Analisis Kontrastif Giongo Gitaigo (æ¬é³èª æ¬æ èª) dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa (Kajian Sintaksis dan Semantik).
SINOPSIS 1. 序論
言語は国の宝物であり、その国のアイデンティティになる。例えば、日本に は日本語があり、インドネシアにはインドネシア語がある。また、インドネシアは 多文化主義が強い国なので、色々な文化が含まれる。このようなインドネシアの中 でジャワ人という人種がある。そして、このジャワ人の間で、特に東ジャワ州と中部 ジャワ州の大部分でジャワ語が使われている。
言語は人間の感情や考え方などを表現している。それぞれの言語の特徴はそ の言葉や語彙である。「Mimetics」という言葉の中で、擬音語(onomatopoeia) と
いうのは物や生物の発する音を表す言葉と、擬態語 (ideophone) は生物の様子を表
す言葉がある。日本語やジャワ語でもそれらが用いられる。色々な形があり、毎日 の生活で伴われる言葉である。しかし、実際には擬音語および擬態語の伴い方がま だ明確になっていない。そこで、本研究では日本語とジャワ語の擬音語および擬態 語を対照言語学により分析する。
本研究の目的は以下の通りである:
1) 日本語とジャワ語における擬音語と擬態語の共通点と相違点を説明すること
2) 日本語とジャワ語における擬音語と擬態語の意味を説明すること
2. 本論
日本語の擬音語と擬態語は四つに分類される。まずは擬音語は擬音語と擬声 語に分類され、それから擬態語は擬態語と擬情語に分類される。擬音語は物が発す る音を表す言葉で、擬声語は生物が発する音を表す言葉である。そして、擬態語は生 物や人の動作の様子を表す言葉で、擬情語は人の感情の様子を表す言葉である。こ
(2)
こで日本語とジャワ語の擬音語と擬態語について収集したデータについて説明す る。
(1) 朝から雨がザーザー降っている。
(Practical Guide Mimetic Expressions, 1994:82) Gludhug lan bledheg ambal-ambalan, tumuli mak-bres, udan deres.
(Candhikala Kapuranta, 2002:9)
「ザーザー」という擬音語の意味は大雨の音を表す言葉である。「ザー
ザー」は重複で、長音である。ジャワ語ではmak-bresという言葉で突然の大雨の音
を表す。しかし、「mak-bres」からのmak-の接頭辞が突然という意味を伴う。
(2) 空砲を威かくのためにどんと1発ぶっぱなした。
(Atauda & Hoshino, 1995:335) Dene suwarane bedil pating jledor lan suwara metraliyur kang sajak diempet-empet ngratani kuta ora mratelakake yen akeh wong tangi: sing muni kuwi sajak mung barang mati, mbledos karepe dewe.
(Sastra Jawa Mutakhir “Dedemitan Mlebu Kuta” Suparto Brata, 1995:54)
「どん」という擬音語の意味は爆発音を表す言葉である。「どん」は形態素
の形であり、ジャワ語では空砲からの爆発音は「pating jledor」という言葉で表す。
Pating- という言葉は連続のことという意味を表す。
(3) 歩道にかちんと落ちたものがあるので拾ってみると、美しい青い石のペンダント
だった。
(Atauda & Hoshino, 1995:44) 'Klontang!' tekene jeng Murni ambruk ing jogan, kumandang.
(Sastra Jawa Mutakhir “Keluwargane Bu Nyai Blorong” Peni, 1985:97)
「 か ち ん 」 は 金 属 質 と 堅 い 物 に 打 ち 当 た っ た 出 る 小 さ い 音 の 言 葉 で、 「klontang」はジャワ語で、日本語の「かちん」と同じ意味である。その擬音語の 形は形態素である。その文の中では「かちんと落ちた」で、「『擬音語』+『と』 (助詞)+『動詞』」になる。擬音語は形態素の形なら「『と』」(助詞)+動 詞」に続く。
(3)
(4) ドアをどんどんたたいて「あけなさい!」と呼んでも、中からなんの物音もしな い。
(Atauda & Hoshino, 1995:338)
Dhog! Dhog! Dhog! Lawang ngarep ana sing ndhodhog.
(Candhikala Kapuranta, 2002:50)
ドアをとんとんノックしてみたが返事がなかった。
(Atauda & Hoshino, 1995:336)
Dog, dog-dog. Lawang kamare Rahayu didodog lirih saka njaba.
(Sastra Jawa Mutakhir “Ilang” Ty. Suwandi, 1985:146)
「どんどん」と「とんとん」は重複で、「dhog」と「 dog」は形態素であ
る。日本語では濁音を使えば、もっと大きくて、堅くて、強いイメージを表す。例え ば、「どんどん」と「とんとん」である。「どんどん」はドアを強くたたく音の言 葉だが、「とんとん」はドアを軽くたたく音の言葉である。
ジャワ語でも同様である。「Dhog」はドアを強くたたく音の言葉だが、
「dog」はドアを軽くたたく音の言葉である。このデータによると「h」の子音を入
れることにより、もっと強い印象を与えることがわかる。ジャワ語では同じ言葉だ が、子音をよく見ると、違う意味を持っている。
(5) 池のまわりをぐるぐるまわった。
(Practical Guide Mimetic Expressions, 1994:50)
Asih mider-mider karo nyekel keris ligan.
(Candhikala Kapuranta, 2002:129)
Jumadi bingung, mlaku midar-mider.
(Candhikala Kapuranta, 2002:165)
「ぐるぐる」という意味は連続して回転する様子の言葉である。「ぐるぐ る」は重複で、「ぐるぐる+まわった」なので、「擬態語+動詞」が副詞になる。そ
して、ジャワ語で、「ぐるぐる」の同義の言葉が二つの形がある。「Mider-mider」
と「midar-mider」は重複と母音が変わる重複の擬態語の形である。さらに、ジャワ
語の文でも「mider-mider」は動詞で述語になったが、「midar-mider」は副詞で状 況語になる。
(4)
(6) 中島: うわっドキドキする。
(Itadaki High Jump, 2016年3月16日, 10:38-10-43) Sanalika atine dheg-dhegan, raine pucet.
(Candhikala Kapuranta, 2002:25) 「ドキドキ」は擬情語で、意味は不安や恐怖、期待などで緊張している様子
を表す言葉である。ジャワ語では「dheg-dhegan」と言われる。「Dheg-dhegan」
は重複+-anの接尾辞の形である。-anの接尾辞はその言葉の意味をもって、つまり
緊張感がまだ続くという意味を表す。また、「ドキドキ」+するなので、動詞にな り、その文では擬情語は述語になる。
(7) ナレーター: ホッとした3人の前に関脇がその姿を見せる!
(Itadaki High Jump, 2016年2月24日, 2:14-2:18) Plong, atine Kandar!
(Sastra Jawa Mutakhir “Keblinger” A. Saerozi A.M, 1985:106) 「ホッ」としたという意味は心配事や緊張がなくなって安心する様子を表す 言葉である。形は「短音節『ッ』+『と』(助詞)+『する』」である。ジャワ語
では「plong」という言葉で表す。「Plong」は擬情語の形態素である。
3. 結論
本研究により日本語とジャワ語の擬音語および擬態語について、収集した データを解析した結果、以下のことが分かった。
1) 日本語とジャワ語の擬音語および擬態語の共通点と相違点:
● 日本語とジャワ語の擬音語と擬態語の共通点:
a) 日本語とジャワ語の擬音語と擬態語の形は形態素、重複である。それに、ジャワ
語では母音が変わった重複という形もあり、「dwilingga salin swara」 と呼ばれ
る。
(5)
b) 日本語とジャワ語の擬音語と擬態語の品詞分類は副詞である。しかし、名詞と動 詞に派生することが可能である。
● 日本語とジャワ語の擬音語と擬態語の相違点は:
a) 日本語には「mimetics」が擬音語と擬態語と呼ばれる。また、擬音語と擬態語は
四つに分類される。その四つは擬音語、擬声語、擬態語、擬情語である。しかし、 ジャワ語では「擬音語」とか「擬態語」の言葉には特に分類がない。
b) 日本語の擬音語と擬態語の形は形態素でかつ重複である。ジャワ語でも形態素と
重複があるが、それだけではない。それはmak- とpating- の接頭辞と-anの接尾辞 を伴うものもある。
2) 日本語とジャワ語の擬音語および擬態語の意味:
擬音語と擬態語の意味はそのままの形で文の持つ情報に影響する。文の中で は擬音語と擬態語は状況語になり、しかも、その文の中心であり、述語になるとき もある。擬音語と擬態語が文にあれば、その文の意味をより詳しく説明することが できる。日本語においても、ジャワ語においても、これは同様である。
(6)
viii DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
PERNYATAAN PUBLIKASI SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... .viii
BAB I PENDAHULUAN ... ..1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Metode Penelitian dan Teknik Kajian ... 10
1.4.1 Metode Penelitian ... 10
1.4.2 Teknik Kajian ... 12
1.5 Organisasi Penulisan ... 12
BAB II KAJIAN TEORI ... 14
2.1 Sintaksis ... 14
2.1.1 Struktur Sintaksis ... 15
2.1.1.1 Fungsi Sintaksis ... 15
2.1.1.2 Kategori Sintaksis ... 19
2.1.1.2.1 Kategori Sintaksis Bahasa Jepang ... 19
2.1.1.2.2 Kategori Sintaksis Bahasa Jawa ... 20
(7)
2.1.1.3.1 Adverbia Monomorfemis ... 24
2.1.1.3.2 Adverbia Polimorfemis ... 25
2.1.1.3.3 Adverbia Berunsur mak- atau pating- ... 26
2.1.2 Satuan Sintaksis ... 27
2.1.2.1 Kata... 27
2.1.2.2 Frase ... 29
2.1.2.3 Klausa ... 30
2.1.2.4 Kalimat ... 30
2.2 Semantik ... 32
2.2.1 Makna Leksikal ... 33
2.2.2 Makna Gramatikal ... 33
2.3 Analisis Kontrastif Bahasa ... 34
2.4 Giongo Gitaigo ... 35
BAB III ANALISIS DATA ... 41
3.1 Sumber Data ... 41
3.2 Klasifikasi Data ... 42
3.3 Analisis Data ... 43
3.3.1 Giongo 擬音語 ... 43
3.3.2 Giseigo 擬声語 ... 55
3.3.3 Gitaigo 擬態語 ... 61
3.3.4 Gijoogo 擬情語 ... 77
3.4 Rangkuman Data ... 91
(8)
x
DAFTAR PUSTAKA... xi
LAMPIRAN ... .xiii
SINOPSIS ... xxv
(9)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap hari manusia tidak terlepas dari proses terjadinya interaksi dan komunikasi. Bahasa digunakan oleh manusia sebagai alat untuk mengekspresikan dan mengungkapkan apa yang ada di dalam hati, pikiran, dan perasaan manusia. Di berbagai belahan dunia, bahasa juga menjadi hal yang paling esensial dan menjadi identitas negara. Contohnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa identitas bangsa Indonesia dan bahasa Jepang merupakan bahasa nasional negara Jepang.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang multikultural. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan suku bangsa, budaya, dan bahasa. Keunikan dari berbagai macam etnis di Indonesia membawa Indonesia menjadi suatu negara yang sarat akan kebudayaan, termasuk bahasa daerah. Sama halnya seperti bahasa negara, bahasa daerah juga memiliki ciri khas tersendiri dari masing-masing daerah.
Salah satu suku bangsa yang berada di Indonesia adalah suku Jawa. Bahasa Jawa menjadi bahasa yang mencerminkan kehidupan berkomunikasi pada masyarakat Jawa. Bahasa Jawa juga memiliki variasi bahasa seperti memiliki tata bahasa penghormatan, peribahasa, teka-teki, dan juga mimesis.
Fromkin & Rodman (1974:8) mengemukakan tentang mimesis sebagai berikut:
(10)
'Signs that may have originally been mimetic (similar to miming) or iconic (with a nonarbitrary relationship between form and meaning) change historically as do words, and the iconicity is lost. There is some sound symbolism in language—that is, words whose pronounciation suggests the meaning. A few words in most language are onomatopoeic—the sounds of the words supposedly imitate the sounds of nature. Even here, the sounds differ from one language to another, reflecting the particular sound system of the language.'
'Tanda yang pada dasarnya merupakan tiruan (sama seperti meniru-niru) atau berkenaan dengan gambar (berhubungan antara bentuk dan makna yang nonarbitrer) berubah menjadi kata dan secara gambarannya hilang. Dalam bahasa terdapat simbol bunyi yang merepresentasikan makna. Sebagian besar kata-kata tersebut di dalam berbagai bahasa disebut dengan istilah onomatope yang memiliki arti bunyi-bunyi yang meniru suara alam. Ujaran bunyi-bunyi yang ada berbeda dari satu bahasa dengan bahasa lainnya karena terdapat ciri khusus dari bahasa tersebut.'
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa mimesis yang dapat disebut juga dengan ikonik (iconic) adalah suatu bagian dari bahasa yang pada dasarnya merupakan sebuah tanda yang meniru gambaran keadaan yang terjadi, yang di dalamnya terdapat kata-kata yang disebut dengan onomatope yang merepresentasikan bunyi-bunyi alam.
Selanjutnya, Fromkin & Rodman (1974:8) juga memberikan contoh mengenai mimesis sebagai berikut:
'In English we say cockadoodledoo to represent the rooster's crow, but in Russian they say kukuriku.'
'Dalam bahasa Inggris cockadoodledoo merepresentasikan suara ayam berkokok, akan tetapi dalam bahasa Rusia dilafalkan dengan kata kukuriku.'
Mimesis berbeda pada masing-masing bahasa karena mimesis itu sendiri merupakan karakteristik bahasa tersebut. Onomatope yang termasuk ke dalam mimesis juga memiliki berbagai macam ragam bunyi sehingga memberikan suatu ciri khas atas bahasa itu sendiri.
(11)
Kemudian, ahli linguistik Jepang, Tsujimura (1996:93) mengungkapkan tentang mimesis dalam bahasa Jepang sebagai berikut:
'Many languages have sound symbolic words. There are at least two types of these. One type is onomatopoeia; words that sound like what they mean, for example, words depicting animal sounds. The other is a more abstract type and is referred to as an ideophone. Ideophones and onomatopoeia together are subsumed under the rubric of mimetics.'
'Ada banyak bahasa yang mempunyai kata simbolik untuk bunyi. Setidaknya terdapat 2 jenis. Jenis yang pertama disebut dengan onomatope yang berarti kata-kata dari bunyi yang sesuai dengan maksud, misalnya suara-suara hewan. Jenis yang lainnya adalah jenis yang lebih abstrak dan disebut dengan ideofon. Ideofon dan onomatope berada di dalam ruang lingkup mimesis.'
Dari pernyataan Tsujimura di atas, dapat dipahami bahwa onomatope dan ideofon termasuk dalam mimesis. Onomatope lebih mengacu kepada bunyi atau suara, sedangkan ideofon lebih mengacu kepada bentuk dan keadaan. Mimesis sendiri menganalogikan tentang ekspresi manusia untuk mempertegas bunyi atau kondisi keadaan yang sebenarnya terjadi.
Dari kedua teori mengenai mimesis yang dikemukakan oleh Fromkin & Rodman (1974:8) dan Tsujimura (1996:93), dapat ditemukan persamaan bahwa onomatope termasuk ke dalam mimesis. Mimesis dalam bahasa Jepang dijabarkan menjadi 2 jenis. Yang pertama adalah onomatope yang disebut dengan giongo (擬 音語) dan ideofon yang disebut dengan gitaigo (擬態語).
Kindaichi (1978) dalam Sasaki (1999:3) menjelaskan pengertian 擬 音 語
dan 擬態語sebagai berikut:
'擬音語の方が擬態語よりも音と意味の関係が直接的で、まさに音と意味が自 然の関係にあるけれど、擬態語となると、ノンバーバルな状況描写だから模 写性が乏しい。'
(12)
'Giongo no hou ga gitaigo yori mo oto to imi no kankei ga chokusetsuteki de, masa ni oto to imi ga shizen no kankei ni aru keredo, gitaigo to naru to, nonbaabaru na joukyou byousha dakara moshasei ga toboshii.'
'Giongo lebih mengacu kepada arti dari suara yang secara langsung daripada gitaigo karena giongo lebih merujuk kepada bunyi-bunyi alam. Sedangkan karena gitaigo lebih mengacu kepada gambaran deskriptif dari suatu keadaan secara nonverbal, maka hal yang dapat ditiru menjadi terbatas.'
Contoh mimesis dalam bahasa Jepang menurut Tsujimura (1996:93) adalah 'pota-pota' yang memiliki arti dripping 'menetes'. Perhatikan contoh kalimat berikut ini:
(1) 水道の栓がゆるんで、締めたつもりでもぽたぽた漏れる。
Suidou no sen ga yurunde, shimeta tsumori demo pota-pota moreru. Karena keran airnya longgar, ditutup sekalipun tetap saja bocor dan
airnya terus menetes-netes.
(Atauda & Hoshino, 1995:505) Menurut Atauda & Hoshino (1995:505) pota-pota bermakna sebagai berikut:
水滴状のものが連続してしたたり落ちて打ち当たる音ようす。
Suiteki jou no mono ga renzoku shite shitatari ochite uchi ataru oto yousu. Suara dari tetesan air yang turun menetes secara berulang-ulang.
Dengan demikian, pota-pota pada kalimat (1) berfungsi sebagai adverbia yang menjelaskan predikat 漏れるyang memiliki arti terus menerus menetes jika dilihat dari segi sintaksisnya sehingga makna dari kalimat tersebut adalah pota-pota pada kalimat (1) memiliki pengertian bunyi tetesan air yang jatuh menetes secara perlahan-lahan tetapi terjadi dalam proses yang terus menerus. Pota-pota termasuk ke dalam onomatope atau giongo (擬音語).
Selanjutnya, contoh mimesis lain bahasa Jepang yang diungkapkan oleh Tsujimura (1996:93) adalah 'pika-pika' yang memiliki arti glaring 'bersinar'. Perhatikan contoh kalimat berikut ini:
(13)
(2) 空の果てで稲光がぴかぴかと光った。
Sora no hate de inabikari ga pika-pika to hikatta. Di ujung langit ada kilat yang bersinar-sinar.
(Atauda & Hoshino, 1995:399) Menurut Atauda & Hoshino (1995:399) pika-pika bermakna sebagai berikut:
連続して光り輝くようす。また、光沢があって光っているようす。
Renzoku shite hikari kagayaku yousu. Mata, koutaku ga atte hikatteiru yousu.
Suatu keadaan yang menggambarkan cahaya bersinar dengan mengkilap.
Secara sintaksis, pika-pika pada kalimat (2) juga berfungsi sebagai keterangan yang menerangkan predikat verba 光 っ たyang memiliki makna bersinar. Secara semantik, pika-pika pada kalimat (2) memiliki pengertian suatu keadaan yang menunjukkan adanya kilat yang bersinar di langit sehingga terlihat seperti sesuatu yang mengkilap. Pika-pika termasuk ke dalam gitaigo (擬態語).
Sama halnya dengan bahasa Jepang, dalam bahasa Jawa pun terdapat mimesis. Menurut Purwadi (2005:98-102) mimesis dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam kata ulang. Masih menurut Purwadi, sistem pengulangan dalam bahasa Jawa disebut dengan tembung rangkep yang artinya adalah kata yang diucapkan dua kali sebagian atau seluruhnya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tembung dwilingga, tembung dwipurwa, tembung dwiwasana.
Dalam bahasa Jawa, mimesis merujuk kepada kata reduplikasi yang disebut dengan tembung dwilingga. Tembung dwilingga menurut Wedhawati (2006:41) adalah pengulangan keseluruhan bentuk dasar di dalam morfologi bahasa Jawa. Pengulangan itu ada tiga macam, yaitu:
a. Pengulangan tanpa perubahan vokal (U), misalnya {bocah 'anak kecil' + U} menjadi bocah-bocah 'anak-anak'.
(14)
b. Pengulangan dengan perubahan vokal (Upv), misalnya {turu 'tidur' + Upv} menjadi tura-turu 'tidur berulang-ulang dengan selang waktu antartindakan yang relatif agak panjang'. Disebut dengan tembung dwilingga salin swara.
c. Pengulangan semu (Us) yang tidak jelas bentuk dasarnya dan tidak pernah mandiri sebagai kata, misalnya unyeng-unyeng 'pusar kepala'.
Wedhawati (2006:42) mengemukakan bahwa tembung dwipurwa dan tembung dwiwasana merupakan pengulangan sebagian bentuk dasar atau pengulangan parsial (Up). Tembung dwipurwa adalah pengulangan konsonan awal bentuk dasar plus vokal pepet, misalnya {luhur 'terhormat' + Up} menjadi leluhur 'nenek moyang', (bungah 'gembira' + Up} menjadi bebungah 'hadiah'.
Tembung dwiwasana adalah pengulangan suku akhir bentuk dasar dengan disertai pelesapan konsonan akhirnya, misalnya {celuk 'panggil + Up} menjadi celuluk 'berucap', {penthung 'pukul' + Up} menjadi penthunthung 'tiba-tiba membesar'. Reduplikasi dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam kelas kata adverbia yang disebut dengan tembung katrangan.
Definisi adverbia menurut Wedhawati (2006:329) adalah kata yang berfungsi memberi keterangan bagaimana suatu tindakan yang dinyatakan oleh verba dilakukan. Di dalam perkembangannya pengertian itu meluas menjadi kata yang berfungsi memberi keterangan pada unsur tertentu di dalam suatu kontruksi. Unsur itu dapat berupa kata, frasa, atau klausa. Unsur yang diberi keterangan itu dapat berupa verba, adjektiva, nomina, pronomina, numeralia, atau adverbia lain. Di dalam klausa kalimat, adverbia memberi keterangan pada subjek, predikat, objek, pelengkap, keterangan, atau keseluruhan klausa atau kalimat.
(15)
Berikut adalah contoh mimesis dalam bahasa Jawa:
(3) Dumadakan Endah mbengok banjur mlayu girap-girap. Tiba-tiba Endah menjerit lalu lari dengan penuh ketakutan.
(Wedhawati, 2006:338) Secara sintaksis, girap-girap pada kalimat (3) memiliki kelas kata adverbia yang berfungsi sebagai keterangan untuk menerangkan predikat mlayu 'lari'. Secara semantik, girap-girap menggambarkan suatu keadaan dari perbuatan mlayu 'lari' terbirit-birit dengan penuh ketakutan yang ditunjukkan oleh Endah yang menjadi subjek dan berperan sebagai pelaku pada kalimat (3). Girap-girap termasuk ke dalam tembung dwilingga yang berarti sistem pengulangan seluruh kata secara utuh.
Selanjutnya, ada juga mimesis dalam bahasa Jawa yang dapat mengalami derivasi dari segi sintaksisnya. Berikut adalah contoh mimesis dalam bahasa Jawa yang mengalami perubahan kelas kata dalam suatu konstruksi kalimat:
(4) Aja jedhal-jedhul neng kene. Jangan tiba-tiba muncul di sini.
(Purwadi, 2005:100) Secara sintaksis, jedhal-jedhul pada kalimat (4) memiliki kelas kata adverbia yang mengalami derivasi sehingga berubah kelas kata menjadi verba dan berfungsi sebagai predikat. Jika kata jedhal-jedhul dihilangkan, akan terjadi perubahan makna. Secara semantik, jedhal-jedhul menggambarkan suatu keadaan yang seenaknya sendiri dan tidak mempedulikan lingkungan sekitar sehingga dinilai tidak konsisten, seperti misalnya tiba-tiba pergi menghilang lalu tiba-tiba muncul kembali atau sebaliknya. Jedhal-jedhul termasuk ke dalam reduplikasi berubah bunyi yang disebut dengan tembung dwilingga salin swara.
(16)
Bahasa Jepang mempunyai mimesis, bahasa Jawa pun mempunyai mimesis. Dan setelah diamati terdapat mimesis bahasa Jepang yang mempunyai kemiripan arti dengan mimesis bahasa Jawa, seperti pada contoh 擬 音 語 bahasa Jepang berikut ini:
(5) 家具がぎしぎしいうので地震だと気づいた。
Kagu ga gishi-gishi iu no de jishin da to kizuita.
Sadar bahwa ada gempa bumi karena mebel yang bergoyang-goyang. (Atauda & Hoshino, 1995:78) Menurut Atauda & Hoshino (1995:78) gishi-gishi bermakna sebagai berikut:
木材で組み立て物体が振動ですれ合ってきしむ連続音。
Mokuzai de kumitate buttai ga shindou de sureatte kishimu renzokuon. Bunyi kayu yang bergesekan karena ada getaran atau goncangan.
Dengan demikian, gishi-gishi pada kalimat (5) berfungsi sebagai keterangan yang digunakan untuk menjelaskan suara gesekan kayu yang terdengar dari mebel yang seolah-olah akan jatuh di saat terjadinya gempa bumi.
Kemudian, di dalam bahasa Jawa juga terdapat kata mimesis seperti gishi-gishi yang mengacu pada arti yang sama. Berikut adalah contoh mimesis dalam bahasa Jawa:
(6) Bocah iku turune ngolang-ngaling. Anak itu tidurnya berguling-guling.
(Purwadi, 2005:99) Ngolang-ngaling memiliki kelas kata adverbia yang berfungsi sebagai keterangan untuk menerangkan predikat turu 'tidur'. Dari kalimat (6) tersebut dapat dipahami bahwa maksud dari ngolang-ngaling adalah keadaan anak tersebut yang sedang tidur seolah-olah tidak memiliki keseimbangan dan tidak terarah sehingga memiliki kemungkinan bahwa anak itu bisa saja terjatuh dari tempat tidurnya.
(17)
Ngolang-ngaling termasuk ke dalam reduplikasi berubah bunyi yang disebut dengan tembung dwilingga salin swara.
Mimesis dalam bahasa Jepang mencakup dua jenis, yaitu onomatope (擬音 語) dan ideofon (擬態語), sedangkan mimesis dalam bahasa Jawa sebenarnya tidak ada kata secara khusus untuk menyebutkan kata mimesis itu sendiri, akan tetapi mimesis dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam ruang lingkup kategori adverbia yang berupa kata reduplikasi atau tembung dwilingga. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti secara kontrastif untuk mengetahui persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat dari keunikan mimesis dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.
Penelitian mengenai giongo gitaigo pernah dilakukan oleh Marisa Rianti pada tahun 1996 dan Linda Rosaprilia pada tahun 2016 dengan judul “Analisis Gitaigo (擬 態語) dalam Bahasa Jepang yang Berkaitan dengan Perasaan (Kajian Sintaksis dan Semantik)”. Penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu karena penulis menganalisis secara kontrastif bahasa Jepang dengan bahasa ibu dari penulis, yaitu bahasa Jawa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan, penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1) Apa persamaan dan perbedaan 擬音語dan 擬態語dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa?
2) Apa makna yang terbentuk dari 擬音語 dan 擬態語 dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa?
(18)
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan 擬 音 語 dan 擬 態 語 dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.
2) Mendeskripsikan makna yang terbentuk dari 擬 音 語 dan 擬 態 語 dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.
1.4 Metode Penelitian dan Teknik Kajian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode analisis kontrastif dengan menggunakan teknik kajian kontrastif dan teknik studi kepustakaan.
1.4.1 Metode Penelitian
Kridalaksana (1983:11) mengemukakan bahwa analisis kontrastif (contrastive analysis, differential analysis, differential linguistics) merupakan metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang diiterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan.
Menurut Tarigan (2009:5) metode analisis kontrastif yang berupa prosedur kerja adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan di antara kedua bahasa.
(19)
Metode analisis kontrastif membandingkan unsur antara dua bahasa yang bersangkutan. Dilihat dari fungsi dan kategori kata atau frasa dalam kalimat, unsur persamaan dan perbedaan yang terdapat pada giongo gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa, dan makna yang dapat dipahami dari giongo gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa tersebut.
Bahasa Jepang Bahasa Jawa
Kata ぎしぎし ngolang-ngaling
Kategori adverbia adverbia
Klasifikasi suara gesekan kayu (擬音語) keadaan tidur (擬態語)
Arti oleng oleng
Tabel tersebut menunjukkan bahwa ada persamaan dan perbedaan dari giongo gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Giongo gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa tersebut memiliki jenis pembentukan kata yang sama yaitu reduplikasi, akan tetapi ngolang-ngaling merupakan reduplikasi berubah bunyi atau tembung dwilingga salin swara. Kelas kata ぎ し ぎ し dan ngolang-ngaling juga sama, yaitu adverbia. Namun, ぎ し ぎ し dalam bahasa Jepang termasuk ke dalam giongo, sedangkan ngolang-ngaling dalam bahasa Jawa termasuk ke dalam gitaigo. ぎ し ぎ し dan ngolang-ngaling mengacu kepada arti yang sama yang berarti oleng.
Dengan demikian, metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode analisis kontrastif karena metode tersebut digunakan untuk menganalisis data dengan membandingkan persamaan dan perbedaan struktur dari kedua bahasa yang bersangkutan, yaitu bahasa Jepang dan bahasa Jawa.
(20)
1.4.2 Teknik Kajian
Teknik kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teknik Kajian Kontrastif
Menurut Tarigan (1992:131), langkah-langkah yang digunakan dalam analisis kontrastif adalah pemerian atau deskripsi dan perbandingan atau komparasi. Teknik kajian kontrastif merupakan salah satu teknik penelitian yang digunakan untuk menemukan perbedaan dan melakukan penelitian terhadap unsur dari dua bahasa yang berbeda.
2. Teknik Studi Kepustakaan
Nazir (1988:111) mengatakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Studi kepustakaan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu mengetahui jenis pustaka yang dibutuhkan berdasarkan bentuk dan isi pustaka, mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka, dan menyajikan studi kepustakaan.
1.5 Organisasi Penulisan
Adapun penelitian “Analisis Kontrastif Giongo Gitaigo 擬 音 語 擬 態 語
dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa (Kajian Sintaksis dan Semantik)” ini disusun berdasarkan struktur penulisan sebagai berikut:
Bab I memaparkan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dari penelitian, metode penelitian dan teknik kajian yang digunakan untuk
(21)
penelitian, dan organisasi penulisan skripsi yang memberikan gambaran struktur dari keseluruhan penelitian. Selanjutnya, Bab II berisi kajian teori yang mencakup teori-teori mengenai linguistik umum, antara lain teori tentang sintaksis dan semantik. Ada juga teori tentang analisis kontrastif bahasa dan giongo gitaigo. Kemudian, Bab III berisi tentang analisis secara kontrastif mengenai makna yang terbentuk, persamaan dan perbedaan giongo gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang data-datanya diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, cerita, novel, lagu, acara dan serial televisi. Bab IV berisi simpulan dari analisis data di bab III.
Organisasi penulisan ini dibuat untuk memberikan gambaran mengenai langkah-langkah dalam melakukan penelitian dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian. Dengan demikian, pembaca akan dapat memahami isi dari penelitian ini melalui organisasi penulisan.
(22)
BAB IV
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan dalam menganalisis data kontrastif 擬音語 擬態語dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa, maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat persamaan dan perbedaan dari giongo gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Persamaan yang penulis dapatkan dari giongo
dan gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
a) Giongo dan gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa dapat berupa morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi. b) Giongo dan gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa sama-sama berkategori sebagai adverbia, akan tetapi dapat mengalami perubahan atau mengalami derivasi menjadi verba dan nomina.
Demikian pula terdapat perbedaan dari giongo gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa, yaitu sebagai berikut:
a) Dalam bahasa Jepang, mimesis disebut dengan giongo dan gitaigo yang diklasifikasikan menjadi empat jenis (giongo, giseigo, gitaigo, dan gijoogo) sedangkan mimesis di dalam bahasa Jawa tidak memiliki kata yang digunakan untuk menyebutkan mimesis itu sendiri.
b) Mimesis dalam bahasa Jepang dapat berupa morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi. Namun, mimesis dalam
(23)
bahasa Jawa tidak hanya berupa morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi saja, ada pula mimesis yang dilekati dengan unsur prefiks mak- atau pating- dan penambahan sufiks -an.
2. Giongo gitaigo memberikan makna yang mempengaruhi makna kalimat secara menyeluruh. Jika dilihat dari posisi fungsi sintaksis sebagai keterangan pada kalimat tersebut, giongo gitaigo menerangkan predikat pada kalimat tersebut. Jika giongo gitaigo menempati posisi fungsi sintaksis sebagai predikat pada kalimat tersebut, maka giongo gitaigo
merupakan makna inti dari perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh subjek pada kalimat yang bersangkutan.
Kesan makna yang berbeda juga dapat terbentuk dari proses pembentukan kata giongo gitaigo itu sendiri. Misalnya, mimesis dengan huruf konsonan mempengaruhi persepsi tentang sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat daripada mimesis yang bersanding dengan huruf vokal.
(24)
DAFTAR PUSTAKA
Akimoto, Miharu etc. 1987. 外 国 人 の た め の 日 本 語 例 文 問 題 シ リ ーズ1 副 詞.
Tokyo : Aratakeshutsupan.
Aramu, Yukiko Sasaki. 1999. Gengogaku to Nihongo Kyouiku. Tokyo : Sakamoto
Seihonjo.
Atauda, Toshiko dan Kazuko Hoshino. 1995. Gitaigo Giongo Tsukaikata Jiten.
Tokyo : Soutakusha.
Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Chang, Andrew C. 1990. A Thesaurus of Japanese Mimesis and Onomatopoeia :
Usage by Categories (Gitaigo Giongo Bunrui Youhou Jiten). Tokyo : Taishukan Shoten.
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1974. An Introduction to Language Sixth
Edition. United States of America : Harcourt Brace & Company.
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Purwadi dkk. 2005. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta : Media Abadi.
Ramlan. 1986. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta : CV. Karyono.
Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta : Temprint.
Richards, Jack etc. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. London :
Longman Group Limited.
Sriwibawa, Sugiarta. 2002. Candhikala Kapuranta. Jakarta : Pustaka Jaya.
(25)
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung : Angkasa.
Tofani, M. Abi. 2004. Kawruh Basa Jawi Pepak. Surabaya : Pustaka Agung
Harapan.
Tomita, Takayuki. 1991. Bunpo no Kiso Chisiki to Sono Oshiekata. Tokyo : Bonjinsha.
Tsujimura, Natsuko. 1996. An Introduction to Japanese Linguistics. Oxford :
Blackwell Publishers.
Wedhawati dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta : Kanisius.
(1)
1.4.2 Teknik Kajian
Teknik kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teknik Kajian Kontrastif
Menurut Tarigan (1992:131), langkah-langkah yang digunakan dalam analisis kontrastif adalah pemerian atau deskripsi dan perbandingan atau komparasi. Teknik kajian kontrastif merupakan salah satu teknik penelitian yang digunakan untuk menemukan perbedaan dan melakukan penelitian terhadap unsur dari dua bahasa yang berbeda.
2. Teknik Studi Kepustakaan
Nazir (1988:111) mengatakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Studi kepustakaan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu mengetahui jenis pustaka yang dibutuhkan berdasarkan bentuk dan isi pustaka, mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka, dan menyajikan studi kepustakaan.
1.5 Organisasi Penulisan
Adapun penelitian “Analisis Kontrastif Giongo Gitaigo 擬 音 語 擬 態 語 dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa (Kajian Sintaksis dan Semantik)” ini disusun berdasarkan struktur penulisan sebagai berikut:
Bab I memaparkan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dari penelitian, metode penelitian dan teknik kajian yang digunakan untuk
(2)
penelitian, dan organisasi penulisan skripsi yang memberikan gambaran struktur dari keseluruhan penelitian. Selanjutnya, Bab II berisi kajian teori yang mencakup teori-teori mengenai linguistik umum, antara lain teori tentang sintaksis dan semantik. Ada juga teori tentang analisis kontrastif bahasa dan giongo gitaigo. Kemudian, Bab III berisi tentang analisis secara kontrastif mengenai makna yang terbentuk, persamaan dan perbedaan giongo gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang data-datanya diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, cerita, novel, lagu, acara dan serial televisi. Bab IV berisi simpulan dari analisis data di bab III.
Organisasi penulisan ini dibuat untuk memberikan gambaran mengenai langkah-langkah dalam melakukan penelitian dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian. Dengan demikian, pembaca akan dapat memahami isi dari penelitian ini melalui organisasi penulisan.
(3)
BAB IV
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan dalam menganalisis data kontrastif 擬音語 擬態語dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa, maka dapat diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat persamaan dan perbedaan dari giongo gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Persamaan yang penulis dapatkan dari giongo dan gitaigo bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
a) Giongo dan gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa dapat berupa morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi. b) Giongo dan gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa sama-sama berkategori sebagai adverbia, akan tetapi dapat mengalami perubahan atau mengalami derivasi menjadi verba dan nomina.
Demikian pula terdapat perbedaan dari giongo gitaigo dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa, yaitu sebagai berikut:
a) Dalam bahasa Jepang, mimesis disebut dengan giongo dan gitaigo yang diklasifikasikan menjadi empat jenis (giongo, giseigo, gitaigo, dan gijoogo) sedangkan mimesis di dalam bahasa Jawa tidak memiliki kata yang digunakan untuk menyebutkan mimesis itu sendiri.
b) Mimesis dalam bahasa Jepang dapat berupa morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi. Namun, mimesis dalam
(4)
bahasa Jawa tidak hanya berupa morfem, bentuk kata reduplikasi utuh, dan reduplikasi berubah bunyi saja, ada pula mimesis yang dilekati dengan unsur prefiks mak- atau pating- dan penambahan sufiks -an.
2. Giongo gitaigo memberikan makna yang mempengaruhi makna kalimat secara menyeluruh. Jika dilihat dari posisi fungsi sintaksis sebagai keterangan pada kalimat tersebut, giongo gitaigo menerangkan predikat pada kalimat tersebut. Jika giongo gitaigo menempati posisi fungsi sintaksis sebagai predikat pada kalimat tersebut, maka giongo gitaigo merupakan makna inti dari perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh subjek pada kalimat yang bersangkutan.
Kesan makna yang berbeda juga dapat terbentuk dari proses pembentukan kata giongo gitaigo itu sendiri. Misalnya, mimesis dengan huruf konsonan mempengaruhi persepsi tentang sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat daripada mimesis yang bersanding dengan huruf vokal.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Akimoto, Miharu etc. 1987. 外 国 人 の た め の 日 本 語 例 文 問 題 シ リ ーズ1 副 詞. Tokyo : Aratakeshutsupan.
Aramu, Yukiko Sasaki. 1999. Gengogaku to Nihongo Kyouiku. Tokyo : Sakamoto Seihonjo.
Atauda, Toshiko dan Kazuko Hoshino. 1995. Gitaigo Giongo Tsukaikata Jiten. Tokyo : Soutakusha.
Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Chang, Andrew C. 1990. A Thesaurus of Japanese Mimesis and Onomatopoeia : Usage by Categories (Gitaigo Giongo Bunrui Youhou Jiten). Tokyo : Taishukan Shoten.
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1974. An Introduction to Language Sixth Edition. United States of America : Harcourt Brace & Company.
Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia. Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Purwadi dkk. 2005. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta : Media Abadi.
Ramlan. 1986. Ilmu Bahasa Indonesia Sintaksis. Yogyakarta : CV. Karyono. Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta : Temprint.
Richards, Jack etc. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. London : Longman Group Limited.
Sriwibawa, Sugiarta. 2002. Candhikala Kapuranta. Jakarta : Pustaka Jaya.
(6)
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung : Angkasa.
Tofani, M. Abi. 2004. Kawruh Basa Jawi Pepak. Surabaya : Pustaka Agung Harapan.
Tomita, Takayuki. 1991. Bunpo no Kiso Chisiki to Sono Oshiekata. Tokyo : Bonjinsha.
Tsujimura, Natsuko. 1996. An Introduction to Japanese Linguistics. Oxford : Blackwell Publishers.
Wedhawati dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta : Kanisius. Yamaguchi, Nakami. 2003. Gitaigo Giongo Jiten. Tokyo : Kodansha.