Contoh Makalah Hukum Kesehatan Tentang BPJS

(1)

MAKALAH HUKUM KESEHATAN “HARAPAN DAN KENYATAAN

BPJS”

Disusun oleh :

Muhammad Muadz 8111412021

Rengkuh Ibnu S 8111412106

Yusuf Aprilyyawan Nugroho 8111412112

Yusuf Aji Prabowo 8111412113

Moh. Fakhrul Anam 8111412118

Angger Saputro 8111412119

Rico Yudha B. 8111412235

Fakultas Hukum

Universitas Negeri Semarang

2015


(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam setiap perubahan selalu muncul pertanyaan mendasar, apakah perubahan itu akan menciptakan kemajuan, atau setidaknya dapat memperbaiki kehidupan masyarakat? Pertanyaan ini bukan hal yang mudah dijawab, sebab perubahan lebih bersifat relatif pada pencapaian tujuannya. memang, sebuah perubahan selalu diharapkan akan menciptakan tatanan yang lebih baik. Sama halnya dengan hadirnya BPJS–sebagai ‘anak kandung’ UU SJSN, juga berorientasi untuk mewujudkan sosok jaminan sosial yang ideal, yakni mengakomodasi masyarakat secara adil dan universal. Namun, dapatkah hal itu diwujudkan? Semua pasti akan ditentukan oleh negara sendiri sebagai pelaksana jaminan sosial dengan kemampuan yang dimilikinya.

Telah diketahui bahwa BPJS merupakan lembaga hasil peleburan empat BUMN penyelenggara jaminan sosial sebelumnya, yaitu PT Jamsostek, Askes, Taspen, dan Asabri. Transformasi ini tidak sesederhana yang kita bayangkan, sebab keempat BUMN ini memiliki aset masing-masing, dengan sumber premi yang dibayar oleh peserta. Bertransformasi berarti juga harus mengatur kembali aset-aset perusahaan dan hak kepersetaan yang sudah ada. Oleh karena itu, kebijakan merelakan peleburan BUMN tersebut diwarnai sikap pro dan kontra antara masyarakat (peserta) dengan pemerintah, maupun antara pemerintah dengan legislatif, sebab masing-masing pihak memperjuangkan kepentingannya dalam jaminan sosial (Diskusi MAP Corner – Klub MKP, 18 Oktober 2011). Pro-Kontra tersebut cukup ‘alot’, bahkan memakan waktu yang lama untuk merumuskan bentuk BPJS yang akan hadir mengelola jaminan sosial tersebut.

Namun demikian, atas desakan masyarakat BPJS akhirnya terbentuk dengan dibagi menjadi 2 bidang, yaitu bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan. Secara substansi bidang-bidang ini tidak memiliki perbedaan dengan apa yang dikelola BUMN sebelumnya. Namun, perubahan status kelembagaannya menjadi nirlaba (BPJS) diharapkan dapat berimplikasi pada arah jaminan sosial selanjutnya dengan adanya manfaat yang lebih besar untuk masyarakat. Terkait aspek ini, UU No.24 tahun 2011 menjelaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip gotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Sangat jelas bahwa orientasi BPJS kini tertuju pada kesejahteraan peserta yang dalam hal ini akan diperluas untuk seluruh lapisan masyarakat.

Konsep dasar yang dikembangkan dalam kebijakan jaminan sosial baru tersebut menjelaskan secara tegas bahwa negara mengembangkan jaminan untuk mencapai kesejahteraan sosial.


(3)

Negara yang berorientasi pada kesejahteraan sosial setidaknya harus memenuhi tiga syarat, yakni pertama, ketika masalah sosial dapat di-manage dengan baik; kedua, ketika kebutuhan terpenuhi; dan ketiga, ketika peluang-peluang sosial terbuka secara maksimal (Midgley, 1997; Huda, 2009:72). Ketiga syarat ini sangat memungkinkan dicapai melalui mekanisme jaminan sosial. BPJS dengan prinsip nirlaba yang menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan dasar akan dapat mengatasi masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat.

Dalam harapan dibentuknya program BPJS agar pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi warga masyarakat Indonesia terpenuhi sesuai dengan tujuan negara yang memberikan pelayanan dalam bentuk kesehatan. Namun dalam kenyataannya pelaksanaan program BPJS belum berjalan dengan baik, dalam bidang administrasi maupun praktek di Rumah Sakitnya sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa selayang pandangdan harapan dengan dibentuknya program BPJS? 2. Bagaimana kenyataan pelaksanaannya dilapangan ?

3. Masalah-masalah apa saja yang timbul dari program BPJS ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Menganalisa program pemerintah dalam menangani masalah kesehatan melalui BPJS. 2. Memberi informasi kepada halayak umum tentang bagaimana harapan pemerintah dan

kenyataan yang terjadi di lapangan.


(4)

BAB II PEMBAHASAN A. Mengenal BPJS dan Harapan dibentuknya

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan.BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

Dasar Hukum yang melandasi adanya BPJS

a. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan;

b. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;

d. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

e. Undang – Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran f. Undang – Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan Hak Peserta


(5)

a. Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan;

b. Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

c. Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; dan

d. Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke Kantor BPJS Kesehatan.

Kewajiban Peserta

a. Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;

b. Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat / pindah fasilitas kesehatan tingkat I; c. Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang

yang tidak berhak.

d. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan. Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional

Ada 2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan dan Manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans.Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.

Paket manfaat yang diterima dalam program JKN ini adalah komprehensive sesuai kebutuhan medis.Dengan demikian pelayanan yang diberikan bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh besarnya biaya premi bagi


(6)

peserta.Promotif dan preventif yang diberikan dalam konteks upaya kesehatan perorangan (personal care). Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:

a.Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.

b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak.

c.Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana.

d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.

Maksud & tujuan sistem pelayanan BPJS

Setiap peserta berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:

i. Penyuluhan kesehatan perorangan. Penyuluhan kesehatan perorangan meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.

ii. Imunisasi dasar. Pelayanan imunisasi dasar meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis-B (DPT-HB), Polio, dan Campak.)

iii. Keluarga berencana. Pelayanan keluarga berencana yang dijamin meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.


(7)

iv. Skrining kesehatan. Pelayanan skrining kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. Ketentuan mengenai tata cara pemberian pelayanan skrining kesehatan jenis penyakit, dan waktu pelayanan skrining kesehatan sebagaimana dimaksud diatur dalam Peraturan Menteri.

Manfaat jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud terdiri atas manfaat medis dan manfaat non medis.Manfaat medis tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan.Manfaat non medis meliputi manfaat akomodasi, dan ambulans.Manfaat akomodasi dibedakan berdasarkan skala besaran iuran yang dibayarkan.Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.

B. Kenyataan pelaksanaan program BPJS

Sejak adanya UU 24/2011 ttg BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), maka pelaksananya disederhanakan yaitu untuk urusan kesehatan oleh BPJS Kesehatan (BPJS Kes).Untuk urusan lainya oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK).Peserta BPJS Kes ada 2 golongan, pertama peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) yaitu warga tak mampu atau paska PHK atau fakir miskin yang iuranya dibayar negara.Kedua peserta Non PBI yaitu peserta yang wajib membayar iuranya baik pegawaai yang kerja pada negara, swasta formal atau non formal.Babak baru eksperimen pemerintahpun dimulai.Banyak aturan yang berubah. Era Jamsostek dulu, jaminan kesehatan karyawan wajib diberikan, namun pelaksananya boleh oleh Jamsostek atau dengan cara lain atau dikerjakan sendiri oleh perusahaan. Dengan begitu gerak perusahaan cukup luas dalam memberikan JPK pada karyawan disesuaikan dengan selera dan kemampuan keuangan masing-masing. Iuran atau biayanya 100% dibebankan pada pengusaha / perusahaan, bila ikut Jamsostek iuranya 3% bagi bujang dan 6% bagi pekerja berkeluarga, dihitung dari gaji pokok. Pelayanan terhenti ketika karyawan di PHK.

Era BPJS aturanya berubah, semua perusahaan wajib ikut jadi peserta BPJS.Tanggal pedaftaranya saja yg bertahap.Jan 2014, TNI/POLRI, peserta eks ASKES, peserta eks Jamsostek.Awal Jan 2015 semua perusahaan BUMN, usaha besar/sedang/kecil wajib


(8)

didaftarkan.Jan 2016 usaha mikro dan terakhir Jan 2019 baru pekerja lepas (mandiri non formal) wajib pula daftar. Bagi karyawan yg diPHK tetap dilayani BPJS hingga 6 bulan, bila setelah 6 bulan tak kunjung dapat kerja (direncanakan) bisa masuk jadi peserta PBI yang iuranya dibayar negara. Bagaimana bila tidak daftar? Maka UU mengancam perusahaan atau pribadi warga negara itu, sanksi ditegur lisan, denda dan administrative berupa tidak akan diberikan pelayanan public semisal izin usaha, SIUP, SITU, IMB dan sertifikat tanah.

Biaya iuranpun ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pegawai, bagi PNS/TNI 3% negara dan 2% gaji pegawai dipotong. Karyawan swasta sejak 1 Juli 2015 nanti, 4% perusahaan dan 1% gaji karyawan dipotong untuk iuran. Taruhlah tahun depan UMSK Kutim Rp 2.400.000 maka iuranya Rp 96.000 oleh perusahaan dan Rp 24.000/bulan gaji karyawan dipotong. UU 24/2011 pasal 29 mewajibkan perusahaan memotong iuran karyawan, bila tidak dilakukan, diancam pasal 55 berupa hukuman 8 tahun atau denda 1 Milyar. Dengan ancaman ini, dijamin hampir pasti karyawan akan dipotong gajinya untuk iuran BPJS. Bagaimana pelayanan yang diberikan?Konsepnya secara umum mirip pelayanan Jamsostek, yaitu harus ke dokter keluarga dulu (biasanya prakteknya hanya sore hari dan di hari kerja), ke spesialis atau RS harus membawa rujukan dari dokter tingkat pertama, dan obatnya hanya (harus) obat generik. Sistem pembayaranya kepada pelaksananya (dokter keluarga, puskesmas, klini atau rumah sakit), dokter praktek / puskesmas modelnya sama, yaitu kapitasi Rp 6.000 – Rp 8.000 per jiwa per bulan, pasienya banyak atau tidak adapun bayaranya tetap. Untuk pelayanan tingkat II & III (Rumah Sakit Rujukan), berbeda.Dulu Jamsostek membayar berdasar “fee for service” alias sesuai pelayanan actual yg diberikan.Dalam kontrak kerjasamanya sudah ditentukan biaya kamar per hari, biaya dokter, alat kesehatan, obat, dll.Jadi pasien andai dirawat 10 hari ya dihitung 10 hari.

Sekarang pada BPJS, memakai system INA CBG’s yaitu software yang merangkum ribuan diagnose penyakit menjadi sekitar 700 kelompok penyakit. Dan bayaranya sudah ditentukan paketan tergantung jenis penyakit, keparahan, jenis kelas RS yang melayani, area wilayah, dll.Dalam bahasa praktis INA CBG’s itu system pelayanan “BORONGAN”. Contoh kasus operasi SC (sectio caesaria) dikelas III boronganya adalah Rp 3,7 jt, itu sudah termasuk jasa operasi dokter, anastesi, perawat, bahan habis pakai, makan, kamar, obat, dll. Mau pasien sembuh sehari, dua hari atau sebulan pembayaranya ya sesuai paket “borongan”.Sebagai perbandingan pertama Jamsostek dulu, masih menanggung biaya sekitar 6-7 jutaan. Kedua, tarif


(9)

RSUD di Kutim sesuai peraturan bupati no 23/2013 biaya operasi SC (Hanya biaya operasinya saja) adalah Rp 4.500.000,- belum termasuk obat, kamar, makan, Bahan habis pakai, dll.

RSUD yang gedung, alat, tenaganya dibayarin pemerintah saja, bisa dikatakan rugi (deficit), apalagi RS Swasta yang semua operasionalnya ditanggung sendiri. Hingga sekarang baik pengelola RS Pemerintah atau swasta, masih bingung bagaimana membuat system internal pembagian (distribusi) pembayaran 3,7 jt untuk pelayanan SC itu. Berapa untuk dokter, obat, alat kesehatan, dan kamar. Tahun depan semua perusahaan dan warga negara wajib ikut BPJS. Pertanyaanya, apakah mampu RSUD melayani sendiri, tanpa ikut serta RS Swasta?Dan apakah mau semua karyawan di Indonesia hanya dilayani di RSUD?Dan apakah mau, RS Swasta ikut melayani namun cenderung rugi?Tokoh nasional pengurus organisasi buruh beberapa hari lalu, mengatakan bahwa BPJS Kes gagal menyelengarakan layanan JPK yang baik, biang keroknya adalah system borongan (INA CBG’s).

Dipandang dari harapan (cita-cita), maksud dan tujuan BPJS adalah baik serta mulia. Namun dipandang dari aturan system pelaksanaanya, pemerintah terlihat terlalu buru-buru menerapkan system pembayaran model baru. Sistem serupa model INA CBG’s di negara maju terbukti telah membuat bangkrut sekitar 20% RS yang ada. Bahkan Amerika Serikat, program yang serupa walau tidak sama persis (Obama care) berdampak dengan shutdown (ditutupnya operasional pemerintah) untuk sementara. Bila sistem INA CBG’s diterapkan di Indonesia, selain RS pemerintah, adakah yang mau bangkrut? Tentu tidak ada. Bila pembayaran dari BPJS relative kecil (tidak cukup), maka yang berpotensi terkena dampaknya adalah pasien (karyawan yg berobat), bisa jadi pelayanan kurang maksimal atau banyak timbul biaya tambahan dari kantong pribadi pasien (walau secara teorinya tidak boleh).

Ada baiknya pemerintah juga perlu mempersiapkan system cadangan. Yaitu program BPJS tetap berjalan, namun system INA CBGS’s dihapus atau dimodifikasi. Dalam masa transisi, bisa diterapkan system “fee for service” alias ditentukan berapa biaya kamar, dokter, alat kesehatan, obat bisa dibuat baku per wilayah propinsi. Sehingga ada keseimbangan antara biaya pelayanan dan kemampuan financial BPJS sendiri dalam menjalankan program tersebut. Untuk cakupan PBI (Penerima Bantuan Iuran), pemerintah idealnya, tetap perlu proaktive lagi. Warga miskin menurut partai Oposisi adalah 100 juta jiwa, namun yang didaftarkan pemerintah pusat hanya


(10)

sekitar 85 juta jiwa. Masih ada 15 juta jiwa lebih warga miskin lagi yang belum terdaftar sebagai PBI.Hal itu bisa dilakukan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Melihat desain perpres 12/2013, PBI maunya hanya didaftarkan oleh pemerintah pusat. Dengan dirubahnya aturan tsb dng perpres 111/2013, peran pemerintah daerah dibuka (diharap-harap).

Jumlah pemda (kab/kota) sekitar 506, diprorata warga miskin per kabupaten yg belum tercakup PBI sekitar 30.000. Dengan biaya iuran Rp 19.225 per bulan, maka perlu anggaran sekitar Rp 570 juta perbulan. Hemat saya itu biaya itu relative kecil, bagi PEMDA bila mereka terketuk hatinya untuk ikut mensukseskan program yang niatnya mulia ini. Saya yakin semua PEMDA mampu, tinggal mau dan itikad untuk menganggarkanya saja yg perlu ditingkatkan. Semoga pemerintah segera menyadari, bahwa niat baik dan mulia saja tidak cukup, perlu serta diikuti dengan menjalankan cara-cara yang baik dan memperhatikan kepentingan bersama pula.

C. Masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan BPJS

1. Dari segi pendanaan, tarif kapitasi di PPK 1yang dirasakan kurang memadai , untuk puskesmas berkisar antara Rp 3000 – Rp 6000,- dan klinik pratama berkisar antara Rp 8.000,- - Rp 10.000,- Jika jumlah kunjungan pasien sesuai dengan angka yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dan dibayarkan sejumlah nominal tersebut atau paling tidak jika dilihat dari angka kesakitan sekitar 10 – 15 % atau 20 %, PPK masih bisa mengalokasikan dana tersebut untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan ( Permenkes No 19 tahun 2014 tentang Penggunaan dana Kapitasi )

2. potensi moral hazard, tidak siapnya para petugas, baik petugas medis maupun BPJS menghadapi membludaknya pasien sehingga menimbulkan antrian panjang

3. Sosialisasi belum merata bagi lapisan masyarakat , lebih banyak bagi masyarakat perkotaan dibandingkan pedesaan

4. Jumlah faskes dan tenaga kesehatan yang tidak imbang dengan jumlah peserta

5. Kesigapan dan keramahan petugas baik dalam melayani prosedur kepesertaan dan administrasi , serta respon dan tindak lanjut dalam melayani keluhan / complain baik dari


(11)

peserta secara individu maupun dari provider dan institusi yang membawahi provider tersebut, dengan cara tertulis , maupun lisan dan tidak pernah mendapatkan kejelasan .jawaban.

6. Ketentuan pelayanan yang berlaku untuk 1 ( satu ) pelayananan spesialis dalam satu hari dan bila dirujuk ke pelayanan spesialis lain hanya dapat di klaim untuk 1 (satu ) episode, sehingga pasien /peserta memerlukan waktu lagi untuk mendapatkan pelayanan rujukan lain tidak pada hari yang sama.

7. Tarif rumah sakit berdasarkan INA CBG’s yang dibuat oleh NCC Kemenkes yang dirasa masih terlalu rendah dari tarif yang berlaku di beberapa rumah sakit, dan perlu ditinjau ulang.

Permasalahan yang timbul tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mengevaluasi perjalanan BPJS selama 6 bulan. Penulis yakin sudah berbagai cara dan upaya yang dilakukan dalam membenahi program JKN ini, baik dari Kemenkes, dan BPJS sendiri, dan perlu dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak terkait agar pelaksanaan program ini ke depan makin berkembang dengan baik . Peran BPJS dan Kemenkes sangat besar dalam tercapainya program ini secara paripurna, disamping peran pendukung yaitu peserta dan provider pemberi pelayananan kesehatan ( Puskesmas, Klinik pratama dan Rumah Sakit ) .


(12)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

1. Pemerintah menadakan program untuk menjamin kesehatan warga masyarakat dengan memalui program BPJS sebagai harapan dapat mengatur program-program kesehatan lain seperti ASKES dan lain-lain. Dan mewujudkan keadilan dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai tujuan Negara.

2. Namun dalam kenyataan dilapangan program BPJS belum berjalan dengan lancar masih banyak masalah-masalah yang ditimbulkan dari program ini, seperti paparan yang telah penulis sampaikan diatas.

B. SARAN

Di akhir kata penulis tidak bermaksud mendiskreditkan pihak tertentu, namun ini adalah PR ( Pekerjaan Rumah ) bersama yang harus diselesaikan agar dalam perjalanannya seiring waktu , tidak ada lagi gap antara harapan dan kenyataan. Seperti kata pepatah “Berarak tiada berlari “ , Mengerjakan pekerjaan haruslah sesuai dengan sifat pekerjaan /aturan mainnya.. Pelaksanaan JKN / BPJS dapat menjadi jaminan sosial yang bisa melepas atau mengurangi beban masyarakat sebagai upaya integrasi pelayanan kesehatan dengan pembiayaan kesehatan sehingga tercapai


(13)

mutu pelayanan yang optimal dan sesuai kebutuhan (need) dengan biaya yang efisien , sesuai dengan konsep Managed Care


(1)

didaftarkan.Jan 2016 usaha mikro dan terakhir Jan 2019 baru pekerja lepas (mandiri non formal) wajib pula daftar. Bagi karyawan yg diPHK tetap dilayani BPJS hingga 6 bulan, bila setelah 6 bulan tak kunjung dapat kerja (direncanakan) bisa masuk jadi peserta PBI yang iuranya dibayar negara. Bagaimana bila tidak daftar? Maka UU mengancam perusahaan atau pribadi warga negara itu, sanksi ditegur lisan, denda dan administrative berupa tidak akan diberikan pelayanan public semisal izin usaha, SIUP, SITU, IMB dan sertifikat tanah.

Biaya iuranpun ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pegawai, bagi PNS/TNI 3% negara dan 2% gaji pegawai dipotong. Karyawan swasta sejak 1 Juli 2015 nanti, 4% perusahaan dan 1% gaji karyawan dipotong untuk iuran. Taruhlah tahun depan UMSK Kutim Rp 2.400.000 maka iuranya Rp 96.000 oleh perusahaan dan Rp 24.000/bulan gaji karyawan dipotong. UU 24/2011 pasal 29 mewajibkan perusahaan memotong iuran karyawan, bila tidak dilakukan, diancam pasal 55 berupa hukuman 8 tahun atau denda 1 Milyar. Dengan ancaman ini, dijamin hampir pasti karyawan akan dipotong gajinya untuk iuran BPJS. Bagaimana pelayanan yang diberikan?Konsepnya secara umum mirip pelayanan Jamsostek, yaitu harus ke dokter keluarga dulu (biasanya prakteknya hanya sore hari dan di hari kerja), ke spesialis atau RS harus membawa rujukan dari dokter tingkat pertama, dan obatnya hanya (harus) obat generik. Sistem pembayaranya kepada pelaksananya (dokter keluarga, puskesmas, klini atau rumah sakit), dokter praktek / puskesmas modelnya sama, yaitu kapitasi Rp 6.000 – Rp 8.000 per jiwa per bulan, pasienya banyak atau tidak adapun bayaranya tetap. Untuk pelayanan tingkat II & III (Rumah Sakit Rujukan), berbeda.Dulu Jamsostek membayar berdasar “fee for service” alias sesuai pelayanan actual yg diberikan.Dalam kontrak kerjasamanya sudah ditentukan biaya kamar per hari, biaya dokter, alat kesehatan, obat, dll.Jadi pasien andai dirawat 10 hari ya dihitung 10 hari.

Sekarang pada BPJS, memakai system INA CBG’s yaitu software yang merangkum ribuan diagnose penyakit menjadi sekitar 700 kelompok penyakit. Dan bayaranya sudah ditentukan paketan tergantung jenis penyakit, keparahan, jenis kelas RS yang melayani, area wilayah, dll.Dalam bahasa praktis INA CBG’s itu system pelayanan “BORONGAN”. Contoh kasus operasi SC (sectio caesaria) dikelas III boronganya adalah Rp 3,7 jt, itu sudah termasuk jasa operasi dokter, anastesi, perawat, bahan habis pakai, makan, kamar, obat, dll. Mau pasien sembuh sehari, dua hari atau sebulan pembayaranya ya sesuai paket “borongan”.Sebagai perbandingan pertama Jamsostek dulu, masih menanggung biaya sekitar 6-7 jutaan. Kedua, tarif


(2)

RSUD di Kutim sesuai peraturan bupati no 23/2013 biaya operasi SC (Hanya biaya operasinya saja) adalah Rp 4.500.000,- belum termasuk obat, kamar, makan, Bahan habis pakai, dll.

RSUD yang gedung, alat, tenaganya dibayarin pemerintah saja, bisa dikatakan rugi (deficit), apalagi RS Swasta yang semua operasionalnya ditanggung sendiri. Hingga sekarang baik pengelola RS Pemerintah atau swasta, masih bingung bagaimana membuat system internal pembagian (distribusi) pembayaran 3,7 jt untuk pelayanan SC itu. Berapa untuk dokter, obat, alat kesehatan, dan kamar. Tahun depan semua perusahaan dan warga negara wajib ikut BPJS. Pertanyaanya, apakah mampu RSUD melayani sendiri, tanpa ikut serta RS Swasta?Dan apakah mau semua karyawan di Indonesia hanya dilayani di RSUD?Dan apakah mau, RS Swasta ikut melayani namun cenderung rugi?Tokoh nasional pengurus organisasi buruh beberapa hari lalu, mengatakan bahwa BPJS Kes gagal menyelengarakan layanan JPK yang baik, biang keroknya adalah system borongan (INA CBG’s).

Dipandang dari harapan (cita-cita), maksud dan tujuan BPJS adalah baik serta mulia. Namun dipandang dari aturan system pelaksanaanya, pemerintah terlihat terlalu buru-buru menerapkan system pembayaran model baru. Sistem serupa model INA CBG’s di negara maju terbukti telah membuat bangkrut sekitar 20% RS yang ada. Bahkan Amerika Serikat, program yang serupa walau tidak sama persis (Obama care) berdampak dengan shutdown (ditutupnya operasional pemerintah) untuk sementara. Bila sistem INA CBG’s diterapkan di Indonesia, selain RS pemerintah, adakah yang mau bangkrut? Tentu tidak ada. Bila pembayaran dari BPJS relative kecil (tidak cukup), maka yang berpotensi terkena dampaknya adalah pasien (karyawan yg berobat), bisa jadi pelayanan kurang maksimal atau banyak timbul biaya tambahan dari kantong pribadi pasien (walau secara teorinya tidak boleh).

Ada baiknya pemerintah juga perlu mempersiapkan system cadangan. Yaitu program BPJS tetap berjalan, namun system INA CBGS’s dihapus atau dimodifikasi. Dalam masa transisi, bisa diterapkan system “fee for service” alias ditentukan berapa biaya kamar, dokter, alat kesehatan, obat bisa dibuat baku per wilayah propinsi. Sehingga ada keseimbangan antara biaya pelayanan dan kemampuan financial BPJS sendiri dalam menjalankan program tersebut. Untuk cakupan PBI (Penerima Bantuan Iuran), pemerintah idealnya, tetap perlu proaktive lagi. Warga miskin menurut partai Oposisi adalah 100 juta jiwa, namun yang didaftarkan pemerintah pusat hanya


(3)

sekitar 85 juta jiwa. Masih ada 15 juta jiwa lebih warga miskin lagi yang belum terdaftar sebagai PBI.Hal itu bisa dilakukan pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Melihat desain perpres 12/2013, PBI maunya hanya didaftarkan oleh pemerintah pusat. Dengan dirubahnya aturan tsb dng perpres 111/2013, peran pemerintah daerah dibuka (diharap-harap).

Jumlah pemda (kab/kota) sekitar 506, diprorata warga miskin per kabupaten yg belum tercakup PBI sekitar 30.000. Dengan biaya iuran Rp 19.225 per bulan, maka perlu anggaran sekitar Rp 570 juta perbulan. Hemat saya itu biaya itu relative kecil, bagi PEMDA bila mereka terketuk hatinya untuk ikut mensukseskan program yang niatnya mulia ini. Saya yakin semua PEMDA mampu, tinggal mau dan itikad untuk menganggarkanya saja yg perlu ditingkatkan. Semoga pemerintah segera menyadari, bahwa niat baik dan mulia saja tidak cukup, perlu serta diikuti dengan menjalankan cara-cara yang baik dan memperhatikan kepentingan bersama pula.

C. Masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan BPJS

1. Dari segi pendanaan, tarif kapitasi di PPK 1yang dirasakan kurang memadai , untuk puskesmas berkisar antara Rp 3000 – Rp 6000,- dan klinik pratama berkisar antara Rp 8.000,- - Rp 10.000,- Jika jumlah kunjungan pasien sesuai dengan angka yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dan dibayarkan sejumlah nominal tersebut atau paling tidak jika dilihat dari angka kesakitan sekitar 10 – 15 % atau 20 %, PPK masih bisa mengalokasikan dana tersebut untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan ( Permenkes No 19 tahun 2014 tentang Penggunaan dana Kapitasi )

2. potensi moral hazard, tidak siapnya para petugas, baik petugas medis maupun BPJS menghadapi membludaknya pasien sehingga menimbulkan antrian panjang

3. Sosialisasi belum merata bagi lapisan masyarakat , lebih banyak bagi masyarakat perkotaan dibandingkan pedesaan

4. Jumlah faskes dan tenaga kesehatan yang tidak imbang dengan jumlah peserta

5. Kesigapan dan keramahan petugas baik dalam melayani prosedur kepesertaan dan administrasi , serta respon dan tindak lanjut dalam melayani keluhan / complain baik dari


(4)

peserta secara individu maupun dari provider dan institusi yang membawahi provider tersebut, dengan cara tertulis , maupun lisan dan tidak pernah mendapatkan kejelasan .jawaban.

6. Ketentuan pelayanan yang berlaku untuk 1 ( satu ) pelayananan spesialis dalam satu hari dan bila dirujuk ke pelayanan spesialis lain hanya dapat di klaim untuk 1 (satu ) episode, sehingga pasien /peserta memerlukan waktu lagi untuk mendapatkan pelayanan rujukan lain tidak pada hari yang sama.

7. Tarif rumah sakit berdasarkan INA CBG’s yang dibuat oleh NCC Kemenkes yang dirasa masih terlalu rendah dari tarif yang berlaku di beberapa rumah sakit, dan perlu ditinjau ulang.

Permasalahan yang timbul tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mengevaluasi perjalanan BPJS selama 6 bulan. Penulis yakin sudah berbagai cara dan upaya yang dilakukan dalam membenahi program JKN ini, baik dari Kemenkes, dan BPJS sendiri, dan perlu dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak terkait agar pelaksanaan program ini ke depan makin berkembang dengan baik . Peran BPJS dan Kemenkes sangat besar dalam tercapainya program ini secara paripurna, disamping peran pendukung yaitu peserta dan provider pemberi pelayananan kesehatan ( Puskesmas, Klinik pratama dan Rumah Sakit ) .


(5)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

1. Pemerintah menadakan program untuk menjamin kesehatan warga masyarakat dengan memalui program BPJS sebagai harapan dapat mengatur program-program kesehatan lain seperti ASKES dan lain-lain. Dan mewujudkan keadilan dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai tujuan Negara.

2. Namun dalam kenyataan dilapangan program BPJS belum berjalan dengan lancar masih banyak masalah-masalah yang ditimbulkan dari program ini, seperti paparan yang telah penulis sampaikan diatas.

B. SARAN

Di akhir kata penulis tidak bermaksud mendiskreditkan pihak tertentu, namun ini adalah PR ( Pekerjaan Rumah ) bersama yang harus diselesaikan agar dalam perjalanannya seiring waktu , tidak ada lagi gap antara harapan dan kenyataan. Seperti kata pepatah “Berarak tiada berlari “ , Mengerjakan pekerjaan haruslah sesuai dengan sifat pekerjaan /aturan mainnya.. Pelaksanaan JKN / BPJS dapat menjadi jaminan sosial yang bisa melepas atau mengurangi beban masyarakat sebagai upaya integrasi pelayanan kesehatan dengan pembiayaan kesehatan sehingga tercapai


(6)

mutu pelayanan yang optimal dan sesuai kebutuhan (need) dengan biaya yang efisien , sesuai dengan konsep Managed Care