Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana

(1)

PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN

HAK ASASI MANUSIA PELAKU TINDAK PIDANA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

PANGERAN ANDRE NASUTION

NIM: 050200129

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN

HAK ASASI MANUSIA PELAKU TINDAK PIDANA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

PANGERAN ANDRE NASUTION

NIM: 050200129

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Hamdan, SH. M. Hum NIP: 196603031985081001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum Liza Erwina, SH. M. Hum NIP:197302202002121001 NIP:196110241989032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Untuk mencapai perlindungan harkat dan martabat manusia, penyiaran berita kriminal haruslah memperhatikan dan disesuaikan dengan hak-hak yang terkandung dalam hukum acara pidana dan ingin ditegakkan dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang bagaimana penyiaran berita tentang hukum harus dilaksanakan, sehingga tidak akan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum. Dalam kode etik wartawan disebutkan bahwa, wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dan opini berimbang serta selalu meneliti kebenaran informasi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimanakah pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidanadan bagaimanakah pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Dalam perspektif hak asasi manusia, pelaku tindak pidana diberikan hak-hak sebagaimana telah tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, yakni antara lain: hak segera mendapatkan pemeriksaan, hak diberitahukan dengan bahasa yang dimengerti, hak memberikan keterangan secara bebas, hak mendapatkan juru bahasa, hak mendapatkan bantuan penasehat hukum, hak menghubungi penasihat hukum, hak menerima kunjungan dokter pribadi, hak menerima kunjungan keluarga, hak menerima dan mengirim surat, hak menerima kunjungan rohaniawan dan diadili secara terbuka untuk umum, hak mengajukan saksi yang menguntungkan, hak menuntut ganti kerugian, dan hak memperoleh rehabilitasi. Penyiaran berita kriminal yang ditayangkan oleh televisi pada masa sekarang ini telah terjadi pelanggaran HAM dalam proses penayangan berita kriminal tersebut. Telah terjadi pelanggaran HAM terhadap pelaku dan terhadap publik. Hak publik juga dicederai untuk lebih mendapatkan informasi yang lebih bermutu, informasi yang dapat lebih meningkatkan secara kualitatif kemampuan analisis. Penayangan berita kriminal telah melanggar hak asasi pribadi seseorang karena walaupun orang tersebut adalah pelaku tindak pidana, akan tetapi sebagai seorang pribadi HAM nya tidak akan terlepas. Oleh karena itu harus tetap diberikan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai seorang tersangka dalam pemberitaan berita kriminal.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan bagi penyelesaian penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: “Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana. Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada:


(5)

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.a(K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Ketua Jurusan Departemen Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing II. 9. Bapak Eddy Ikhsan, SH, MA sebagai Dosen Penasehat Akademik selama

penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh Bapak dan Ibu staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

12.Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan memberi kesempatan untuk berjuang menuntut ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

13.Ucapan terima kasih yang sangat spesial diperuntukkan bagi kakanda-kakanda senioren dan alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

15.Kepada teman-teman, khusunya stambuk 2005 Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

16.Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 10 Oktober 2011


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PANDANGAN HAM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ... 20

A. HAM dan Pengaturannya di Indonesia ... 20

B. Pelaku Tindak Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ... 33

BAB III PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN HAM ... 40

A. Pemberitaan Tindak Kriminal dalam Perspektif Undang-undang tentang Pers ... 40

B. Pemberitaan Kriminal dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana ... 49

C. Perlindungan HAM Pelaku Tindak Pidana dalam Pemberitaan Tindak Kriminal ... 55


(8)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. Kesimpulan... 65

B. Saran ... 66


(9)

ABSTRAK

Untuk mencapai perlindungan harkat dan martabat manusia, penyiaran berita kriminal haruslah memperhatikan dan disesuaikan dengan hak-hak yang terkandung dalam hukum acara pidana dan ingin ditegakkan dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang bagaimana penyiaran berita tentang hukum harus dilaksanakan, sehingga tidak akan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum. Dalam kode etik wartawan disebutkan bahwa, wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dan opini berimbang serta selalu meneliti kebenaran informasi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimanakah pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidanadan bagaimanakah pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Dalam perspektif hak asasi manusia, pelaku tindak pidana diberikan hak-hak sebagaimana telah tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, yakni antara lain: hak segera mendapatkan pemeriksaan, hak diberitahukan dengan bahasa yang dimengerti, hak memberikan keterangan secara bebas, hak mendapatkan juru bahasa, hak mendapatkan bantuan penasehat hukum, hak menghubungi penasihat hukum, hak menerima kunjungan dokter pribadi, hak menerima kunjungan keluarga, hak menerima dan mengirim surat, hak menerima kunjungan rohaniawan dan diadili secara terbuka untuk umum, hak mengajukan saksi yang menguntungkan, hak menuntut ganti kerugian, dan hak memperoleh rehabilitasi. Penyiaran berita kriminal yang ditayangkan oleh televisi pada masa sekarang ini telah terjadi pelanggaran HAM dalam proses penayangan berita kriminal tersebut. Telah terjadi pelanggaran HAM terhadap pelaku dan terhadap publik. Hak publik juga dicederai untuk lebih mendapatkan informasi yang lebih bermutu, informasi yang dapat lebih meningkatkan secara kualitatif kemampuan analisis. Penayangan berita kriminal telah melanggar hak asasi pribadi seseorang karena walaupun orang tersebut adalah pelaku tindak pidana, akan tetapi sebagai seorang pribadi HAM nya tidak akan terlepas. Oleh karena itu harus tetap diberikan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai seorang tersangka dalam pemberitaan berita kriminal.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam penjelasan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 disebutkan “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”.1

Sejak tahun 1998 yang dikenal dengan era reformasi dimulai, banyak perubahan yang terjadi pada bangsa Indonesia. Perubahan terjadi di berbagai bidang, baik yang menyangkut bidang ketatanegaraan, maupun bidang pemerintahan yang berdampak pada bidang-bidang lainnya. Misalnya hak asasi manusia untuk kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat seperti mendapat kebebasan baru yang pada saat sebelum reformasi dibatas-batasi, sehingga timbul Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menghormati kemerdekaan tiap-tiap bangsa dan di dalam kemerdekaan hak segala bangsa terkandung pula kemerdekaan bagi setiap warga negaranya. Kalimat tersebut mempunyai pengertian konsep HAM di Indonesia meletakkan penghargaan pada hak kemerdekaan seorang warga. Sejalan dengan ketentuan itu, meskipun seseorang warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan yang tercela, hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang. Bagi bangsa Indonesia, penghargaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai landasan ideal konstitusi merupakan konsep yang dianuat sebagai penjabaran sila kedua pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab yang disemangati oleh sila-sila pancasila.

1


(11)

kebebasan masyarakat Indonesia dalam menyampaikan pendapatnya ataupun kehendaknya serta dalam menentukan pilihannya sendiri, terbebas dari rasa takut akan kekuatan penguasa.

Salah satu wujud dari kebebasan tersebut adalah kebebasan yang ada dalam dunia pers. Kebebasan tersebut berdampak pada setiap bentuk penyampaian informasi kepada masyarakat. Penyampaian informasi tersebut dilakukan melalui berbagai mass media yang ada, baik itu media cetak seperti koran, majalah, tabloid, maupun media elektronik seperti televisi dan radio. Dalam Undang-undang Pers, kebebasan pers diganti menjadi kemerdekaan pers, yakni salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrais, keadilan dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers akan mendorong penghargaan dan memberikan jaminan hak asasi manusia sehingga kemerdekaan pers tersebut harus sejalan dengan penegakan HAM.

Pers mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya merujuk pada media cetak berskala surat kabar, tabloid dan majalah. Sedangkan dalam arti luas pers bukan hanya menunjuk pada media cetak belaka, melainkan juga mencakup media media elektronik auditif dan media elektronik audiovisual berkala, yakni radio, televisi, film dan media on line internet. Pers dalam arti luas disebut media massa.2

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 pasal 1 ayat (1) menyebutkan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

2

Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis


(12)

mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945. Oleh karenanya, meskipun pers bebas akan tetapi merupakan pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pers di Indonesia mempunyai kekhasan sesuai dengan ideologi dan falsafah negara Indonesia (Pancasila) dan budaya masyarakat Indonesia yang khas pula.3

Penyampaian informasi berupa penyiaran berita kriminal dapat ditinjau dari dua sisi. Di satu sisi untuk kepentingan masyarakat memperoleh informasi, tetapi di sisi lain penyampain informasi berita kriminalitas dapat menciptakan suatu keadaan yang tidak adil atau penghakiman oleh pers (trial by the press)

Hakikat dari pers adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab berdasarkan pada nilai-nilai pancasila dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebaran informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.

Skripsi ini membahas mengenai penyampaian informasi melalui berita yang ditayangkan media elektronik yaitu televisi, khususnya penyiaran berita tentang kejahatan. Berita semacam ini sangat marak disiarkan di stasiun-stasiun televisi swasta dengan bermacam-macam tayangan kriminal yang menarik perhatian pemirsa untuk melihat dan mendengarkan secara langsung.

3

Elvinarno Ardianto dan Lukianti Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu


(13)

terhadap tersangka pelaku kejahatan dan tentu saja hal ini akan sangat mempengaruhi suatu proses hukum yang adil (due process of law) bagi tersangka.

Istilah due process of law yang diartikan sebagai suatu proses hukum yang adil menurut Tobias dan Patersen adalah berasal dari dokumen Magna Charta Inggris (1215), yaitu merupakan:4

Pada intinya, asas ini menyatakan bahwa seseorang adalah tidak bersalah melakukan kejahatan sampai dapat dibuktikan bahwa ia bersalah oleh pengadilan. Ini berarti dalam suatu proses peradilan terdakwa, harus dapat dibuktikan kesalahannya berdasarkan bukti-bukti di persidangan. Proses hukum yang adil merupakan hak dari seorang tersangka atau terdakwa dalam negara yang berdasarkan hukum. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro:

Constitutional guaranty, … that no person will be deprived of life, liberty or property for reasons that are arbitrary … protects the citizens again arbitrary actions of the government”. Oleh karena itu, unsur-unsur minimal dari “due process” adalah: hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court” (mendengar tersangka dan terdakwa, penasehat hukum, pembela, pembuktian, dan pengadilan yang adil dan tidak memihak).

5

4

Mardjono Reksodiptro, Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai

Bagian dari Hak-hak Warga Negara (Civil Rights), (Jakarta: UI Press: 1990), hal. 9.

5

Ibid

“Suatu proses hukum yang adil harus memberikan kesempatan kepada tersangka atau terdakwa untuk didengar pendapatnya (hearing), melakukan pembelaan (defense), fakta harus diajukan berdasarkan bukti (evidence), sidang pengadilan harus adil dan tidak memihak (fair and impartial of court), dan hak untuk didampingi penasehat hukum (counsel) dalam menghadapi dakwaan.


(14)

Hukum acara pidana telah meletakkan dasar humanism dan merupakan era baru dalam dunia peradilan Indonesia. Pedoman pelaksanaan hukum acara pidana yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman berbunyi:6

Untuk mencapai perlindungan harkat dan martabat manusia, penyiaran berita kriminal haruslah memperhatikan dan disesuaikan dengan hak-hak yang terkandung dalam hukum acara pidana dan ingin ditegakkan dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang bagaimana penyiaran berita tentang hukum harus dilaksanakan, sehingga tidak akan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum. Dalam kode etik wartawan disebutkan bahwa, wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dan opini berimbang serta selalu meneliti kebenaran informasi.

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

7

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 juga melakukan pembatasan dalam penyampaian program siaran yang dianggap dapat menimbulkan efek negatif atau dapat menyinggung nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh beragam kelompok atau khalayak. Terdapat pembatasan-pembatasan

6

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 8.

7


(15)

penyampaian berita, antara lain berita-berita yang mengandung kekerasan, penggunaan gambar, penayangan gambar korban tidak boleh disorot secara close up, big close up, medium close up, extreme close up.8

B. Permasalahan

Pedoman perilaku penyiaran disusun dan bersumber kepada nilai agama, moral, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum.

1. Bagaimanakah pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidana?

2. Bagaimanakah pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidana b. Untuk mengetahui pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan

HAM terdakwa 2. Manfaat

a. Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pemberitaan kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa

b. Praktis

8

Media Watch & Customer Centre, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program


(16)

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberitaan kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa dalam perkara pidana.

D. Keaslian penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan kepustakaan

1. Tindak Kriminal/ Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum


(17)

berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.9

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.10

Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Strafbaar feit

terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan

9

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67.

10

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 181.


(18)

sebagai terjemahaan dari strafbaar feit, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial.

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.11

a. Perbuatan

Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum ) c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )

11

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 3


(19)

Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut:

a. Ada norma pidana tertentu

b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi.

Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu. Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. Dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia


(20)

itu tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable).12 Menurut H.A.W Widjaja, hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar atau fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati, yang tidak bisa dari dan dalam kehidupan manusia.13

Selanjutnya, salah satu instrumen yang mengatur tentang Administrasi peradilan, penahanan, dan pennganiayaan adalah Resolusi PBB Nomor 663 tahun 1957 tentang Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Ketentuan ini telah memberikan perlindungan bagi para narapidana agar mereka tidak diperlakukan secara semena-mena dan memberikan jaminan agar hak-haknya terpenuhi.14

12

Mardjono Reksodiputro, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hal 47

13

H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal.64

14

Ibid, hal. 299

Arah kebijakan di bidang hukum meliputi: Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptakanya kesaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu, mengakui dan penghormati Hukum Agama dan Hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskrimintaif, termasuk ketidakaladilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.


(21)

Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai HAM. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk UU. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk kepolisian NRI, untuk menumbuhkan kepercaraan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan.15 Berkaitan dengan penegakan hukum ini, B. Arief Sidharta mengatakan bahwa tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).16 Dalam penegakan hukum pidana ada 4 (empat) aspek dari perlindungan masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu:17

a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek

15

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.

16

B. Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan

Ilmu Hukum Nasional Indonesia). (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 180.

17

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan


(22)

ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk penang-gulangan kejahatan.

b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Wajar pula apabila penegakan Hukum Pidana bertujuan memperbaiki sipelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalah-gunaan sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum.

d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni


(23)

merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas18

2. Jenis Data dan Sumber Data .

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.19

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

18

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 1.

19

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.


(24)

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:20

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

20

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 63.


(25)

4. Analisa Data

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Bab ini akan membahas tentang pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidana, yang mengulas tentang HAM dan pengaturannya di Indonesia, dan pelaku tindak pidana dalam perspektif Hak Asasi Manusia

BAB III: Bab ini akan dibahas tentang pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM, yang akan mengulas tentang pemberitaan tindak kriminal dalam perspektif Undang-undang tentang Pers, Pemberitaan Kriminal dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia pelaku


(26)

tindak pidana, dan perlindungan HAM pelaku tindak pidana dalam pemberitaan tindak kriminal.

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(27)

BAB II

PANDANGAN HAM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

A. HAM dan Pengaturannya di Indonesia 1. Pengertian HAM

Hak Asasi Manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945. Istilah HAM menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak asasi manusia yang dipahami sebagai Natural Rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Dalam perkembangannya telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan kenyakinan dan praktik-praktik sosial di lingkungan kehidupan masyarakat luas.21

Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang Praktik memanusiakan manusia itu menjadi tanggung jawab utama negara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Tugas negara ini sama artinya dengan mengimplementasikan perlindungan hak asasi manusia melalui hukum, artinya di dalam hukum itu terumus ketentuan yang memerintahkan perlindungan hak asasi manusia.

21

Slamet Warta Wardaya, Hakekat, Konsepsi Dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi

Manusia (HAM), dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, Dan Implikasinya Dalam


(28)

wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.22

Menurut Mahfud MD, hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.23

2. Pengaturan HAM dalam Peraturan Perundang-Undangan a. Dalam Pembukaan UUD 1945

Pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sarat dengan pernyataan (deklarasi) dan pengakuan yang menjunjung tinggi harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur dan sangat asasi. Antara lain ditegaskan hak setiap bangsa (termasuk individual) akan kemerdekaan, berkehidupan yang bebas, tertib dan damai, hak membangung bangsa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, berkedaulatan, bermusyawarah/ berperwakilan, berkebangsaan, berprikemanusiaan, berkeadilan dan berkeyakinan ke-Tuhan-nan Yang Maha Esa.24

Pernyataan-pernyataan yang padat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, jelas mengandung jiwa dan semangat yang tidak jauh berbeda dengan

Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) yang diterima dalam sidang

22

Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999.

23

Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 127.

24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan


(29)

umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. kesamaan-kesamaan tersebut antara lain terlihat dalam hal-hal sebagai berikut:25

a) Pernyataan di dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 :

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Bahwa identik dengan pernyataan di dalam alinea pertama “preambule” UDHR yang berbunyi: “Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world”. Dan juga dengan Pasal 1 UDHR yang berbunyi: “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”.

b) Pernyataan pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang dihubungkan dengan pernyataan atau proklamasi “kemerdekaan” dan “keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas” di dalam alinea ketiga, identik pula dengan pernyataan di dalam Pasal 15 (1) UDHR, bahwa “Everyone has the right to a nationality”.

c) Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan berbagai tujuan dibentuknya negara Indonesia, yaitu :

(1) “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Imdonesia” ;

25


(30)

(2) “untuk memajukan kesejahteraan umum” ; (3) “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” ;

(4) “ikut dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Di dalam pernyataan tujuan-tujuan tersebut, jelas terkandung di dalamnya juga hak sebagaimana dinyatakan di dalam UDHR sebagai berikut :

a) Pasal 22 : “Everyone as a members of society, has the right to social security”;

b) Pasal 25 : “Everyone has the tight to a standard of living adequate for the health and well being of himself and of his family, including food, clothing, hausing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control” ;

c) Pasal 26 : “Everyone has the right to education”’ ;

d) Pasal 28 : “Everyone is entitled to a social and international order in which the right and freedoms” ;

e) Alinea keempat “Prembule” : “Whereas it si essential to promote the development of friendly relation between nations”.

b. Di Dalam Batang Tubuh UUD 1945

Walaupun tidak secara menyeluruh dan terperinci seperti UDHR, namun di dalam batang tubuh UUD 1945 juga dijumpai pasal-pasal yang dapat


(31)

diselaraskan dengan hak asasi yang tercantum dalam UDHR. Antara lain dapat dikembangkan sebagai berikut:26

a) Ketentuan Pasal 1 (2), bahwa “kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, identik dengan Pasal 21 (1) UDHR :

Everyone has the right to take part of the government of his country, directly or throught freely chosen representative”.

b) Juga Pasal 3, bahwa MPR yang menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara, identik dengan Pasal 21 (1) UDHR di atas.

c) Pasal-pasal yang berhubungan dengan kewenangan DPR (antara lain Pasal 5 (1), Pasal 11, 20, 21, 22, dan hak warga Negara yang sama di bidang pemerintan (Pasal 27), identik pula dengan Pasal 21 (1) UDHR di atas. d) Ketentuan Pasal 27 (1) UUD, bahwa segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, identik dengan UDHR :

(1) Pasal 6 (recognition as a person before the law) ; (2) Pasal 7 (equal protection of the law) ;

(3) Pasal 21 ayat (2) (equal access to public service in one’s country) ; (4) Pasal 1 (equal in dignity and rights) ;

(5) Pasal 2 (entitled to all rights and freedoms without distinction).

26


(32)

(6) Pasal 27 ayat (2) UUD, bahwa tiap warga negara “berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, identik dengan ketentuan UDHR, antara lain :

(a) Pasal 23 (1) : the right to work and free choice of employment ; (b) Pasal 23 (2) : the right to equal work ;

(c) Pasal 25 (1) : the right to a standard of living.

(7) Pasal 28 UUD yang menjamin “kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, identik dengan ketentuan UDHR :

(a) Pasal 18 : the right to freedom of thought ;

(b) Pasal 19 : the right to freedom of opinion and expression.

(8) Pasal 19 ayat (2) UUD yang menjamin kemerdekaan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu, identik dengan ketentuan UDHR Pasal 18 : the right to freedom of thought, conscience and religion (includes freedom to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.

(9) Pasal 30 ayat (2) UUD, bahwa “tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara”, identik dengan Pasal 26 (1) UDHR yaitu “the right to government of his country”.

(10) Pasal 31 (1) UUD menjamin hak warga negara untuk mendapat pengajaran (pendidikan), identik dengan Pasal 26 (1) UDHR yaitu “the right to education”.

(11) Pasal 32 UUD, bahwa “pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, mengandung di dalamnya hak warga negara


(33)

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 (1) UDHR, yaitu “the right to participate in the culture life of the community”. (12) Kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945,

khususnya ayat (3) memberikan hak kepada warga negara untuk memperoleh kemakmuran sosial yang sebesar-besarnya. Hal ini identik dengan ketentuan-ketentuan UDHR antara lain :

(a) Pasal 22 : the right to social security ;

(b) Pasal 25 : the right to a standard of living and right to security. (13) Pasal 34 UUD 1945 mengandung hak fakir miskin dan anak-anak

terlantar untuk dipelihara oleh negara. Hal ini pun sesuai dengan ketentuan UDHR :

(a) Pasal 22 : the right to social security ;

(b) Pasal 25 : the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, age or other circumstances beyond one’s control ;

(c) Pasal 25 (2): motherhood and children are entitled to special care and assistance. All children, wheather born in or out of wedlock, shall the same social protection.


(34)

c. Peraturan Perudang-Undang Lainnya

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya setiap perundang-undangan apakah pada level nasional atau pun internasional ada mencantumkan hak dan kewajiban setiap kelompok atau individu. Karena hak dan kewajiban tersebut menjadi pedoman bagi setiap kelompok atau individu itu untuk mendapatkan sesuatu dan lainnya. Bahkan kitab suci semua agama di dunia ini ada mencantumkan hak dan kewajiban bagi para umatnya. Begitu juga produk undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen terutama di Indonesia. Artinya undang-undang itu tidak menciderai hak dan kewajiban setiap warganya.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada pasal-pasal yang bermaksud melindungi kehidupan, kebebasan dan keamanan seseorang (antara lain, pasal-pasal mengenai pembunuhan, perampasan kemerdekaan, perampasan dan pengancaman, penculikan dan sebagainya ; vide pasal-pasal 338-340, 333-334, 368-369, 328). Ketentuan-ketentuan demikian identik dengan Pasal 3 UDHR. Juga di dalam KUHP ada larangan untuk perdagangan budak (Pasal 324-327) yang identik dengan Pasal 4 UDHR, dan ada pula larangan memeras/memaksa pengakuan atau keterangan dari seseorang dengan menggunakan sarana paksaan (422) dan pasal-pasal penganiayaan (Pasal 351, dst) yang dapat diselaraskan dengan Pasal 5 UDHR. Delik-delik terhadap harta benda dan pencabutan hak hanya berdasarkan undang-undang, identik dengan Pasal 17 UDHR.27

27


(35)

Meski norma-norma hak asasi manusia (HAM) sudah sejak lama menjadi spirit dan dasar bernegara, tetapi secara formal pengakuan dan upaya penegakannya baru dilakukan sejak dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang ini adalah pembuka bagi penegakan HAM yang lebih terkonsentrasi. Meski undang-undang ini mereduksi banyak hak yang termuat dalam Hukum Internasional HAM, kehadirannya memberi optimisme bagi penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Indonesia. UU ini juga memandatkan terbentuknya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), sebagai lembaga independen yang memiliki seperangkat kewenangan bagi penegakan HAM. Satu tahun setelah undang-undang tentang HAM lahir, diproduksi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Undang-undang ini dimaksudkan menjadi semacam hukum acara atau hukum formal bagi penegakan hukum yang termuat dalam UU No 39/1999 itu. Sejak itu Komnas HAM dan lembaga peradilan memiliki prosedur kerja yang tersistematis dan formal.

Sejak awal kelahiran, undang-undang ini menimbulkan kontroversi. Sebab, secara substantif undang-undang Pengadilan HAM mengadopsi Statuta Roma, suatu statuta internasional yang menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC). Pendasaran pada Statua Roma tidak saja salah kaprah, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memiliki pengadilan HAM. Lahirnya undang-undang Pengadilan HAM merupakan kesuksesan negara memanipulasi dan membiaskan Hukum Internasional HAM menjadi kian absurd. Absurditas yang diidap hukum HAM Indonesia inilah yang mengakibatkan kinerja Komnas HAM dan perangkat peradilan lain, yang


(36)

mengadili aneka perkara kejahatan kemanusiaan menjadi sia-sia, tidak konstruktif bagi pemajuan HAM di Indonesia.28

Daftar kegagalan yang bisa dirujuk misalnya, dari sekian banyak pelaku kejahatan kemanusiaan yang dalam bahasa publik Indonesia dianggap pelaku pelanggaran HAM, tidak satu pun pelaku menerima hukuman seharusnya. Bahkan, Abilio Soares, satu-satunya terdakwa yang masuk bui, akhirnya dibebaskan Mahkamah Agung dalam sidang Peninjauan Kembali. Korban sama sekali tidak ada yang menerima hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.29

3. Penegakan HAM di Indonesia

Semua proses panjang pengadilan HAM yang pernah dilakukan di Indonesia tidak memberi implikasi apapun, baik untuk korban, publik, maupun efek jera untuk aparat negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM. Bahkan dunia internasional pun justru semakin kecewa dengan proses yang terjadi di Indonesia.

Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam kajiannya menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum memiliki kemampuan optimal mengintegrasikan hak asasi manusia dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Hal itu diduga akibat tingginya politik transaksional antar fraksi di DPR. Akibatnya sebagian besar produk undang-undang belum ramah terhadap pemajuan dan penegakan HAM. Selama periode 2005-2008, dari 129 produk undang-undang yang dihasilkan, hanya 34 undang-undang yang dinilai berelasi dengan HAM.

28

Ismail Hasani, Deviasi Hukum HAM. Diaskses dalam situs : http://ismailhasani.wordpress.com.2008.11.29.deviasi-hukum-ham-bag-2. akses terakhir pada tanggal 5 April 2011.

29


(37)

Namun, dari jumlah itu, hanya 18 undang-undang yang sejalan dengan HAM, yang separuh diantaranya adalah undang-undang tentang ratifikasi. Sisanya sebanyak 16 undang-undang justru tak sejalan dengan HAM.30

30

Indriaswati Dyah Saptaningrum, UU Tak Ramah HAM, Kompas, Jum’at 5 Desember 2008, hal. 3.

Pada tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia melalui kekuatan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru yang sangat kokoh selama tiga puluh dua tahun menggengam kekuasaan dengan otoriter. Pada zaman orde baru, hukum dijadikan alat kontrol untuk mempertahankan kekuasaannya. Ekses dari kebijakan itu adalah timbulnya sikap skeptis dari masyarakat. Keadilan sangat sulit ditemukan. Kondisi menjadi bertolak belakang dari cita-cita negara hukum yaitu cita keadilan, cita ketertiban dan cita kepastian. Tiga cita-cita ini dikuasai oleh masyarakat umum, bukan mereka yang berkuasa. Tetapi apabila timbul gap antara dua kutub itu, maka yang menjadi barometer adalah kepentingan masyarakatnya.

Sejak 2000 tahun yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah ”

sumum ius suma iuria”. Artinya adil tidaknya sesuatu akan tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Pihak korban pemerkosaan akan merasa tidak adil apabila tersangka dibebaskan dan kebebasan tersebut akan dirasakan adil oleh tersangka. Dengan demikian keadilan dapat diumpamakan sebagai pedang bagi siapapun. Keadilan akan dirasakan tajam pada saat dipergunakan namun bermanfaat sebagai alat untuk mencegah ketidakadilan.


(38)

Isu tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan ”barang’ yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam Alinea I Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding fathers di Insonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Insonesia dalam tiga orde, yakni:31

a.Penegakan HAM Pada Orde Lama

Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti UU No. 1964 yang memungkinkan campur tangan presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai dengan HAM.

b.Penegakan HAM Pada Orde Baru

Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971. Akan tetapi, setelah lebih dari 1 (satu) dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa.

31


(39)

Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang dikatagorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti penculikan terhadap para aktivis pro demokarasi (penghilangan orang secara paksa) yang bertentangan dengan HAM, sekalipun pada tahun 1993 Pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebagai pundaknya, pada tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntuan adanya reformasi di segala bidang.

c.Penegakan HAM Pada Masa Orde Reformasi

Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan praktek KKN.

Pada zaman orde baru pembangunan hukum cukup bagus dan sistematis. Ini dalam arti kuantitas fisik maupun non fisik. Melalui GBHN-nya pembangunan fisik lembaga penegak hukum (Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian) sudah sampai ke tingkat Kabupaten/Kota bahkan tingkat Kecamatan dan Desa. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum sangat fantastis hasilnya, hanya beberapa peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial yang belum diganti.


(40)

Apabila pranata hukum telah demikian banyak, tetapi tuntutan menjadi semakin banyak, maka dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama sekali bukan masalah pranata, produk, substansi ataupun materi hukum dalam bentuk undang-undang, namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan dan penerapannya atau law enforcement. Jadi tanpa penegakan hukum bukan apa-apa. Yang memberi makna kepada hukum itu adalah aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum (Pasal 14 dan 27 UU Nomor 14 Tahun 1970).32

Sifat baik dari aparatur tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang ke luar dari jalur-jalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan, adalah bahwa penegakan hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sub sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antara kepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat.

32


(41)

tidak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated criminal justice system. Pada umumnya, komponen sub-sistem tersebut mencakup:33

a) Penyidik (kepolisian/Penyidik Pegawai Negeri Sipil) ; b) Kejaksaan (penuntut umum) ;

c) Penasihat hukum (korban/pelaku) ; d) Pengadilan (hakim) ;

e) Pihak-pihak lain (saksi/ahli/pemerhati).

Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian apabila muncul ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Dengan kata lain meskipun sebagian besar penyebab utama ketidakadilan umumnya berasal dari aparat, ini bukan berarti komponen non aparat tidak bisa menyimpang atau setidak-tidaknya memberi dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakkan hukum.

Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) sudah cukup memadai apakah dalam bentuk perundang-undangan, kuantitas aparat penegak hukum, sistem manajemen atau pembangunan fisiknya. Persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan penegakan hukumnya. Karena instrumen hukumnya sudah cukup memadai berarti persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini adalah krisis moral penegak hukum dan adanya ketimpangan dalam sistem hukum.

33


(42)

Akibat dari semua itu, publik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap lembaga penegak hukum itu sendiri.34

B. Pelaku Tindak Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

HAM termasuk harga warga negara melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasaan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin dipergunakan istilah hak dan kewajiban manusia, maka pengertiannya adalah adanya hak pada individu (manusia) dan adanya kewajiban pada pemerintah (negara). HAM pada individu menimbulkan kewajiban pada pemeirntah atau negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat pemerintah sendiri.35

34

Ibid, hal. 48.

35

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana

Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 47-48

Meskipun rumusan pasal-pasal KUHAP tidak secara jelas merumuskan tentang HAM untuk tersangka dan terdakwa, namun sikap batin (spirit) peraturan perundang-undangan ini menolak pelanggaran HAM dalam setiap tahan dari sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Secara implisit, KUHAP telah mengatur Hak-hak tersangka/ terdakwa sebagai berikut:


(43)

1. Hak segera mendapatkan pemeriksaan.36

Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hokum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ini berdasarkan pada Pasal 50 KUHAP.

2. Hak diberitahukan dengan bahasa yang dimengerti.37

Pengertian atau pemahaman terhadap penggunaan bahasa menduduki posisi yang penting terhadap proses hokum. Mulai penyelidikan hingga penuntutan, seorang tersangka atau terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan bahsa yang dimengerti oleh tersangka atau terdakwa tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 51 KUHAP. Dengan diketahuinya serta dimengerti oleh orang yang disangka melakukan tindak pidana tentang perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya, ia akan merasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan persiapan dalam usaha pembelaan. Dengan demikian, ia akan mengetahui berat ringannya sangkaan terhadap dirinya sehingga selanjutnya ia akan dapat mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang dibutuhkan.

36

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 50.

37


(44)

3. Hak memberikan keterangan secara bebas.38

Hak ini diatur dalam Pasal 52 KUHAP, yaitu "dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim".

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.

4. Hak mendapatkan juru bahasa.39

Ketentuan hak untuk mendapatkan juru bahasa diatur dalam pasal 177 dan 178 KUHAP. Ketentuan yang sama terdapat dalam Pasal 53 KUHAP yang menyatakan bahwa tidak semua tersangka terdakwa mengerti bahasa Indonesia dengan baik, terutama orang asing, sehingga mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya disangkakan atau didakwakan. Oleh karena itu mereka berhak mendapat bantuan juru bahasa.

5. Hak mendapatkan bantuan penasehat hukum.40

Hak bantuan hokum dimiliki setiap orang, khususnya orang tidak mampu agar ia mendapatkan keadilan. Jaminan hak ini terdapat dalam standar hokum Internasional dan Nasional sebagai bentuk pemenuhan hak dasar yang telah diakui secara universal.

38

Ibid, Pasal 52

39

Ibid, Pasal 53, 177 & 178.

40


(45)

Hak bantuan hokum dijamin dalam Konstitusi Indonesia melalui UUD 1945, yaitu; Pasal 27 ayat (1); pasal 28D ayat(1); Pasal 28I ayat(1); dan juga diatur dalam Pasal 17, 18, 19, dan 34 Undang-undang No39 tahun 1999 tentang HAM. Serta diatur juga oleh Pasal 54 KUHAP. Kemudian ditegaskan dalam pasal 56 KUHAP, bantuan hokum menjadi kewajiban khusunya terhadap tindak pidana tertentu.

6. Hak menghubungi penasihat hukum.41

Setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk menghubungi penasihat hokum, apalagi yang bersangkutan diancam dengan hukuman di atas 5 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 57 KUHAP sebagai berikut:

a. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini

b. Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

7. Hak menerima kunjungan dokter pribadi.42

Kesehatan jasmani dan rohani bagi tersangka atau terdakwa sangatlah penting, sebab seseorang yang disangka atau didakwa melakukan perbuatan pidana berpotensi mengalami gangguan kesehatan baik fisik dan mental. Untuk itulah hak menerima kunjungan dokter pribadi sangatlah manusiawi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 58 KUHAP.

41

Ibid, Pasal 57

42


(46)

8. Hak menerima kunjungan keluarga.43

Seorang tersangka atau terdakwa memerlukan motivator atau teman dalam menghadapi kasusnya. Pada umumnya keluargalah teman terbaik sebagai tempat curhat atau sekedar bermusyawarah dalam mencari jalan terbaik. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 60 dan 61 KUHAP

9. Hak menerima dan mengirim surat.44

Meskipun terdakwa atau tersangka dikekang kebebasannya dalam berinterkasi dengan dunia luar, tersangka atau terdakwa masih memiliki hak berkomunikasi dengan bebas melalui surat. Ia berhak menerima dan mengirim surat sesuai dengan ketentuan berikut:

a. Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagitersangka atau terdakwa disediakn alat tulis menulis.

b. Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan Negara kecali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan

c. Dalam hal surat menyurat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan Negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau

43

Ibid, Pasal 60 dan 61.

44


(47)

terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbuni "telah ditilik"

10.Hak menerima kunjungan rohaniawan dan diadili secara terbuka untuk umum.45

Seorang tersangka atau terdakwa berpotensi mengalami gangguan secara psikis, sebab ia dihadapkan pada persoalan yang membelenggu kebebasannya. Oleh karena itu, ia membutuhkan terapi yang dapat menenangkan pikirannya. Pasal 63 KUHAP memberikan kepada tersangka atau terdakwa hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan. Dan juga tersangka atau terdakwa berhak diadili secara terbuka di Pengadilan. Ini ditujukan agar semua pihak dapat mengetahui apakah yang disangkakan atau didakwakan kepada orang tersebut terbukti atau tidak.

11.Hak mengajukan saksi yang menguntungkan.46

Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakn dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Pada umumnya, pihak penyidik atau penuntut umum tidak memberikan informasi yang jelas bahwa tersangka atau terdakwa bahwa ia memiliki hak mengajukan saksi yang menguntungkan.

12.Hak menuntut ganti kerugian.47

45

Ibid, Pasal 63

46

Ibid, Pasal 65

47


(48)

Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 KUHAP. Tersangka atau terdakwa dapat menuntut pihak kepolisian dan kejaksaan sebagai akibat kealpaan mereka.

13.Hak memperoleh rehabilitasi.48

Rehabilitasi dalam proses perkara pidana lebih cenderung memberikan makna pemulihan nama baik. Hak memperoleh rehabilitasi ini diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Menurut pengertian rehabilitasi Pasal 1 butir 22 KUHAP, rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hokum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU.

48


(49)

BAB III

PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN HAM

A. Pemberitaan Tindak Kriminal dalam Perspektif Undang-undang tentang Pers

Pengertian pers secara umum adalah lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan negara di mana pers beroperasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Pers dalam arti sempit meliputi media massa cetak seperti surat kabar, majalah tabloid, dan sebagainya, sedangkan dalam arti luas, pers meliputi media massa cetak elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai media yang menyiarkan karya jurnalistik.49

49

Ahmad Kurnia El-Qorni, Komunikasi Politik, http://www.manajemenkomunikasi. blogspot.com, Diakses Tanggal 5 Agustus 2011.

Pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pengertian pers terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pers, yaitu: “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.


(50)

Kemerdekaan pers adalah kebebasan yang dibarengi dengan kewajiban-kewajiban. Tuntutan kebebasan tersebut harus pula memikul kewajiban atau tanggung jawab tertentu sehingga kebebasan pers berlaku tanpa batas42. Maksud dan tujuan kebebasan pers Indonesia adalah menciptakan pers yang sehat, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab guna mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dengan mekanisme interaktif positif antara pers, pemerintah dan masyarakat.50

1. Landasan idiil

Menurut keputusan Dewan Pers Nomor 79/XIV/1974 pada tanggal 1 Desember 1974 yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan yaitu Mashuri, pers nasional berpijak kepada enam landasan, yakni:

Landasan idiil adalah Pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional harus tetap merujuk kepada Pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber segala hukum.

2. Landasan konstitusional

Merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan ketetapan-ketetapan Majelis Perusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pikiran, pendapat baik lisan maupun tulisan. Pers nasional harus memiliki pijakan konstitusional agar tidak kehilangan kendali serta jati diri dalam kompetisi era global.

50

Khrisna Harahap, Pasang Surut Kemerdekaan di Indonesia, (Bandung: Grafitri Bumi Utami, 2003), hal. 23.


(51)

3. Landasan yuridis formal

a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pedoman bagi insan Pers dalam menjalankan profesinya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Bulan September tahun 1999, pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran mengatur segala kegiatan siaran di dalam media elektronik.

4. Landasan strategis operasional

Mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasioanal. Setiap penerbitan pers harus memiliki garis haluan manajerial berkaitan erat dengan filosofis, visi, orientasi, kebijakan dan kepentingan komersial. 5. Landasan sosio kultural

Pers Indonesia bukanlah pers liberal. Segala sikap dan perilakunya pers nasional dipengaruhi dan dipagari nila-nilai kultural.


(52)

6. Landasan etis profesional

Secara filosofis setiap organisasi pers harus menyatakan terkait dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Setiap organisasi pers dapat memiliki kode etik sendiri dan menyepakati kode etik bersama.

Pers dalam menyiarkan pemberitaannya harus menghormati hak narasumber, yaitu dengan sikap menahan diri dan berhati-hati. Pers harus memegang prinsip bahwa kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Terkait dengan investigasi yang dilakukan oleh insan pers dalam acara berita kriminal, pengertian Investigasi adalah upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk mengetahui atau membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.51

Hakikat dari pers Pancasila adalah pers yang sehat yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif. Dalam mengamalkan pers Pancasila Pers Indonesia dalam melaksanakan kebebasan persnya mempunyai tanggung jawab yang didasarkan pada Pancasila. Oleh karena itu, pers di Indonesia merupakan pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan nilai-nilai ideologi dan falsafah negara Indonesia (Pancasila dan UUD 1945) dan juga didasarkan pada nilai dan budaya Indonesia yang khas.

51

PPKJATIM, Spesialis Penanganan Masalah KMN yang dimuat dalam situs PPK Jawa


(53)

mekanisme yang digunakan adalah interaksi positif antara masyarakat, pers dan pemerintah sehingga jelas bahwa selain kebebasan, pers juga mempunyai tanggung jawab. Berdasarkan asas demokrasi Pancasila, kebebasan pers digambarkan sebagai berikut:52

Penyiaran berita kriminal yang ditayangkan di berbagai televisi adalah salah satu bentuk kebebasan pers, yaitu kebebasan untuk menyampaikan berita kepada pemirsa melalui media televisi. Apa sesungguhnya kebebasan pers tersebut dan apa pentingnya bagi masyarakat? Kebebasan pers merupakan salah satu hak asasi warga negara sebagaimana hak untuk berekspresi, mengeluarkan pendapat, berorganisasi, dan lain-lain.

Kebebasan pers harus diartikan sebagai kebebasan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dan expression seperti dikemukakan di negara-negara sosialis, ia tidak mengundang lembaga sensor preventif. Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan tidak bersyarat sifatnya, dan ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan syarat-syarat limitatif dan demokrasi, seperti oleh hukum nasional, hukum internasional dan ilmu hukum.

53

52

Haris Sumandiria, Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis

Jurnalis Profesional, Cet 1, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), hal. 128.

53

Dewan Pers, Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Dewan Pers dan UNESCO, 2005), hal. 1

Secara spesifik kebebasan pers berarti pers memiliki kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dengan dilindungi oleh hukum. Namun kebebasan pers bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan suatu kebebasan disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan norma etika, profesionalisme dan supremasi hukum. Ketiga hal tersebut merupakan pilar penting dan sekaligus sarana kontrol bagi pelaksanaan kebebasan pers. Dengan demikian, kebebasan pers secara hakiki bukanlah untuk komunitas pers, melainkan kepentingan


(54)

peningkatan kualitas masyarakat serta untuk memperkuat demokrasi dan akuntabilitas negara atau pemerintah.

Negara memiliki preanan penting dalam mengatur tentang pers dan penyiaran untuk kepentingan masyarakat luas, termasuk di dalamnya kepentingan untuk memberikan batasan-batasan tentang penyiaran dan pers. Pembentukan undang-undang merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam penegakan pers dan penyiaran di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa produk undang-undang untuk mengaturnya, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Undang-Undang Pers dalam satu bagiannya mengatur tentang dewan pers yang menetapkan etika dalam pers. Adapun tujuan etika pers adalah agar berita yang disampaikan memenuhi standar jurnalistik profesional, antara lain memisahkan fakta dan opini, mengungkapkan fakta dan kutipan secara akurat, tidak emosional dan sensasional, seimbang dan adil (fairness), berupa cover both sides (peliputan berimbang), elalu menempatkan dan mempertimbangkan kepentingan publik. Pers juga wajib menghindari dari hal-hal yang bisa menimbulkan diskriminasi dan menggunakan bahasa yang patut. Jika dipenuhi etika tersebut di atas, maka pers akan mendapatkan keuntungan, yaitu berita lebih akurat dan lengkap dan bisa menghindari atau meminimalisasi tuntuntan hukum. Dengan demikian, berita atau informasi yang disampaikan adalah informasi, pendapat dari semua pihak termasuk pendapat pihak-pihak yang saling berargumen. Sehingga tujuan pers sebagai saluran informasi dan opini dari berbagai sumber dapat dilaksanakan dengan baik. Penyampaian informasi yang


(55)

hanya sepihak atau hanya kepentingan-kepentingan tertentu bukanlah tujuan dari pers, begitu juga halnya dengan menyebarkan informasi yang menyenangkan atau menyuarakan kepentingan satu pihak saja.

Sehubungan dengan masalah kode etik, maka kode etik pers merupakan pedoman dan penegakannya pada diri wartawan yang melaksanakannya. Berita-berita yang bersifat penyebaran kabar bohong, fitnah, pelanggaran privasi, asas praduga tak bersalah, plagiat, termasuk dalam pelanggaran etika pers maupun hukum, pelanggaran etika yang sifatnya tidak lazim dapat diselesaikan dengan pernyataan ralat atau permintaan maaf dan wartawan yang melanggar etika akan diperingatkan, dikenai sanksi atau skorsing. Sedangkan media atau wartawan yang sering melanggar etika pada akhirnya akan mendapatkan sanksi moral atau sosial. Misalnya konsumen tidak akan berminat untuk membeli karena meragukan kredibilitas media atau wartawan. Jika pelanggaran etika yang berat atau bersifat merugikan dan fatal bisa berimplikasi pada ancaman hukuman, misalnya pelanggaran pencemaran nama baik, kabah bohong yang dalam KUHP diancam dengan denda atau penjara.

Dewan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers melakukan pengawasan terhadap penegakan etika pers, namun sanksi kepada pelanggarnya menjadi tanggung jawab perusahaan pers dan organisasi pers yang bersangkutan. Terhadap wartawan yang tidak mempunyai surat kabar dan tidak bernaung pada salah satu organisasi pers, dewan pers mengeluarkan teguran atau sanksi berdasarkan KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia). Dewan pers seperti diatur dalam Undang-Undang Pers hanya membatasi diri pada masalah etika. Penegakan


(56)

hukum merupakan batasan yang memaksa agar pers menggunakan kebebasannya secara bertanggung jawab. Dengan demikian, tugas dewan pers adalah sebagai mediator antara kebebasan masyarakat dan pers serta fasilitator untuk meningkatkan kualitas pers.

Ada ketentuan-ketentuan yang ditentukan untuk mengatur kemerdekaan pers dalam memenuhi hak public memperoleh informasi yang benar yaitu menetapkan pedoman supaya wartawan mempunyai landasan moral dan etika profesi dalam pelaksanaan operasional untuk menjaga kepercayaan public dan menegaskan integritas serta profesionalisme dengan menerapkan dan mentaati kode etik jurnalistik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers Indonesia. Jurnalis diharapkan selalu menguji informasi, memberitahukan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Sebagai upaya untuk menyiarkan berita hukum dengan baik, terdapat sepuluh pedoman penyiaran berita tentang hukum yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia tentang bagaimana melakukan penyiaran berita tentang hukum sehingga tidak akan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum, yaitu:54

1. Agar dijunjung tinggi asas praduga tidak bersalah

54


(57)

2. Agar penyebutan lengkap nama tersangka/ terdakwa dilakukan hanya demi kepentingan umum,

3. agar tidak dimuat lengkap atau jelas identitas korban perkosaan dan para remaja yang tersangkut dalam perkara pidana

4. agar anggota keluarga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara tidak ikut disebutkan dalam berita

5. agar dapat membantu due process of law melalui keterangan yang diperoleh dari luar persidangan

6. agar menghindari terjadinya trial by the press

7. agar jangan menggunakan kata-kata sifat yang mengandung opini

8. agar memberikan kesempatan seimbang kepada polisi, jaksa, hakim dan pembela atau tersangka atau terdakwa

9. agar pemberitaan: proporsional, konsisten dan ada kelanjutan tentang penyelesaiannya

10.agar memberikan gambaran jelas mengenai duduknya perkara dan pihak-pihak dalam persidangan.

Dalam kode etik jurnalistik 2006 mengatur tentang pemberian sanksi terhadap pelanggaran kode etik, yaitu: penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh dewan pers serta sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Berdasarkan hal yang disampaikan di atas, negara telah mengatur dalam perundang-undangan tentang pers dan di dalamnya juga mengatur tentang dewan pers. Dewan pers dalam tugas dan fungsinya membawahi organisasi-organisasi


(1)

3. Pembatasan yang perlu untuk mempertahankan kekuasaan dan sikap netral dalam peradilan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tayangan berita kriminal tidak melanggar HAM tersangka atau terdakwa apabila penyiaran dilakukan dengan tidak menimbulkan prasangka dan disampaikan dengan benar. Namun bila penyiaran berita kriminal menampilkan identitas dan wajah serta menggiring terbentuknya opini yang tidak berdasarkan fakta-fakta dan memberikan suatu keputusan atau mendahului proses peradilan maka tayangan tersebut melanggar HAM.

Untuk itu penyampaian berita kriminal hendaknya mempunyai batasan-batasan tertentu sebagai saringan untuk menghindari penyiaran berita yang berlebihan. Menayangkan identitas dan wajah tersangka atau terdakwa secara jelas berarti telah mengabaikan asas hukum presumption of innocent dan asas due process of law. Hukum Indonesia memberikan penghargaan terhadap individu pribadi. Seseorang harus diperlakukan tidak bersalah atau tidak dapat dinyatakan bersalah sampai ada suatu keputusan hakim yang bersifat tetap. Sebelum adanya putusan hakim tersebut, maka orang tersebut walaupun sedang dalam suatu proses persidangan, orang tersebut haruslah tetap dihormati terhadap hak-haknya untuk memperoleh suatu due process of law.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam perspektif hak asasi manusia, pelaku tindak pidana diberikan hak-hak sebagaimana telah tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, yakni antara lain: hak segera mendapatkan pemeriksaan, hak diberitahukan dengan bahasa yang dimengerti, hak memberikan keterangan secara bebas, hak mendapatkan juru bahasa, hak mendapatkan bantuan penasehat hukum, hak menghubungi penasihat hukum, hak menerima kunjungan dokter pribadi, hak menerima kunjungan keluarga, hak menerima dan mengirim surat, hak menerima kunjungan rohaniawan dan diadili secara terbuka untuk umum, hak mengajukan saksi yang menguntungkan, hak menuntut ganti kerugian, dan hak memperoleh rehabilitasi

2. Penyiaran berita kriminal yang ditayangkan oleh televisi pada masa sekarang ini telah terjadi pelanggaran HAM dalam proses penayangan berita kriminal tersebut. Telah terjadi pelanggaran HAM terhadap pelaku dan terhadap publik. Hak publik juga dicederai untuk lebih mendapatkan informasi yang lebih bermutu, informasi yang dapat lebih meningkatkan secara kualitatif kemampuan analisis. Penayangan berita kriminal telah


(3)

melanggar hak asasi pribadi seseorang karena walaupun orang tersebut adalah pelaku tindak pidana, akan tetapi sebagai seorang pribadi HAM nya tidak akan terlepas. Oleh karena itu harus tetap diberikan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai seorang tersangka dalam pemberitaan berita kriminal.

B. Saran

1. Diperlukan pengawasan intens bagi terpidana/ pelaku tindak pidana dalam pemeriksaan di setiap tahapan, sebab sudah sering terjadi bahwa dalam tingkat pemeriksaan tertentu, tersangka mendapatkan tekanan dan siksaan dari aparat penegak hukum. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan semangat yang dikandung oleh KUHAP.

2. Dalam pemberitaan tindak kriminal, lembaga/ organisasi pers perlu melakukan pengawasan terhadap insan pers untuk menjaga terjadinya pelanggaran terhadap HAM pelaku tindak pidana, sebab kebebasan pers bukan berarti kebebasan tanpa batas, namun kebebasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

Ardianto, Elvinarno dan Erdinaya, Lukianti Komala, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998.

Baehr, Peter R, Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.

Baehr, Peter dan Pieter Van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak,

Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Nickel, James W, HAM Making Sense of Human Right, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum PidanaI, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Dewan Pers, Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, Jakarta: Dewan Pers dan UNESCO, 2005.

Dewan Pers, Kode Etik Wartawan Indonesia, tahun 2006

Haas, Robert, Hak-hak Asasi Manusia dan Media, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996. Harahap, Khrisna, Pasang Surut Kemerdekaan di Indonesia, Bandung: Grafitri


(5)

Karjadi M, dan Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmidan Komentar, Bogor: Politeia, 1997.

Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 181.

Marpaung, Leden, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1991, hal. 3

MD, Mahfud, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Media Watch & Customer Centre, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program (P3 & SPS), edisi 34, September 2004.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, A, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Naning, Ramlon, Cita dan Citra HAM di Indonesia, Jakarta: Lembaga kriminologi UI Program Penunjang Bantuan Hukum di Indonesia, 1983. Nickel, James W, HAM Making Sense of Human Right, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1996.

Reksodiputro, Mardjono, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997.

Reksodiptro, Mardjono, Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai Bagian dari Hak-hak Warga Negara (Civil Rights), Jakarta: UI Press: 1990.

Saptaningrum, Indriaswati Dyah, UU Tak Ramah HAM, Kompas, Jum’at 5 Desember 2008.

Setiardja, A. Gunawan, Hak- hak Asasi Manusia berdasarkan Pancasila, Jakarta; Kanisius, 1993.

Sidharta, B. Arief Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia). Bandung: Mandar Maju, 1999.


(6)

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Sumadiria, Haris, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005. Wardaya, Slamet Warta, Hakekat, Konsepsi Dan Rencana Aksi Nasional Hak

Asasi Manusia (HAM), dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, Dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Widjaja, H.A.W, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentan Pers Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Internet

El-Qorni, Ahmad Kurnia, Komunikasi Politik, http://www. manajemenkomunikasi.blogspot.com, Diakses Tanggal 5 Agustus 2011. Ismail Hasani, Deviasi Hukum HAM. Diaskses dalam situs:

http://ismailhasani.wordpress.com.2008.11.29.deviasi-hukum-ham-bag-2. akses terakhir pada tanggal 5 April 2011.

PPKJATIM, Spesialis Penanganan Masalah KMN yang dimuat dalam situs PPK Jawa Timur, http://ppkjatim.atspace.com/, Diakses tanggal 5 Agustus 2011.