah dan guru, yang ditunjukkan dengan kekurangmampuan konselor, kepala

sekolah, dan guru dalam penghampiran, empati, merangkum, bertanya,

kejujuran, asertif, konfrontasi, dan pemecahan masalah. Konselor mengalami

hambatan dalam berkomunikasi dengan kepala sekolah dan guru, hal ini

menjadi kendala bagi konselor untuk memberikan layanan kepada siswa

sehingga tujuan bimbingan dan konseling di sekolah kurang tercapai.

Ditinjau dari aspek lingkungan sosial budaya sekolah terdapat beberapa


(19)

membantu, berbagi pengalaman, dan bekerja sama, 2) kurang mampu

melaksanakan dan memanfaatkan hasil penelitian, 3) kurang mampu

merancang, menerapkan, menilai, dan mengembangkan gagasan baru, 4)

kurang saling percaya terhadap kemampuan masing-masing personil, 5)

kurang saling mendukung dalam mengembangkan kemampuannya, 6) kurang

mampu meningkatkan dasar-dasar pengetahuan, 7) kurang menghargai dan

mengakui, 9) kurang mampu melibatkan diri dalam membantu menyelesaikan

masalah dan mengambil keputusan personil lainnya, 10) kurang mampu

menciptakan kenyaman bagi personil lainnya, 11) kurang mampu menjaga

tradisi dan peristiwa penting, 12) kurang jujur dan terbuka dalam

berkomunikasi. Dari aspek kegiatan personil sekolah menunjukkan bahwa

kepala sekolah, guru dan konselor masih menunjukkan kelemahan dalam

melaksanakan tugasnya terkait dengan bimbingan dan konseling baik dari segi

motivasi, kemampuan, maupun kerja sama. Hal tersebut dapat diduga sebagai

salah satu faktor penghambat terlaksananya program bimbingan dan konseling

di sekolah, oleh karena itu perlu dikembangkan model bimbingan dan

konseling kolaboratif yang akan mendorong personil sekolah untuk saling

bekerjasama dengan berkomunikasi, menciptakan lingungan sosial budaya

yang kondusif serta mengembangkan kegiatan yang mampu mewadahi semua

pihak.

3. Model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan

belajar siswa yang dikembangkan berdasarkan konsep Bertolino dan


(20)

mengenai kondisi objektif di lapangan (komunikasi, lingkungan sosial budaya

sekolah, dan kegiatan personil sekolah) meliputi hal-hal berikut; konsep model

bimbingan dan konseling kolaboratif, pola pelayanan, prosedur pelaksanaan,

dan evaluasi keberhasilan.

4. Berdasarkan data penelitian tampak bahwa baik secara keseluruhan maupun

per aspek dari keterampilan belajar siswa adalah signifikan karena memiliki

nilai p< 0,05. Hal ini berarti model bimbingan dan konseling kolaboratif

efektif dalam meningkatkan keterampilan belajar siswa pada kelas

eksperimen.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan beberapa rekomendasi yang

ditujukan kepada pihak-pihak terkait, khususnya konselor, kepala sekolah, guru,

dosen bimbingan dan konseling, serta LPTK yang menyiapkan calon konselor.

Rekomendasi untuk masing-masing pihak dipaparkan sebagai berikut:

1. Konselor sebagai tenaga inti bimbingan dan konseling di sekolah dapat menindaklanjuti model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk

meningkatkan keterampilan belajar di sekolah menengah. Konselor hendaknya

menjalin kerjasama dengan kepala sekolah dan guru dengan mengutamakan

terciptanya hubungan kolaboratif, percaya, menghormati keunggulan dan

pengalaman, mengembangkan sikap saling menghampiri, mendengarkan,

menghargai, memvalidasi, membantu, menggali pengalaman, melibatkan diri,


(21)

2. Kepala sekolah sebagai penanggung jawab bimbingan dan konseling di sekolah perlu mendukung pelaksanaan model bimbingan dan konseling

kolaboratif dengan menjalin kerjasama yang intensif dengan konselor dan

guru sehingga pelayanan terhadap siswa dapat terlaksana dengan optimal.

Menjalin komunikasi, mengembangkan iklim lingkungan yang kondusif dan

turut serta dalam penyususnan program baik program bimbingan dan

konseling maupun program pengajaran.

3. Guru perlu mendukung pelaksanaan model bimbingan dan konseling kolaboratif dengan mengintegrasikan model bimbingan dan konseling

kolaboratif pada program pengajaran yang ada di sekolah, membina

hubungan yang harmonis di antara personil, mengembangkan lingkungan

sosial budaya sekolah yang memungkinkan untuk pengembangan personil

sekolah, mengembangkan komunikasi dialogis dengan personil sekolah

lainnya, memanfaatkan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk

meningkatkan pelaksanaan tugasnya terkait dengan bimbingan dan konseling.

4. Dosen bimbingan dan konseling diharapkan dapat memanfaatkan model

bimbingan dan konseling kolaboratif ini sebagai bahan kajian ilmiah untuk

mengembangkan model-model bimbingan dan konseling lainnya dan untuk

mendukung pengembangan materi perkuliahan, sehingga calon konselor

terampil mengaplikasikan model bimbingan dan konseling kolaboratif sejak

pendidikan prajabatan.

5. LPTK sebagai penyelenggara pendidikan konselor diharapkan


(22)

dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling kolaboratif yang

belum banyak dikembangkan khususnya untuk di tingkat SMA kepada para

mahasiswa calon konselor sekolah.

6. Peneliti selanjutnya dapat meneliti model bimbingan dan konseling kolaboratif

untuk meningkatkan bidang bimbingan yang lain seperti bidang sosial, pribadi


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Afri Joni. (1994). Persepsi dan Keterlibatan Kepala Sekolah dalam Layanan Bimbingan di Sekolah. Tesis Program Pascasarjana IKIP. Bandung: Tidak Diterbitkan.

American Counseling Association. (2006). Effectiveness of School Counseling. ( O n l i n e ) . T e r s e d i a : w w w . c o u n s e l i n g . o r g . [ 2 7 J u l i 2 0 0 8 ] .

Arrendo, P., & D’Andrea, M. (1995, September). AMCD Approved Multicultural Counseling Competency Standards. Counseling Today 28-32.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: ABKIN.

Bertolino Bob & O’Hanlon Bill. (2002). Collaborative, Competency-Based Counseling and Therapy. Allyn & Bacon.

Blocher, D.H. (1987). The Profesional Counselor. New York: Macmillan.

Bondi, Liz. (2006). The Effectiveness Counselling: COSCA Review and Commentary. [Online]. Tersedia: www.cosca.org.uk. [15 Juli 2007].

Borg, W.R. & Gall, M.D. (1989). Educational Research: An Introduction. New York: Longman.

Costa, A.L. (1985). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1986). Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V. Buku I B Metodologi Penelitian. Jakarta: Depdikbud.

Dewey, Jon (1993). How We Think. Chicago: Henry Regenery Company.

Cohen. J. (1971). Thinking. Chicago: Rand McNally.

Epston, D., et al. (1995). Consulting with Your Consultants: A Means to the Co-Construction of Alternative Knowledges. in S. Friedman (Ed.), The Reflecting Team in Action: Collaborative Practice in Family Therapy (pp.277-313).: New York: Guilford.


(24)

Frans & Bursuck W.(1996) Including Studenta With Special Needs, Boston A 8 B.

Gall, M.D., et al. (2003). Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson Education, Inc.

Gagne, R.M (1977) The Condition of Learning. Thierd Edition. New York: Holt, Rinchart and Winstin Inc.

Gazda, G.M. (1984). Group Counseling A Developmental Approach. Boston: Allyn and Bacon.

Kartadinata, Sunaryo. (1997). Pendidikan untuk Pengembangan SDM Bermutu Memasuki Abad XXI: Implikasi Bimbingannya. Makalah Konvensi Nasional Divisi-Divisi IPBI. Purwokerto, 11-14 Desember 1997.

Kartadinata. Sunaryo. (2005). Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi, Historik-Futuristik dalam Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung: Rizki

Kartadinata, Sunaryo., dkk. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta. Depdiknas

Koentjaraningrat, (1985). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta. Gramedia.

Koestoer Partowisastro, (1982). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jakarta: IKIP, Erlangga.

Kuehl, B.P. (1995). The Solution-Oriented Genogram: A Collaborative Approach. Journal of Marital and Family Therapy, 21(3), 239-250.

Costa, A.L. (1985). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD.

McTighe dan Scholenberger. (1985). Why teach Thinking: A Statement Rationale. Virginia: ASCD.

Miller , F. W. (1978). Guidance: Principles and Service, Toronto: Charles E. Merril Publishing a Bell & Howel.

Mortensen, G.D. & Schmuller, A.M. (1964). Guidance in Today’s School. New York : John Willey & Sons.

Munandar. AS. (1985) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam pembangunan Nasional. Jakarta: LPPM.


(25)

Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. (2007) Jakarta: Depdiknas.

Natawidjaja, Rochman. (1977). Penyuluhan di Sekolah. Jakarta: FA. Hasmar.

Natawidjaja, Rochman. (1984). Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses Belajar-Mengajar Dihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa Terhadap Bimbingan: Disertasi Program Pascasarjana. IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.

Natawidjaja, Rochman. (1988). Peranan Guru dalam Bimbingan di Sekolah. Bandung: Abardin.

Natawidjaja, Rochman. (1990). Fungsi Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FIP IKIP Bandung.

Nurhayati, Eti. (2010) Model Bimbingan Akademik untuk Peningkatan Keterampilan dan Kemandirian Belajar Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon). Disertasi Sekolah Pascasarjana, UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nurihsan, J (1998). Bimbingan Komprehensip: Model Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (Studi Pencarian Model Bimbingan untuk Peningkatan Mutu dan Sistem manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling di Beberapa SMU Negeri Jawa Barat). Disertasi Program Pascasarjana, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Onong Uchyana, (1993). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ortun Zuber-Skerritt. (1996). New Direction in Action Research. London: The Farmer.

Pershing, J.A. & Demetropoulos, E.G. (1981). “Guidance and Guidance Systems in Secondary Schools: The Teacher’s Views” Personil dan Guidance Journal, 59, 455-460.

Prayitno. (1998). Seri Pemandu Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah

Menengah Umum: Buku III Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah

Menengah Umum (SMU). Jakarta: Penebar Aksara.

Sanusi, Ahmad. (1998) “Pendidikan Alternatif” Program Pascasarjana IKIP Bandung.


(26)

Saphier, Jon and King Matthew. (1985). Good Seeds Grow in Strong Cultures: Journal on Educational Leadership in School Culture:E-Book. [Online]. Tersedia: http://www.seattleschools.org/schools/thecenterschool. [19 April 2009]

Schmidt, John J. (2003). Counseling in School: Essential Service and Comprehensive Programs. Boston: Library of Congress Cataloging.

Sciarra, Daniel T. (2004). Schools Counseling Foundations and Contemporary Issues. Thomson: Hofstra University.

Sedanayasa (2003). Model Kolaborasi Pembimbing dan Guru dalam Peningkatan Keterampilan Belajar Siswa dengan Pendekatan Multimodal. Disertasi. Program Pascasarjana, UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Semiawan, C. (1992) “Dasar Pendidikan dan Makna Belajar”. (Online). Tersedia: http://mijieshool multiply. Com/jurnal/item/36(12 April 2008).

Shertzer , B & Stone, S.C. (1980). Fundamentals of Counseling. Philadelphia: Houghton Mifflin Company

Supriadi, Dedi. (1994). Peningkatan Kualitas Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jurnal Pendidikan. Jakarta. ISPI.

Surya, Moh. dan Natawidjaya, Rochman. (1986). Materi Pokok Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka Surya, Moh. (2003). Psikologi Konseling. Bandung. Pustaka Bani Quraisy.

Stewart, R.N. et al. (1978). Systematic Counseling. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Syaodih Sukmadinata, Nana. (2005). Konseling, Pembelajaran, dan Kreativitas dalam Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung: Rizki

Thohari ( Proceeding 2 ND International Seminar 2010 Practice Pedagogic in Global Education Perspective) Primary Education Studi Program Pedagogic Departemen-Faculty of Education Indonesia University of Education.Vol. II. No I/Mei 2010.

Tolbert, E.L (1959) Introduction to Counseling. New York : McGraw Hill Book Company.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Jakarta: Depdiknas.


(27)

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Afri Joni. (1994). Persepsi dan Keterlibatan Kepala Sekolah dalam Layanan Bimbingan di Sekolah. Tesis Program Pascasarjana IKIP. Bandung: Tidak Diterbitkan.

American Counseling Association. (2006). Effectiveness of School Counseling. ( O n l i n e ) . T e r s e d i a : w w w . c o u n s e l i n g . o r g . [ 2 7 J u l i 2 0 0 8 ] .

Arrendo, P., & D’Andrea, M. (1995, September). AMCD Approved Multicultural Counseling Competency Standards. Counseling Today 28-32.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: ABKIN.

Bertolino Bob & O’Hanlon Bill. (2002). Collaborative, Competency-Based Counseling and Therapy. Allyn & Bacon.

Blocher, D.H. (1987). The Profesional Counselor. New York: Macmillan.

Bondi, Liz. (2006). The Effectiveness Counselling: COSCA Review and Commentary. [Online]. Tersedia: www.cosca.org.uk. [15 Juli 2007].

Borg, W.R. & Gall, M.D. (1989). Educational Research: An Introduction. New York: Longman.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1986). Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V. Buku I B Metodologi Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Dewey, Jon (1993). How We Think. Chicago: Henry Regenery Company.

Cohen. J. (1971). Thinking. Chicago: Rand McNally.

Epston, D., et al. (1995). Consulting with Your Consultants: A Means to the Co-Construction of Alternative Knowledges. in S. Friedman (Ed.), The Reflecting Team in Action: Collaborative Practice in Family Therapy (pp.277-313).: New York: Guilford.

Fishbaugh, M.S (1997). Models of Collaboration. Boston: Allyn and Bacon.

Frans & Bursuck W. (1996) Including Studenta With Special Needs, Boston A 8 B.

Gall, M.D., et al. (2003). Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson Education, Inc.


(29)

Gagne, R.M (1977) The Condition of Learning. Thierd Edition. New York: Holt, Rinchart and Winstin Inc.

Gazda, G.M. (1984). Group Counseling A Developmental Approach. Boston: Allyn and Bacon.

Kartadinata, Sunaryo. (1997). Pendidikan untuk Pengembangan SDM Bermutu Memasuki Abad XXI: Implikasi Bimbingannya. Makalah Konvensi Nasional Divisi-Divisi IPBI. Purwokerto, 11-14 Desember 1997.

Kartadinata. Sunaryo. (2005). Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi, Historik-Futuristik dalam Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung: Rizki

Kartadinata, Sunaryo., dkk. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta. Depdiknas

Koentjaraningrat, (1985). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta. Gramedia.

Koestoer Partowisastro, (1982). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jakarta: IKIP, Erlangga.

Kuehl, B.P. (1995). The Solution-Oriented Genogram: A Collaborative Approach. Journal of Marital and Family Therapy, 21(3), 239-250.

La Costa, A. (1985). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD.

McTighe dan Scholenberger. (1985). Why teach Thinking: A Statement Rationale. Virginia: ASCD.

Miller , F. W. (1978). Guidance: Principles and Service, Toronto: Charles E. Merril Publishing a Bell & Howel.

Mortensen, G.D. & Schmuller, A.M. (1964). Guidance in Today’s School. New York : John Willey & Sons.

Munandar. AS. (1985) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam pembangunan Nasional. Jakarta: LPPM.

Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. (2007) Jakarta: Depdiknas.


(30)

Natawidjaja, Rochman. (1984). Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses Belajar-Mengajar Dihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa Terhadap Bimbingan: Disertasi Program Pascasarjana IKIP. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Natawidjaja, Rochman. (1988). Peranan Guru dalam Bimbingan di Sekolah. Bandung: Abardin.

Natawidjaja, Rochman. (1990). Fungsi Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FIP IKIP Bandung.

Nitiasih, P.(2001) Pengembangan Model Pembelajaran dengan ”Self Directed Learning” dalam Program Internsive Course Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Verbal Mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris STKIP Singaraja, Laporan Penelitian pada STKIP Singaraja.

Nurhayati, Eti. (2010) Model Bimbingan Akademik untuk Peningkatan Keterampilan dan Kemandirian Belajar Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon). Disertasi Sekolah Pascasarjana, UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nurihsan, J (1998). Bimbingan Komprehensip: Model Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (Studi Pencarian Model Bimbingan untuk Peningkatan Mutu dan Sistem manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling di Beberapa SMU Negeri Jawa Barat). Disertasi Program Pascasarjana, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Onong Uchyana, (1993). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ortun Zuber-Skerritt. (1996). New Direction in Action Research. London: The Farmer.

Pershing, J.A. & Demetropoulos, E.G. (1981). “Guidance and Guidance Systems in Secondary Schools: The Teacher’s Views” Personil dan Guidance Journal, 59, 455-460.

Prayitno. (1998). Seri Pemandu Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah

Menengah Umum: Buku III Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah

Menengah Umum (SMU). Jakarta: Penebar Aksara.

Sanusi, Ahmad. (1998) “Pendidikan Alternatif” Program Pascasarjana IKIP Bandung.

Saphier, Jon and King Matthew. (1985). Good Seeds Grow in Strong Cultures: Journal on Educational Leadership in School Culture:E-Book. [Online]. Tersedia: http://www.seattleschools.org/schools/thecenterschool. [19 April 2009]


(31)

Schmidt, John J. (2003). Counseling in School: Essential Service and Comprehensive Programs. Boston: Library of Congress Cataloging.

Sciarra, Daniel T. (2004). Schools Counseling Foundations and Contemporary Issues. Thomson: Hofstra University.

Sedanayasa, Gede. (2003) Model Bimbingan Kolaborasi Pembimbing dan Guru dalam Peningkatan Keterampilan Belajar Siswa dengan Pendekatan Multimodal (Studi Deskriptif Analitik pada SMU Negeri 1 Singaraja). Disertasi Program Pascasarjana, UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Semiawan, C. (1992) “Dasar Pendidikan dan Makna Belajar”. (Online). Tersedia: http://mijieshool multiply. Com/jurnal/item/36(12 April 2008).

Shertzer , B & Stone, S.C. (1980). Fundamentals of Counseling. Philadelphia: Houghton Mifflin Company

Supriadi, Dedi. (1994). Peningkatan Kualitas Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jurnal Pendidikan. Jakarta. ISPI.

Surya, Moh. dan Natawidjaya, Rochman. (1986). Materi Pokok Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka

Surya, Moh. (2003). Psikologi Konseling. Bandung. Pustaka Bani Quraisy.

Stewart, R.N. et al. (1978). Systematic Counseling. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Syaodih Sukmadinata, Nana. (2005). Konseling, Pembelajaran, dan Kreativitas dalam Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung: Rizki

Thohari ( Proceeding 2 ND International Seminar 2010 Practice Pedagogic in Global Education Perspective) Primary Education Studi Program Pedagogic Departemen-Faculty of Education Indonesia University of Education.Vol. II. No I/Mei 2010.

Tolbert, E.L (1959) Introduction to Counseling. New York : McGraw Hill Book Company.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Jakarta: Depdiknas.


(32)

(1)

(2)

DAFTAR PUSTAKA

Afri Joni. (1994). Persepsi dan Keterlibatan Kepala Sekolah dalam Layanan Bimbingan di Sekolah. Tesis Program Pascasarjana IKIP. Bandung: Tidak Diterbitkan.

American Counseling Association. (2006). Effectiveness of School Counseling.

( O n l i n e ) . T e r s e d i a : w w w . c o u n s e l i n g . o r g . [ 2 7 J u l i 2 0 0 8 ] . Arrendo, P., & D’Andrea, M. (1995, September). AMCD Approved Multicultural

Counseling Competency Standards. Counseling Today 28-32.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

Jakarta: ABKIN.

Bertolino Bob & O’Hanlon Bill. (2002). Collaborative, Competency-Based Counseling and Therapy. Allyn & Bacon.

Blocher, D.H. (1987). The Profesional Counselor. New York: Macmillan.

Bondi, Liz. (2006). The Effectiveness Counselling: COSCA Review and Commentary. [Online]. Tersedia: www.cosca.org.uk. [15 Juli 2007].

Borg, W.R. & Gall, M.D. (1989). Educational Research: An Introduction. New York: Longman.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1986). Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V. Buku I B Metodologi Penelitian. Jakarta: Depdikbud. Dewey, Jon (1993). How We Think. Chicago: Henry Regenery Company.

Cohen. J. (1971). Thinking. Chicago: Rand McNally.

Epston, D., et al. (1995). Consulting with Your Consultants: A Means to the Co-Construction of Alternative Knowledges. in S. Friedman (Ed.), The Reflecting Team in Action: Collaborative Practice in Family Therapy

(pp.277-313).: New York: Guilford.

Fishbaugh, M.S (1997). Models of Collaboration. Boston: Allyn and Bacon. Frans & Bursuck W. (1996) Including Studenta With Special Needs, Boston A 8 B. Gall, M.D., et al. (2003). Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson


(3)

Gagne, R.M (1977) The Condition of Learning. Thierd Edition. New York: Holt, Rinchart and Winstin Inc.

Gazda, G.M. (1984). Group Counseling A Developmental Approach. Boston: Allyn and Bacon.

Kartadinata, Sunaryo. (1997). Pendidikan untuk Pengembangan SDM Bermutu Memasuki Abad XXI: Implikasi Bimbingannya. Makalah Konvensi Nasional Divisi-Divisi IPBI. Purwokerto, 11-14 Desember 1997.

Kartadinata. Sunaryo. (2005). Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi, Historik-Futuristik dalam Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung: Rizki

Kartadinata, Sunaryo., dkk. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

Jakarta. Depdiknas

Koentjaraningrat, (1985). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta. Gramedia.

Koestoer Partowisastro, (1982). Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jakarta: IKIP, Erlangga.

Kuehl, B.P. (1995). The Solution-Oriented Genogram: A Collaborative Approach.

Journal of Marital and Family Therapy, 21(3), 239-250.

La Costa, A. (1985). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking.

Virginia: ASCD.

McTighe dan Scholenberger. (1985). Why teach Thinking: A Statement Rationale.

Virginia: ASCD.

Miller , F. W. (1978). Guidance: Principles and Service, Toronto: Charles E. Merril Publishing a Bell & Howel.

Mortensen, G.D. & Schmuller, A.M. (1964). Guidance in Today’s School. New York : John Willey & Sons.

Munandar. AS. (1985) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam pembangunan Nasional. Jakarta: LPPM.

Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. (2007) Jakarta: Depdiknas.


(4)

Natawidjaja, Rochman. (1984). Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses Belajar-Mengajar Dihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa Terhadap Bimbingan: Disertasi Program Pascasarjana IKIP. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Natawidjaja, Rochman. (1988). Peranan Guru dalam Bimbingan di Sekolah. Bandung: Abardin.

Natawidjaja, Rochman. (1990). Fungsi Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FIP IKIP Bandung.

Nitiasih, P.(2001) Pengembangan Model Pembelajaran dengan ”Self Directed Learning” dalam Program Internsive Course Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Verbal Mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris STKIP Singaraja, Laporan Penelitian pada STKIP Singaraja.

Nurhayati, Eti. (2010) Model Bimbingan Akademik untuk Peningkatan Keterampilan dan Kemandirian Belajar Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon). Disertasi Sekolah Pascasarjana, UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nurihsan, J (1998). Bimbingan Komprehensip: Model Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (Studi Pencarian Model Bimbingan untuk Peningkatan Mutu dan Sistem manajemen Layanan Bimbingan dan Konseling di Beberapa SMU Negeri Jawa Barat). Disertasi Program Pascasarjana, IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Onong Uchyana, (1993). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ortun Zuber-Skerritt. (1996). New Direction in Action Research. London: The Farmer.

Pershing, J.A. & Demetropoulos, E.G. (1981). “Guidance and Guidance Systems in Secondary Schools: The Teacher’s Views Personil dan Guidance Journal, 59, 455-460.

Prayitno. (1998). Seri Pemandu Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Umum: Buku III Pelayanan Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah Umum (SMU). Jakarta: Penebar Aksara.

Sanusi, Ahmad. (1998) “Pendidikan Alternatif” Program Pascasarjana IKIP Bandung. Saphier, Jon and King Matthew. (1985). Good Seeds Grow in Strong Cultures:

Journal on Educational Leadership in School Culture:E-Book. [Online]. Tersedia: http://www.seattleschools.org/schools/thecenterschool. [19 April 2009]


(5)

Schmidt, John J. (2003). Counseling in School: Essential Service and Comprehensive Programs. Boston: Library of Congress Cataloging.

Sciarra, Daniel T. (2004). Schools Counseling Foundations and Contemporary Issues. Thomson: Hofstra University.

Sedanayasa, Gede. (2003) Model Bimbingan Kolaborasi Pembimbing dan Guru dalam Peningkatan Keterampilan Belajar Siswa dengan Pendekatan Multimodal (Studi Deskriptif Analitik pada SMU Negeri 1 Singaraja).

Disertasi Program Pascasarjana, UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Semiawan, C. (1992) “Dasar Pendidikan dan Makna Belajar”. (Online). Tersedia: http://mijieshool multiply. Com/jurnal/item/36(12 April 2008).

Shertzer , B & Stone, S.C. (1980). Fundamentals of Counseling. Philadelphia: Houghton Mifflin Company

Supriadi, Dedi. (1994). Peningkatan Kualitas Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jurnal Pendidikan. Jakarta. ISPI.

Surya, Moh. dan Natawidjaya, Rochman. (1986). Materi Pokok Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka

Surya, Moh. (2003). Psikologi Konseling. Bandung. Pustaka Bani Quraisy.

Stewart, R.N. et al. (1978). Systematic Counseling. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Syaodih Sukmadinata, Nana. (2005). Konseling, Pembelajaran, dan Kreativitas dalam Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung: Rizki

Thohari ( Proceeding 2 ND International Seminar 2010 Practice Pedagogic in Global Education Perspective) Primary Education Studi Program Pedagogic Departemen-Faculty of Education Indonesia University of Education.Vol. II. No I/Mei 2010.

Tolbert, E.L (1959) Introduction to Counseling. New York : McGraw Hill Book Company.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.


(6)