PERAN ASESMEN FORMATIF DALAM MEMBENTUK HABITS OF MIND MAHASISWA.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ii

PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv

UCAPAN TERIMA KASIH vi

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 13

C. Pertanyaan Penelitian 13

D. Batasan Masalah 14

E. Penjelasan Istilah 15

F. Tujuan Penelitian 16

G. Manfaat Penelitian 16

BAB II.PEMBEKALAN PEDAGOGICAL CONTENT KNOWLEDGE (PCK) BIOTEKNOLOGI MELALUI PERKULIAHAN KAPITA SELEKTA BIOLOGI SMA. A. Paedagogical Content Knowledge (PCK) 18

B. Pembekalan PCK bagi Calon Guru 22 C. Hubungan Pengetahuan Konten Pedagogi dengan


(2)

Halaman

Pengetahuan Dasar Mengajar 27

D. Pentingnya Pengetahuan Pedagogical Content Knowledge Dalam Pendidikan Guru Sains 30

E. Bioteknologi dan Pembelajarannya 35

F. Peta Konsep sebagai salah satu Alat Ukur Penguasaan Konsep 40

G. Perkuliahan Kapita Selekta Biologi SMA 42

H. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan 45

BAB III.METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian 51

B. Lokasi, Subyek dan Obyek Penelitian 51

C. Prosedur dan Langkah-langkah Penelitian 53

1. Studi Pendahuluan 53 2. Perancangan dan Pengembangan Program 54 3. Uji coba & Revisi Program 56 4. Validasi/Implementasi Program 57

D. Instrumen Penelitian 59

E. Teknik Pengumpulan Data 67

F. Teknik Pengolahan Data 68

G. Paradigma Penelitian 74

H. Alur Penelitian 74

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 77

1. Pengembangan Struktur Program P2CKBiotek 77

2. Implementasi Program P2CKBiotek 81

3. Hasil pengukuran Efektivitas Program P2CKBiotek 89


(3)

Halaman

B. Pembahasan 111

1. Struktur Program P2CKBiotek 111 2. Efektivitas Program Pembekalan P2CKBiotek 132 3. Analisis hasil-hasil Penugasan pada Program P2CKBiotek 143 4. Dampak Program P2CKBiotek melalui Kapsel Bio SMA 151

5. Temuan Penelitian 161

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 162

B. Saran 164

DAFTAR PUSTAKA 167


(4)

i DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. iv

ABSTRACT ………. v

KATA PENGANTAR ……….. vi

UCAPAN TERIMAKASIH ………. vii

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………. 11

C. Pembatasan Masalah ………. 11

D. Tujuan Penelitian ……….. 12

E. Manfaat Penelitian ……… 12

F. Penjelasan Istilah ……… 13

BAB II. KETERKAITAN ASESMEN FORMATIF DENGAN HABITS OF MIND A. Pentingnya Asesmen Formatif dalam Pembelajaran ………. 16

B. Habits of Mind sebagai Karakter Perilaku Cerdas Tertinggi ………. 34


(5)

ii

D. Karakteristik Mata Kuliah Keanekaragaman Hayati ………. 41

E. Pentingnya Menggugah Kepedulian Mahasiswa Terhadap Keanekaragaman Tumbuhan Indonesia ………. 42

F. Penelitian-penelitian yang Relevan ……… 45

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian ……… 49

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ………. 50

C. Definisi Operasional ……….. 51

D.Prosedur Penelitian ………. 52

E. instrumen Penelitian ……… 60

F. Teknik Pengumpulan Data ……… 69

G. Teknik Pengolahan Data ……….. 70

H. Pengembangan Struktur Program PAFTHoM ………. 74

BAB IV. HASIL PENELITIAN, TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ……… 80

B. Temuan dan Pembahasan ……….. 105

BAB V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan ……… 148

B. Implikasi Penelitian ………. …… 149

C. Rekomendasi ………. 150

DAFTAR PUSTAKA ………. 155


(6)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Deskripsi dari Habits of Mind ……….. 39

3.1. Desain Validasi Program PAFTHoM ……… 59

3.2. Instrumen Penelitian dan Tujuan Instrumen ………. 60

3.3. Kriteria N-Gain ………. 72

3.4. Kriteria Ketercapaian HoM ……… 73

3.5. Hasil Uji Korelasi Tahap Ujicoba ……….. 76

3.6. Pengelompokan N-Gain Berdasarkan HoM Mahasiswa ……… 77

4.1. Rata-rata Persentase Pemahaman dan Retensi Mahasiswa Terhadap Konsep-konsep Morfologi Tumbuhan ……… 80

4.2. Hasil Analisis Tugas Menggambar pada Praktikum ………….. 94

4.3. Data Kemajuan Kelompok Mahasiswa dalam Membuat Laporan Praktikum ………. 96

4.4. Hasil Uji Korelasi Tahap Implementasi Program ..………….. 97

4.5. Kontribusi Komponen Asesmen Formatif terhadap Kategori HoM Setelah diterapkan Asesmen Formatif ………. 98

4.6. Kontribusi Asesmen Formatif terhadap Kategori HoM ………. 100

4.7. Pengelompokan N-Gain Berdasarkan HoM Mahasiswa ……… 100

4.8. Nilai Rata-rata UTS dan UAS Botani Phanerogamae pada kelas Ujicoba dan Implementasi Program ……….. 105


(7)

iv

Tabel Halaman 4.10. Hasil Uji Korelasi pada Tahap Ujicoba dan Tahap Implementasi.. 108


(8)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1.1. Kerangka Berpikir Penelitian ……… 10 2.1. Empat Langkah Asesmen Formatif (Popham, 2011) ……… 21 2.2. Interaksi Dimensi belajar (Marzano, 1993) ……… 36 2.3. Struktur Materi Ajar Mata Kuliah Keanekaragaman Hayati… 43 3.1. Bagan Desain Penelitian dan Pengembangan (R & D) …….. 50 3.2. Desain Penerapan Asesmen Formatif pada Perkuliahan

Teori Botani Phanerogamae ………... 55 3.3. Desain Penerapan Asesmen Formatif pada Praktikum

Botani Phanerogamae ………. 56 3.4. Proses dan Pengembangan Program PAFTHoM ………. 79 4.1. Pelaksanaan Perkuliahan Botani Phanerogamae sebelum

Penerapan asesmen Formatif ………. 85 4.2. Program PAFTHoM pada Perkuliahan Botani Phanerogamae .. 85 4.3. Kesan Mahasiswa terhadap Pelaksanaan Mata Kuliah

Botani Phanerogamae ……… 104 4.4. Presentase Urutan Komponen Asesmen Formatif yang

berpengaruh pada HoM menurut Mahasiswa ……… 104 4.5. Persentase Kategori Gain Ternormalisasi pada Tahap


(9)

vi

Gambar Halaman 4.6. Habits of Mind yang Dikembangkan pada Kegiatan Presentasi

Kelompok dan Persentase Capaiannya ……….. 112 4.7. Profil Kinerja Mahasiswa pada Presentasi Kelompok ………… 113 4.8. Contoh Bagan Konsep yang Paling Mudah ……… 118 4.9. Contoh Bagan Konsep yang Lebih Sulit ……… 119 4.10. Capaian Persentase Habits of Mind yang Dikembangkan

Melalui Kinerja Praktikum ……….. 119 4.11. Habits of Mind yang Dikembangkan pada Presentasi

Kelompok Praktikum dan Presentase Capaiannya …………. 122 4.12. Kontribusi Masing-masing Komponen Asesmen Formatif

Masing-masing Kategori HoM dalam Persen (%) Sebelum

Dan Sesudah Penerapan Asesmen Formatif ……….. 131 4.13. Hubungan Kontribusi antara Komponen Asesmen Formatif

dan Kategori HoM ……….. 135 4.14. Urutan Kategori HoM yang dipengaruhi Asesmen Formatif


(10)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1 (A-C) Tes Pengetahuan Prasyarat Botani Phanerogamae

dan Hasil Analisisnya ……… 163 2 (A-C) Angket mahasiswa dan Hasil Analisisnya .……….. 172

3 (A-B) Angket Dosen dan Hasil Analisisnya ……….. 181 4 (A-D) Angket Penelusuran Habits of Mind dan Hasil

Analisisnya ………... 186 5 (A-C) Task Presentasi Teori Botani Phanerogamae dan hasil

Analisisnya ……… 199 6 (A-B) Lembar Observasi Presentasi Kelompok dan Hasil

Analisisnya……….. 204 7 (A-B) Bagan Konsep dan Hasil Analisisnya………. 209 8 (A-B) Lembar Observasi Kegiatan Praktikum Botani …………. 220 9 (A-B) Lembar Observasi Presentasi dan Hasil Analisisnya …… 224 10 (A-B) Task dan Rubric Tugas Menggambar ………. 227 11 Task dan Rubric Laporan Praktikum ……….. 229 12 Data Written Feedback Laporan Praktikum Mingguan ….. 230 13 (A-C) Angket Mahasiswa Setelah Mengikuti Mata kuliah

Botani Phanerogamae dan Pengolahan Datanya………….. 238 14 Hasil Analisis Data Angket Mahasiswa I ……… 273 15 Hasil Analisis Data Angket Mahasiswa II ………. 280


(11)

viii

Lampiran Halaman 16 Format Wawancara Mahasiswa ……… 283 17 Nilai Rata-rata UTS dan UAS Botani Phaneogamae Tahun

2003-2005 ……… 285 18 Hasil Rekapitulasi Data Individu dan Kelompok pada

Proses Pengembangan HoM melalui Berbagai Strategi

Asesmen Formatif ………. 286

19 Foto-foto Penelitian ………. .. 288


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan merupakan usaha sadar mengembangkan manusia menuju kedewasaan. Kedewasaan ini meliputi aspek kedewasaan intelektual, sosial dan moral. Tujuan pendidikan bukan hanya mengembangkan aspek intelektual atau penguasaan materi pengetahuan saja, akan tetapi juga harus diimbangi dengan sikap dan keterampilan. Hal ini sesuai dengan tujuan hasil belajar yang menghendaki keseimbangan antara kemampuan intelektual (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor).

Praktek pembelajaran di sekolah-sekolah masih banyak yang berorientasi semata-mata pada penguasaan materi pelajaran. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pendidikan difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran (menghafal). Ukuran keberhasilan pembelajaran antara lain dilihat dari sejauhmana siswa dapat menguasai materi pelajaran tersebut. Apakah materi tersebut dipahami untuk kebutuhan hidup siswa, atau apakah siswa dapat menangkap hubungan materi yang dihafalnya itu dengan pengembangan potensi yang dimilikinya, atau bagaimana keterkaitan materi tersebut dengan kehidupan sehari-hari, tidaklah menjadi persoalan, yang penting siswa dapat mengungkapkan kembali apa yang dipelajarinya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika proses pembelajaran tidak memperhatikan hakekat mata pelajaran yang disajikan. Kenyataan ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang dipaparkan di atas, yang menuntut adanya keseimbangan hasil belajar antara kemampuan intelektual, sikap dan keterampilan.


(13)

Dengan kata lain tujuan pendidikan menuntut adanya keseimbangan antara aktivitas intelektual, aktivitas mental termasuk emosional dan aktivitas fisik.

Tujuan yang paling penting dari pendidikan sebenarnya adalah

mengembangkan kebiasaan mental yang memungkinkan individu untuk belajar mengenai segala hal yang mereka inginkan atau mereka butuhkan untuk memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan hidupnya. Setiap individu dalam hidupnya akan berhadapan dengan berbagai masalah, baik masalah akademik atau masalah pribadi. Kadang-kadang masalah itu sederhana dan mudah diatasi, akan tetapi sering juga masalah tersebut sulit diatasi. Dalam situasi ketika seorang individu tidak mengetahui bagaimana merespon masalah tersebut, diperlukan perilaku cerdas untuk mengatasinya, dalam arti tidak hanya mengetahui informasi tetapi juga mengetahui bagaimana harus bertindak. Kemampuan berperilaku cerdas tersebut disebut sebagai habits of mind (Costa & Kallick, 2000a).

Habits of mind dikembangkan oleh Marzano (1993) dalam dimensions of learning yang meliputi: sikap dan persepsi terhadap belajar (dimensi 1), memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan (dimensi 2), memperluas dan menghaluskan pengetahuan (dimensi 3), menggunakan pengetahuan secara bermakna (dimensi 4), dan memanfaatkan kebiasaan berfikir produktif (habits of mind) (dimensi 5). Dimensi pertama dan kelima menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam proses belajar, karena kedua dimensi tersebut menjadi penentu keberhasilan dari dimensi-dimensi lainnya. Oleh karena itu pembekalan habits of mind menjadi hal yang menjadi penekanan untuk dikaji pada penelitian ini.

Para peneliti di bidang psikolog kognitif menemukan bahwa selain memiliki kemampuan proses berpikir, manusia juga memiliki kemampuan mengontrol


(14)

perilakunya, dengan menggunakan habits of mind secara efektif. Beberapa tokoh (Ennis, 1987; Paul, 1990; Costa, 1991; Perkins, 1984; Flavell 1976; Zimmerman, 1990; Amabile, 1983 dalam Marzano et al., 1993) menempatkan kebiasaan berpikir ke dalam tiga kategori yaitu self regulation, critical thinking dan creative thinking. Sementara itu beberapa tokoh lain (Costa dan Kallick, 2000a; Costa dan Kallick, 2000b; Carter, et al., 2005) membagi habits of mind menjadi 16 indikator yang kurang lebih serupa dengan yang dikembangkan oleh Marzano (1993).

Apabila dicermati indikator-indikator dari habits of mind yang dikemukakan oleh Marzano (1993), Costa dan Kallick (2000a dan 2000b) dan Carter, et al., (2005) terlihat bahwa indikator-indikator tersebut membekali individu dalam mengembangkan kebiasaan mental yang menjadi tujuan penting pendidikan. Bahkan Costa dan Kallick (2000b) serta Campbell (2006) mengklaim habits of

mind sebagai karakteristik perilaku berpikir cerdas yang paling tinggi untuk

memecahkan masalah dan merupakan indikator kesuksesan dalam akademik, pekerjaan dan hubungan sosial.

Kemampuan habits of mind seorang individu dapat digali, dilatih, dikembangkan dan dibentuk menjadi lebih baik. Penelitian Anwar (2005) menunjukkan bahwa performance assessment dapat membentuk habits of mind pada pembelajaran konsep lingkungan. Penelitian Cheung dan Hew (2008) menunjukkan indikator “menyadari pemikirannya sendiri“ dan “bersifat terbuka” dalam habits of mind bisa digali melalui partisipasi mahasiswa pada pembelajaran online dibandingkan indikator lainnya. Carter, et al., (2005) dalam bukunya yang berjudul Keys to Effective Learning Developing Powerful Habits of Mind mengungkapkan mengenai berbagai strategi untuk menggali, mengembangkan dan membentuk habits of mind seseorang.


(15)

Mencermati indikator-indikator dari habits of mind seperti yang dipaparkan di atas, dirasakan perlu untuk melatihkan indikator-indikator tersebut kepada siswa dalam upaya membentuk perilaku bertindak cerdas agar mereka sukses dalam akademik, pekerjaan dan hubungan sosial sebagai bekal siswa dalam mengarungi hidupnya. Pertanyaannya adalah, melalui apa habits of mind ini akan dilatihkan dan dikembangkan?.

Asesmen formatif diinterpretasikan sebagai semua kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan guru dan siswa yang dapat menyediakan informasi yang mana informasi ini dapat digunakan sebagai umpan balik untuk memperbaiki dan memodifikasi aktivitas belajar mengajar (Black dan William, 1998). Penilaian formatif sering digunakan sebagai alat diagnostik bagi siswa dan pengajar dalam memberi informasi sehingga perbaikan metode instruksional, materi, aktivitas dan pendekatan dapat dilakukan dengan tepat.

Fakta di lapangan di berbagai jenjang pendidikan masih terbatas guru yang melakukan asesmen formatif yang terjadi selama proses belajar, yang sering dilakukan adalah menilai hasil belajar (penilaian sumatif). Setelah guru selesai mengajarkan konten sains tertentu, guru memberikan tes pada siswa. Hasil belajar siswa yang diperoleh melalui tes seringkali tidak ditindaklanjuti guru dengan menganalisis hasil belajar siswa untuk mengetahui indikator apa yang belum dicapai siswa, siswa mana saja yang mendapat nilai kurang, apa penyebabnya dan bagaimana menanggulanginya. Padahal bila direnungkan alangkah tidak adilnya menilai siswa hanya berdasarkan hasil belajarnya tanpa menghiraukan kemampuan dan keterampilan yang mereka tunjukkan selama proses pembelajaran. Padahal sesuai dengan hakikat sains, sains itu meliputi produk dan proses. Jadi proses pembelajaran harus mendapat perhatian penting selain pencapaian produk


(16)

(pengetahuan). Di tingkat perguruan tinggipun hal yang sama terjadi, penentuan nilai akhir seringkali didasarkan pada nilai UTS (Ujian Tengah Semester) dan UAS (Ujian Akhir Semester), tugas-tugas mendapat porsi yang kecil dalam penentuan nilai.

Pembelajaran yang disarankan untuk siswa atau mahasiswa adalah

pembelajaran yang memberi kesempatan mereka untuk membangun

pengetahuannya melalui pengalaman konkrit di laboratorium atau diskusi dengan teman sekelas yang kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Pembelajaran itu seyogyanya: 1) mengutamakan proses, 2) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan, 3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, dan 4) dilakukan dalam upaya membangun pengalaman (http://puslit.petra.ac.id/journal/interior). Hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme Vigotsky yang menekankan pada hakikat belajar sosial kultur yang intinya adalah penerapan teknik saling tukar gagasan antar individu. Dalam mengkonstruksi pengetahuannya seringkali siswa memerlukan

scaffolding untuk mencapai zone of proximal development (ZPD). Bantuan yang

diberikan melalui scaffolding dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke bentuk lain yang memungkinkan siswa bisa mandiri (McCulloch, B., 2010). Dorongan dosen sangat dibutuhkan agar pencapaian mahasiswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum. Pada penelitian ini mahasiswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuannya melalui strategi asesmen formatif yang diterapkan dengan scaffolding dari dosen, asisten praktikum dan teman sebayanya.

Teori perkembangan sosial dari Vygotsky menegaskan bahwa interaksi sosial


(17)

(http://tip.psychology.org/vygotsky.html dan http://www.learning-theories.com/). Teori perkembangan sosial Vygotsky memiliki kesamaan dengan teori belajar sosial dari Bandura. Teori belajar sosial dari Bandura (Cherry, 2008; Robert, 2008) menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan interaksi timbal balik antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kebanyakan manusia belajar dengan mengobservasi melalui pemodelan, yaitu dari mengamati seseorang, membentuk ide tentang bagaimana perilaku baru dibentuk dan menyimpan informasi ini sebagai petunjuk untuk digunakan selanjutnya.

Pendekatan dalam asesmen formatif dapat dilakukan harian, mingguan atau pertengahan jadwal program berupa: portofolio, jurnal, observasi selama proses dan hasil pembelajaran, diskusi kelompok, kinerja, self-assessment atau ujian. Mui (2004) menyebutkan bahwa strategi asesmen formatif dapat berupa performance

assessment berbasis proyek atau penyelidikan, menulis jurnal ilmiah, peta konsep,

portofolio dan tanya jawab. Menurut Black dan William, (1998) elemen kunci dari asesmen formatif adalah tugas, pertanyaan, observasi, umpan balik (feedback) dan peer and self assessment. Menurut Zainul (2008) dua hal utama yang secara terus menerus dapat memperbaiki dalam asesmen formatif untuk meningkatkan proses, hasil dan standar pendidikan adalah (1) umpan balik dalam asesmen formatif, dan (2) swa asesmen (self assessment). Menurut Popham (2011), asesmen formatif adalah suatu strategi pembelajaran dan sebagaimana sebuah strategi, diperlukan perencanaan yang baik untuk menerapkannya.

Umpan balik pada asesmen formatif perlu dilakukan secara berkesinambungan oleh siswa dan guru agar diperoleh informasi tentang adanya kelemahan dalam hasil ataupun proses pembelajaran, sehingga dapat dilakukan perbaikan, penyesuaian, peningkatan bahkan perubahan saat itu juga. Umpan balik pada siswa


(18)

dapat mendorong siswa untuk meningkatkan motivasi belajar, memperbaiki kesalahan yang dibuat atau meninggalkan hal-hal negatif yang menjadi kelemahan mereka dalam belajar. Bagi guru, umpan balik akan memberi informasi tentang bagaimana hasil dari proses yang telah mereka rancang dan laksanakan selama proses pembelajaran (Zainul, 2008).

Penelitian yang berkaitan dengan pemberian asesmen formatif dan umpan balik telah banyak dilakukan (Gunn dan Pitt, 2003; Thin, 2006; Baggot & Rayne, 2007 dan Ziman, et al., 2007). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa pemberian asesmen dan umpan balik secara umum dapat memotivasi belajar mahasiswa, mendorong mahasiswa untuk tertarik pada topik yang diajarkan, meningkatkan hasil belajar dan menimbulkan optimisme, kepercayaan diri dan apresiasi mahasiswa.

Dampak positif dari pemberian asesmen formatif berupa faktor-faktor: motivasi, self regulated learning, optimisme, rasa percaya diri, apresiasi, dapat mengembangkan potensi metakognisi, berani mengambil resiko (bila umpan balik diberikan dengan benar) merupakan faktor-faktor yang juga dikembangkan dalam habits of mind. Akan tetapi sejauh mana keterkaitan antara dampak positif asesmen formatif dengan pembentukan habits of mind belum pernah diteliti. Oleh karena itu dirasakan perlu dilakukan penelitian berkaitan dengan penerapan asesmen formatif dalam membentuk habits of mind mahasiswa.

Penerapan asesmen formatif tidak lepas dari proses pembelajaran, oleh karena itu diperlukan wadah untuk mengimplementasinya. Pada penelitian ini implementasi asesmen formatif dilakukan pada mata kuliah Botani Phanerogamae yang merupakan salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI (Program Studi Pendidikan


(19)

Biologi dan Program Studi Biologi). Mata kuliah Botani Phanerogamae dipilih mewakili mata kuliah lain yang mempunyai karakteristik yang sama terutama dalam kajian materinya yaitu mempelajari keanekaragaman hayati. Mata kuliah-mata kuliah yang mempunyai karakter sama tersebut diantaranya adalah kuliah-mata kuliah Botani Cryptogamae, Zoologi Invertebrata, Zoologi Vertebrata, Mikrobiologi dan Entomologi.

Kesamaan karakteristik mata kuliah lain yang disebutkan di atas dengan mata kuliah Botani Phanerogamae dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, terdapat kesamaan kajian materi ajar yaitu mempelajari sistematik keanekaragaman hayati (Botani Cryptogamae mempelajari sitematik tumbuhan rendah, Botani Phanerogamae mempelajari sistematik tumbuhan tinggi, Zoologi Invertebrata mempelajari sistematik hewan tidak bertulang belakang, Zoologi Vertebrata mempelajari sistematik hewan bertulang belakang, Mikrobiologi mempelajari

pengelompokan organisme mikroskopis, dan Entomologi mempelajari

pengelompokan serangga). Kedua, mata kuliah tersebut terdiri dari perkuliahan teori dan praktikum yang berpotensi untuk penerapan strategi asesmen formatif yang bervariasi. Ketiga, terdapat tugas-tugas yang serupa, terutama dalam kegiatan praktikum (kinerja praktikum, presentasi kelompok, tugas menggambar dan membuat laporan praktikum atau jurnal praktikum), yang umumnya masih diberlakukan sebagai tugas sumatif. Berkaitan dengan tugas-tugas pada mata kuliah Botani Phanerogamae, Wulan (2007) pernah melakukan penelitian sebelumnya dan hasilnya menunjukkan bahwa mahasiswa memandang tugas-tugas yang diberikan (terutama pada praktikum) sebagai tugas biasa seperti tugas pada mata kuliah lain. Hal ini disebabkan karena mahasiswa merasa tidak memperoleh umpan balik dan berkesempatan melakukan self assessment tentang tugas-tugas


(20)

yang telah mereka kerjakan. Tugas-tugas tersebut diberlakukan sebagai tugas akhir (penilaian sumatif) sehingga kurang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memperbaiki kinerjanya. Temuan Wulan (2007) merupakan masukan yang sangat berharga untuk perbaikan mata kuliah ini terutama dalam hal penerapan asesmen formatif. Penerapan asesmen formatif diharapkan akan membentuk habits of mind mahasiswa berkaitan dengan dampak positif dari asesmen formatif seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Keempat, pada kegiatan praktikum umumnya mahasiswa sudah dilatih untuk melakukan kerja ilmiah (observasi, klasifikasi, interpretasi, berkomunikasi, melaksanakan percobaan, menerapkan konsep dan yang lainnya), namun sejauh mana pembekalan pembelajaran tersebut dapat membentuk habits of mind mahasiswa belumlah diketahui. Kelima mata kuliah sistematika yang mempelajari keanekaragaman hayati, sering dianggap mata kuliah yang sulit, tidak menarik, membosankan dan bersifat hafalan (Rustaman, 2003), hal ini berkaitan dengan banyaknya istilah latin yang harus dikuasai mahasiswa. Mahasiswa biasanya disodorkan pada klasifikasi yang dibuat para ahli sehingga mahasiswa tidak merasa tertantang untuk mempelajari sistematik tersebut, karena dianggap hapalan. Hal senada dikemukakan oleh Cardoso et.al., (2009) bahwa materi sistematik dianggap materi yang kurang menarik dan mempunyai beberapa kesulitan untuk melibatkan siswa dalam mempelajarinya. Penerapan asesmen formatif pada penelitian ini berupaya menghilangkan atau setidaknya mengurangi kesan mahasiswa terhadap mata kuliah sistematik seperti yang disebutkan di atas.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, perlu dirancang program penerapan asesmen formatif untuk membentuk habits of mind mahasiswa biologi (PAFTHoM), yang dimplementasikan pada mata kuliah Botani


(21)

Phanerogamae serta diketahui seberapa besar kontribusi asesmen formatif terhadap pembentukan habits of mind. Latar belakang yang telah diuraikan di atas dituangkan dalam kerangka berpikir penelitian pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Penelitian

Tujuan Pendidikan

Mental Keteram- pilan Pengeta-huan Pengua-saan konsep

Di lapangan : tidak ada keseimbangan

Perlu pembelajaran: mengembangkan kebiasaan mental dan keterampilan

Hakikat sains

Kurikulum Pendidikan Sains di LPTK

Pendidikan Biiologi Perkuliahan Teori Praktikum -Perkulahan teacher- centered -Penilaian ber- dasarkan UTS dan UAS

-Penilaian proses jarang dilakukan

-Porsi nilai praktikum kecil dibandingkan teori

Jarang dilakukan asesmen formatif

Asesmen formatif: -Umpan balik (feedback) -Self Assessment -Peer Assessment Manfaat: -Memotivasi -Meningkatkan hasil belajar -Tertarik pada Materi -Optimisme -Percaya diri -Apresiasi

Peningkatan kualitas pembelajaran (hasil belajar)

Pengembangan habits of mind

Scaffolding Ada kesamaan aspek yang dikembangkan PENERAPAN ASESMEN FORMATIF UNTUK MEMBENTUK HABITS OF MIND MAHASISWA

Habits of mind Mengembangkan: Self regulation Critical thinking Creative thinking Botani Phanerogamae -Perkuliahan Teori -Praktikum

-Ada beberapa tugas mingguan

Habits of mind (indikator kesuksesan akademik, pekerjaan

dan hubungan sosial

Mahasiswa program studi pendidikan Biologi dan program studi Biologi Pe- ning-katan habits of mind maha-siswa Strategi asesmen formatif


(22)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan

permasalahan sebagai berikut: ”Bagaimana menerapkan asesmen formatif yang

dapat berkonstribusi membentuk habits of mind mahasiswa Biologi?”

Rumusan masalah ini diuraikan ke dalam empat pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana menerapkan asesmen formatif untuk membentuk habits of mind mahasiswa biologi?

2. Berapa besar kontribusi ketiga komponen asesmen formatif secara bersama- sama (umpan balik, self assessment dan peer assessment) dalam membentuk habits of mind mahasiswa Biologi?

3. Bagaimana kontribusi masing-masing komponen asesmen formatif (umpan balik, self assessment dan peer assessment) terhadap masing-masing kategori habits of

mind (self regulation, critical thinking dan creative thinking) mahasiswa

biologi?

4 . Bagaimana respon mahasiswa terhadap penerapan asesmen formatif pada mata kuliah Botani Phanerogamae?

C. PEMBATASAN MASALAH

Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, maka dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian sebagai berikut.

1. Penelitian ini memilih mata kuliah Botani Phanerogamae sebagai wadah penerapan asesmen formatif untuk membentuk habits of mind mahasiswa. Mata kuliah ini mewakili mata kuliah keanekaragaman hayati (sistematik). Mata


(23)

kuliah ini mengkaji keanekaragaman tumbuhan tinggi pada kuliah teori dan praktikumnya.

2. Komponen asesmen formatif berupa umpan balik, self assessment dan peer assessment diterapkan pada berbagai strategi asesmen formatif yang meliputi: presentasi kelompok dan bagan konsep pada perkuliahan teori. Observasi kinerja kelompok, presentasi kelompok, tugas menggambar dan laporan praktikum (portofolio) pada kegiatan praktikum.

3. Kategori habits of mind yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada habits of mind yang dikembangkan oleh Marzano (1993) dengan tiga kategori yaitu: self regulation, critical thinking dan creative thinking.

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah mendeskripsikan penerapan asesmen formatif terhadap pembentukan habits of mind mahasiswa Biologi. Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan khusus yaitu untuk 1) menemukan komponen dan strategi asesmen formatif yang dapat membentuk habits of mind mahasiswa Biologi; 2) mendeskripsikan seberapa besar kontribusi komponen asesmen formatif (umpan balik, self assessment dan peer assessment) membentuk habits of mind (self regulation, critical thinking dan creative thinking) mahasiswa Biologi; dan 3) mendeskripsikan respon mahasiswa terhadap penerapan asesmen formatif.

E. MANFAAT PENELITIAN


(24)

1. Bagi Dosen

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perbaikan proses pembelajaran pada mata yang mempunyai karakteristik sama (keanekaragaman hayati) di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI terutama dalam penerapan asesmen formatif. Tugas-tugas, pelaksanaan praktikum dan karakteristik materi ajar pada mata kuliah sejenis memiliki karakteristik sama dengan mata kuliah Botani Phanerogamae. Mata kuliah sejenis tersebut meliputi mata kuliah Zoologi Invertebrata di semester II, Botani Cryptogamae di semester III, Zoologi Vertebrata di semester IV, Mikrobiologi di semester V yang merupakan mata kuliah wajib serta mata kuliah Entomologi di semester IV yang merupakan mata kuliah pilihan.

2. Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan habits of mind mahasiswa, sehingga mereka mampu melakukan pilihan cerdas dan mengontrol perilakunya sebagai bekal dalam mengikuti mata kuliah selanjutnya serta bekal untuk kelak terjun ke masyarakat (pekerjaan dan hubungan sosial), baik bagi mahasiswa calon guru maupun mahasiswa calon peneliti.

3. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai dasar dalam mencari alternatif lain dalam membentuk habits of mind mahasiswa ataupun siswa.

F. PENJELASAN ISTILAH

Agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah yang digunakan pada penelitian ini maka di bawah ini diuraikan mengenai penjelasan istilah:


(25)

1. Asesmen formatif adalah asesmen dilakukan pada awal, proses dan akhir pembelajaran yang meliputi komponen: umpan balik, self assessment dan peer assessment. Ketiga komponen asesmen formatif tersebut diterapkan pada berbagai strategi asesmen formatif Pada perkuliahan teori, strategi asesmen formatif meliputi: presentasi kelompok dan bagan konsep. Pada perkuliahan praktikum, strategi asesmen formatif yang diterapkan berupa observasi kinerja kelompok, presentasi kelompok serta tugas berupa menggambar dan membuat laporan praktikum (portofolio).

2. Habits of mind yang maksud pada penelitian ini adalah habits of mind yang dikembangkan oleh Marzano (1993) yang terdiri dari tiga kategori. Kategori

self regulation meliputi: a) menyadari pemikirannya sendiri, b) membuat rencana secara efektif, c) menyadari dan menggunakan sumber-sumber informasi yang diperlukan, d) sensitif terhadap umpan balik dan mengevaluasi keefektifan tindakannya. Critical thinking meliputi: a) bersikap akurat dan mencari akurasi, b) jelas dan mencari kejelasan, c) bersifat terbuka, d) menahan diri dari sifat impulsif, e) mampu menempatkan diri ketika ada jaminan (keyakinan terhadap diri sendiri), (f) bersifat sensitif dan tahu kemampuan pengetahuan temannya. Creative thinking meliputi: a) dapat melibatkan diri dalam tugas meskipun jawaban dan solusinya tidak segera tampak, b) melakukan usaha memaksimalkan kemampuan dan pengetahuannya, c) membuat, menggunakan, memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri d) menghasilkan cara baru dalam melihat lingkungan dan batasan yang berlaku di masyarakat. Indikator-indikator dari ketiga kategori tersebut, dijabarkan menjadi pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan strategi asesmen formatif


(26)

yang diterapkan dalam bentuk instrumen. Habits of mind mahasiswa diukur dengan menggunakan rubrik habits of mind yang dikembangkan oleh Marzano (1993).


(27)

BAB II

KETERKAITAN ASESMEN FORMATIF DENGAN HABITS OF MIND

A. PENTINGNYA ASESMEN FORMATIF DALAM PEMBELAJARAN 1. Pengertian dan Komponen-Komponen Asesmen Formatif

Terdapat perbedaan yang mendasar antara evaluasi dan asesmen. Asesmen lebih ditekankan pada “proses pengumpulan data yang memperlihatkan kemajuan belajar siswa” dan berdasarkan data yang dikumpulkan melalui asesmen tersebut dilakukan evaluasi. Beberapa perbedaan yang lebih jelas dari evaluasi dan asesmen adalah asesmen lebih berpihak pada siswa, sementara evaluasi berpihak pada evaluator. Asesmen lebih ditekankan untuk memperoleh umpan balik, sedangkan evaluasi lebih ditujukan untuk menentukan keputusan. Hal ini sejalan dengan National Research Council (1996) melalui National Science Education Standard, yang menyatakan bahwa asesmen merupakan suatu mekanisme feedback utama dalam sistem pendidikan sains. Asesmen merupakan suatu instrumen yang dapat mengungkap harapan-harapan dalam sistem pendidikan sains secara keseluruhan.

Kellough, et al. (1999 dalam Swearingen, 2002) menyatakan ada tujuh karakter dari asesmen. Ketujuh karakter tersebut adalah: (a) membantu pembelajaran siswa, (b) mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa, (c) meng-assess efektivitas strategi pembelajaran, (d) meng-assess dan meningkatkan efektivitas program kurikulum, (e) meng-assess dan meningkatkan efektivitas mengajar, (f) menyediakan data yang membantu dalam pengambilan keputusan, (g) mengkomunikasikan dengan dan melibatkan orangtua.

Istilah evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dicetuskan oleh Michael Scriven (Ornstein, 1990) dalam menganalisis evaluasi program dan evaluasi


(28)

kurikulumnya. Evaluasi formatif ditujukan untuk memonitor kemajuan selama proses pembelajaran, sedangkan evaluasi sumatif digunakan untuk mengukur hasil akhir dari suatu unit atau waktu tertentu dari pembelajaran.

Terdapat istilah lain untuk membedakan asesmen formatif dan asesmen sumatif. Asesmen sumatif diistilahkan sebagai assessment of learning, sedangkan asesmen formatif diistilahkan dengan assessment for learning. Assessment of

learning dilakukan secara periodik misalnya ketika akhir dari satu unit, satu

semester atau satu tahun. Guru memberikan asesmen ini untuk mengambil keputusan seberapa baik pencapaian siswa, dan kesimpulannya akan dilaporkan pada kenaikan kelas atau kenaikan tingkat. Adapun assessment for learning

dilakukan sepanjang waktu di dalam kelas

(www.publications.education.gov.uk/default.aspx; Bound, 2009; Popham, 2011). Dalam tulisannya, Zainul (2008) mengutip perumpamaan Bob Shake dari

tulisan Scriven (1981) sebagai berikut: ”When the cook tastes the soup, that’s

formative; when the guests taste the soup, that’s summative”. Perumpamaan ini

menunjukkan secara jelas bahwa formatif dimaksudkan untuk melakukan penilaian guna memperbaiki proses pada waktu proses itu masih berjalan. Apabila proses itu sudah berjalan baik, akan dilakukan penyempurnaan sehingga dihasilkan sesuatu yang lebih baik. Apabila ternyata terdapat satu atau beberapa kekurangan dalam proses itu, maka segera dapat dilakukan perbaikan dan pembenahan.

Asesmen formatif diinterpretasikan sebagai semua cakupan berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan guru dan atau siswa yang menyediakan informasi yang digunakan sebagai umpan balik untuk memodifikasi aktivitas pembelajaran dengan pihak-pihak yang terlibat (Black dan William, 1998).


(29)

Asesmen formatif menurut para ahli merupakan asesmen interaktif (guru dan siswa) yang dilakukan selama proses pembelajaran. Asesmen formatif bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kekuatan dan kelemahan pembelajaran yang telah dilakukan dan menggunakan informasi tersebut untuk memperbaiki, mengubah atau memodifikasi pembelajaran agar lebih efektif dan dapat meningkatkan kompetensi siswa (Gipps, 1994; Black, 1995; Cowie & Bell, 1996; OECD, 2005; Shepard et al., 2005 dalam Popham dan Shepard, 2006; Black dan William, 1998). Lebih lanjut Shepard. et al., (2005 dalam Popham dan Shepard, 2006) menekankan bahwa agar asesmen formatif yang diberikan lebih efektif, guru harus terampil dalam menggunakan strategi asesmen yang bervariasi. Strategi asesmen tersebut bisa berupa observasi, diskusi siswa, portofolio,

performance task, rubrik, umpan balik dan self assessment. Guru dituntut untuk

memiliki pemahaman yang mendalam mengenai proses formatif dan penerapan ”scaffolding” pada pembelajaran biologi.

Berkaitan dengan asesmen formatif, Sadler (1989) menekankan pada tugas siswa dalam menghilangkan gap yang terjadi antara pemahaman dan tujuan pembelajaran. Self assessment merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh siswa dalam upaya menyadari adanya gap tersebut. Guru berperan untuk mengkomunikasikan tujuan pembelajaran dan mendorong siswa untuk melakukan self assessment dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Umpan balik perlu dilakukan di dalam kelas oleh guru dan siswa secara timbal balik.

Pendapat lain mengenai asesmen formatif disampaikan oleh Assessment Reform Group (2002). Asesmen formatif melibatkan proses mencari dan menginterpretasikan bukti-bukti yang digunakan siswa dan guru untuk


(30)

memutuskan posisi siswa dalam pembelajarannya, kemana siswa perlu melangkah dan bagaimana cara terbaik untuk mencapainya.

Popham (2011) mendefinsikan asesmen formatif sebagai proses yang direncanakan yang memerlukan bukti-bukti asesmen siswa. Bukti-bukti asesmen tersebut digunakan guru untuk menyesuaikan langkah-langkah pembelajaran yang sedang berjalan atau digunakan siswa untuk menyesuaikan strategi belajarnya. Dari definisi tersebut Popham menekankan pada proses mengumpulkan bukti-bukti berbasis asesmen dan menggunakan bukti-bukti-bukti-bukti ini untuk membuat perbaikan. Lebih lanjut Popham menyebutkan bahwa asesmen formatif merupakan suatu strategi pembelajaran.

Pengertian-pengertian asesmen formatif yang telah dipaparkan di atas mengandung pesan kunci bahwa asesmen formatif menggunakan informasi yang diperoleh untuk meningkatkan pembelajaran. Black dan William (1989) dalam Inside the black box mengidentifikasi ada lima faktor kunci yang dapat meningkatkan pembelajaran melalui asesmen. Kelima faktor kunci tersebut adalah: (a) menyediakan umpan balik yang efektif untuk siswa, (b) secara aktif melibatkan siswa dalam pembelajaran, (c) mengatur pembelajaran yang memungkinkan siswa memperoleh nilai baik ketika dilakukan asesmen, (d) memperkenalkan pengaruh besar asesmen terhadap motivasi dan self-esteem siswa, yang keduanya merupakan hal yang krusial untuk pembelajaran dan (e) mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk meng-assess dirinya sendiri dan untuk memahami bagaimana cara meningkatkan hasil belajarnya.

Adapun aspek-aspek yang menjadi prinsip utama dari asesmen formatif dikemukakan oleh beberapa tokoh. Assessment Reform Group (2002) dan Suratno (2007) memerinci prinsip-prinsip utama asesmen formatif. Pertama,


(31)

asesmen formatif merupakan bagian dari pembelajaran yang efektif. Kedua, asesmen formatif memfokuskan pada bagaimana siswa belajar dan merupakan inti dari proses pembelajaran serta sekaligus kunci utama profesionalisme guru. Ketiga, sebaiknya dipertimbangkan aspek sensitivitas dan umpan balik yang konstruktif. Keempat, asesmen formatif menekankan pada peningkatan motivasi belajar siswa dan menekankan pada pengembangan kapasitas penilaian diri. Terakhir asesmen formatif ditujukan untuk mencapai seluruh pencapaian pendidikan secara holistik.

Dua hal utama yang secara terus menerus dapat diperbaiki dalam asesmen formatif untuk meningkatkan proses, hasil dan standar pendidikan adalah: (a) umpan balik dalam asesmen formatif, dan (b) swa asesmen (self assessment) (Zainul, 2008). Adapun menurut Black et al., (2004) ada empat strategi dasar dalam asesmen formatif. Keempat strategi dasar tersebut adalah: (a) bertanya (questioning), (b) memberi umpan balik melalui komentar (marking), (c) menilai diri (self assessment) dan menilai teman sebaya (peer assessment), dan (d) menjadikan penilaian sumatif seperti penilaian formatif. Dalam upaya mencapai kemajuan pembelajaran (learning progressions),

Popham (2011) membagi asesmen formatif ke dalam empat tingkatan, yaitu: perbaikan pembelajaran guru, perbaikan strategi belajar siswa, perubahan iklim kelas dan perluasan implementasi di sekolah. Empat tingkatan asesmen formatif tersebut disajikan pada Gambar 2.1.

Empat tingkat asesmen formatif dapat dijelaskan sebagai berikut. Tingkat 1, perbaikan pembelajaran oleh guru. Guru mengumpulkan bukti-bukti asesmen yang diperlukan untuk memutuskan perlu tidaknya dengan segera melakukan perbaikan pada kegiatan pembelajaran yang akan datang. Tingkat 2, perbaikan


(32)

strategi belajar siswa. Asesmen formatif terjadi ketika siswa menggunakan bukti-bukti asesmen tentang keterampilan dan pengetahuannya untuk memutuskan perlu tidaknya dilakukan perbaikan strategi belajarnya. Tingkat 3, perubahan iklim kelas. Orientasi kelas lebih didominasi oleh pembelajaran dan asesmen kelas bukan pada nilai siswa tapi lebih pada peningkatan kualitas pembelajaran oleh guru dan pembelajaran siswa. Tingkat 4, perluasan formatif

Gambar 2.1. Empat Langkah Asesmen Formatif (Popham, 2011) perlu diperluas di sekolah atau tingkat yang lebih tinggi melalui strategi

pengembangan profesional dan komunitas belajar guru. Tingkat 4: Perluasan Implementasi di Sekolah

Tingkat 3: Perubahan Iklim Kelas

Tingkat 2: Perbaikan Strategi Belajar Siswa

Tingkat 1: Perbaikan Pembelajaran oleh Guru

Kemajuan Pembelajaran

Strategi tingkat 4 1.Pengembangan professional 2.Komunitas belajar guru Perubahan tingkat 3:

1 .Harapan pembelajaran 2. Tanggungjawab untuk belajar 3. Peran asesmen kelas

Langkah Tingkat 1 Guru: 1.Mengidentifikasi alasan perbaikan

2. Memilih asesmen

3. Menentukan pemicu perbaikan 4. Membuat perbaikan pembelajaran Langkah Tingkat 2 Siswa:

1.Mempertimbangkan alasan Perbaikan

2.Mempertimbangkan asesmen 3. mempertimbangkan pemicu Perbaikan


(33)

Dari keempat tingkat asesmen formatif tersebut, guru dapat mengadopsi asesmen formatif tingkat 2 saja (perbaikan strategi belajar siswa) tanpa mengadopsi asesmen formatif tingkat 1 (perbaikan pembelajaran oleh guru).

Akan tetapi apabila guru mengadopsi asesmen formatif tingkat 3 yang

memungkinkan terjadi perubahan mendasar pada iklim kelas, tidak mungkin bagi guru untuk tidak mengadopsi asesmen formatif tingkat 1 dan 2. Hal ini dikarenakan asesmen formatif tingkat 3 memerlukan perubahan dari guru dan siswa dalam menerapkannya. Asesmen formatif tingkat 4 tidak memerlukan

syarat asesmen formatif tingkat lain untuk menerapkannya, karena

menitikberatkan pada pengembangan professional dan pembentukan komunitas belajar guru. Berikut dibahas lebih mendalam mengenai aspek-aspek dari asemen formatif yang meliputi umpan balik, self assessment dan peer assessment.

a. Umpan Balik (feedback)

Umpan balik bisa dilakukan dengan cara lisan (oral feedback) dan tulisan (written feedback) (Silverius, 1991; Mui SO, 2004). Oral feedback dilakukan secara langsung dengan cara guru memberikan informasi berupa koreksi jawaban siswa yang salah atau kurang tepat di depan kelas. Pada umpan balik secara lisan terjadi interaksi antara siswa dengan guru secara langsung. Written feedback dilakukan dengan cara memberi informasi berupa koreksi terhadap jawaban siswa yang salah atau kurang tepat pada lembar jawaban siswa atau tugas-tugas.

Pemberian umpan balik sebagai bagian dari asesmen formatif membantu siswa menyadari perbedaan kesenjangan yang terjadi antara tujuan yang ingin dicapai dengan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang dimiliki siswa.


(34)

Dengan demikian pemberian umpan balik dapat menuntun siswa untuk bertindak dalam mencapai tujuan tersebut (Ramaprasad, 1983; Sadler, 1989; Carol, 2002). Black dan William (1998) menyatakan bahwa pada tes-tes yang diberikan di

kelas dan latihan-latihan lain termasuk pekerjaan rumah, penting untuk menerapkan umpan balik. Leakey dan Goldsworthy (2001) dan Mui (2004) menyatakan bahwa umpan balik yang diberikan guru kepada siswanya merupakan bagian dari proses asesmen. Umpan balik yang diberikan pada tes ataupun tugas asesmen lainnya harus menuntun siswa pada bagaimana mereka harus meningkat dan setiap siswa secara individual mendapat bantuan dan kesempatan untuk meningkat.

Siswa mengenal umpan balik sebagai hal yang secara potensial menimbulkan motivasi, membantu mereka meningkatkan belajar dan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengerjakan tugas-tugas, membantu mereka lebih reflektif dan secara jelas mengetahui pencapaian dan kemajuan belajarnya (Orsmond et al.,2005; Milton, 2005; Black dan William, 1998). Umpan balik juga membantu siswa untuk belajar khususnya memperlihatkan pada siswa tentang kekuatan dan kelemahan pekerjaannya (Orsmond, et al., 2005 dan Milton, 2005). Umpan balik pada siswa akan mendorong mereka untuk meningkatkan motivasi belajar, memperbaiki kesalahan yang sudah dibuat atau bahkan meninggalkan hal-hal negatif yang menjadi kelemahan mereka dalam belajar. Bagi guru umpan balik memberikan informasi hal-hal yang kuat dan yang lemah dari proses yang telah mereka lakukan, atau bagian mana dari proses itu yang masih dapat dilakukan penyempurnaan untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Zainul, 2008).


(35)

Dalam upaya membangun dan merekonstruksi pengetahuan siswa dengan

umpan balik yang berkesinambungan, siswa memerlukan scaffolding dalam

mencapai Zone of Proximal Development (ZPD). Scaffolding berarti memberikan sejumlah bantuan dan dukungan pada individu dalam memecahkan masalah selama tahap-tahap awal dan memberi kesempatan pada individu tersebut untuk secara bertahap menjadi mandiri. Scaffolding bisa dilakukan oleh guru atau teman sebaya dengan berbagai cara diantaranya petunjuk (menjelaskan konsep tertentu),

peringatan (memberikan umpan balik) atau dorongan (McCulloch,

www.Eduhk/…/scaffolding and zone.proximal.development). Zone of Proximal Development (ZPD) adalah area perkembangan kognitif yang harus dicapai oleh siswa (McCulloch, 2010; Joyce, et al., 2009). Menurut McCallum (2006) scaffolding merupakan salah satu karakteristik dari umpan balik yang bersifat konstruktif. Hal ini berkaitan dengan teori konstruktivisme sosial dari Vygotsky yang menekankan pada interaksi antara individu dengan lingkungan belajarnya. Jadi, melalui interaksi individu dengan lingkungannya yang diwadahi dengan asesmen formatif (umpan balik, self assessment dan peer assessment) seseorang dapat merekonstruksi pengetahuannya.

Dasar-dasar konstruktivisme Vygotsky menekankan pada tiga pokok utama yaitu, interaksi sosial, the more knowledgeable other (MKO) dan zone proximal

development. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam proses

perkembangan kognitif. Vygotsky menyebutkan bahwa belajar melalui sosialisasi mendahului perkembangan. Setiap orang yang mengalami perkembangan kultural mengalami dua tingkatan. Pertama tingkat sosial (interpsikological) dan kemudian tingkat individu (intrapsikological). The More Knowledgeable Other (MKO) adalah orang yang lebih paham atau lebih tinggi kemampuannya daripada


(36)

siswa dalam hal tugas-tugas, proses atau konsep. Umumnya MKO terdiri dari guru, pelatih atau orang yang lebih dewasa, akan tetapi bisa juga teman sebaya, orang yang lebih muda atau komputer. Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara kemampuan siswa dalam membuat tugas di bawah bimbingan orang yang lebih dewasa atau teman sebayanya, sampai siswa mampu

memecahkan masalah secara mandiri.

http://www.learning-theories.com/vygotsky-social-learning-theory. html)

Penekanan pentingnya belajar sosial pada Vygotsky, sejalan dengan teori Bandura yaitu teori belajar sosial. Teori belajar sosial menyatakan bahwa manusia belajar dari manusia lainnya melalui observasi, peniruan dan pemodelan. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku manusia merupakan interaksi timbal balik antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan yang dimaksudkan disini adalah lingkungan sosial yang ada di sekitar orang yang sedang belajar tersebut. Proses pemodelan terdiri dari empat tahap yaitu: perhatian (attention), retensi (retention), reproduksi (reproduction) dan motivasi (motivation) (Boeree, 2006; Cherry, 2008; Robert, 2008). Pada tahap reproduksi diperlukan umpan balik yang bersifat memperbaiki untuk membentuk perilaku yang diinginkan. Umpan balik perlu diberikan dengan segera agar respon-respon siswa yang tidak tepat tidak berkembang menjadi kebiasaan-kebiasaan yang tidak diinginkan (Dahar, 1996).

Umpan balik yang efektif dapat mendorong siswa untuk meningkatkan kualitas tugas berikutnya dan memotivasi siswa untuk belajar (Glover and Brown, 2006). Selanjutnya Gibbs dan Simpson (2004) menyatakan bahwa umpan balik yang efektif bersifat: 1) sering, tepat waktu, cukup dan rinci, 2) dapat mengaitkan tujuan tugas asesmen dan kriterianya, 3) dapat dipahami dan dapat memberikan


(37)

pengalaman pada siswa, dan 4) lebih fokus pada belajar daripada pada penilaian, untuk meningkatkan tugas dan pekerjaan selanjutnya.

Bentuk umpan balik tidak semuanya menunjukkan hasil yang efektif, pada faktanya ada bentuk-bentuk umpan balik yang dapat menimbulkan efek negatif. Berkaitan dengan umpan balik melalui komentar (marking) dan bukan nilai (grading) sangat perlu mendapat perhatian penting. Apabila umpan balik diberikan berupa komentar atau nilai berupa angka, siswa cenderung akan memperhatikan nilai berupa angka (Black dan William, 1998) padahal nilai berupa angka tidak memberikan informasi indikator mana yang sudah tercapai dan mana yang belum. Pemberian nilai berupa angka pada umpan balik cenderung menurunkan kepercayaan diri dan motivasi siswa (Assessment Reform Group, 2002; Suratno, 2007).

Motivasi merupakan hal penting dalam pembelajaran, tapi anggapan bahwa untuk memotivasi siswa kita harus memberikan nilai yang tinggi adalah keliru. Anggapan ini menimbulkan kompetisi, dan siswa yang tergolong kurang akan makin terpuruk, sementara yang siswa pandai akan mudah terjebak (menganggap diri lebih pandai dari teman-temannya) dan tidak berani mengambil resiko (Black dan William, 1998).

Komentar negatif atau positif yang diberikan kepada siswa sama-sama bisa memotivasi atau sama sekali tidak membantu tergantung bagaimana siswa menginterpretasikan komentar tersebut (Orsmond, 2005; Milton, 2005). Komentar positif dapat mendukung (Hyland, 1998; Glover, 2004; Milton, 2005). Komentar negatif dapat dianggap membuka rahasia diri oleh beberapa siswa. Oleh karena itu umpan balik sebaiknya diberikan berupa komentar yang menimbulkan motivasi pada siswa. Berdasarkan penelitian Hyland (1998) siswa


(38)

mengharapkan komentar terhadap pekerjaannya secara detail atau hanya komentar kunci saja. Beberapa karakteristik written feedback yang konstruktif menurut McCallum (2000) adalah: (a) memfokuskan pada tujuan pembelajaran secara selektif, (b) mengkonfirmasikan pada siswa jalur yang benar, (c) mendorong siswa untuk membetulkan kesalahan atau meningkatkan bagian pekerjaan yang kurang baik, (d) melakukan scaffolding atau mendukung siswa pada tahap berikutnya, (e) memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan self assessment, (f) mengomentari kemajuan siswa, (g) menghindari membandingkan dengan siswa yang lain dan (h) memberikan kesempatan pada siswa untuk memberi respon.

Penelitian yang dilakukan oleh Bangert-Drowns (1991), Kulik, et al., (1991) dalam Marzano (2006) menunjukkan bahwa ketika siswa menerima umpan balik dengan cara mendengarkan pernyataan guru tentang apakah jawaban mereka benar atau salah, ternyata cara ini menimbulkan efek yang negatif terhadap siswa. Akan tetapi ketika guru menyediakan jawaban yang benar, ternyata hal ini memberikan pengaruh positif kepada siswa. Respon yang lebih baik ditunjukkan siswa ketika siswa diberi umpan balik berupa: siswa mengetahui dengan jelas kriteria penilaian yang digunakan dalam penilaian. Respon positif lain dari umpan balik ditunjukkan siswa ketika guru menjelaskan mengapa jawaban mereka benar atau salah. Respon yang sama positifnya diberikan siswa apabila umpan balik diberikan dengan memberi kesempatan pada siswa menjawab pertanyaan (asesmen formatif) secara terus-menerus sampai jawabannya benar.

b. Penilaian diri (Self Assessment) dan Penilaian Sebaya (Peer Assessment) Self assessment atau penilaian diri adalah asesmen yang dilakukan oleh diri


(39)

Clarke (2001) serta Mui SO (2004) mengenal dan mengapresiasi keuntungan dari self assessment dalam meningkatkan pembelajaran. Melalui self assessment siswa dapat menggunakan kemampuan self-marking pada berbagai konteks dan mengembangkan motivasi belajarnya menjadi lebih tekun. Self marking ini juga dapat memperjelas gagasan siswa dan membantu siswa memperbaiki pemahaman konsep. Self assessment dapat mendorong siswa untuk secara konstan melibatkan diri dalam proses ilmiah dimana siswa berperan di dalamnya. Self assessment membantu siswa menjadi lebih ilmiah dalam berinkuiri. Lebih jauh melalui self assessment dapat mendorong siswa bertanya yang secara konstan akan memperkuat pemahamannya terhadap kemampuan dan pengetahuan yang diperolehnya.

Black dan William (1998) mengemukakan tentang masalah utama dari self assessment. Pada umumnya siswa tidak mengetahui target yang harus dicapai dalam pembelajarannya, sehingga siswa perlu dilatih melakukan self assessment untuk mendapatkan gambaran mengenai pembelajarannya dan mengetahui apa yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut. Self assessment sering terlihat menjadi masalah tetapi hal ini bisa menjadi efektif bila diberi petunjuk dengan jelas. Apabila sering dilatihkan, siswa akan mulai mengelola dan mengontrol dirinya sendiri atau dengan kata lain siswa berpotensi mengembangkan potensi metakognitifnya (Black et al., 2004)

Peer assessment atau penilaian sebaya dilihat dari kemampuan seorang individu dalam berkontribusi terhadap tugas-tugas kelompoknya. Adapun

menurut Reinhartz dan Beach (1997) peer assessment penting, karena

berkolaborasi dan bekerja kelompok merupakan bagian integral dari pembelajaran sains. Peer assessment berarti membuat keputusan berdasarkan


(40)

pada tanggungjawab individual yang bermanfaat bagi kelompoknya. Pada peer assessment siswa dilatih untuk berkomunikasi, menulis dan melaporkan apa yang dimaksudnya.

Black et al., (2004) mengatakan bahwa pada prakteknya peer assessment

ini penting untuk melengkapi self assessment. Peer assessment ini bernilai unik, karena siswa bisa menerima kritikan teman terhadap pekerjaannya padahal kritikan tersebut diberikan juga oleh guru. Hal senada dinyatakan oleh Raaheim (2006) bahwa umpan balik yang diberikan oleh teman sebaya akan berpengaruh lebih baik dibandingkan apabila diberikan oleh guru. Ketika siswa tidak paham terhadap apa yang dijelaskan guru, siswa lebih suka bertanya pada temannya dibandingkan bertanya pada guru (Black, et al., 2004). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Crane & Winterbottom (2008) berkaitan dengan penerapan

peer assessment pada konsep tumbuhan dan fotosintesis pada jenjang sekolah

menengah, menunjukkan bahwa peer assessment dapat berdampak pada

pembelajaran siswa. Diantaranya mendorong siswa memahami perannya dalam pembelajaran yang dilakukan berpasangan serta menjadikan siswa dapat belajar secara otonom.

Terdapat beberapa kunci yang diperlukan dalam mengembangkan

kemampuan siswa untuk melakukan self assessment dan peer assessment yang

efektif: (1) tujuan pembelajaran yang diharapkan harus secara eksplisit dan transparan diberikan pada siswa; (2) siswa harus bisa mengidentifikasi kriteria keberhasilan yang harus dicapai; (3) siswa perlu diajarkan kemampuan kolaborasi dalam peer assessment; (4) siswa harus bisa mengases kemajuan dirinya untuk menjadi pembelajar yang lebih mandiri.


(41)

Sebagai implikasi dari empat kunci self dan peer assessment yang efektif, maka guru perlu menerapkan hal-hal sebagai berikut: (1) melatih siswa secara terus menerus untuk meng-assess pekerjaannya sendiri dan pekerjaan orang lain; (2) merencanakan kesempatan dan waktu kepada siswa untuk melakukan self dan peer assessment; (3) menjelaskan tujuan pembelajaran dan maksud yang ingin dicapai dari masing- masing tugas; (4) menuntun siswa mengidentifikasi tahap-tahap berikutnya; (5) sesering mungkin dan secara konsisten mendorong siswa melakukan self regulation terhadap pembelajarannya.

(production.education.gov.uk/default.aspx. Peer and Self Assessment).

2. Asesmen Formatif dalam Pembelajaran

Asesmen formatif penting dilakukan selama proses pembelajaran dalam upaya untuk mendapatkan umpan balik, dan umpan balik dapat digunakan untuk memperbaiki praktek pembelajaran. Strategi asesmen diperlukan oleh guru untuk mendeskripsikan kemajuan belajar siswanya. Strategi asesmen yang diperlukan berbeda dari yang biasa diberikan pada asesmen tradisional (tes). Perbedaannya dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, asessmen formatif tidak men-judge, tetapi lebih mendeskripsikan informasi yang diperlukan oleh guru dan siswa

dalam upaya meningkatkan pencapaian belajar. Kedua, tidak terlalu

mempertimbangkan jawaban benar atau salah, tetapi lebih ditekankan pada bagaimana pencapaian siswa menjadi lebih baik. Strategi ini menyediakan gambaran umum mengenai apa yang dipahami siswa, apa yang dapat mereka kerjakan dan bagaimana menerapkan pengetahuan yang telah mereka pelajari tersebut (Mui, 2004)


(42)

Asesmen formatif bisa dilakukan secara harian, mingguan, atau pertengahan jadwal program berupa: portofolio, jurnal, observasi selama proses dan hasil belajar, diskusi kelompok, kinerja, self assessment atau ujian. Hughes dan Wade (1996) serta Mui (2004) berpendapat bahwa strategi asesmen perlu bervariasi, karena siswa dapat menunjukkan kemampuannya secara berbeda apabila dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Sebagai contoh ada siswa yang lebih baik dalam tugas-tugas seperti diskusi kelas dan ada yang lebih baik dalam tugas menulis. Beberapa strategi asesmen meliputi: (a) asesmen berbasis kinerja dalam proyek sains dan penyelidikan, (b) menulis jurnal ilmiah, (c) peta konsep, (d) portofolio, dan (e) tanya jawab (Mui, 2004).

Cain dan Evans (1990 dalam Rustaman, dkk., 2003) menyatakan bahwa sains mengandung empat hal yaitu: konten atau produk, proses atau metode, sikap dan teknologi. Sains sebagai konten atau produk berarti bahwa sains terdapat fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang sudah diterima kebenarannya. Sains sebagai proses atau metode berarti bahwa sains merupakan suatu proses atau metode untuk mendapatkan pengetahuan. Selain sebagai produk dan proses, sains juga merupakan sikap artinya bahwa dalam sains terkandung sikap seperti tekun, terbuka, jujur dan objektif. Sains sebagai teknologi mengandung pengertian bahwa sains mempunyai keterkaitan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Mui (2004) bahwa walaupun proses pada sains mendapat penekanan, akan tetapi penekanan terhadap pengetahuan di dalam asesmen juga sama pentingnya, jadi pengetahuan dan proses sains perlu seimbang dan sama pentingnya.

Asesmen berbasis kinerja dalam proyek sains dan penyelidikan dianggap penting karena dapat menggali isu-isu sains yang menarik bagi siswa dan


(43)

menerapkan pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Keaktifan siswa dalam proyek sains dapat melatih kemampuan observasi dan keterampilan berpikir, menuangkan kreativitasnya, memperkuat kemampuan eksplorasi, keterampilan menganalis, dan dapat memahami hubungan antara sains, teknologi dan masyarakat.

Tugas tulisan ilmiah yang salah satu bentuknya berupa laporan praktikum memberikan kesempatan pada siswa untuk menuangkan hasil penyelidikan, observasi, hipotesis dan kesimpulan tentang suatu fenomena sains (Lowery, 2000; Mui, 2004). Melalui tulisan yang dibuatnya, siswa dapat menggambarkan dan memahami fenomena melalui pengalamannya (Shepardson, 1997; Mui, 2004). Gambar atau tulisan ilmiah mempunyai potensi membantu siswa membuat pengamatan, mengingat peristiwa dan dapat mengkomunikasikan apa yang dipahaminya (Shepardson & Britsch, 2000; Mui, 2004).

Peta konsep dapat digunakan untuk tujuan asesmen formatif maupun asesmen sumatif pada pembelajaran sains. Penggunaan peta konsep dalam pembelajaran dipelopori oleh Novak dan Gowin (1985) didasarkan atas teori belajar Ausubel (Dahar, 1996). Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi merupakan dua atau lebih konsep-konsep yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik (Novak dan Gowin, 1985; Dahar,1996). Peta konsep dapat mengukur atau merefleksikan tingkat berpikir yang kompleks sama seperti tugas-tugas tulisan ilmiah, proyek sains, penyelidikan ilmiah, dan berbagai metode asesmen lainnya. Peta konsep dapat membantu siswa untuk mengorganisasi sejumlah konsep (Willerman & MacHarg, 1991; Mui, 2004). Peta konsep dapat membantu siswa mempelajari konsep


(44)

dengan lebih bermakna (Tastan et.al., 2007). Peta konsep dapat memperlihatkan kaitan antar konsep, dan memperlihatkan proposisi yang tepat atau miskonsepsi siswa (Dahar, 2006; Atkinson dan Bannister, 1998; Mui, 2004: Tastan, et al., 2007). Pendapat lain berkaitan dengan peta konsep yang dihimpun oleh Mui (2004) adalah: ”Kelebihan dari peta konsep adalah bahwa peta konsep bersifat formatif dan dengan segera dapat dilengkapi” (Hollin & Whitby, 1998). Markow & Lonning (1998) mengatakan bahwa peta konsep dapat digunakan dalam aktivitas di dalam kelas, karena siswa dapat dengan cepat memperoleh umpan balik mengenai kedalaman pemahaman konsepnya atau dapat juga meng-assess tujuan pembelajaran khusus yang tidak selalu harus diuji dengan paper and pencil test.

Portofolio merupakan salah satu asesmen formatif yang bisa ditugaskan kepada siswa, karena melalui portofolio kita dapat melihat kemajuan, peningkatan, dan pencapaian siswa (Lowery, 2000; Mui, 2004; Klenowski, 2002). Portofolio ini adalah kumpulan dari pekerjaan siswa termasuk di dalamnya, hasil tes, pekerjaan rumah, laporan praktikum dan lain-lain yang secara representatif bisa menggambarkan pemahaman siswa (Spandel, 1997; Mui, 2004).

Tanya jawab di dalam kelas merupakan salah satu bentuk dari asesmen formatif juga. Pertanyaan yang bersifat open-ended merupakan strategi yang baik untuk mendorong siswa berpikir, karena dapat membantu guru untuk mengetahui bagaimana siswanya menemukan jawaban, memecahkan masalah dan membuat kesimpulan (Lowery, 2000 dalam Mui, 2004). Akan tetapi Black dan William (1998) berpendapat bahwa dialog antara guru dan siswa yang terjadi ketika guru melontarkan pertanyaan merupakan asesmen yang tidak produktif di dalam kelas. Menurutnya hal ini disebabkan karena guru seringkali hanya memberikan waktu


(45)

berpikir yang singkat kepada siswanya dan dialog seperti ini seringkali hanya melibatkan beberapa orang siswa saja. Adapun saran Black dan William (1998) agar kegiatan tanya jawab ini efektif dan produktif adalah sebagai berikut.

a). Memberi waktu kepada siswa untuk merespon, memberi kesempatan berpikir secara berpasangan atau dalam kelompok kecil, kemudian meminta wakil dari kelompok kecil tadi untuk menjawab.

b). Memberi kesempatan pada siswa untuk memberi jawaban-jawaban yang berbeda dan memilih jawaban yang paling tepat.

c). Meminta seluruh siswa menuliskan jawabannya dan memilih beberapa siswa untuk membacakan jawabannya.

B. HABITS OF MINDS SEBAGAI KARAKTER PERILAKU CERDAS TERTINGGI

1. Pengertian dan Kategori-Kategori Habits of Mind

Memiliki habits of mind yang baik berarti memiliki watak berperilaku cerdas (to behave intelligently) ketika menghadapi masalah, atau jawaban yang tidak segera diketahui (Costa dan Kallick, 2000a; Costa dan Kallick, 2000b; Carter, et

al., 2005). Masalah didefinisikan sebagai stimulus, pertanyaan, tugas (task),

fenomena, ketidaksesuaian ataupun penjelasan yang tidak segera diketahui. Dalam memecahkan masalah yang kompleks, dituntut strategi penalaran, wawasan, ketekunan, kreativitas dan keahlian siswa. Tidak hanya perlu untuk mengetahui bagaimana siswa menjawab berdasarkan apa yang diketahuinya saja, akan tetapi lebih penting untuk mengetahui bagaimana siswa berperilaku ketika mereka dihadapkan pada apa yang tidak diketahuinya. Habits of mind terbentuk ketika merespon jawaban pertanyaan atau masalah yang jawabannya tidak segera diketahui, sehingga kita bisa mengobservasi tidak hanya bagaimana siswa


(46)

mengingat sebuah pengetahuan akan tetapi lebih pada bagaimana siswa menghasilkan sebuah pengetahuan. Kecerdasan manusia tidak hanya dilihat dari pengetahuan yang dimilikinya saja, tetapi dilihat juga dari bagaimana seorang individu bertindak (Costa & Kallick, 2000a).

Pada awalnya Habits of mind dikembangkan melalui kerja Costa dan Kallick pada tahun 1985 dan selanjutnya dikembangkan oleh Marzano (1992) melalui

Dimensions of Learning. Awalnya Costa pada tahun 1985 membuat artikel

mengenai “hirarki berpikir” pada The Behaviours of Intelligence (Campbell, 2006). Hirarki berpikir ini meliputi konsep: thinking skills (membandingkan, mengklasifikasikan, berhipotesa); thinking strategies (memecahkan masalah dan membuat keputusan); creative thinking (membuat model, berpikir metaphorical)

dan cognitive spirit (berpandangan terbuka, mencari alternatif tidak

men-judgment). Tulisan ini kemudian direvisi tahun 1991 dalam bukunya Developing

Minds: A Resource book for teaching thinking. Selanjutnya sejumlah penulis

mengembangkan hal yang sama (Marzano, 1992; Meier, 2003; Anderson, 2004; Sizer & Meier, 2004; Campbell, 2006), Karena banyak yang mengembangkan

habits of mind, maka deskripsi dari habits of mind ini menjadi berbeda-beda.

Gambar 2.2 memaparkan kedudukan habits of mind dalam Dimensions of

Learning yang dikembangkan oleh Marzano (1992) dan Marzano, et al. (1993). Melalui Gambar 2.2 Marzano (1993) menjelaskan keterkaitan antar dimensi belajar sebagai berikut: lima dimensi belajar ini tidak bekerja secara terpisah tetapi bekerja sama seperti terlihat pada Gambar 2.2. Secara ringkas gambar tersebut mengilustrasikan bahwa semua dimensi belajar dipengaruhi oleh “sikap dan persepsi” (attitudes and percepsion) pada dimensi pertama dan “kebiasaan berpikir produktif” habits of mind) pada dimensi ke lima. Dimensi pertama dan


(47)

kelima selalu menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam proses belajar. Oleh karena itu dimensi pertama dan kelima menjadi latar belakang pada gambar tersebut. Siswa harus mempunyai sikap dan persepsi yang kondusif dalam belajarnya dan menggunakan kebiasaan berpikir secara efektif.

Gambar 2.2. Interaksi Dimensi belajar (Marzano, 1993)

Tugas pertama siswa adalah “mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuannya” (acquiring and integrating knowledge) pada dimensi kedua. Melalui dimensi ini siswa harus dapat mengintegrasikan pengetahuan baru dan keterampilan-keterampilan yang telah diketahuinya. Disini terjadi proses subjektif berupa interaksi dari informasi lama dan informasi baru. Kemudian sejalan proses waktu, siswa mengembangkan pengetahuan barunya melalui kegiatan yang membantu siswa “memperluas dan menghaluskan pengetahuannya” (Extending

and Refining Knowledge) pada dimensi ketiga, dan pada akhir tujuan

pembelajaran, siswa dapat “menggunakan pengetahuan dengan cara bermakna”

Using Knowledge Meaningfully

Extending and Refining Knowledge

Acquiring and Integrating Knowledge


(48)

(Using Knowledge Meaningfully) (dimensi keempat). Seperti yang terlihat dalam Gambar 2.2, dimensi kedua, ketiga dan keempat bekerja seperti konser, satu sama lain tidak terpisahkan. Kelima dimensi belajar ini membentuk kerangka yang dapat digunakan untuk mengorganisasi kurikulum, instruksi pembelajaran dan asesmen.

Marzano (1993) membagi habits of mind ke dalam tiga kategori yaitu: self

regulation, critical thinking dan creative thinking. Self regulation meliputi: (a)

menyadari pemikirannya sendiri, (b) membuat rencana secara efektif, (c) menyadari dan menggunakan sumber-sumber informasi yang diperlukan, (d) sensitif terhadap umpan balik dan (e) mengevaluasi keefektifan tindakan. Critical thinking meliputi: (a) akurat dan mencari akurasi, (b) jelas dan mencari kejelasan, (c) bersifat terbuka, (d) menahan diri dari sifat impulsif, (e) mampu menempatkan diri ketika ada jaminan, (f) bersifat sensitif dan tahu kemampuan temannya. Creative thinking meliputi: (a) dapat melibatkan diri dalam tugas meski jawaban dan solusinya tidak segera nampak, (b) melakukan usaha semaksimal kemampuan dan pengetahuannya, (c) membuat, menggunakan, memperbaiki standar evaluasi yang dibuatnya sendiri, (d) menghasilkan cara baru melihat situasi yang berbeda dari cara biasa yang berlaku pada umumnya. Habits of mind memerlukan banyak keterampilan majemuk, sikap,

pengalaman masa lalu dan kecenderungan. Hal ini berarti bahwa kita menilai satu pola berpikir terhadap yang lainnya. Oleh karena itu hal tersebut menunjukkan bahwa harus memiliki pilihan pola mana yang akan digunakan pada waktu tertentu. Termasuk juga kemampuan apa yang diperlukan untuk mengatasi sesuatu di lain waktu, sehingga habits of mind dijabarkan sebagai berikut: (a) Value, memilih menggunakan pola perilaku cerdas daripada pola lain


(1)

Gijbel, D. and Dochy, F. (2006). “ Student’s assessment preferences and approaches to learning: can formative assessment make a difference?”. Educational Studies. 32 (4) pp. 399-409.

Glover, C. (2004). Report of research carried out at Sheffield Hallam University for the Formative Assessment in Science Learning Project (FAST) for the period 2002-2003. (Online). Tersedia:

http://www.open.ac.uk/science/fdtl/document/SHUfinal_report.pdf. (27 November 2005).

Glover, C and Brown, E. (2006). Written Feedback for Students: too much, too detailed or too incomprehensible to be effective?. BEE-Journal Volume 7 (3). (Online). Tersedia:

http://www.bioscience.heacademy.ac.uk/journal/vol7/beej-7-3.pdf. (3 Maret 2011)

Gunn, A and Pitt, S.J. 2003. “ The effectiveness of computer-based teaching packages in supporting student learning of Parasitology”. Bioscience Education e- Journal. 2003. (Online). Tersedia:

http://www.bioscience.heacademy.ac.uk/journal/vol1/beej-1-7aspx (22 November 2007)

Hill, J., Meyer, J., Sanders, K., Fyfe, G., Fyfe, S., Ziman, M and Koehler. (2008). “ Taking baby steps: The impact of test length on first year student engagement

with online formative assessment in human biology”. Teaching and Learning Forum 2008. (Online). Tersedia:

http://lsn.curtin.edu.au/tlf/tlf2008/refereed/hill.html. (15 Juni 2008)

Hollins, W. and Whitby, V. (1998). Progression in Primary Science. Great Britain. David Fulton Publishers.

Hughes, C. and Wade, W. (1996). Inspirations for Investigation in Science. Warwickshire; Scholastic.

Hylland, F. (1998). The impact of teacher written feedback on individual writers. Journal of Second Language Writing. 7, 255-286.

http://puslit.petra.ac.id/journal /interior

http://www.learning-theories.com/vygotsky-social-learning-theory.html (9 April 2011) http://tip.psychology.org/vygotsky.html (9 April 92011)

Indah, N.K. & Wisanti. (2005) Pembelajaran Portofolio pada Mata kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi. Makalah Lokakarya, Seminar dan Kongres Taksonomi Tumbuhan Indonesia. FPMIPA UPI. 17-19 November 2005.

Joice, B., Weil, M. and Calhoun, E. (2009). Models of Teaching. Boston: Pearson Education, Inc.


(2)

Karno, To dan Wibisono, Y. (2004). ANATES Program Khusus Analisis Tes Pilihan Ganda dan Uraian Versi 4.0. untuk Window. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Klenowski, V. (2002). Developing Portofolio for Learning and Assessment Processes and Principles. London: RoutledgeFalmer.

LazarowitZ, R & Lieb,C. (2006). Formative assessment pre-test to identify college student prior knowledge misconception and learning difficulties in biology. International Journal of Science and Mathematical Education. Vol 4, No.4, pp.741-762. (Online). Tersedia:

http://www.springerlink.com/content/530vpn0066x48123. (15 Mei 2008) \ Leakey, A. and Goldsworthy, A. (2001). Fantastic Feedback Primary Science Review.

68, 22-23.

Linsay, C. and Clarke, S. (2001). Enhancing Primary Science through Self and Paired Assessment. Primary Science Review. 68, 15-16.

Loughran, J., Berry, A. and Mulhall, P. (2006). Understanding and developing science Teacher’s Pedagogical Content Knowledge. Rotterdam, The Netherlands; Sense Publishers.

Lowery, L.F. (2000). NSTA Pathways to The Science Standard. Arlington: National Science Teacher Association.

Magnusson, S., Krajcik, J and Borko, H. (2003). Nature, Sources, and Development of Pedagogical Content Knowledgw for Science Teaching. In Gess-Newsome and Lederman, N.G (Ed.) Examining Pedagogical Content Knowledge. The Construct and its Implications for Science Education. New York: Kluwer Academic Publishers.

Markow, P.G. and Lonning, R.A. (1998). Usefulness of Concept Maps in College Chemistry Laboratories: Student? Perception and Effect on Achievment. Journal of Research in Science Teaching. 35(4), 1015-1029.

Marzano, R.J. (1992). A Different Kind of Classroom. Teaching with Dimensions of Learning. Alexandria : ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development.

Marzano, Pickering and McTighe. (1993). Assessing Student Outcomes. Performance Assessment Using the Dimension of Learning Model. Alexandria, Virginia; Association for Supervision and Curriculum Development.

Marzano, RJ. (2006). Classroom Assessment & Grading That Work. Alexandria, Virginia USA


(3)

McCallum. (2000). Formative assessment: implications for classroom practice. Whole-school development in assessment for learning: Crown. (Online). Tersedia: www.publication.education.gov.uk/default (4 Mei 2008)

.

McCulloch, B. (2010). Scaffolding and zone of proximal development. (Online) Tersedia:http://docstoc.com/docs/56913861/Scaffolding-and-zone-of-

proximal. (9 Oktober 2010).

Meier, D. (2004). Becoming educated. The power idea. Principal Leadership. 3(7), pp 16-19.

Meltzer, D.E. (2002). The Relationship between Mathematics preparation and conceptual learning gain in Physics: a Possible hidden variable in diagnostic pretest score. Am. J.Phys. 70(2). 1259-1267.Tersedia: http://www.physics.Iastate.edu/per/does/Addendum_on_normalizedgain.pdf. Milton, J. (2005). Exploration of The Nature of Feedback to Students. EAC : Learning

and Teaching Development. RMIT University. (Online). Tersedia: http://www.iml.uts.edu.au/EAC2005/paper/MiltonEAC 2005.pdf. (4 Mei 2008). Minium. E.W. (1993). Statistical Reasoning in Psychology and Evaluation. New York:

Jhon Willey & Sons Inc.

Morine-Dershimer and Kent, T. (2002). The complex nature and sources of teachers’ pedagogical knowledge In Gess-Newsome and Lederman, N.G (Ed.) Examining Pedagogical Content Knowledge. The Construct and its Implications for Science Education. New York: Kluwer Academic Publishers.

Mui SO, W.W. (2004). Formative and Summative Assessment. Different Strategies for The Assessment of Science Learning. The Important Qualitity Meaningful Assessment. Asia-Pasific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 5, Issue 2, Article 8.

Novak and Gowin. (1985). Learning How to Learn. Cambridge : Cambridge University Press.

NRC. (1996). National Science Education Standards. Washington DC: National Academy Press.

Ornstein, A.C. (1990). Strategi for Effective Teaching. Loyola University of Chicago: Harper Collin Publisers.

Orsmond, P., Merry, S. & Reiling, K. (2005). Biology students’ utilization of tutors’ formative feedback: a qualitative interview study. Assessment and Evaluation in Higher Education. 30, 369-386.


(4)

Peat, M., Franklin, S., Devlin, M., and Charles, M. (2004). “ Revisiting associations between student performance outcomes and formative assessment opportunities: Is there any impact on student learning?”. Assessment & Evaluation in Higher Education. 20 (2) pp. 141-152. (Online). Tersedia:

http://www.ascilite.org.au/conference/perth04/procs/peat. (15 November 2007). Popham & Shepard. (2006). Makalah dipresentasikan di FAT SCASS di Austin.

Tanggal 10 Oktober 2006. (Online). Tersedia:

www.republicschools.org/docs/accountability/.../fastattributes04081. (12 Mei 2008)

Popham, W.J. (2011). Classroom Assessment What Theachers Need to Know. Boston: Pearson Education, Inc.

Purwanto, Ng. (1994). Prinsip.prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya

Raaheim, A. (2006). Do Student Profit from Feedback?. (Online). Tersedia:

http://www.seminar.net/volume

-2-issue-2-2006/do-student-profit-from-feedback. (4 Juni 2008).

Ramaprasad, A. (1983). On the definition of feedback. Behavioral Science. 28 (1). 4-13.

Reinhartz, J & Beach, D.M. (1997). Teaching and Learning in The Elementary School: Focus on Curriculum. New Jersey: Practice-Hall.

Rifai, M. (2006). Sudah Siapkan Bangsa Indonesia Mengklasifikasikan Tanaman Budidayanya? Makalah pada KOSTERMANS CENTENNARY. Bogor, 3 Juli 2006.

Robert. (2008). Social Learning Theory (Bandura). (Online). Tersedia: http://www.learning-theories.com/social-learning-theory-bandura.html (9 April 2011)

Rustaman, N. (2001). Pengembangan Proses Berpikir Melalui Klasifikasi-Kategorisasi-Seriasi Tumbuhan Tinggi. Makalah pada Seminar Nasional Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia di Malang. 13-14 Juli 2001. Rustaman, N., Dirdjosoemart, S., Ahmad, Y., Yudianti, S.A., Rochintaniawati, D.,

Nurjhani, M., Suberkti, R. (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI.

Rustaman, N. (2003). Mengenal Keanekaragaman Tumbuhan Tinggi dalam Klasifikasi Rakyat Menuju Klasifikasi Ilmiah melalui Penelitian Untuk Mengembangkan Proses Berpikir. Makalah pada Kongres dan Seminar Nasional Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia di Surakarta, 19-20 Desember 2003.


(5)

Sadiman, Rahardjo, Haryono dan Rahardjito. (2005). Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sadler, R. (1989). Formative Assessment and The Design of Instructional Systems. Instructional Science. 18, 119-144.

Sanjaya, W. (2007). Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. Sekolah Pascasarjana. Universitas Pendidikan Indonesia.

Silverius. (1991). Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: PT Grasindo. Sizer, T and Meier, D. (2004). Habits of Mind. (Online). Tersedia::

http: //www.essentialschools.org/lpt/ces_docs/210. (15 Oktober 2008)

Shepardson, D.P. (1997). Butterflies and Bettles: First Graders ways of Seeing and Talking about Insect Life Cycles. Journal of Research in Science Teaching. 34(9), 876-889.

Shepardson, D.P and Britsch, S. (1997). Children’s Science Journal: Tools for Teaching, Learning and Assessing. Science and Children. 34 (5), 13-17. Spandel, V. (1997). Reflections on Portofolio, in G.D. Phye (ed). Handbook of

Academic Learning. San Diego: Academic Press.

Sriyati, S., Rustaman, N., Amprasto, Hidayat, T. dan Yulianto, S.A. (2006). Penggunaan Multimedia Pada Pembelajaran Teori Botani Phanerogamae dalamUpaya Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa. Laporan Penelitian HibahProgram Pembelajaran dalam Rangka Implementasi SP4 Program Studi Biologi Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Tidak Diterbitkan.

Strgar, J. (2007). Increasing the interest of students in plants. Journal of Biological Education. 42 (1). 19-23.

Sugiono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D). Bandung: Penerbit Alfabeta.

Surapranata, S. dan Hatta, M. (2004). Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suratno. T. (2007). Formative Assessment for Learning: Teacher’s Professionalism in Raising Standards. Makalah pada Seminar Nasional Biologi. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Mei 2007.

Swearingen, R. (2002). A Primer: Diagnostic, Formative & Summative Assessment. Heritage University.


(6)

Tastan, I., Dikmenli, M. & Cardak, O. (2008). Effectiveness of the conceptual change texts accompanied by concept maps about students’ understanding of the molecules carrying genetical information. Asia Pacific Forum on Science Learning and Teaching. Volume 9, Issue 1, Article 11.

Thin, A. G. (2006). “ Using Online Microassessment to Drive Student Learning”. Bioscience Education e- Journal.7-7 (Online). Tersedia:

http://www.bioscience.heacademy.ac.uk/journal/vol9/beej 7-7.aspx.

UPI. (2010). Pedoman Akademik. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Willerman, M. & MacHarg. (1991). The Concept Maps as an Advance Organizer. Journal of Research in Science Teaching. 28(8), 705-711.

Wulan, A.R. (2007). Pembekalan Kemampuan Performance Assessment Kepada Calon Guru Biologi dalam Menilai Kemampuan Inquiry. Disertasi. Bandung: PPs UPI. Zainul, A. (2008). Asesmen Sumatif dan Asesmen Formatif. Bahan kuliah Evaluasi

Pendidikan IPA di Prodi Pendidikan IPA Pascasarjana UPI.

Ziman, Meyer, Plastow, Fyfe,G., Fyfe S., Sanders, Hill, Brightwell. (2007). “Student optimism and appreciation of feedback”. Teaching and Learning Forum 2007. (Online). Tersedia: