Pengaruh Karakteristik Eksekutif dan Kepemilikan Keluarga Pada Tax Avoidance Perusahaan.
PENGARUH KARAKTERISTIK EKSEKUTIF DAN KEPEMILIKAN KELUARGA PADA TAX AVOIDANCE PERUSAHAAN
SKRIPSI
Oleh :
LUH PUTU MAYTA PRAPTIDEWI NIM : 1206305097
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
(2)
i
PENGARUH KARAKTERISTIK EKSEKUTIF DAN KEPEMILIKAN KELUARGA PADA TAX AVOIDANCE PERUSAHAAN
SKRIPSI
Oleh :
LUH PUTU MAYTA PRAPTIDEWI NIM : 1206305097
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana Denpasar
(3)
ii
Skripsi ini telah diuji oleh tim penguji dan disetuji oleh pembimbing, serta diuji pada tanggal: 8 April 2016
Tim Penguji: Tanda Tangan
1. Ketua : Dr. Drs. Bambang Suprasto H., M.Si., Ak ...
2. Sekretaris : Dr. Drs. I Made Sukartha,M.Si.,Ak ...
3. Anggota : I Ketut Jati, SE., M.Si., Ak ...
Mengetahui,
Ketua Jurusan Akuntansi Pembimbing
Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE.,M.Si., Ak Dr. Drs. I Made Sukartha, M.Si., Ak
(4)
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam Naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila ternyata dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 8 April 2016 Mahasiswa,
Luh Putu Mayta Praptidewi 1206305097
(5)
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, skripsi yang berjudul “Pengaruh Karakteristik
Eksekutif dan Kepemilikan Keluarga pada Tax Avoidance Perusahaan”dapat diselesaikan dalam tenggang waktu yang telah direncanakan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1) Bapak Dr. I Nyoman Mahaendra, SE., M.Si., selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
2) Ibu Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE., M.Si., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
3) Ibu Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, SE., M.Si., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
4) Bapak Dr. I Dewa Gde Dharma Suputra, SE., M.Si., Ak selaku Pembantu
Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
5) Bapak Dr. A.A.G.P. Widanaputra, SE., M.Si., Ak selaku Ketua Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
6) Bapak Dr. I Dewa Nyoman Badera, SE., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
7) Ibu Dra. Ni Ketut Lely Ariani Merkusiwati, M.Si., Ak., selaku Pembimbing
Akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahannya.
8) Bapak Dr.Drs. I Made Sukartha, M.Si., Ak selaku Pembimbing Skripsi atas
waktu, bimbingan, arahan, dan dukungan yang sangat besar kepada penulis selama penulisan skripsi.
9) Bapak Dr. Drs. Bambang Suprasto H., M.Si., Ak., CA selaku dosen
pembahas yang telah memberikan saran dan kritik terhadap skripsi ini.
10) Bapak I Ketut Jati, SE., M.Si., Ak selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan terhadap skripsi ini.
11) Segenap dosen pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayanaatas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana.
12) Seluruh pegawai dan staf di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana, yang telah memberikan bantuan selama proses pengadministrasian skripsi.
13) Orang tua penulis I Nyoman Suprapta dan A.A Sadewi yang telah
memberikan amanat kepada penulis sedari dini untuk menyelesaikan sekolah setinggi-tingginya, dan juga memberikan dukungan berupa materiil, semangat, dan doa yang tiada henti untuk penulis serta adik penulis tersayang Kadek Agus Ryan Mahyoga dan Luh Komang Nadya Abelina atas bantuan yang telah diberikan selama perkuliahan dan penulisan skripsi.
14) Pendamping masa depan penulis I Kadek Edi Sucitra,SE atas cinta,
motivasi, dan dorongan yang telah diberikan selama perkuliahan dan penulisan skripsi.
15) Sahabat-sahabat terbaik penulis Dewa Ayu, Puput, Ferdi atas dukungannya
(6)
v
16) Sahabat-sahabat terbaik penulis Yunita, Mega, Satya, Desak, Cintya, Vina
atas dukungan, saran dan semangat selama ini.
17) Sahabat Dies Natalis 52 Sasmita, Widya, Nicky, Novel, Ina yang
memberikan dukungan dan pengalaman organisasi selama menempuh studi perkuliahan.
18) Seluruh teman-teman penulis di kampus yang sering membantu penulis
terkait perkuliahan ataupun terkait dengan penulisan skripsi ini.
19) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan, saran dan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Meskipun demikian, penulis tetap bertanggung jawab terhadap semua isi skripsi. Penulis berharap semoga skripsi inidapat memberikan manfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Denpasar,8 April 2016 Penulis
(7)
vi
Judul : Pengaruh Karakteristik Eksekutif dan Kepemilikan Keluarga pada Tax Avoidance Perusahaan
Nama : Luh Putu Mayta Praptidewi NIM : 1206305097
ABSTRAK
Perbedaan kepentingan antara pemerintah dan perusahaan sebagai wajib
pajak menyebabkan dilakukannya tindakan tax avoidance oleh perusahaan. Tax
avoidance merupakan segala sesuatu yang dilakukan perusahaan dan berakibat pengurangan terhadap tarif pajak perusahaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perusahaan untuk melakukan tindakan tax avoidance adalah karakteristik
eksekutif dan kepemilikan keluarga.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh bukti empiris mengenai
pengaruh karakteristik eksekutif dan kepemilikan keluarga pada tax avoidance
perusahaan. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode
non-probability samplingdengan teknik purposive sampling yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014. Total sampel yang didapat adalah 56 perusahaan dengan 93 data amatan. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga berpengaruh
positif pada tax avoidance, sedangkan karakteristik eksekutif berpengaruh negatif
pada tax avoidance. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi
karakteristik eksekutif maka semakin rendah tindakan tax avoidance yang
dilakukan perusahaan.
(8)
vii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 11
1.3 Tujuan Penelitian ... 12
1.4 Kegunaan Penelitian... 12
1.5 Sistematika Penulisan ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka ... 14
2.1.1 Teori Akuntansi Positif ... 14
2.1.2Tax Avoidance ... 17
2.1.3 Karakteristik Eksekutif ... 20
2.1.4 Kepemilikan Keluarga ... 21
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian ... 24
2.3.1Pengaruh Karakteristik Eksekutif pada Tax Avoidance Perusahaan ... 24
2.3.2Pengaruh Kepemilikan Keluarga pada Tax Avoidance Perusahaan ... 20
(9)
viii BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ... 28
3.2 Lokasi atau Ruang Lingkup Wilayah Penelitian ... 29
3.3 Obyek Penelitian ... 29
3.4 Identifikasi Variabel ... 29
3.5 Definisi Operasional Variabel ... 30
3.6 Jenis dan Sumber Data ... 33
3.6.1 Jenis Data ... 33
3.6.2 Sumber Data ... 34
3.7 Populasi, Sampel, dan Metode Penentuan Sampel ... 34
3.7.1 Populasi ... 34
3.7.2 Sampel dan Metode Penentuan Sampel ... 35
3.8 Metode Pengumpulan Data ... 35
3.9 Teknik Analisis Data ... 36
3.9.1 Uji Asumsi Klasik ... 36
3.9.2 Analisis Regresi Linier Berganda ... 38
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Daerah atau Wilayah Penelitian ... 41
4.2 Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 42
4.2.1 Hasil Statistik Deskriptif ... 42
4.2.2 Hasil Uji Asumsi Klasik ... 45
4.2.3 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 50
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 53
4.3.1Pengaruh karakteristik eksekutif pada tax avoidance perusahaan ... 53
4.3.2Pengaruh kepemilikan keluarga pada tax avoidance perusahaan ... 54
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 56
(10)
ix
DAFTAR RUJUKAN ... 58 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 64
(11)
x
DAFTAR TABEL
No Tabel Halaman
4.1 Hasil Seleksi Pemilihan Sampel ... 41
4.2 Hasil Statistik Deskriptif ... 42
4.3 Hasil Statistik Deskriptif Setelah Winsorizing ... 44
4.4 Hasil Uji Normalitas ... 47
4.5 Hasil Uji Multikolinearitas ... 48
4.6 Hasil Uji Heterokedastisitas ... 48
4.7 Hasil Uji Autokorelasi ... 49
4.8 Tabel Durbin-Watson (DW), α=5%... 49
(12)
xi
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Halaman
1.1 Kepemilikan Piramida ... 9
(13)
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran Halaman
1 Nama-Nama Perusahaan Sampel ... 64
2 Perhitungan Total Akrual Perusahaan Sampel ... 66
3 Perhitungan Nondiscretionary Accrual (NDA) Perusahaan Sampel ... 78
4 Hasil Regresi Nondiscretionary Accrual (NDA)Perusahaan Sampel Berdasarkan Modified Model Jones ... 113
5 Perhitungan Nilai Discretionary Accrual Berdasarkan Modified Model Jones Perusahaan Sampel ... 114
6 Rekapitulasi Nilai Discretionary Accrual, Risiko Perusahaan, dan Hak Kontrol Perusahaan Sampel ... 121
7 Hasil Statistik Deskriptif ... 124
8 Hasil Statistik Deskriptif Setelah Winsorizing ... 125
9 Hasil Uji Normalitas ... 126
10 Hasil Uji Multikolinearitas ... 129
11 Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 130
12 Hasil Uji Autokorelasi ... 131
13 Tabel Durbin-Watson (DW), α=5%... 132
(14)
1 BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian 1.1 menjelaskan mengenai latar belakang masalah, bagian 1.2 mengenai rumusan masalah, bagian 1.3 menjelaskan tujuan penelitian, bagian 1.4 menjelaskan mengenai kegunaan penelitian, dan bagian 1.5 menjelaskan mengenai sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu unsur penting bagi suatu negara. Bagi Indonesia, penerimaan negara yang berasal dari pajak masih menjadi sumber utama Pendapatan Negara yaitu, 1.148,4 triliun rupiah (77,9 persen) dari total Pendapatan Negara 1.502,0 triliun rupiah dalam APBNP 2013 (RAPBN, 2014). Penerimaan tersebut antara lain digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat, membangun infrastruktur pendorong pertumbuhan ekonomi, mendukung ketahanan dan keamanan, serta untuk pembangunan di daerah (RAPBN, 2014). Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu berusaha untuk mengoptimalkan penerimaan negara di sektor pajak.
Berbagai cara dilakukan untuk hal ini, salah satu langkah pemerintah adalah dengan dimulainya reformasi perpajakan secara menyeluruh pada tahun 1983
(15)
2
menjadi self assessment system. Penerapan self assessment systemakan sangat
efektif apabila kondisi kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pada
masyarakat telah terbentuk (Darmayanti dalam Suhendra, 2010). Namun kenyataannya di Indonesia, tingkat kepatuhan pajak masih tergolong rendah. Hal
ini dapat dilihat dari belum optimalnya penerimaan pajak yang tercermin dari tax
gap dan tax ratio.
Menurut Pusdiklat Pajak, tax gap merupakan selisih antara jumlah potensi
pajak yang dapat dipungut dengan jumlah realisasi penerimaan pajak
(www.bisnis.com, 2014). Data yang akurat mengenai berapa jumlah tax gap
Indonesia belum tersedia, namun dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Gunadi dalam Suhendra (2010) mengutip hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
tentang audit kinerja DJP, bahwa Indonesia mengalami tax gap yang cukup
signifikan. Pada tahun 2014 hanya dari wajib pajak sektor real estat, DJP
memperkirakan potensi tax gap sejak 2009-2013 mencapai 204,79 triliun rupiah,
dari total penerimaan pajak sektor real estat seharunya sebesar 302,83 triliun rupiah.
Dari sisi lain, tax ratio Indonesia sebesar 11,77% dari Produk Domestik
Bruto (PDB) tergolong rendah. Berdasarkan data Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD), tax ratio Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara di ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Singapura
yang bisa mencapai tax ratio diatas 15%, bahkan rata-rata negara OECD
(16)
3
Menurut Prasetyo (www.bppk.kemenkeu.go.id, 2014) penyebab rendahnya tax
ratio adalah rendahnya penerimaan pajak.
Berbeda dengan negara yang selalu berupaya meningkatkan penerimaan pajaknya, perusahaan sebagai wajib pajak menempatkan pajak sebagai beban perusahaan. Wajib pajak akan berupaya untuk membayar pajak sekecil mungkin. Pengurangan beban pajak juga berkaitan dengan adanya kecenderungan emosional wajib pajak tidak suka untuk membayar pajak (Puspita, 2014). Hoque
(2011) dalam surveinya menemukan 13 alasan seseorang tidak
melakukankewajiban membayar pajak, yaitu: moral pajak yang rendah; kualitas rendah dari balas jasa pajak; sistem pajak dan persepsi dari keadilan yang berbeda; transparansi dan akuntabilitas yang rendah untuk institusi publik; korupsi tingkat tinggi; kekosongan peraturan pajak dan peraturan keuangan yang lemah; biaya kepatuhan yang tinggi; lemahnya penegakan atas hukum pajak; tidak tepatnya pemungutan pajak; lemahnya kapasitas dalam mendeteksi dan tuntutan dalam pelaksanaan pajak yang tidak tepat; tidak adanya kepercayaan terhadap pemerintah; tarif pajak yang tinggi; administrasi pajak yang lemah. Perbedaan kepentingan inilah yang menyebabkan wajib pajak cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak. Salah satunya dengan melakukan tindakan
penghindaran pajak atau biasa disebut tax avoidance.
Beberapa penelitian menggunakan istilah yang berbeda untuk aktivitas ini,
antara lain: agresivitas pajak (tax aggressiveness) (Frank et al., 2009; Lanis dan
Richardson, 2011), manajemen pajak (tax management) (Minnick and Noga,
(17)
4
inti dari istilah-istilah tersebut adalah sama (Hanlon dan Heitzman, 2010). Dyreng et al. (2008) mendefinisikan tax avoidance sebagai segala sesuatu yang dilakukan perusahaan dan berakibat pengurangan terhadap tarif pajak perusahaan. Definisi
tindakan tax avoidance oleh Pasternak dan Rico dalam Kholbadalov (2012) yaitu
legal utilization of tax regime to one's own advantage, to reduce the amount of tax that is payable by means that are within the law.Melihat definisi tersebut, dapat
dikatakan tax avoidance adalah tindakan yang sah baik dari aspek hukum maupun
moral yang terkait dengan penghematan pada aspek pembayaran pajak, atau
dengan kata lain, tax avoidance merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh
wajib pajak dalam upaya efisiensi beban pajak namun masih dalam batasan koridor Undang-Undang Perpajakan.
Berbeda dengan beberapa penelitian yang menggunakan proksi effective tax
rates (ETR) dalam memproksikan tax avoidance, seperti penelitian Gupta dan
Newberry (1997) dan Dyreng et al. (2010) peneliti mengganggap bahwa ETR
tidak memproksikan tax avoidance dengan baik karena ETR membagi total pajak
yang dibayarkan dengan laba sebelum pajak. Total pajak yang dibayarkan bergantung pada laba sebelum pajak dengan pengenaan tarif tertentu. Tarif tersebut bersifat pasti sehingga tidak akan mampu menjelaskan seberapa besar
perusahaan menghindari pajak. Peneliti akhirnya menggunakanproksi
discretionary accrual.
Discretionary accrual dapat dibedakan menjadi dua, yaitu discretionary accrual yang dihasilkan dengan cara menurunkan jumlah akrual yang identik dengan kebijakan para eksekutif perusahaan yang mengarah pada penurunan laba
(18)
5
akuntansi dan discretionary accrual yang dihasilkan dengan cara menaikkan
jumlah akrual identik dengan kebijakan para eksekutif perusahaan yang mengarah pada peningkatan laba akuntansi (Astika, 2007). Penelitian ini menggunakan discretionary accrual yang mengarah pada penurunan laba atau discretionary accrual yang bertanda negatif(DA<0) yang dihitung dengan total akrual menggunakan model Dechow (1995) serta model Jones modifikasian (Dechow,
1995) untuk mengestimasi discretionary accrual.
Persoalan praktik tax avoidanceakan memanfaatkan kelemahan-kelemahan
hukum pajak namun tidak melanggar hukum perpajakan yang berlaku (Simanjuntak dan Sari, 2014). Fenomena yang terjadi adalah bahwa perusahaan atau wajib pajak badan melakukan perencanaan pajak untuk meminimalisasi beban pajak terutangnya, sehingga mereka dapat meminimumkan beban pajak yang harus mereka bayar terhadap negara tanpa bertentangan dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku (Puspita, 2014). Menurut catatan DJP pada tahun 2012, di Indonesia dari 1.161 Wajib Pajak Penanaman Modal Asing (PMA) sebanyak 436 Wajib Pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Rugi dengan total transaksi sebesar 76,22 triliun rupiah (www.pajak.go.id, 2015). Angka tersebut meningkat pesat di tahun 2013, dimana dari 1.284 Wajib Pajak PMA terdapat 515 Wajib Pajak melaporkan SPT Tahunan PPh Badan Rugi dengan total transaksi sebesar 269,33 triliun rupiah. Upaya untuk menghindari pajak dari perusahaan global juga terjadi di berbagai negara di dunia,
(19)
6
merugikan keuangan anggota Uni Eropa sebesar 1 triliun euro atau sekitar 12 ribu triliun rupiah.
Perusahaan PMA kerap dikenal kemampuannya untuk memperoleh perlakuan perpajakan istimewa dari negara-negara berkembang namun kemudian mengalihkan penghasilan yang seharusnya kena pajak ke negara lain dengan pajak
yang sangat rendah atau justru tidak mengenakan pajak (tax haven) (Prasetyo,
2014). Pada kasus PT. Asian Agri Group misalnya, wajib pajak ditengarai
menyimpan kekayaannya di beberapa tax haven. Serupa dengan kasus PT. Kaltim
Prima Coal yang dimiliki Grup Bakrie, dimana pada tahun 2007 ditemukan adanya indikasi tindak pidana pajak berupa rekayasa penjualan. Penjualan yang seharusnya bisa dilakukan langsung oleh PT. Kaltim Prima Coal dengan pembeli di luar negeri dibelokkan terlebih dahulu ke PT. Indocoal Resource Limited, anak usaha PT. Bumi Resources Tbk., di Kepulauan Cayman. Penjualan batu bara kepada perusahaan terafiliasi itu hanya dihargai separuh dari harga yang biasa dilakukan jika PT. Kaltim Prima Coal menjual langsung kepada pembeli. Berikutnya, penjualan ke pembeli lainnya pun dilakukan oleh PT. Indocoal Resource Limited dengan memakai harga jual PT. Kaltim Prima Coal biasanya. Akibatnya omzet penjualan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan penjualan langsung dimana selisihnya dapat mencapai triliunan rupiah
(Simatupang, 2010). Pada kasus tax avoidance, motivasi untuk membayar pajak
jauh lebih baik daripada kasus tax evasion (penggelapan pajak). Orang-orang yang
(20)
7
membayar pajak, tetapi juga dikarenakan motivasi untuk memperoleh keuntungan finansial yang sebesar-besarnya (Ancok, 2004).
Berbagai aturan guna mencegah tax avoidance telah dibuat pemerintah
Indonesia. Pada tahun 2013, DJP menerbitkan aturan untuk memutus tren kerugian Wajib Pajak PMA melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang
Mempunyai Hubungan Istimewa. Selain itu, untuk meminimalisasi tax avoidance
di Undang-Undang Perpajakan sudah dikenal peraturan spesific anti avoidance
rule dalam pasal 18 UU Pajak Penghasilan, akan tetapi seiring semakin
kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam
pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi tax
avoidance (Wijaya, 2014).
Tax avoidance yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut tentunya
dilakukan dengan adanya kebijakan-kebijakan dari pimpinan-pimpinan
perusahaan. Pimpinan perusahaan tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik inilah yang akan memengaruhinya dalam pengambilan keputusan. Low (2006) menyebutkan bahwa setiap individu eksekutif memiliki
salah satu dari 2 karakteristik yaitu sebagai pengambil risiko (risk taker) atau
penghindar risiko (risk averse). Dyreng et al. (2010) menguji 908 sampel
pimpinan perusahaan yang tercatat di ExecuComp dan memperoleh hasil bahwa pimpinan perusahaan secara individu memiliki peran yang signifikan terhadap
(21)
8
Eksekutif yang memiliki karakter risk taker adalah eksekutif yang lebih
berani dalam mengambil keputusan bisnis. Tipe ini memiliki dorongan kuat untuk memiliki posisi, kesejahteraan, kewenangan yang lebih tinggi, dan penghasilan yang lebih besar dengan bersedia menerima konsekuensi risiko yang lebih tinggi
pula. Selain itu, sifat manajemen risk taker memiliki keinginan untuk
mendatangkan cash flow yang tinggi guna memenuhi tujuan pemilik perusahaan
yaitu mendapatkan cash flow dari operasi perusahaan (La Porta dan Silanez dalam
Budiman dan Setiyono, 2012). Cash flow yang tinggi akan didapatkan dari
aktivitas tax avoidance dengan memperbesar tax saving (Mcguire et al., 2011).
Berbeda dengan risk taker, eksekutif yang memiliki karakter risk averse
biasanya cenderung tidak menyukai risiko sehingga dalam pengambilan
keputusan lebih memilih peluang dengan risiko lebih rendah. Tipe risk averse
sangat mengutamakan keamanan dibandingkan memperoleh keuntungan besar
tapi berisiko. Biasanya eksekutif risk averse memiliki usia yang lebih tua, sudah
lama memegang jabatan, dan memiliki ketergantungan dengan perusahaan (Maccrimon dan Wehrung dalam Budiman dan Setiyono, 2012).
Pembeda diantara kedua jenis eksekutif tersebut tercermin pada besar kecilnya risiko perusahaan yang ada. Tinggi rendahnya risiko perusahaan ini
mengindikasikan karakter eksekutif apakah termasuk risk averse atau risk taker
(Paligorova, 2010).
Selain karakteristik dari pimpinan perusahaan, struktur kepemilikan
keluarga juga dapat memengaruhi tindakan tax avoidance yang dilakukan
(22)
9
yaitu konflik yang lebih besar antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas, dan konflik yang lebih kecil antara pemilik dan manajer. Kehadiran pendiri perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas dalam
perusahaan keluarga berdampak pada tax avoidance perusahaan (Chen et al.,
2010). Di Indonesia, struktur kepemilikan perusahaan memiliki bentuk struktur kepemilikan piramida (Claessens dalam Rusdyi dan Martani, 2014). Di samping itu, hampir 73% struktur kepemilikan di Indonesia adalah struktur kepemilikan keluarga dan 9% kepemilikan pemerintah (Claessens dalam Rusdyi dan Martani, 2014).
Sebagai ilustrasi, pada Gambar 1 disajikan sebuah struktur kepemilikan piramida. Seperti tampak pada gambar tersebut, Keluarga B memiliki saham di PT H, PT I, dan PT J masing-masing 5%, 30%, dan 40%. Selanjutnya PT I dan PT J memiliki saham PT H masing-masing 10% dan 20%. Ada tiga jalur kepemilikan Keluarga B terhadap PT H, yaitu kepemilikan langsung, melalui PT I, dan melalui PT J.
Gambar 1.1 Kepemilikan Piramida
10% 20%
30% 5% 40%
PT H
Keluarga B
(23)
10
Melalui rangkaian kepemilikan piramida, dapat diketahui hak kontrol pemegang saham pengendali pada perusahaan (Siregar, 2007). Hak kontrol adalah hak suara untuk ikut serta menentukan kebijakan penting perusahaan. Ada dua jenis hak kontrol, yaitu hak kontrol langsung dan hak kontrol tidak langsung. Hak kontrol langsung adalah persentase saham yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali atas nama dirinya sendiri. Hak kontrol tidak langsung adalah penjumlahan atas hasil kontrol minimum dalam setiap rantai kepemilikan. Dengan menggunakan contoh pada gambar 1.1, Keluarga B memiliki kontrol langsung pada PT H, PT I, dan PT J masing-masing 5%, 30%, dan 40%. Selain itu, keluarga B juga memiliki hak kontrol tidak langsung di PT H melalui PT I dan PT J masing-masing 10% (kepemilikan minimun antara 30% dan 10%) dan 20% (kepemilikan minimum antara 20% dan 40%).
Chen et al. (2010) menguji sampel perusahaan-perusahaan yang terdaftar di
S&P 1500 Index di Amerika Serikat dan mendapatkan hasil bahwa tingkat keagresifan pajak perusahaan keluarga lebih kecil daripada perusahaan non-keluarga. Hal ini diduga terjadi karena perusahaan keluarga menanggung biaya
yang lebih besar jika melakukan tindakan tax avoidance akibat kepemilikan
proporsi saham yang lebih besar dan jangka waktu investasi yang lebih panjang. Selain itu, perusahaan keluarga lebih rela membayar pajak yang tinggi daripada harus membayar denda pajak dan menghadapi kemungkinan rusaknya reputasi perusahaan dan keluarga akibat audit dari fiskus pajak.
Hasil tersebut senada dengan hasil penelitian Sirait dan Martani (2014) yang
(24)
11
dipengaruhi oleh kepemilikan keluarga. Hal ini disebabkan karena Malaysia
memiliki tingkat tax compliance yang tinggi. Pada tingkat tax compliance yang
tinggi, strategi tax avoidance perusahaan tidak terlalu berdampak. Namun berbeda
dengan hasil penelitian Sirait dan Martani (2014) pada perusahaan di Indonesia yang memperoleh hasil bahwa kepemilikan keluarga memiliki pengaruh
signifikan yang positif terhadap tax avoidance. Hasil tersebut mendukung
penelitian sebelumnya oleh Sari (2010) di Indonesia yang menunjukkan hasil bahwa perusahaan yang dimiliki oleh keluarga cenderung memiliki perilaku pajak agresif lebih tinggi dari kepemilikan non-keluarga. Hal ini diakibatkan pemeriksaan pajak yang belum efektif justru membuat kepemilikan keluarga lebih memiliki diskresi untuk melalukan tindakan pajak agresif.
Penelitian ini mengintregasikan beberapa penelitian sebelumnya seperti
penelitian Budiman dan Setiyono (2012), Chen et al. (2010), Sirait dan Martani
(2014), dan Sari (2010) terkait dengan pengaruh karakteristik eksekutif dan
kepemilikan keluarga padatax avoidance perusahaan serta menganalisis kembali
pengaruh kepemilikan keluarga yang di penelitian sebelumnya masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Berbeda dengan penelitian sebelumnya,
penelitian ini tidak menggunakan ETR sebagai proksi tax avoidance tetapi
menggunakan proksi discretionary accrual.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
(25)
12
2) Apakah kepemilikan keluarga berpengaruh pada tax avoidance perusahaan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk memperoleh bukti empiris pengaruh karakteristik eksekutif pada tax
avoidance perusahaan.
2) Untuk memperoleh bukti empiris pengaruh kepemilikan keluarga pada tax
avoidance perusahaan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1) Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat memperbanyak literatur pajak terutama tentang tax
avoidancesesuai dengan teori akuntansi positif. Di samping itu, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam kajian empiris, dijadikan perbandingan, pengembangan, dan penyempurnaan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dan dapat memberikan tambahan informasi, wawasan dan referensi di lingkungan akademis.
2) Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan dan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti pihak regulator dalam menentukan kebijakan fiskal yang dapat digunakan untuk
(26)
13 1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini diuraikan ke dalam lima bab yaitu bab I, pendahuluan; bab II, kajian pustaka dan hipotesis; bab III, metode penelitian; bab IV, data dan pembahasan; bab V, simpulan dan saran.
Bab I yang merupakan pendahuluan menjabarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II adalah kajian pustaka dan hipotesis yang menjelaskan teori-teori yang melandasi penelitian ini, dan kerangka pemikiran. Dan juga dipaparkan mengenai hipotesis penelitian serta penjelasan hubungan antara variabel terikat dan variabel tidak terikat yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab III merupakan metode penelitian menjabarkan mengenai desain penelitian, lokasi dan ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian, indentifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi dan sampel beserta metode penentuan sampel, metode pengumpulan data dan teknik analisis data.
Bab IV data dan pembahasan hasil penelitian menguraikan mengenai gambaran umum daerah atau wilayah penelitian, deskripsi data hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian.
Bab V merupakan simpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan keterbatasan penelitian serta saran untuk penelitian selanjutnya berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data yang diperoleh.
(27)
14 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Bab ini menguraikan mengenai kajian pustaka dan hipotesis penelitian. Bab ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian 2.1 yang menguraikan kajian pustaka dan bagian 2.2 menguraikan mengenai hipotesis penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Salah satu unsur terpenting dalam penelitian adalah teori. Landasan teori dari suatu penelitian tertentu atau karya ilmiah sering juga disebut sebagai studi literatur atau tinjauan pustaka. Sugiyono (2007) menyebutkan bahwa teori adalah alur logika atau penalaran yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis.
2.1.1 Teori Akuntansi Positif
Teori akuntansi positif mulai berkembang dipelopori oleh Watts dan Zimmerman (1986) untuk menggantikan teori normatif yang dianggap tidak dapat mengghasilkan teori akuntansi yang siap dipakai dalam praktik sehari-hari. Teori akuntansi positif didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan merupakan suatu 'nexus of contracts' yaitu, perusahaan sebagai suatu muara bagi berbagai kontrak yang datang kepadanya. Sebagai suatu kumpulan dari berbagai kontrak, secara
rasional perusahaan tentunya ingin meminimumkan contracting cost yang
berkaitan dengan kontrak yang masuk, seperti kos negosiasi, dan kemungkinan kebangkrutan atau kegagalan. Beberapa dari kontrak tersebut melibatkan
(28)
variabel-15
variabel akuntansi, sehingga teori akuntansi positif berargumentasi bahwa perusahaan akan memanfaatkan kebijakan akuntansi guna meminimumkan contracting cost.
Teori akuntansi positif juga dapat menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan. Menurut teori akuntansi positif, prosedur akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi kebebasan untuk memilih salah satu
alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan contracting cost dan
memaksimumkan nilai perusahaan. Teori akuntansi positif menggunakan teori keagenan untuk menjelaskan dan memprediksi pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer. Watts dan Zimmerman (1986) menjelaskan tiga hipotesis yang mendorong perusahaan untuk melakukan tindakan manajemen laba, yaitu:
1) The Bonus Plan Hypothesis (Hipotesis Program Bonus)
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode berjalan. Manajer dalam hal ini sama seperti orang lain pada umumnya tentu saja menginginkan imbalan atau bonus yang tinggi. Hal ini tentunya dilakukan manajer untuk memaksimumkan bonus yang akan mereka peroleh karena seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan seringkali dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Dengan demikian, diperkirakan bahwa perusahaan yang mempunyai kebijakan pemberian bonus yang didasarkan pada laba akuntansi, akan
(29)
16
cenderung memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan laba tahun berjalan.
2) The Debt Covenant Hypothesis (Hipotesis Kontrak Utang)
Sebagian kontrak utang mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi peminjam selama masa perjanjian. Hipotesis ini menyatakan jika
perusahaan mulai mendekati suatu pelanggaran terhadap debt covenant,
maka perusahaan tersebut akan berusaha menghindari terjadinya debt
covenant dengan cara memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba.
Pelanggaran terhadap debt covenant dapat menimbulkan biaya serta
menghambat kinerja manajemen, sehingga perusahaan akan berusaha untuk mencegah atau setidaknya menunda hal ini dengan cara meningkatkan laba perusahaan. Manajer akan memilih metode akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga dapat mengendurkan batasan kredit dan mengurangi biaya kesalahan teknis.
3) The Political Cost Hypthesis (Hipotesis Biaya Politik)
Hipotesis ini menyatakan bahwa semakin besar biaya politis yang dihadapi oleh perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan menggunakan pilihan akuntansi yang dapat mengurangi laba, karena perusahaan yang memiliki tingkat laba yang dinilai tinggi akan mendapat perhatian luas dari kalangan konsumen dan media yang nantinya dapat menarik perhatian pemerintah dan regulator dan akan memunculkan intervensi pemerintah, pengenaan pajak yang lebih tinggi, dan berbagai
(30)
17
macam tuntutan lainnya sehingga berdampak pada meningkatnya biaya politis.
2.1.2 Tax Avoidance
Penerimaan negara yang berasal dari pajak masih menjadi sumber utama pendapatan negara sampai saat ini sehingga sangat diperlukan kejujuran dan kepatuhan dari wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakkannya
terutama dalam sistem self assesment yang dianut perpajakan di Indonesia. Dalam
teorinya, Allingham dan Sandmo dalam Hanlon dan Heitzman (2010) menyebutkan bahwa kepatuhan perpajakan individual ditentukan oleh tarif pajak,
kemungkinan terdeteksi, hukuman, pinalti, dan risk aversion. Selain itu,
Allingham dan Sandmo dalam Hanafi dan Harto (2014) juga berkeyakinan bahwa tidak ada individu yang bersedia membayar pajak secara sukarela, sehingga wajib pajak akan selalu berupaya menentang untuk membayar pajak.
Adanya keinginan dari wajib pajak untuk tidak membayar pajak membuat adanya perlawanan pajak yang mereka berikan. Sumarsan (2010) membedakan perlawanan pajak menjadi 2 yaitu, perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi. Sedangkan perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. Terdapat tiga cara
perlawanan aktif, yaitu penghindaran pajak (tax avoidance), penggelapan pajak
(31)
18
Dari sudut pandang ekonomi, ketiga tindakan tersebut memiliki efek yang sama-sama merupakan tindakan untuk menurunkan nilai laba dengan tujuan
mengurangkan beban pajak (Kirchler et al. dalam Sari, 2010). Karakteristik yang
membedakannya ada dari sisi ilegalitas dan moral, walaupun masih ada di wilayah
abu-abu yang sulit dipisahkan (Slemrod dan Yitzhaki, 2002). Tax evasion adalah
tindakan nyata melawan peraturan yang berlaku, sedangkan tax avoidance tidak
melanggar peraturan, namun melanggar maksud sebenarnya dari peraturan
tersebut. Hanlon dan Heitzman (2010) menegaskan bahwa tidak ada definisi tax
avoidance yang diterima secara universal, setiap orang atau peneliti memiliki pemahaman yang berbeda.
Menurut Dyreng et al. (2008), tax avoidance merupakan segala bentuk
kegiatan yang dilakukan perusahaan dan berakibat pengurangan terhadap tarif
pajak perusahaan. Sedangkan Mardiasmo (2003) mendefinisikan tax avoidance
sebagai suatu usaha untuk meringankan beban pajak dengan tidak melanggar
undang-undang yang ada. Senada dengan definisi Lim (2011) bahwa tax
avoidance adalah suatu penghematan pajak yang timbul dengan memanfaatkan ketentuan perpajakan yang dilakukan secara legal untuk meminimalkan kewajiban
pajak. Melihat beberapa definisi tersebut berarti tax avoidanceadalah tindakan
yang terkait dengan penghematan pada aspek pembayaran pajak dengan tidak melanggar ketentuan undang-undang yang perpajakan yang berlaku.
Tax avoidance dijelaskan sebagai suatu rangkaian kesatuan dari strategi
perencanaan pajak, istilah lainnya seperti "ketidakpatuhan (non-compliance)",
(32)
19
(sheltering)" berada di ujung lain dari rangkaian tersebut (Puspita, 2014). Strategi pajak ini terkadang kurang disukai oleh pemegang saham dan investor karena dianggap memiliki risiko yang relatif tinggi tetapi tidak dapat diungkapkan (Khurana dan Moser dalam Annisa, 2011). Hal ini didukung penelitian yang dilakukan Desai dan Dharmapala (2007), yang mendapatkan hasil bahwa tidak adanya nilai dari kegiatan tersebut kepada pemegang saham dan juga adanya respon negatif dari para investor terkait kebijakan pajak yang diambil perusahaan.
Komite urusan fiskal dari OECD menyebutkan terdapat tiga karakter tax
avoidance, yaitu:
1)Adanya unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat di
dalamnya padahal tidak.
2)Skema semacam ini seringkali memanfaatkan loopholes dari undang-undang
atau menerapkan ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal hal tersebut berlawanan dari jiwa undang-undang sebenarnya.
3)Kerahasiaan juga sebagai bentuk dari skema ini dimana umumnya para
konsultan yang ditunjuk perusahaan untuk mengurus pajak menunjukkan
alat atau cara untuk melakukan tax avoidance dengan syarat wajib pajak
menjaga kerahasiaannya sedalam mungkin (Council of Executive Secretaries
of Tax Organization, 1991).
Tax avoidance tentunya menimbulkan biaya. Beberapa biaya yang harus
ditanggung yaitu pengorbanan waktu dan tenaga untuk melakukan tax avoidance,
serta adanya risiko yang ditimbulkan jika tindakan tax avoidance terungkap.
(33)
20
terlihat, yaitu hilangnya reputasi perusahaan yang dapat berakibat pada
kelangsungan usaha jangka panjang perusahaan (Armstrong et al., 2012).
2.1.3 Karakteristik Eksekutif
Setiap pimpinan perusahaan memiliki karakteristik yang mempengaruhinya
dalam pengambilan keputusan. Dyreng et al. (2010) menguji 908 sampel
pimpinan perusahaan yang tercatat di ExecuComp untuk menunjukkan apakah
individu Top Executive memiliki pengaruh terhadap tax avoidance perusahaan,
dan memperoleh hasil bahwa pimpinan perusahaan secara individu memiliki
peran yang signifikan terhadap tingkat tax avoidance perusahaan. Low (2006)
menyebutkan setiap individu eksekutif memiliki salah satu dari dua karakteristik
yaitu sebagai pengambil risiko (risk taker) atau penghindar risiko (risk averse).
Eksekutif yang memiliki karakteristik risk taker adalah eksekutif yang lebih
berani dalam mengambil keputusan bisnis. Eksekutif ini berani memanfaatkan setiap peluang yang ada sekalipun peluang tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi, misalnya melakukan pembiayaan dari hutang (Lewellen dalam Budiman dan Setiyono, 2012). Hal ini dilakukan supaya perusahaan tumbuh lebih cepat, walaupun pembiayaan yang terlalu tinggi dari hutang dapat menimbulkan risiko kebangkrutan bagi perusahaan. Fokus utama eksekutif ini adalah pencapaian hasil atau memaksimalkan nilai perusahaan.
Sebaliknya, eksekutif yang bersifat risk averse kurang menyukai risiko,
sehingga dalam mengambil keputusan bisnis eksekutif ini akan lebih memilih keputusan bisnis yang tidak mengakibatkan risiko besar. Fokus utama eksekutif
(34)
21
peluang yang ada dan memilih peluang bisnis yang tidak akan menimbulkan risiko tinggi.
Karakter risk taker atau risk averse seorang pimpinan perusahaan tercermin
dari besar kecilnya risiko perusahaan (Budiman dan Setiyono, 2012). Semakin
tinggi risiko suatu perusahaan maka eksekutif cenderung bersifat risk taker.
Sebaliknya, semakin rendah risiko perusahaan maka eksekutif akan cenderung
bersifat risk averse. Hartono (2008) menyebutkan risiko memiliki kaitan dengan
return yang diperoleh perusahaan, bahwa risiko merupakan penyimpangan atau
deviasi dari outcome yang diterima dengan yang diekspektasi. Oleh karena itu,
dapat diartikan bahwa semakin besar deviasi antara outcome yang diterima
dengan diekspektasikan mengindikasikan semakin besar pula risiko yang ada (Swingly, 2014).
Senada dengan Hartono (2008), Paligorova (2010) mengartikan risiko
perusahaan sebagai penyimpangan atau deviasi standar dari earning baik
penyimpangan yang bersifat kurang dari yang direncanakan (downside risk) atau
mungkin lebih dari yang direncanakan (upside potential), semakin besar deviasi
earning perusahaan mengindikasikan semakin besar pula risiko perusahaan yang ada. Tinggi rendahnya risiko perusahaan akan mengindikasikan eksekutif
termasuk risk taker atau risk averse.
2.1.4 Kepemilikan Keluarga
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang perusahaannya masih dominan dikendalikan oleh kepemilikan keluarga. Fama dan Jensen dalam Hidayanti (2013) menyatakan bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga
(35)
22
lebih efisien daripada perusahaan yang dimiliki publik karena biaya pengawasan
yang dikeluarkan atau monitoring cost-nya lebih kecil. Menurut Lei dan Song
dalam Putri (2014), perusahaan yang mempunyai kepemilikan keluarga atau salah
satu anggota keluarganya menduduki dewan direksi maka memiliki corporate
governance index yang buruk, hal ini disebabkan adanya keinginan dari dewan direksi yang memiliki kepemilikan keluarga untuk lebih memperhatikan kepentingan sendiri.
Perusahaan yang dikendalikan keluarga lebih efisien karena memiliki
masalah agensi lebih kecil akibat berkurangnya konflik antara principal dan
agent, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi, tindakan manajemen yang oportunis dapat dibatasi (Siregar dan Utama, 2005). Dalam sebuah usaha keluarga, anggota keluarga secara ekonomis tergantung kepada yang lain dan bisnisnya secara strategis dihubungkan pada kualitas hubungan keluarga. Hal itu juga menggabungkan sebuah rentang situasi mulai dari perusahaan
keluarga generasi tunggal suami dan istri, anak, dan keponakan. Susanto et al.
(2007) menyebutkan bahwa suatu organisasi dapat dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan.
Beberapa tahun terakhir, banyak definisi perusahaan keluarga yang disampaikan. Kebanyakan dari usulan definisi tersebut berfokus pada beberapa faktor yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali, manajemen, dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar generasi atau masalah-masalah budaya.
(36)
23
Morck dan Yeung dalam Fitri (2012) mendefinisikan perusahaan keluarga sebagai perusahaan yang dijalankan berdasarkan keturunan atau warisan dari orang-orang yang sudah lebih dulu menjalankannya atau oleh keluarga yang secara terang-terangan mewariskan perusahaannya kepada generasi selanjutnya. Bernard dalam Hidayanti (2013) mengemukakan bahwa perusahaan keluarga dikendalikan oleh anggota keluarga tunggal khususnya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang penting. Lebih lanjut Carsrud (1994:40) menjelaskan bahwa perusahaan keluarga adalah perusahaan yang benar-benar dimiliki oleh keluarga dari pembuatan dan pengambilan kebijakan perusahaan didominasi oleh
anggota "emotional kinship group". Hal ini berarti suatu perusahaan keluarga
memiliki dominasi anggota keluarga yang termasuk dalam kelompok yang mempunyai pertalian keluarga secara emosional dan terlihat secara kasat mata.
Arifin (2003), mendefinisikan kepemilikan keluarga sebagai individu dan perusahaan yang kepemilikannya tercatat (kepemilikan > 5% wajib dicatat), yang bukan perusahaan publik, negara institusi keuangan, dan publik (individu yang
kepemilikannya tidak wajib dicatat). Selain itu, Claessens et al.(2000) serta
Faccio dan Lang (2002) dalam Siregar (2007), mengidentifikasi keluarga berdasarkan kesamaan nama belakang dan hubungan perkawinan. Sebagai ilustrasi dari kepemilikan keluarga adalah sebagai berikut.
Tn. A 15% Tn. B 20%
Perusahaan Lokal C 10% Perusahaan Lokal D 15% PT. XYZ Tbk 30% Perusahaan Asing F 10%
(37)
24
Dari komposisi kepemilikan tersebut, kepemilikan keluarga adalah 60% (Tn. A + Tn. B + Perusahaan Lokal C + Perusahaan Lokal D).
Kepemilikan saham oleh keluarga dalam suatu perusahaan merupakan pemegang saham khusus yang memiliki struktur insentif unik (Sirait dan Martani, 2014). Pemilik saham keluarga berbeda dengan pemegang saham biasa berkenaan dengan dua karakteristik yaitu perhatian keluarga pada kemampuan perusahaan bertahan dalam jangka panjang dan reputasi keluarga dan perusahaan. Karakteristik pertama, keluarga peduli pada kemampuan perusahaan bertahan pada jangka panjang. Kepedulian ini timbul karena umumnya pemilik saham keluarga tidak mendefinisikan portofolionya dan ingin mewariskan perusahaan tersebut kepada keturunannya. Karakteristik kedua, perusahaan yang dimiliki keluarga lebih peduli pada reputasi keluarga dan perusahaan, karena terkait dengan kelangsungan jangka panjang perusahaan.
Pada perusahaan keluarga, pihak eksternal akan berhadapan dengan pengelolaan perusahaan yang sama dalam jangka panjang. Pihak eksternal akan berasumsi pengelola perusahaan bertindak konsisten di masa depan, sehingga jika perusahaan melakukan suatu tindakan yang merusak reputasi keluarga, maka pihak eksternal akan beranggapan perusahaan dapat melakukan tindakan tersebut kembali karena pengelola perusahaan tidak berubah.
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Karakteristik Eksekutif pada Tax Avoidance
Berdasarkan teori akuntansi positif, periode akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi
(38)
25
kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan. Kebebasan itulah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong eksekutif perusahaan untuk melakukan tindakan untuk meminimumkan jumlah pajak yang harus dibayar atau
dengan kata lain melakukan tax avoidance.
Low (2006) menyebutkan setiap individu eksekutif memiliki salah satu dari
dua karakteristik yaitu risk taker dan risk averse. Karakter risk taker adalah
eksekutif yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis. Eksekutif dengan karakter ini berani memanfaatkan setiap peluang yang ada sekalipun peluang
tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi. Sebaliknya, karakter risk averse
kurang menyukai risiko, sehingga dalam mengambil keputusan bisnis eksekutif ini akan lebih memilih keputusan bisnis yang tidak mengakibatkan risiko besar.
Penelitian yang dilakukan Budiman dan Setiyono (2012) membuktikan
bahwa semakin risk taker seorang eksekutif maka akan semakin tinggi tingkat tax
avoidance yang diindikasikan dengan Cash Effective Tax Rate (CETR) yang menurun. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Carolina dkk. (2014) yang berkesimpulan bahwa semakin tinggi nilai risiko
perusahaan berarti semakin bersifat risk taker eksekutif tersebut, sebaliknya nilai
risiko perusahaan yang rendah menunjukkan eksekutif perusahaan bersifat risk
averse. Berdasarkan alasan tersebut, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut.
(39)
26
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Keluarga pada Tax Avoidance
Dalam perusahaan keluarga, terdapat masalah keagenan yang unik yaitu konflik yang lebih besar antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas, dan konflik yang lebih kecil antara pemilik dan manajer. Kehadiran pendiri perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas dalam
perusahaan keluarga berdampak pada tax avoidance perusahaan (Chen et al.,
2010). Fenomena di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang struktur kepemilikannya terkonsentrasi pada keluarga cenderung
melakukan aggressive tax avoidance.Salah satu contohnya adalah kasus PT.
Asian Agri, yang sebagian besar kepemilikannya di miliki oleh keluarga Tanoto, kasus lainnya adalah PT. Kaltim Prima Coal (KPC)serta PT Bumi Resources(BUMI) yang sebagian besar kepemilikannya di miliki oleh keluarga Bakrie (Rusdyi dan Martani, 2014).
Chen et al. (2010) menguji sampel perusahaan-perusahaan yang terdaftar di
S&P 1500 Index di Amerika Serikat dan mendapatkan hasil bahwa tingkat keagresifan pajak perusahaan keluarga lebih kecil daripada perusahaan
non-keluarga, atau dapat dikatakan perusahaan keluarga memiliki tingkat tax
avoidance yang lebih rendah dibandingan perusahaan non-keluarga. Serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh Rusdyi dan Martani (2014), bahwa di
Indonesia perusahaan keluarga memiliki aggresive tax avoidanceyang lebih kecil
dari perusahaan non-keluarga.Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sari (2010) pada perusahaan di Indonesia yang menunjukkan hasil bahwa
(40)
27
lebih tinggi daripada perusahaan non-keluarga. Penelitian yang dilakukan Sirait dan Martani (2014) juga mendapatkan hasil yang senada, bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih menghindari pajak dibandingkan perusahaan non-keluarga. Berdasarkan fenomena dan penelitian sebelumnya, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut.
(1)
22
lebih efisien daripada perusahaan yang dimiliki publik karena biaya pengawasan yang dikeluarkan atau monitoring cost-nya lebih kecil. Menurut Lei dan Song dalam Putri (2014), perusahaan yang mempunyai kepemilikan keluarga atau salah satu anggota keluarganya menduduki dewan direksi maka memiliki corporate governance index yang buruk, hal ini disebabkan adanya keinginan dari dewan direksi yang memiliki kepemilikan keluarga untuk lebih memperhatikan kepentingan sendiri.
Perusahaan yang dikendalikan keluarga lebih efisien karena memiliki masalah agensi lebih kecil akibat berkurangnya konflik antara principal dan agent, maka pada perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi, tindakan manajemen yang oportunis dapat dibatasi (Siregar dan Utama, 2005). Dalam sebuah usaha keluarga, anggota keluarga secara ekonomis tergantung kepada yang lain dan bisnisnya secara strategis dihubungkan pada kualitas hubungan keluarga. Hal itu juga menggabungkan sebuah rentang situasi mulai dari perusahaan keluarga generasi tunggal suami dan istri, anak, dan keponakan. Susanto et al. (2007) menyebutkan bahwa suatu organisasi dapat dinamakan perusahaan keluarga apabila paling sedikit ada keterlibatan dua generasi dalam keluarga itu dan mereka mempengaruhi kebijakan perusahaan.
Beberapa tahun terakhir, banyak definisi perusahaan keluarga yang disampaikan. Kebanyakan dari usulan definisi tersebut berfokus pada beberapa faktor yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali, manajemen, dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar generasi atau masalah-masalah budaya.
(2)
23
Morck dan Yeung dalam Fitri (2012) mendefinisikan perusahaan keluarga sebagai perusahaan yang dijalankan berdasarkan keturunan atau warisan dari orang-orang yang sudah lebih dulu menjalankannya atau oleh keluarga yang secara terang-terangan mewariskan perusahaannya kepada generasi selanjutnya. Bernard dalam Hidayanti (2013) mengemukakan bahwa perusahaan keluarga dikendalikan oleh anggota keluarga tunggal khususnya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang penting. Lebih lanjut Carsrud (1994:40) menjelaskan bahwa perusahaan keluarga adalah perusahaan yang benar-benar dimiliki oleh keluarga dari pembuatan dan pengambilan kebijakan perusahaan didominasi oleh anggota "emotional kinship group". Hal ini berarti suatu perusahaan keluarga memiliki dominasi anggota keluarga yang termasuk dalam kelompok yang mempunyai pertalian keluarga secara emosional dan terlihat secara kasat mata.
Arifin (2003), mendefinisikan kepemilikan keluarga sebagai individu dan perusahaan yang kepemilikannya tercatat (kepemilikan > 5% wajib dicatat), yang bukan perusahaan publik, negara institusi keuangan, dan publik (individu yang kepemilikannya tidak wajib dicatat). Selain itu, Claessens et al.(2000) serta Faccio dan Lang (2002) dalam Siregar (2007), mengidentifikasi keluarga berdasarkan kesamaan nama belakang dan hubungan perkawinan. Sebagai ilustrasi dari kepemilikan keluarga adalah sebagai berikut.
Tn. A 15% Tn. B 20%
Perusahaan Lokal C 10% Perusahaan Lokal D 15% PT. XYZ Tbk 30% Perusahaan Asing F 10%
(3)
24
Dari komposisi kepemilikan tersebut, kepemilikan keluarga adalah 60% (Tn. A + Tn. B + Perusahaan Lokal C + Perusahaan Lokal D).
Kepemilikan saham oleh keluarga dalam suatu perusahaan merupakan pemegang saham khusus yang memiliki struktur insentif unik (Sirait dan Martani, 2014). Pemilik saham keluarga berbeda dengan pemegang saham biasa berkenaan dengan dua karakteristik yaitu perhatian keluarga pada kemampuan perusahaan bertahan dalam jangka panjang dan reputasi keluarga dan perusahaan. Karakteristik pertama, keluarga peduli pada kemampuan perusahaan bertahan pada jangka panjang. Kepedulian ini timbul karena umumnya pemilik saham keluarga tidak mendefinisikan portofolionya dan ingin mewariskan perusahaan tersebut kepada keturunannya. Karakteristik kedua, perusahaan yang dimiliki keluarga lebih peduli pada reputasi keluarga dan perusahaan, karena terkait dengan kelangsungan jangka panjang perusahaan.
Pada perusahaan keluarga, pihak eksternal akan berhadapan dengan pengelolaan perusahaan yang sama dalam jangka panjang. Pihak eksternal akan berasumsi pengelola perusahaan bertindak konsisten di masa depan, sehingga jika perusahaan melakukan suatu tindakan yang merusak reputasi keluarga, maka pihak eksternal akan beranggapan perusahaan dapat melakukan tindakan tersebut kembali karena pengelola perusahaan tidak berubah.
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Karakteristik Eksekutif pada Tax Avoidance
Berdasarkan teori akuntansi positif, periode akuntansi yang digunakan oleh perusahaan tidak harus sama dengan yang lainnya, namun perusahaan diberi
(4)
25
kebebasan untuk memilih salah satu alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan. Kebebasan itulah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong eksekutif perusahaan untuk melakukan tindakan untuk meminimumkan jumlah pajak yang harus dibayar atau dengan kata lain melakukan tax avoidance.
Low (2006) menyebutkan setiap individu eksekutif memiliki salah satu dari dua karakteristik yaitu risk taker dan risk averse. Karakter risk taker adalah eksekutif yang lebih berani dalam mengambil keputusan bisnis. Eksekutif dengan karakter ini berani memanfaatkan setiap peluang yang ada sekalipun peluang tersebut memiliki risiko yang cukup tinggi. Sebaliknya, karakter risk averse kurang menyukai risiko, sehingga dalam mengambil keputusan bisnis eksekutif ini akan lebih memilih keputusan bisnis yang tidak mengakibatkan risiko besar.
Penelitian yang dilakukan Budiman dan Setiyono (2012) membuktikan bahwa semakin risk taker seorang eksekutif maka akan semakin tinggi tingkat tax avoidance yang diindikasikan dengan Cash Effective Tax Rate (CETR) yang menurun. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Carolina dkk. (2014) yang berkesimpulan bahwa semakin tinggi nilai risiko perusahaan berarti semakin bersifat risk taker eksekutif tersebut, sebaliknya nilai risiko perusahaan yang rendah menunjukkan eksekutif perusahaan bersifat risk averse. Berdasarkan alasan tersebut, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut.
(5)
26
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Keluarga pada Tax Avoidance
Dalam perusahaan keluarga, terdapat masalah keagenan yang unik yaitu konflik yang lebih besar antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas, dan konflik yang lebih kecil antara pemilik dan manajer. Kehadiran pendiri perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas dalam perusahaan keluarga berdampak pada tax avoidance perusahaan (Chen et al., 2010). Fenomena di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang struktur kepemilikannya terkonsentrasi pada keluarga cenderung melakukan aggressive tax avoidance.Salah satu contohnya adalah kasus PT. Asian Agri, yang sebagian besar kepemilikannya di miliki oleh keluarga Tanoto, kasus lainnya adalah PT. Kaltim Prima Coal (KPC)serta PT Bumi Resources(BUMI) yang sebagian besar kepemilikannya di miliki oleh keluarga Bakrie (Rusdyi dan Martani, 2014).
Chen et al. (2010) menguji sampel perusahaan-perusahaan yang terdaftar di S&P 1500 Index di Amerika Serikat dan mendapatkan hasil bahwa tingkat keagresifan pajak perusahaan keluarga lebih kecil daripada perusahaan non-keluarga, atau dapat dikatakan perusahaan keluarga memiliki tingkat tax avoidance yang lebih rendah dibandingan perusahaan non-keluarga. Serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh Rusdyi dan Martani (2014), bahwa di Indonesia perusahaan keluarga memiliki aggresive tax avoidanceyang lebih kecil dari perusahaan non-keluarga.Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sari (2010) pada perusahaan di Indonesia yang menunjukkan hasil bahwa perusahaan yang dimiliki oleh keluarga cenderung memiliki tingkat tax avoidance
(6)
27
lebih tinggi daripada perusahaan non-keluarga. Penelitian yang dilakukan Sirait dan Martani (2014) juga mendapatkan hasil yang senada, bahwa perusahaan dengan kepemilikan keluarga lebih menghindari pajak dibandingkan perusahaan non-keluarga. Berdasarkan fenomena dan penelitian sebelumnya, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut.