Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif

Advokasi
Berbasis Hak
di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-Negara Asia Tenggara
Pius Ginting
Meliana Lumbantoruan
Ronald Allan Barnacha

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara
ISBN : 978-602-72039-8-3

Penulis
Pius Ginting
Kepala Unit Kajian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Meliana Lumbantoruan.
Manajer Riset dan Pengetahuan, Publish What You Pay Indonesia
Ronald Allan Barnacha
Staf advokasi, Philippines Rural Reconstruction Movement (PRRM)
Peninjau
Christina Hill

Koordinator advokasi pertambangan, Oxfam Australia
Maryati Abdullah
Koordinator Nasional, Publish What You Pay Indonesia

Hak cipta dilindungi
Edisi Pertama, 2015

Makalah ini diterbitkan oleh Yayasan Transparasi Sumberdaya Ekstraktif-Publish What
You Pay Indonesia, dengan dukungan dari Natural Resource Governance Institute, United
Stated Agency for International Development (USAID). Isi makalah adalah tanggung
jawab Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan tidak serta-merta mencerminkan
pandangan USAID, pemerintah Amerika Serikat, atau Natural Resource Governance
Institute (NRGI).

Publish What You Pay Indonesia
Jl. Tebet Utara 2C No.22B, Jakarta Selatan 12810, Indonesia
Telp/Fax :+62-21-8355560 | E: [email protected]

ii


Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

Daar Isi
Latar Belakang ...................................................................................................................................................................... 1
Pentingnya Hak Komunitas dalam Rantai Nilai Industri Ekstraktif.......................................................2
Pentingnya Advokasi Berbasis Hak Komunitas ..................................................................................................4
Definisi dan Kerangka Internasional ........................................................................................................................5
Pendekatan Berbasis Hak ..........................................................................................................................................5
Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan ..........................................................................5
FPIC dalam Kerangka Pandangan ICMM......................................................................................................... 9
Hak terhadap Informasi ...........................................................................................................................................12
Studi Kasus dari Asia Tenggara ..................................................................................................................................14
Studi Kasus Indonesia ...............................................................................................................................................15
Sejarah Advokasi Hak Komunitas dan FPIC di Indonesia ................................................................15
Kerangka Regulasi FPIC di Indonesia ..........................................................................................................15
Peran CSO dalam Membangun Kesadaran dan Memberdayakan Komunitas .......................17
Studi Kasus Filipina ..................................................................................................................................................20
Kerangka Regulasi .................................................................................................................................................20
Konstitusi Filipina 1987 .......................................................................................................................................20

Undang-undang Hak Asasi Masyarakat Adat 1997 (IPRA) ................................................................21
Perkembangan Terbaru FPIC dalam Undang-Undang Filipina .................................................... 24
Bagi Hasil kepada Masyarakat Adat .............................................................................................................27
Advokasi Komunitas Berbasis Hak Terkait Operasi Industri Ekstraktif ................................. 28
Perjuangan Berlanjut: Menjunjung Hak-Hak Masyarakat Adat .................................................. 29
Peran Organisasi Masyarakat Sipil...............................................................................................................30
Pengalaman Global ......................................................................................................................................................... 33
Studi Kasus Australia ................................................................................................................................................ 33
Studi Kasus Norwegia: Bagaimana Menghormati Masyarakat Adat Mancanegara ............... 34
Pelajaran dan Rekomendasi ........................................................................................................................................ 35
Pelajaran tentang Kerangka Regulasi ............................................................................................................... 35
Pelajaran tentang Peran CSO dan Pemberdayaan Komunitas............................................................ 35
Pelajaran tentang Kebijakan dan Advokasi Kelembagaan .................................................................... 35
Daar Pustaka ................................................................................................................................................................... 37

iii

Kata Pengantar

I


ndustri ekstraktif telah memainkan peran
yang lebih aktif di negara-negara Asia
Tenggara. Dalam hal tersebut, terdapat hakhak masyarakat yang harus dihormati. Salah
satu pendekatan yang sering digunakan adalah
pendekatan berbasis hak asasi manusia, atau
disingkat advokasi berbasis hak,. Dalam advokasi
berbasis hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik
yang dihadapi sebuah komunitas dilihat dari
hak yang tidak dapat dicabut (inalienable rights)
dilindungi dan dihormati dan menganggap hak
asasi manusia tak terlindungi, tak terpenuhi dan
tak terduga dan dengan mengakses hak-haknya,
komunitas tersebut bisa secara bertanggung jawab
menggunakannya untuk menciptakan kehidupan
komunitas yang konstruktif.
Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di
dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif.
Hak-hak masyarakat terhadap lingkungan yang
aman dan hak atas tanah dan jaminan bahwa

pengembangan, tingkat kandungan lokal, adanya
pemantauan partisipatif yang berkeadilan dalam
distribusi pendapatan dari sektor ekstraktif,
dan memastikan jaminan pascatambang dengan
melakukan
rehabilitasi
lingkungan
untuk
memastikan standar keamanan dan lingkungan.

Tulisan ini akan mengulas tentang beberapa
pengalaman advokasi komunitas berbasis hak dari
negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia dan
Filipina. Ulasannya mencakup pada sisi regulasi
hak komunitas, peran masyarakat sipil dalam
advokasi dan menampilkan beberapa studi kasus
dari pengalaman masing-masing negara. Selain
membahas pengalaman dan pembelajaran dari
Asia Tenggara, dalam tulisan ini juga memaparkan
pembelajaran dari internasional, yaitu dari Negara

Australia dan Norwegia.
Kami ucapkan terima kasih atas kerjasama
segenap pihak yang membantu para penulis
untuk menyelesaikan tulisan ini. Terselesaikannya
tulisan ini tidak luput dari dukungan USAID,
Natural Resource Governance Institute (NRGI),
dan terkhusus buat Chritina Hill yang sudah mau
memberikan masukan untuk isi tulisan ini, dan
terkahir tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih
untuk dukungan seluruh rekan-rekan Sekretariat
Nasional PWYP Indonesia.

Jakarta, Mei 2015

Maryati Abdullah
Koordinator Nasional Publish What You Pay
Indonesia

iv


Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

Latar Belakang

oleh peningkatan jumlah izin yang pada awalnya
kurang dari 4.000 izin di dalam periode sebelum
krisis menjadi 10.918 izin pada 2014.1 Nilai ekspor
dari sektor
ekstraktif juga mengikuti tren
kenaikan dengan nilai ekspor batubara melonjak
tajam hingga 600% dari hampir US$4 miliar di 2005
ke US$24 miliar di 2013 seperti ditunjukkan grafik
di bawah ini.
Gambar 1. Nilai Ekspor Tiga Komoditas Mineral
27,221.9 26,166.3

30000
24,501.4


25000
US$ 000.000

P

endekatan berbasis hak asasi manusia,
atau disingkat advokasi berbasis hak,
biasanya diasosiasikan dengan advokasi
berbasis kebutuhan. Namun, keduanya sebetulnya
dapat dibedakan. Di dalam advokasi berbasis
hak, persoalan ekonomi, sosial dan politik yang
dihadapi sebuah komunitas dilihat dari hak yang
tidak dapat dicabut (inalienable rights) dilindungi
dan dihormati. Sementara itu, di dalam advokasi
komunitas berbasis kebutuhan, sebuah komunitas
dipandang sebagai kelompok yang berurusan
dengan masalah dan butuh menjadi target
tindakan karitatif. Di dalam pendekatan berbasis
kebutuhan, sebuah komunitas memandang
dirinya sendiri sebagai kelompok yang dirugikan

dan memerlukan bantuan. Sebaliknya, pendekatan
berbasis hak menganggap hak asasi manusia
tak terlindungi, tak terpenuhi dan tak terduga
dan dengan mengakses hak-haknya, komunitas
tersebut bisa secara bertanggung jawab
menggunakannya untuk menciptakan kehidupan
komunitas yang konstruktif.

20000

18,499.4
10,485.2

15000
10000

13,817.1

6,085.7 6,681.4
4,354.1


5000
0

Export Value (US$ 000.000)
2005 2006 2007 2008 2009

2010

2011

2012

2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Industri ekstraktif telah memainkan peran
yang lebih aktif di negara-negara Asia Tenggara
sebagaimana dapat dilihat dari tren data

perdagangan di sektor ekstraktif. Menurut data
perdagangan, ekspor dan impor intra dan ekstra
ASEAN pada 2013 di sektor ekstraktif menduduki
tempat kedua tertinggi di dalam total perdagangan
terbesar ASEAN. Total nilai perdagangan intra
dan ekstra di sektor ekstraktif per 2013 adalah
US$493988 juta (nilai ekspor sebesar US$ 220166
juta dan nilai impor sebesar US$273821 juta). Andil
nilai perdagangan keseluruhan sektor ekstraktif
adalah 19,7% terhadap perdagangan total ASEAN.
Tren tersebut juga terjadi di Indonesia pasca
krisis ekonomi 1998 sebagaimana dibuktikan

Namun, meskipun nilai ekonominya besar,
aktivitas intensif di sektor industri ekstraktif
tidaklah secara otomatis memperbaiki kehidupan
warga yang mendiami wilayah di sekitar lokasi
pertambangan.
Nyatanya,
banyak
wilayah
pertambangan di Indonesia masih terbelakang.
Misalnya, Sumbawa Barat, Mimika, Bangka
Selatan, Morowali, dan Kutai Barat2. Hingga
batas tertentu, faktor-faktor geografis di daerahdaerah terpencil menimbulkan tantangan untuk
membangun infrastruktur yang diperlukan
agar bisa mengangkat suatu wilayah dari status
keterbelakangannya. Tetapi tampaknya industri
1

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi
danSumberdaya Mineral Maret 2014.

2

http://.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal

1

ekstraktif justru punya andil terhadap keadaan
ini karena meskipun jangka waktu operasi
yang lama di daerah-daerah ini, ia tidak mampu
menyejahterakan penduduk setempat.
Dalam hal pekerjaan, sektor ekstraktif hanya
mempekerjakan 1.555.564 orang (1% dari jumlah
seluruh pekerjaan yang ada). Angka ini relatif kecil
dibandingkan pertanian, perkebunan, dan
perikanan yang menyerap 35% dari angkatan
kerja (Badan Pusat Statistik Indonesia).
Menurut
Kementerian
Perindustrian,
dari 2009 sampai 2013 industri ini telah
menciptakan sekitar 60.000 lapangan kerja.3
Sektor pertambangan menyerap lebih sedikit
tenaga kerja karena industri ekstraktif bergantung
pada teknologi mekanis yang tidak membutuhkan
banyak orang.
Karena di bawah mekanisme pasar, warga lokal
tidak secara otomatis dipekerjakan di industri
ekstraktif, namun advokasi berbasis hak wajib
diterapkan. Untuk mencegah keterbelakangan
komunitas yang menghuni wilayah di sekeliling
lokasi industri ekstraktif, konsensus untuk
melakukan kegiatan-kegiatan industri ini harus
lahir hanya melalui pertimbangan persetujuan
atas dasar informasi tanpa paksaan (free informed
consent). Banyak komunitas merasa putus asa
dan frustrasi karena operasi industri ekstraktif
di dalam ruang hidupnya. Industri ekstraktif
dipandang sebagai penyebab gangguan di dalam
pola kehidupan tradisional mereka, mencemari
air, udara dan laut, serta memicu perampasan
lahan. Mereka juga mengeluhkan bahwa industri
ekstraktif memiliki kekuasaan dan sekutu yang
kuat. Oleh karena itu, komunitas merasa mereka
tidak memiliki harapan selain menerima dampak
negatif industri ekstraktif.

Pentingnya Hak Komunitas dalam Rantai
Nilai Industri Ekstraktif
Industri ekstraktif mungkin menimbulkan
beragam dampak lingkungan dan sosio-ekonomi.
Industri ekstraktif seharusnya berkontribusi
terhadap pembangunan berkelanjutan sehingga
pengembangan industri ekstraktif seharusnya
3

2

http://www.pwc.com.au/asia-practice/indonesia/assets/publications/
mineIndonesia-May-2013.pdf, page 28

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

dipandu oleh tata kelola yang kuat dan prinsipprinsip yang transparan dari penyerapan kontrak
dan lisensi, melalui operasi ladang minyak, hingga
pemungutan dan penggunaan akhir dari hasil
sewa. Berikut rantai nilai industri ekstraktif:
Bagan1 :Rantai Nilai Industri Ekstraktif

Sumber: E Mayorga Alba, 2009 - EI Value Chain: A
comprehensive integrated approach to developing EI

Pendekatan berbasis hak harus diterapkan di
dalam keseluruhan mata rantai industri ekstraktif.
Tahap pertama dari rantai tersebut adalah
persiapan wilayah pertambangan. Perhatian
utama pada tahapan ini ialah hak-hak masyarakat
terhadap lingkungan yang aman dan hak atas
tanah dan jaminan bahwa pengembangan “tingkat
kandungan lokal” (local content) - termasuk
konsultasi lokal dan penggunaan tenaga kerja,
barang dan jasa setempat – adalah aspek kunci
di dalam industri ekstraktif. Apabila ditetapkan
secara tepat, kewajiban tingkat kandungan lokal
bisa meningkatkan manfaat ekonomi dan sosial
dan membantu mengurangi risiko proyek jangka
panjang.
Pada rantai kedua, selama fase operasi,
masyarakat harus berjuang untuk mendapatkan
perhatian bagi isu-isu lingkungan seperti
keterlibatan di dalam konsultasi awal dan praktik
pemantauan partisipatif serta keadilan dalam
distribusi pendapatan dari sektor ekstraktif.
Kapasitas administratif dan audit serta jaminan
akan adanya pelaporan publik yang regular adalah
rantai ketiga. Rantai keempat ialah memastikan
bahwa bagi hasil antara pemerintah pusat dan
pemeritah daerah ditetapkan melalui konstitusi
negara ataupun perangkat hukum. Lalu rantai
kelima adalah mendorong evaluasi proyekproyek industri ekstraktif yang menyertakan
estimasi dampak lingkungan dan sosialnya, dan
manfaat sosio-ekonomi yang diharapkan serta
keberlanjutannya dalam jangka panjang, dan

juga menaruh perhatian pada isu-isu terkait
penonaktifan ladang minyak dan gas serta
tambang yang patut diperhatikan secara cermat,
termasuk pemantauan pasca penutupan.
Operasi pasca penambangan dan rehabilitasi
lingkungan yang rusak adalah hal krusial untuk
memastikan standar keamanan dan lingkungan.
Selain itu, kegiatan ekonomi pascatambang juga
harus menjadi perhatian. Jika masyarakat sadar
akan hak-haknya dan mampu memperjuangkan
agar hal itu dipenuhi, isu-isu ini bisa ditangani
dengan baik dan mereka tidak akan menjadi
warga negara yang lemah dan terus berada dalam
ketidakpastian seperti halnya dalam pendekatan
karitatif.
Pendekatan berbasis hak di dalam industri
ekstraktif vital untuk menjamin bahwa orangorang ini bisa memperoleh dampak positif dari
kehadiran industri tersebut dan ini tidak hanya
dirasakan oleh segelintir elit, tetapi juga oleh
seluruh komunitas. Penerapan pendekatan

berbasis hak akan mengatasi efek-efek negatif dari
kegiatan industri ekstraktif, yang menghasilkan
fenomena kutukan sumberdaya (resource-curse
phenomenon), karena hak komunitas dilindungi,
dihormati dan dipenuhi berdasarkan aturan
hukum internasional dan nasional sebagaimana
kebutuhannya untuk menerapkan pembangunan
partisipatif.
Oleh karena, industri ekstraktif memiliki
karakter yang spesifik, membawa dampak
lingkungan yang besar terhadap warga sekitarnya
dan mencakup serangkaian kegiatan di bidang
pertambangan/ekstraksi,
maka
pendekatan
berbasis hak ideal diberlakukan pada setiap
fase kegiatan – (1) di dalam konsensus apakah
pertambangan tersebut dilakukan atau tidak; (2)
selama produksi, seperti peningkatan produksi
dan aspek-aspek lingkungan di seluruh proses
produksi; (3) transportasi hasil tambang yang
bisa menghasilkan debu sepanjang rute,; dan
(4) kegiatan pasca-pertambangan. Fase-fase ini
diilustrasikan di dalam gambar berikut.

Gambar 2 : Titik Krusial dalam Siklus Pertambangan bagi FPIC

Sumber:Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (diolah)

3

Pentingnya
Advokasi Berbasis
Hak Komunitas

A

dvokasi
adalah proses
pemanfaatan
informasi secara strategis untuk mengubah
kebijakan yang mempengaruhi hidup
masyarakat
yang
dirugikan
(disadvantaged
people). Seringkali melibatkan lembaga-lembaga
lobi pembangunan dan politik di belahan Utara.
Keterampilan advokasi digunakan untuk menggugat
kebijakan lokal, nasional dan internasional,
memperkuat struktur yang memungkinkan
masyarakat berpartisipasi dalam perumusan
kebijakan yang mengendalikan hidup mereka dan
membuka kesempatan agar masyarakat dapat
terlibat di dalam perubahan kebijakan. Salah satu
jenis advokasi dikenal sebagai advokasi berbasis hak
komunitas.
Advokasi berbasis hak komunitas telah
dipromosikan dan dilakukan oleh organisasiorganisasi masyarakat sipil. Advokasi tipe ini
berbeda dengan advokasi yang menawarkan
bantuan kepada suatu komunitas tanpa

4

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

menyediakan suatu kerangka yang solid mengenai
hak-hak masyarakat dan yang memandang mereka
sebagai penerima alih-alih objek dengan hak-hak
yang kuat.
Signifikansi advokasi berbasis hak didasarkan
pada asumsi bahwa sebuah komunitas bisa
memperoleh kehidupan yang lebih baik apabila
negara memenuhi hak-haknya dan di dalam suatu
negara demokratis yang mengindahkan hukum,
hak-hak yang diakui tersebut memadai untuk
mewujudkan hidup yang bermartabat. Jika hakhak tersebut masih belum ada, mereka haruslah
diperjuangkan oleh organisasi masyarakat
sipil dan komunitas. Advokasi berbasis hak
memastikan bahwa jasa-jasa untuk memenuhi
hak-hak komunitas akan berlangsung melampaui
masa advokasi dan ini agak berbeda dengan
pendekatan berbasis bantuan, di mana jasa-jasa
untuk menyalurkan bantuan akan terhenti ketika
program terhenti karena pertimbangan tertentu.

Definisi & Kerangka
Internasional

Pendekatan Berbasis Hak
Pendekatan berbasis hak bisa dilacak dari
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dan perjanjian
lainnya yang membentuk Perundang-undangan
Hak Internasional (International Bill of Rights).
Hak-hak yang dicakup oleh perjanjian tersebut
meliputi hak atas kehidupan, kemerdekaan (liberty)
dan keamanan seseorang; hak persamaan di
hadapan hukum; hak atas pendidikan dasar secara
cuma-cuma; hak atas pekerjaan dan upah yang adil;
hak atas kebebasan berpindah tempat, bertempat
tinggal dan kebangsaan; kebebasan berpendapat,
hati nurani, berkepercayaan, beragama dan hak
untuk memiliki dan mengungkapkan pendapat
tanpa intervensi. Negara-negara yang telah
menyetujui hak-hak asasi manusia yang mendasar
ini mempunyai kewajiban hukum dan moral
untuk menjamin pelaksanaan hak-hak tersebut.
Mereka adalah penanggung kewajiban hukum dari
hak-hak ini dan harus menghormati kewajiban
terhadap warga negaranya. Dengan deklarasi ini,
hak komunitas disebut berdasarkan hak asasi
manusia.
Pendekatan berbasis hak asasi manusia
merupakan kerangka konseptual bagi proses
perkembangan manusia yang secara normatif
berlandaskan standar-standar hak asasi manusia
internasional dan secara operasional diarahkan
untuk mempromosikan dan melindungi manusia di
dalam permasalahan pembangunan dan menyasar
praktik-praktik diskriminasi dan distribusi
kekuasaan yang tidak merata yang menghambat
kemajuan pembangunan. Di dalam pendekatan
hak asasi manusia, rencana, kebijakan dan proses
pembangunan ditambatkan pada sistem hak
dan kewajiban yang terkait dengannya yang
ditetapkan lewat hukum internasional. Dengan
demikian, pendekatan ini dapat mempromosikan

keberlanjutan pembangunan, pemberdayaan,
khususnya pada kelompok masyarakat yang paling
marjinal, untuk berperan serta di dalam perumusan
kebijakan guna menuntut pertanggungjawaban
terhadap mereka yang berkewajiban untuk
bertindak.
Pendekatan berbasis hak mengakui penyebab
kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan
terletak pada pelanggaran hak-hak masyarakat
dan mereka yang hak-hak asasi paling
mendasarnya diingkari memiliki posisi secara
hukum untuk mengadvokasi demi perubahan.
Paradigma ini ditransformasikan dari paradigma
yang memandang masyarakat sebagai ‘warga
yang membutuhkan’ menjadi paradigma yang
memandang bahwa apa yang secara fundamendal
dan legal menjadi hak-hak masyarakat diingkari.
Oleh karena itu, tugas utama di dalam mengadopsi
pendekatan berbasis hak di dalam pembangunan
komunitas adalah untuk menentukan bagaimana
isu-isu yang diidentifikasi oleh masyarakat tersebut
berkorespondensi dengan hak-hak asasi yang
hakiki, dan menggali bagaimana cara terbaik untuk
menerapkan hak-hak ini di ranah lokal, nasional
dan internasional. Lebih jauh, pendekatan berbasis
hak bertujuan untuk memperkuat kemampuan
negara untuk memenuhi kewajibannya sebagai
penyandang kewajiban (duty bearers) dan
memperluas kesempatan dialog yang konstruktif
dengan penyandang hak.

Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal
Tanpa Paksaan (Free,prior and informed
consent/FPIC)
Salah satu syarat advokasi berbasis hak adalah
persetujuan atas dasar informasi awal tanpa
paksaan (Free and Prior Informed Consent). FPIC
5

ialah mekanisme dan proses dimana Masyarakat
(indigenous
peoples/IPs)
mengambil
Adat
keputusan mereka sendiri atau independen
kolektif mengenai persoalan-persoalan yang
mempengaruhi mereka sebagai perwujudan hak
atas tanah mereka, wilayah and sumberdaya; hak
mereka untuk menentukan nasib sendiri (selfdetermination); dan integritas budaya. FPIC dibuat
sebagai suatu perangkat hukum lunak di dalam
Deklarasi Masyarakat Adat PBB (United Nations
Declarations on the Rights of Indigenous Peoples/
UNRIP). FPIC bertujuan untuk menciptakan dialog
dengan masyarakat dan mencapai kesepakatan
tentang kapan dan dimana untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang mungkin memiliki
dampak signifikan pada masyarakat lokal dan
lingkungan, dan sifat dari kompensasi dan paket
manfaat yang terkait, mengatasi perbedaan
kekuasaan dalam negosiasi di mana komunitaskomunitas semuanya terlalu sering memiliki suara
yang jauh lebih lemah ketimbang pemerintah dan
perusahaan-perusahaan. 4
Meski tidak memiliki definisi universal,
FPIC umumnya menghendaki agar komunitaskomunitas diberi informasi secara memadai
mengenai proyek-proyek pembangunan tepat
pada waktunya dan diberikan kesempatan untuk
menyetujui atau menolak proyek-proyek ini
lepas dari tekanan yang tidak semestinya. FPIC
merupakan hak yang disandang Masyarakat Adat
berdasarkan hukum internasional dan mengemuka
secara luas sebagai prinsip praktik terbaik bagi
pembangunan berkelanjutan. FPIC juga bisa
dilihat dari tingkat internasional dan regional.
Berikut penjelasan dari kerangka tersebut:

I.

Tingkat Internasional

Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli di
Negara-negara Merdeka (International Labor
Organizations’ Convention on Indigenous and
Tribal Peoples in Independent Countries) 169/1989 merujuk pada prinsip persetujuan atas
dasar informasi tanpa paksaan di dalam konteks

4

6

Abbi Buxton and Emma Wilson, FP)C and Extractive
)ndustries. ))ED:UK.
, hlm.

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:

Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

relokasi Masyarakat Adat dari tanah mereka di
pasal 6. Dalam pasal 6, 7 dan 15, konvensi tersebut
bermaksud memastikan bahwa tiap upaya yang
dilakukan negara telah melalui konsultasi penuh
dengan Masyarakat Adat terkait pembangunan,
tanah dan sumberdaya. 5
Naskah Deklarasi PBB mengenai Hak-hak
Masyarakat Adat (United Nations Dra Declaration
on the Rights of Indigenous People/UNDD’ (Subkomisi resolusi 1994/45, tambahan) merupakan
instrumen yang mengemuka terkait hak-hak
masyarakat asli yang secara eksplisit mengakui
prinsip FPIC di dalam artikel 1, 12, 20, 27 dan 30.
UNDD mengacu pada hak Masyarakat Adat untuk
menentukan dan mengembangkan prioritasprioritas dan strategi-strategi pembangunan atau
menggunakan tanah, wilayah dan sumberdaya
lain yang mereka miliki, termasuk FPIC dari negara
terkait dengan pembangunan dan pemanfaatkan
sumber permukaan dan sumber sub-permukaan
seperti:
a) Pasal 10 tentang relokasi paksa;
b) Pasal 12 tentang
intelektual;

budaya

dan

kekayaan

c) Pasal 20 terkait tindakan legislatif dan
administratif yang diambil oleh negara;
d) Pasal 27 terkait tanah, wilayah dan sumberdaya
Masyarakat Adat;
e) Pasal 30 dengan perencanaan pembangunan.6
Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi
Racial (UN Commiee on the Elimination of
Racial Discrimination/CERD) membuat observasi,
rekomendasi dan menghimbau negara untuk
‘memastikan bahwa anggota Masyarakat Adat
memiliki hak terkait peran serta yang efektif dalam
kehidupan publik dan tidak ada keputusan yang
secara langsung berhubungan terhadap hak dan
kepentingannya yang diambil tanpa persetujuan
atas dasar informasi’ (Rekomendasi Umum XXIII
51 mengenai orang-orang Asli yang diadopsi pada
Pertemuan Komite ke 1235, 1997).
5

Ronald busiinge, FPIC Concepts to responsible mining in sustaining
rivers and community, http://archive.riversymposium.com/index.
php?element=BUSIINGE

6

Parshuram Tamang. An Overview of the Principle of Free, Prior and
Informed Consent and Indigenous Peoples in International and Domestic
Law and Practices. New York: 2005

Pada tahun 2000, di dalam kesimpulan
observasinya terhadap laporan Australia, CERD
menegaskan, rekomendasinya bahwa pihak negara
menjamin peran serta yang efektif dari komunitaskomunitas asli di dalam pelbagai keputusan yang
mempengaruhi hak-hak mereka atas tanah,
sebagaimana dituntut pasal 5C dari Konvensi
dan Rekomendasi Umum XXIII dari Komite, yang
menekankan pentingnya menjamin ‘persetujuan
atas dasar informasi’ dari Masyarakat Adat.7
Konvensi
Keanekaragaman
Biologis
(Convention on Biological Diversity/CBD) 1992
di dalam pasal 8(J) meminta negara-negara yang
terikat kontrak menghormati, melestarikan dan
mempertahankan pengetahuan, inovasi dan
praktik komunitas-komunitas lokal dan asli untuk
mempromosikan penerapannya secara lebih luas
dengan persetujuan dan keterlibatan pemangku
kepentingan dari aset tersebut.
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan (United Nations Conference on
Environment and Development) 1992 menerima
Masyarakat Adat sebagai kelompok utama
implementasi Agenda 21. Pasal 22 Deklarasi Rio
secara eksplisit menyebutkan bahwa Masyarakat
Adat dan komunitasnya dan komunitas lokal
lainnya berperan vital di dalam pengelolaan
lingkungan dan pembangunan karena pengetahuan
dan praktik-praktik tradisional mereka. Negara
seharusnya mengakui dan sepatutnya mendukung
identitas, budaya dan kepentingan mereka, dan
memungkinkan peran serta mereka secara efektif
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Agenda 21 dan Prinsip-Prinsi Hutan mengakui: hakhak adat terhadap tanah dan kekayaan intelektual
dan budaya dan mempertahankan praktik adat
dan administratifnya; kebutuhan akan partisipasi
yang lebih besar; nilai dari keterlibatan mereka di
dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.
II. Tingkat Regional
Naskah Deklarasi Amerika tentang Hakhak Masyarakat Adat dari Organisasi Negaranegara Bagian Amerika (American Declaration
on the Rights of Indigenous Peoples of the
Organization of American States/‘OAS’)pada
7

pasal XVII dan XXIII menyatakan bahwa negara
memperoleh FPIC sebelum persetujuan proyek
apapun yang mempengaruhi tanah, wilayah dan
sumberdaya Masyarakat Adat, khususnya terkait
pembangunan, pemanfaatan atau eksplorasi
mineral, air dan sumberdaya.
Komisi Hak Asasi Inter-Amerika (InterAmerican Commission on Human Rights/‘IACHR’)
telah mengembangkan yurisprudensi yang luas
mengenai FPIC. Komisi tersebut telah menyatakan
hukum hak asasi manusia Inter-Amerika
membutuhkan langkah-langkah khusus untuk
menjamin pengakuan terhadap kepentingan
khusus dan kolektif Masyarakat Adat yang di
dalamnya terdapat pekerjaan dan penggunaan
lahan tradisional dan sumberdaya mereka serta
hak untuk tidak dicerabut dari kepentingan ini,
kecuali dengan persetujuan tanpa paksaan atas
dasar informasi. Pada 2003, IACHR menyatakan
bahwa FPIC secara umum dapat diterapkan pada
keputusan negara yang akan membawa dampak
kepada tanah Masyarakat Adat dan komunitasnya,
seperti pemberian konsesi untuk mengeksploitasi
sumberdaya alama di wilayah-wilayah adat8.
Strategi dan prosedur pada isu-isu sosiobudaya yang terkait dengan Lingkungan Bank
Pembangunan Inter-Amerika (Inter-American
Development Bank/IADB) 1990 menetapkan
bahwa secara umum IDB tidak akan mendukung
proyek-proyek yang mengenai tanah dan wilayah
kesukuan, kecuali jika disetujui masyarakat suku
asli. FPIC sudah disertakan di dalam kebijakan
IADB mengenai Transmigrasi Non-Sukarela.
Pada 1998 Dewan Menteri Uni Eropa (European
Union/EU) mengadopsi sebuah Resolusi yang
berjudul Masyarakat Suku Asli di dalam Kerangka
Kerjasama Pembangunan Komunitas dan Negaranegara Anggota. Kerangka tersebut menetapkan
bahwa masyarakat asli berhak menentukan jalur
pembangunannya sendiri, yang mencakup hak
terhadap objek-objek, khususnya di lingkungan
tradisional mereka. Hal ini diteguhkan lagi pada
2002 oleh Komisi Europa, yang menyatakan bahwa
EU mengartikan penyataan ini setara dengan FPIC.
8

Fergus Mackey, A Guide to Indigenous Peoples’ Rights in the InterAmerican Human Rights System. FPP: 2001

Opcit, hlm. 5

7

Sementara itu, negara-negara di wilayah Asia
Tenggara mengadopsi instrumen hak asasi manusia
kawasan pertama kali pada 18 November 2012 yang
disebut sebagai Deklarasi Hak Asasi Manusia
ASEAN (ASEAN Human Right Declaration/AHRD)
- Pernyataan Phnom Penh9. AHRD merupakan
tata cara standar pertama, dokumen politik untuk
mengkodifikasikan hak-hak asasi mendasar dan
kebebasan fundamental di negara-negara anggota
ASEAN yang harus mereka hormati, promosikan
dan lindungi. Deklarasi ini juga merupakan
perwujudan komitmen para pemerintah ASEAN
untuk mengamankan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental masyarakat ASEAN.
AHRD sejalan dengan komitmen ASEAN di dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Di sisi lain, pembukaan Naskah Perjanjian
ASEAN tentang Akses terhadap Sumberdaya
Biologis dan Genetis (Southeast Asian Nations Dra
Agreement on Access to Biological and Genetic
Resources) 2000 mengakui prinsip fundamental
bahwa persetujuan atas dasar informasi tanpa
paksaan dari negara anggota dan masyarakat asli
serta komunitasnya yang mengejawantahkan gaya
hidup tradisional haruslah dijamin sebelum akses
dapat terjadi10.
III. Tingkat Nasional
Filipina, Malaysia, Australia, Venezuela,
Peru, dan sebagainya memiliki legislasi nasional
mengenai persetujuan atas dasar informasi tanpa
paksaan Masyarakat Adat untuk seluruh kegiatan
yang berdampak pada tanah dan wilayahnya.
Di
Filipina
Undang-undang
Hak-hak
Masyarakat Adat (1997) mengakui hak Masyarakat
Adat terhadap FPIC untuk semua kegiatan yang
mempengaruhi tanah dan wilayahnya termasuk:
a) Eksplorasi, pembangunan dan penggunaan
sumberdaya alam;
b) Penelitian bioprospecting;
c) Pemindahan dan relokasi;

e) Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi
Masyarakat Adat seperti Perintah Eksektutif
263 (Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas);
f) Masuknya militer.
Venezuela mengadopsi sebuah hukum tentang
keanekaragaman hayati (biodiversity) pada Mei
2000. Pasal 39 menetapkan bahwa pelestarian
keanekaragaman budaya melalui pengakuan dan
promosi pengetahuan tradisional (traditional
knowledge/TK’ dan Pasal 44 memilik ketentuan
bahwa penyandang TK ini dapat menentang
penyerahan akses terhadap sumberdaya atau materi
genetis atau projek TK di wilayah mereka atau
meminta pemberhentian kegiatan yang mereka
takutkan akan berdampak terhadap warisan
budaya dan keanekaragaman hayatinya11. Negara
bagian Sarawak, Malaysia, menyetujui Ordonansi
Pusat Keanekaragaman Hayati Sarawak 1977, dan
kemudian regulasi-regulasi Keanekaragaman
Hayati Sarawak 1998 (Akses, Koleksi dan
Penelitian). Dewan Sarawak bertanggung jawab
atas pengaturan akses, koleksi, riset, proteksi,
pemanfaatan dan ekspor sumberdaya biologis
negara bagian. Pada 2004, Negara Bagian Sabah
di dalam ‘Kerangka untuk mempersatukan
Masyarakat Adat dengan peraturan-peraturan
yang menyertai Undang-undang Keanekaragaman
Hayati Sabah 2000’ menciptakan sistem aturan
yang menjamin bahwa masyarakat asli akan
sepanjang waktu dan senantiasa menjadi pencipta,
pengguna dan pemelihara pengetahuan tradisional
dan akan secara kolektif menikmati manfaat dari
penggunaan pengalaman semacam itu.
Di lima negara bagian Australia, persetujuan
tanpa paksaan telah diperoleh melalui Dewan
Pertanahan yang dikendalikan masyarakat asli
secara hukum di kawasan tambang selama lebih
dari 30 tahun. Prosedur persetujuan ini diulas
oleh Institut Penelitian Ekonomi dan Industri
Nasional pada 1999, yang mendapati bahwa
mereka telah sukses di dalam mengawal kontrol
masyarakat Aborigin terhadap tanahnya dan juga
menetapkan bahwa sebuah proses negosiasi yang

d) Eksplorasi arkeologis;

8

9

AICHR:What you need to know (2nd edition). 2012, The ASEAN Secretariat
: Jakarta

10

Makalah Kebijakan. Framework for incorporating indigenous communities
within the rules accompanying the Sabah Biodiversity Enactment 2000.
November : 2004

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

11

Gupta, Anil K. (2004), WIPO-UNEP Study on the Role of Intellectual
Property Rights in the Sharing of Benefits Arising from the Use of
Biological Resources and Associated Traditional Knowledge, WIPO AND
UNEP.Study No. 4.

memungkinkan peningkatan porsi lahan Aborigin
di wilayah yang tersedia bagi eksplorasi mineral.
Secara keseluruhan, syarat utama FPIC ialah
partisipasi. Partisipasi diperlukan karena di dalam
proses FPIC keputusan-keputusan yang diambil
akan mengarah pada pembangunan sumberdaya
yang secara sosial dapat diterima dan secara
politik berkelanjutan, sertaakan menyediakan
pertimbangan yang berimbang dari pemerintah,
perusahaan-perusahaan dan masyarakat sipil.

keputusan tanpa paksaan, intimidasi atau
manipulasi; (ii) diberi waktu yang cukup untuk
terlibat di dalam pembuatan keputusan proyek
sebelum keputusan-keputusan kunci dibuat dan
dampaknya terjadi; dan (iii) diinformasikan secara
penuh mengenai proyek tersebut serta dampak
dan manfaat potensialnya. Hasilnya, masyarakat
asli bisa memberi atau menahan persetujuan
tanpa paksaan terhadap suatu proyek, melalui
sebuah proses yang diusahakan konsisten
dengan proses pembuatan keputusan tradisional
mereka sembari menghormati hak-hak asasi
manusia yang diakui secara internasional dan
berdasarkan pada perundingan dengan itikad
baik. Komitmen di dalam pernyataan posisi yang
terkait dengan persetujuan tanpa paksaan ini
berlaku bagi proyek-proyek baru dan mengubah
proyek-proyek yang sudah ada, yang mungkin
sekali akan memilik dampak yang signifikan bagi
komunitas Masyarakat Adat. Pernyataan posisi ini
tidak berlaku surut. Masyarakat Adat dan bukan
Masyarakat Adat kemungkinan akan terdampak
secara signifikan, para anggota boleh memilih
untuk memperluas komitmen yang dicantumkan
di dalam pernyataan posisi tersebut kepada
masyarakat di luar Masyarakat Adat.

FPIC tentang Pandangan Kerangka ICMM
Di samping kerangka tersebut di atas, terdapat
pula kerangka dan pandangan lain mengenai
FPIC. Dewan Internasional Tambang dan Logam
(International Council on Mining and Metals/
ICMM) didirikan pada 2001 untuk memperbaiki
kinerja pembangunan yang berkelanjutan di
industri tambang dan logam. Sasaran utama
ICMM ialah untuk membangun hubungan yang
konstruktif
antara
perusahaan-perusahaan
tambang dan logam dengan masyarakat asli
berdasarkan asas saling menghormati, keterlibatan
yang bermakna, kepercayaan dan manfaat
bersama.
Di dalam kerangka ICMM, FPIC meliputi
suatu proses dan hasil. Melalui proses ini,
Masyarakat Adat: (i) mampu mengambil

ICMM at a glance

Gambar 3: Visi dan Komitmen ICMM
Mengenai kerangka ICMM, seluruh anggota
mengakui bahwa:
ICMM member commitments
10 principles for sustainable development + 6 position statements

ICMM Vision
leading mining and
metals companies
working together
and with others
to strengthen
the contribution
to sustainable
developmentt

Fundamental
implication
creating value for
shareholders while
simultaneously
creating value for
the communities and
societies in which they
operate

Our role: a catalyst for improving enviromental and
social performance in the mining and metal’s industry

1.

Implement ethical business
practices and apply good
corporate governance
2. Integrate SD in corporate
decision-making
3. Uphold fundamental human
rights
4. Manage risks based on sound
science
5/6. Improve environment, health
and safety performance
continuously
7. Conserve biodiversity &
contribute to integrated land
use planning
8. Encourage a life cycle approach
to materials management
9. Contribute to community
development
10. Publicy report, independently
assure and engage openly and
transparently

Mining and Protected Areas
Mining: Partnerships for
Development
Climate Change
Mining and Indigenous
Peoples
Mercury Risk Management
Transparency of Mineral
Revenues

Sumber: Pertambangan untuk Pembangunan (Presentasi untuk Forum Antar-pemerintah mengenai
Pertambangan, Mineral, Logam dan Pembangunan Berkelanjutan), FernandesDiez (www.icmm.com)

9

1. Masyarakat Adat memiliki hubungan yang
khusus dan mendalam, dan diidentifikasikan
dengan, tanah dan air dan unsur-unsur ini
terikat pada kesejahteraan fisik, spiritual,
budaya dan ekonomi. Mereka juga mungkin
mempunyai pengetahuan dan pengalaman
tradisional yang berharga di dalam mengelola
lingkungan secara berkelanjutan. Masyarakat
Adat di banyak wilayah di seluruh dunia
sudah secara historis dirugikan dan mungkin
masih sering mengalami diskriminasi, tingkat
kemiskinan yang tinggi dan kerugian. Proyekproyek tambang dan logam bisa memiliki
imbas positif dan negatif yang signifikan pada
komunitas-komunitas lokal.
2. Kepentingan-kepentingan Masyarakat Adat di
proyek-proyek tambang dan logam umumnya
diakui sebagai satu atau lebih dari hal-hal
berikut: pemilik sertifikat formal lahan atau
kepentingan hukum yang diakui atas lahan atau
sumberdaya; penuntut kepemilikan atas lahan
atau sumberdaya; secara adat pemilik atau
penghuni lahan atau sumberdaya; pengguna
lahan atau sumberdaya untuk keperluankeperluan seperti berburu, memancing,
mengumpulkan benih/buah dan obat, atau
untuk keperluan spiritual atau ritual; berada
dalam objek material atau sumberdaya budaya
yang bermakna; berada dalam lanskap yang
punya arti khusus karena asosiasi, tradisi atau
kepercayaan; anggota dari komunitas setempat
yang lingkungan sosial, ekonomi dan fisiknya
mungkin dipengaruhi oleh pertambangan dan
kegiatan terkait.
3. Masyarakat Adat memiliki hak-hak dan
kepentingan-kepentingan individu dan kolektif
dan secara internasional diakui bahwa hak-hak
mereka ini harus dilindungi oleh pemerintah
dan dihormati oleh perusahaan-perusahaan
yang terkait. Dua instrumen internasional
kunci di dalam bidang ini adalah Konvensi
Organisasi Perburuhan Internasional No. 169
mengenai Masyarakat Adat dan Suku Asli
(1989), dan Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak
Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights
of Indigenous Peoples/UNDRIP) yang diadopsi
oleh Sidang Umum PBB pada September

10

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

200712. “UNDRIP meletakkan hak-hak yang
seharusnya dicita-citakan oleh negara-negara
untuk bisa diakui, dijamin dan dilaksanakan”
dan “membentuk sebuah kerangka diskusi dan
dialog antara Masyarakat Adat dan Negara.”13
4. Proyek-proyek tambang dan logam yang
sukses membutuhkan dukungan jajaran pihakpihak yang berkepentingan dan terdampak.
Ini meliputi baik persetujuan legal formal dan
regulatoris yang dianugerahi oleh negara dan
dukungan yang luas dari masyarakat setempat
yang menerima perusahaan. Masyarakat Adat
seringkali memiliki karakteristik budaya,
struktur tata kelola dan cara berinteraksi dan
membuat keputusan yang menjauhkannya dari
penduduk yang bukan masyarakat asli. Hal
tersebut menuntut perusahaan-perusahaan
untuk terlibat dengan cara-cara yang pantas
secara budaya dan menaruh perhatian
pada kapasitas, hak-hak dan kepentingankepentingan Masyarakat Adat di dalam
konteks keterlibatan komunitas yang lebih
luas. Negara memiliki hak untuk mengambil
keputusan tenang pembangunan sumberdaya
menurut aturan hukum nasional yang berlaku,
termasuk aturan hukum yang melaksanakan
kewajiban negara penerima di bawah hukum
internasional. Beberapa negara telah membuat
penetapan persetujuan secara eksplisit melalui
hukum nasional dan sub-nasional. Akan tetapi
di kebanyakan negara, “baik Masyarakat
Adat ataupun kelompok penduduk lainnya
memperoleh hak untuk memveto proyekproyek pembangunan yang mempengaruhi
mereka”, sehingga FPIC harus dipandang
sebagai sebuah “prinsip untuk dihargai
setinggi-tingginya di dalam perencanaan dan
implementasi”14.
5. Negara juga mempunyai peran penting yang
harus ia mainkan di dalam mengikutsertakan
Masyarakat Adat. Mereka mungkin terlibat
dalam menentukan komunitas mana saja yang
harus dianggap asli, membentuk proses untuk
12

Per October 2012, 22 negara telah meratifikasi ILO 169 yang bersifat
mengikat secara hukum di negara-negara tersebut.

13

Sebagaimana dinyatakan dalam UN Development Group’s Guidelines on
Indigenous Peoples’ Issues (2008).

14

Sebagaimana diungkapkan dalam in the UN’s Department of Economic
and Social Affairs Resource Kit on Indigenous Peoples’ Issues (2008).

mencapai FPIC dan menentukan bagaimana
ini terkait dengan proses-proses yang diatur
untuk memastikan peran serta komunitas di
dalam pengambilan keputusan. Mengingat
peran mereka di dalam menyeimbangkan hakhak dan kepentingan-kepentingan Masyarakat
Adat dengan masyarakat yang lebih luas,
negara juga punya tugas penting di dalam
mencari resolusi dari perselisihan pendapat
yang mungkin timbul antara Masyarakat Adat
dan perusahaan untuk mencapai FPIC.
6. Di beberapa negara, istilah asli (indigenous)
mungkin kontroversial dan istilah-istilah
setempat yang kurang lebih setara mungkin
digunakan (seperti masyarakat suku asli/
tribal peoples, masyarakat pertama/first
peoples, masyarakat pribumi/native people,
dan masyarakat aborigin. Di dalam situasi
lainnya, mungkin tidak ada pengakuan akan
pelecehan oleh negara, atau istilah tersebut
mungkin memiliki asosiasi negatif sehingga
menghalangi orang untuk mengakui identitas
asli.
Terlepas dari konteks lokal, para anggota
ICMM menolak segala bentuk diskriminasi atau
kekurangan yang terkait dengan budaya, identitas,
kerentana dan akan berusaha menerapkan prinsipprinsip yang diejawantahkan di dalam pernyataan
posisi ini terhadap kelompok-kelompok yang
memperlihatkan apa yang umumnya diterima
sebagai ciri-ciri Masyarakat Adat. 15
ICMM juga memiliki komitmen di dalam
Kerangka Pembangunan Berkelanjutan ICMM
di mana perusahaan-perusahaan anggota ICMM
berkomitmen untuk:
1. Terlibat dengan Masyarakat Adat yang punya
potensi terkena dampak, dengan tujuan:
(i) menjamin bahwa pembangunan proyek
tambang dan logal memelihara penghormatan
terhadap hak-hak, kepentingan, aspirasi,
budaya dan penghidupan masyarakat asli
yang berbasis sumberdaya alam; (ii) menyusun
proyek-proyek untuk menghindari dampak

15

Sebagaimana didefinisikan adalam ILO 169 dan diringkas dalam bagian
section 1.3 dari ICMM’s Good Practice Guide: Indigenous Peoples and
Mining (2010).

yang merugikan dan meminimalisir, mengelola
atau memberi ganti rugi dampak-dampak
ikutan yang tak terhindarkan; dan (iii)
memastikan manfaat dan kesempatan yang
berkelanjutan bagi Masyarakat Asli melalu
pengembangan proyek-proyek tambang dan
logam.
2. Memahami dan menghormati hak-hak,
kepentingan dan perspektif Masyarakat
Adat terkait sebuah proyek dan dampak
potensialnya. Kajian dampak sosial dan
lingkungan atau analisis sosial dasar akan
dikerjakan untuk mengidentifikasi siapa
saja yang mungkin terkena dampak dari
suatu proyek dan juga sifat dan jangkauan
dampak potensial pada Masyarakat Adat dan
komunitas-komunitas yang punya potensi
terimbas. Pelaksanaan kajian semacam ini
seharusnya bersifat partisipatoris dan inklusif
untuk membantu membangun pemahaman
lintas budaya antara perusahaan-perusahaan
dan komunitas-komunitas, serta mendukung
sasaran sebagaimana digambarkan pada
komitmen 1 di atas.
3. Menyetujui keterlibatan yang sesuai dan
proses konsultasi dengan Masyarakat Asli
yang berpotensi terkena dampak dan pejabat
pemerintah yang berwenang sesegera mungkin
selama perencanaan proyek, untuk memastikan
partisipasi Masyarakat Adat yang berarti di
dalam pembuatan keputusan. Dukungan harus
disediakan untuk mengembangkan kapasitas
komunitas demi perundingan dengan itikad baik
berdasarkan keadilan. Proses-proses ini harus
diusahakan secara konsisten dengan prosesproses pengambilan keputusan Masyarakat
Asli dan mencerminkan hak-hak asasi
manusia yang diterima secara internasional,
dan sepadan dengan skala dampak potensial
dan kerentanan komunitas yang terimbas.
Proses-proses ini seharusnya mewujudkan
ciri-ciri perundingan yang beritikad baik dan
didokumentasikan di dalam sebuah rencana
yang mengidentifikasi perwakilan-perwakilan
komunitas yang berpotensi terkena dampak
dan pemerintah, proses konsultasi dan protokol
yang disetujui, tanggung jawab timbal balik
dari pihak-pihak terhadap proses keterlibatan
dan kesempatan untuk mencari jalan lain
11

ketika terjadi perselisihan pendapat atau
kebuntuan sebagaimana digambarkan oleh
komitmen 6 di bawah ini. Rencana tersebut
harus mendefinisikan apa yang merupakan
persetujuan tanpa paksaan dari komunitaskomunitas adat yang akan terkena dampak
secara signifikan. Keterlibatan dan proses
konsultasi yang disepakati harus diterapkan
lewat kerjasama dengan komunitas-komunitas
adat yang potensial terkena dampak, melalui
cara yang menjamin partisipasi mereka secara
proposional di dalam pembuatan keputusan.
4. Pekerjaan untuk memperoleh persetujuan
tanpa paksaan dari komunitas-komunitas adat
untuk proyek-proyek baru (dan berlaku untuk
proyek-proyek yang sudah ada) terletak pada
lahan yang secara tradisional dimiliki oleh
atau di bawah penggunaan adat Masyarakat
Adat dan kemungkinan besar akan memiliki
imbas besar terhadap Masyarakat Adat,
termasuk dimana relokasi Masyarakat Adat
dan/atau dimana warisan budaya yang kritis
akan terkena dampak secara signifikan akan
terjadi16. Proses-proses persetujuan tanpa
paksaan harus berfokus untuk mencapai
kesepakatan yang menjadi dasar suatu proyek
(perubahan atau proyek yg sudah ada) untuk
terus dilanjutkan. Proses-proses ini seharusnya
tidak memberikan hak veto terhadap individuindividu atau sub-kelompok maupun menuntut
dukungan persetujuan penuh dari Masyarakat
Adat yang berpotensi terkena dampak (kecuali
jika dimandatkan secara hukum). Prosesproses persetujuan tanpa paksaan seharusnya
tidaklah menuntut perusahaan-perusahaan
untuk menyetujui aspek-aspek di luar kendali
mereka.
5. Berkolaborasi dengan pejabat berwenang
yang bertanggung jawab untuk mencapai
hasil yang konsisten dengan komitmenkomitmen di dalam pernyataan posisi ini,
dalam situasi dimana pemerintah bertanggung
jawab mengelola kepentingan-kepentingan
Masyarakat Adat dengan membatasi campur
tangan perusahaan. Dimana pemerintah
setempat menuntut para anggota untuk
mengikuti proses-proses yang sudah disusun

16

12

Relokasi Masyarakat Adat dan dampaknya terhadap warisan budaya
krisits haruslah dihindari sejauh yang dimungkinkan.

Advokasi Berbasis Hak di Industri Ekstraktif:
Bingkai dan Pengalaman dari Negara-negara Asia Tenggara

untuk mencapai hasil melalui pernyataan
posisi ini, para anggota ICMM tidak diharapkan
menjalani proses-proses yang paralel.
6. Mengantisipasi
kemungkinan
bahwa
perbedaan pendapat akan muncul, yang
dalam beberapa kasus mungkin mengarah
pada kemunduran atau penundaan di
dalam mencapai kesepakatan yang sedang
dirundingkan dalam itikad baik. Perusahaanperusahaan dan komunitas-komunitas yang
potensial terkena dampak harus menyetujui
ujian yang masuk akal atau kesempatan
untuk kembali ke awal, yang akan diterapkan
manakala perbedaan pandangan muncul. Hal
ini mencakup mencari pertimbangan atau
nasihat dari pihak-pihak yang bisa diterima
oleh kedua belah pihak. Pada saat komitmen 4
berlaku dan persetujuan tanpa paksaan tidak
dicapai kendati seluruh pihak sudah mencoba
usaha terbaiknya, untuk menyeimbangkan
hak-hak dan kepentingan Masyarakat Asli
dan masyarakat yang lebih luas, pemerintah
mungkin menetapkan bahwa suatu projek
harus diteruskan dan memerinci ketentuanketentuan yang harus berlaku. Di dalam
keadaan semacam ini, para anggota ICMM
akan menentukan apakah mereka seharusnya
tetap terlibat di dalam sebuah proyek.

Hak terhadap Informasi
Informasi merupakan kebutuhan fundamental
baik bagi individu maupun masyarakat secara luas.
Hak terhadap informasi juga dipandang sebagai
hak asasi manusia yang hakiki dan juga esensi dari
tata kelola yang baik dan demokrasi yang bekerja
dengan baik. Kebebasan informasi (Freedom of
Information/FOI) punya peran kunci di dalam
mendukung pengawasan terhadap pemerintah
dan pengelolaan i